“Dok, gimana keadaan putri saya?” tanya Paul begitu melihat dokter yang menangani Ocha keluar dari ruangan.
Jelas sekali, pria itu khawatir sakit Ocha akan parah. Selama ini, jarang-jarang Paul melihat putrinya terbaring lemah tak berdaya. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Pak. Pasien hanya demam biasa. Sekarang perubahan cuaca memang rentan membuat tubuh menjadi demam, flu, sampai pilek. Dan mungkin pasien habis hujan-hujanan juga. Setelah minum obat penurun demam, nanti demamnya akan turun, Pak. Hanya saja, untuk malam ini saya sarankan agar pasien dirawat inap agar kami lebih mudah mengontrol keadaannya.” “Baik, Dokter.” Setelah Ocha dipindahkan ke ruang rawat, Paul menyusulnya. Sementara, Nathan sudah pulang karena diminta sang Papa agar menemani Laras dan Fafa di rumah saja. Untuk Ocha, ia sendiri akan menjaganya. Melihat anak gadisnya terbaring lemah, Paul menghembuskan napas berat. Mendekatinya, lalu menyentuh dahinya. Demamnya memang sudah turun seperti kata dokter. Begitu pagi telah menyingsing, Ocha membuka mata pelan. Mengedarkan pandangan dan setelah kesadarannya terkumpul, bayangan hari kemarin mengacaukan isi kepalanya. Air mata Ocha lagi dan lagi meluruh membasahi pipinya. Sesak. Itu yang ia rasakan. Tak berselang lama, Paul yang sedari semalam tidur di sofa pun terbangun karena mendengar suara isak tangis. Hanya saja, gadis itu sigap menghapus pipinya serta mengalihkan pandangan ke arah lain untuk sesaat. “Ada apa, Nak?” tanya Paul sembari mengecek suhu tubuh Ocha. Namun, ia tak mendapatkan masalah seperti yang dipikirkan saat melihat sang anak menangis. “Panas kamu udah turun. Apa ada yang sakit?” Ocha masih mematung membuat Paul kian khawatir. “Ocha, ada apa? Bicara sama Papa.” Ocha tak langsung menjawab. Ia berusaha bangkit dari tidurnya terlebih dahulu, dibantu oleh Paul. Tak butuh waktu lama, gadis berambut panjang itu sudah beralih posisi menjadi duduk. Sebuah helaan napas berat dikeluarkan. Matanya yang sayu memindai wajah sang papa. “Aku anak siapa, Pa?” “Ya anak Papa,” jawab Paul sambil tertawa. “Kenapa masih tanya?” Ocha menyeringai masam. “Anak Papa, tapi bukan anaknya Ibu Laras, kan?” Kali ini, air mata Ocha masih bisa terbendung, tetapi sesak di dadanya sungguh tak tertahankan. Sementara Paul, bergeming di sisi ranjang. Jujur, ia sedikit terkejut dengan pertanyaan Ocha yang begitu tiba-tiba. Tiba-tiba, tangan lemah itu mencengkeram ujung baju sang Papa yang masih bungkam seribu bahasa. “Katakan, Pa? Kalau itu semua bohong! Aku anak kandungnya Ibu dan Ayah kan?” Tak ada jawaban. Paul menunduk dan sesekali menelan salivanya. “Katakan, Pa!” desak Ocha. “Itu semua benar. Kamu hanya kandung Papa, bukan anak kandungnya Laras.” Deg! Cengkeraman Ocha terlepas begitu saja. Namun, sesaat kemudian Ocha menangis histeris dan sekuat tenaga yang dipunya mendorong tubuh Paul hingga membuat pria berkacamata bening itu mundur beberapa langkah. Tak bisa dipungkiri, bahwa pria paruh baya itu pun ikut menitikkan air mata. “Ibu kandungmu meninggalkan Papa dan tak mau membawamu bersamanya.” Sesak, hanya itu yang Ocha rasakan. Entah apa yang salah sehingga ibu kandungnya tega meninggalkannya? “Sejahat-jahatnya beliau, dia tetap ibuku, Pa,” tutur Ocha di sela isak tangisnya. “25 tahun aku bersama Papa. Tapi, kenapa Papa gak pernah memberitahu kalau aku hanya anak tiri. Kenapa, Pa? Selama ini, aku selalu berharap mendapatkan kasih sayang, tap—” Ocha memilih tak melanjutkan kalimatnya. “Tapi apa, Nak?” Paul penasaran. Namun, Ocha berhasil mengalihkan perhatian sang papa dengan memintanya membelikan jus buah di kantin rumah