MasukDelia Adinegara menikahi Arga Mahendra bukan karena cinta, tetapi demi menyusup ke keluarga yang ia yakini menghancurkan ayahnya. Arga, putra satu-satunya Rendra Mahendra, tumbuh dalam keluarga penuh rahasia dan kekuasaan. Di balik rumah megah Mahendra, Delia menemukan dokumen-dokumen tersembunyi yang menunjukkan keterlibatan Rendra dalam proyek korup yang menjebak ayahnya hingga bunuh diri. Ketika kebenaran mulai terkuak, Delia dan Arga justru terlibat konflik batin: mereka saling curiga, saling melawan, namun perlahan dipaksa bekerja sama demi mengungkap manipulasi Rendra yang lebih besar dari dugaan mereka. Saat permainan politik keluarga Mahendra semakin keras dan berbahaya, Delia harus memilih: tetap menjadi musuh… atau sekutu Arga dalam perang melawan ayahnya sendiri.
Lihat lebih banyak“Delia, jangan membuat masalah,” bisik pamannya dari belakang, mendorong punggungnya pelan namun tegas.
Hujan turun deras pagi itu, seolah ingin menampar wajah Delia yang kini berdiri kaku di depan gerbang rumah keluarga Mahendra, rumah megah yang tidak pernah ia bayangkan akan menjadi “rumah” pertamanya sebagai pengantin. Ini bukan pernikahan yang ia pilih. Gaun putihnya basah, kedua tangannya gemetar. Delia menelan ludah. Pagi itu rasanya seperti mimpi buruk yang berjalan terlalu lambat dan terlalu jelas. Begitu pintu besar dibuka, puluhan mata menoleh. Tidak ada senyum. Tidak ada ucapan selamat. Hanya bisik-bisik menusuk: “Itu dia perempuan itu…” “Bagaimana keluarga Mahendra bisa menerima?” “Kasihan Arga…” Delia menunduk, menahan air mata. Ia berusaha mengatur napas ketika melihat orang yang akan menjadi suaminya berdiri di ujung ruangan. Arga Mahendra. Tegap, rapi, dan wajahnya… sedingin batu. Tidak ada simpati. Tidak ada keraguan. Tatapannya pada Delia lebih menyerupai penilaian terhadap barang rusak daripada calon istri. Upacara pernikahan berlangsung cepat, seolah semua orang ingin melupakannya secepat mungkin. Delia menjawab lirih, hampir tak terdengar, sementara Arga menjawab dengan suara tegas seperti membaca kontrak bisnis. Ketika penghulu mengucapkan doa, Arga sudah berjalan pergi, meninggalkan Delia yang masih terpaku. Delia mengikuti pelan ke kamar pengantin di lantai dua. Begitu pintu tertutup, situasinya berubah. Arga melepas jas tanpa menatapnya. “Duduk,” katanya pendek. Delia duduk di tepi ranjang, menatap gaunnya sendiri. “Aku menikahimu karena terpaksa,” kata Arga, suaranya datar. “Aku harap kau paham.” Delia mengangguk kecil. “Aku… mengerti.” “Bagus.” Arga akhirnya menoleh, tatapannya menusuk. “Jangan pernah berpikir kita akan jadi pasangan suami istri. Kita hanya… bekerja sama karena keadaan.” Kata bekerja sama itu menampar Delia lebih keras daripada yang ia duga. Arga mendekat, dan Delia spontan mundur beberapa sentimeter. Ia melihat alis Arga terangkat sinis. “Takut?” tanyanya. “Tidak,” jawab Delia cepat, meski jelas bohong. Arga mendekatkan wajahnya, cukup dekat untuk membuat Delia menahan napas. “Dengarkan baik-baik. Jangan campuri urusanku. Jangan sentuh hidupku. Dan jangan coba-coba mencari perlindungan dari ibu tiriku. Dia membencimu bahkan sebelum melihat wajahmu.” Delia membuka mulut untuk menjawab tetapi— BRAK! Arga menutup pintu keras dan pergi. Delia menutup mulutnya dengan telapak tangan, menahan tangis yang akhirnya lolos sedikit demi sedikit. Tidak keras, hanya isak kecil yang terdengar seperti napas patah. Ia berdiri dan berjalan ke jendela. Hujan masih turun. Butiran air yang mengalir di kaca terasa seperti mengikuti jalur air matanya sendiri. “Ayah… kenapa aku harus menjalani ini?” bisiknya. Tiba-tiba pintu terbuka lagi. Delia tersentak, buru-buru menghapus air mata. Arga kembali. Wajahnya lebih tegang dari sebelumnya, ekspresinya berbeda—ada kemarahan lain, sesuatu yang lebih gelap. “Ada apa, Mas?” tanya Delia pelan. Arga tidak menjawab. Ia melempar sebuah berkas cokelat ke meja. Kertas-kertas berserakan, beberapa jatuh ke lantai. “Kau tahu ini apa?” suaranya tajam. Delia menggeleng, tangan gemetar saat mencoba merapikan kertas-kertas itu. Arga mendekat pelan, namun aura marahnya terasa sampai ke kulit. “Ini,” Arga menunjuk sebuah dokumen, “bukti kalau ayahmu bukan hanya berhutang pada keluargaku. Dia juga terlibat dalam sesuatu yang hampir membunuh kakakku.” Napas Delia memburu. “Mas… aku tidak tahu apa-apa.” “Dan itu masalahnya.” Arga menahan dagu Delia agar menatapnya. “Aku menikahimu… karena aku butuh kau bicara.” Delia memejamkan mata. “Mas, aku bersumpah, aku tidak—” “Diam.” Arga mendekat lebih jauh. “Mulai malam ini, Delia… kau bukan istriku.” Delia menahan napas. “Kau kunci,” lanjutnya dingin. “Kunci untuk membuka rahasia ayahmu.” Delia tersentak. “Mas Arga, tolong—aku benar-benar tidak tahu apa pun!” Arga menatapnya tajam, seolah menembus pikirannya. “Kita lihat,” kata Arga akhirnya. Ia berbalik menuju pintu. Delia, yang masih berdiri dengan gaun pengantin basah, terasa seperti hilang kendali atas hidupnya sendiri. Tepat ketika Arga hendak meninggalkan kamar untuk kedua kalinya, Delia memberanikan diri bertanya: “Mas… apa tujuan Mas sebenarnya?” Arga berhenti di ambang pintu. “Keadilan,” jawabnya tanpa menoleh. “Dan aku tidak peduli harus melewati siapa untuk mendapatkannya.” Pintu tertutup. Delia jatuh berlutut. Tepat di saat itu, ia sadar kalau ini bukan awal pernikahan. Ini awal perang. *** Delia terpaku di tempatnya, napasnya memburu. Kata-kata Arga masih terngiang, menusuk seperti pisau tumpul yang dipaksa masuk. Kau bukan istri. Kau kunci. Ia meremas ujung gaunnya lebih kuat, berusaha menahan tubuhnya agar tidak ambruk. Kamar itu sangat dingin, tapi rasa takut membuat kulitnya serasa terbakar. Delia mengambil berkas yang tadi dilempar Arga. Tangannya gemetar saat lembaran demi lembaran terbuka. Nama ayahnya tercetak tebal, terhubung dengan kasus keuangan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Tansaksi gelap, penyimpangan dana proyek, dan catatan-catatan yang sengaja ditutup-tutupi. “Ini tidak mungkin…” bisiknya lirih. Ayahnya memang punya banyak kelemahan. Tapi kriminal? Mencelakakan orang hingga hampir mati? Itu tidak pernah masuk akalnya. Ia menyentuh nama itu dengan ujung jarinya, seolah berharap tulisan tersebut berubah menjadi sesuatu yang lebih baik atau hilang sekalian. Namun yang paling membuatnya terpukul