sakit. Kini, dalam keheningan ruangan serba putih itu, Ocha duduk sendirian merasa hampa dan kekalutan. “Apa yang harus kulakukan sekarang?” Pikirannya berkecamuk. Permintan Ibu tirinya dan juga Fafa terngiang-ngiang. Rasanya, dia ingin cuti. Namun, Ocha tahu pasti bahwa dia tak akan mendapat izin karena ada banyak pekerjaan menantinya karena audit akhir bulan. Terlebih, Ocha sepertinya harus mengobrol secara pribadi dengan atasannya terkait masalah pernikahan ini. Hanya saja, gadis itu tak tahu apakah keputusannya … tepat? *** “Ada lagi yang harus saya tanda tangani?” Mendengar ucapan Aska, Ocha langsung menggeleng. “Sudah tidak ada, Pak.” Pria tampan di depannya itu mengangguk. Namun berbeda dari biasanya, Ocha tidak langsung keluar. Sambil memainkan jarinya, sesekali menelan saliva dengan kepayahan, dia kembali membuka mulut, “Maaf, Pak Aksa. Boleh kita diskusi sebentar?” “Diskusi apa?” tanya Aksa bernada dingin. Pria itu tetap sibuk membolak-balikkan dokumen di atas meja. “Sebenarnya ini di luar pekerjaan, Pak,” jawab Ocha serius, “jadi saya harap dengan apa pun yang saya katakan nantinya Pak Aksa tidak tersinggung.” “Hm.” “Ini soal kita berdua, Pak,” kata Ocha menatap sang atasan. “Saya yakin tidak mungkin Bapak tidak tahu soal rencana perjodohan kita. Jujur saja, saya sebenarnya keberatan, mengingat status Bapak sudah memiliki istri.” Aksa menatap balik Ocha yang sama sekali tak diduganya akan mengatakan seperti itu. “Dengan kedudukan yang Bapak punya, saya tau Bapak bisa mendapatkan apa pun yang Bapak inginkan. Termasuk, memiliki 2 istri atau lebih sekalipun sampai batas maksimal yang diperbolehkan agama kita tanpa takut tidak bisa menafkahinya,” tutur Ocha menghela napas pelan, “tapi, sejujurnya saya takut menyakiti istri Bapak.” “Hanya saja, ketakutan saya gak ada gunanya karena saya gak akan pernah punya kesempatan untuk memilih.” “Maksudnya?” Aksa berusaha mencari tahu sesuatu di balik raut wajah Ocha yang datar. Gadis itu menggeleng. “Lupakan saja, Pak. Tujuan saya diskusi karena ada beberapa syarat yang sudah saya buat dan tandatangani sebelum menjadi istri kedua Bapak. Jika Pak Aksa setuju, silakan tanda tangan juga....” “Namun, jika tidak setuju, Bapak harus membantu saya menolak pernikahan ini pada keluarga kita.” Satu langkah, Ocha maju dan meletakkan secarik kertas A4 ke atas meja Aksa. Tanpa menunggu lama, Aksa meraih kertas tersebut dan mulai membacanya secara saksama. Dimulai dari judul.... [PERJANJIAN PERNIKAHAN] “Sebagaimana diketahui bahwa pernikahan antara Aksa Naufal Firdaus dan Qiana Zhafira Rosa bertujuan untuk mendapatkan keturunan, maka beberapa hal harus disepakati demi kenyamanan bersama....” “Satu, suami harus menceraikan istri setelah melahirkan.” Aksa sengaja membaca dengan suara yang bisa didengar oleh Ocha. “Dua, jika dalam rentang waktu 365 hari, istri tidak kunjung hamil, maka tetap harus mengambil jalan pintas (bercerai).” Hanya saja, setelah membaca bagian itu, Aksa menatap Ocha dengan alis tertaut. “1 tahun?”“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali. Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan. “Aqil denger suara Papa nggak, Nak?” Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”. Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban. “Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah ber
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.” Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?” “Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata. “Aku nggak akan bisa melindungi kamu kalau sampai Aksa membawa masalah
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me