adalah kalimat terakhir di halaman itu. Korban: Alvian Mahendra. Kakak Arga. Delia memejamkan mata. Ia tidak tahu detail apa pun tentang kejadian itu. Ayahnya tidak pernah menceritakan. Yang ia tahu, ayahnya meninggal dalam keadaan hancur, dan segala yang mereka miliki musnah dalam semalam. Kini, potongan-potongan itu mulai menyambung, tetapi bukan menjadi jawaban, melainkan mimpi buruk yang jauh lebih besar. Tubuhnya lemas. Ia terjatuh duduk di lantai, gaunnya mengembang di sekelilingnya. “Hah…” ia mengusap wajahnya. “Arga pikir aku tahu semua ini? Kalau saja aku tahu…” Kalimat itu menggantung, tak sanggup ia lanjutkan. Sebuah ketukan keras di pintu membuatnya tersentak. Pintu terbuka tanpa menunggu jawabannya. Maya berdiri di sana.Pagi itu rumah Mahendra seperti kuburan. Tidak ada suara, tidak ada pelayan yang berani menyapa, bahkan derap langkah pun terasa seperti ancaman.Delia turun tangga dengan pipi yang masih memar. Ia tidak mau menunjukkan lemah, meski semalaman ia tidak tidur. Arga sudah menunggu di ruang makan, wajah keras dan mata merah. Tidak ada sisa sikap dinginnya yang biasa. Yang tersisa hanya amarah dan tekad.Delia duduk tanpa bicara. Ia mengoleskan selai di roti, gerakan tangannya datar.Arga menatapnya. Kau yakin masih mau berada di rumah iniDelia mengunyah pelan. Sampai semua selesai.Arga mendengus, lalu berkata pelan, Ayah memanggilku subuh tadi. Dia ingin kita berhenti menggali masa lalu. Atau…Delia menatapnya. Atau apaArga menelan napas. Atau ia akan menyingkirkanmu.Delia menekuk bibirnya, setengah mengejek. Dia sudah mencoba semalam. Tapi aku masih hidup.Arga memijat pelipis. Delia, kau tidak paham. Kalau Ayah mulai mengancam, artinya dia sudah melakukan sesuatu saat kita tidak sad
Delia tak menjawab, tapi dalam sorot matanya ada sesuatu yang berubah—bukan hanya dendam, tapi rasa percaya kecil yang baru tumbuh. Untuk pertama kalinya sejak datang ke rumah Mahendra, ia tidak merasa sendirian. Namun ketika mereka keluar dari vila itu, sebuah mobil hitam sudah menunggu di kejauhan. Dari balik kaca gelap, seseorang sedang memotret mereka. Satu pesan dikirim ke ponsel Rendra Mahendra malam itu: “Anakmu dan menantumu menemukan ruang rahasia.” Dan permainan sesungguhnya baru saja dimulai. *** Malam itu, Delia duduk di tepi ranjang dengan kepala penuh gejolak. Ia masih bisa merasakan suara hujan di luar vila, gema argumen mereka, dan wajah Arga yang berubah ketika kebenaran terungkap. “Aku anak Arman Adinegara.” Kalimat itu akhirnya keluar dari bibirnya sendiri dan ia masih sulit percaya sudah mengatakannya. Kini, rahasia terbesar yang ia simpan tak lagi tersembunyi. Namun anehnya, justru setelah semuanya terbuka, beban di dadanya terasa lebih ringa
Delia hampir tidak tidur semalaman. Setelah pertengkaran di ruang kerja Arga dan peringatan dari Maya, pikirannya penuh dengan satu hal: kunci kecil bertuliskan Adinegara 2 yang ia simpan rapat-rapat di saku. Dia tidak tahu apa isi ruangan itu atau kenapa ayahnya begitu melindunginya. Tapi ia yakin, jika ada jawaban tentang kehancuran keluarganya, jawabannya pasti terkait kunci itu. Pagi harinya, rumah Mahendra kembali terasa dingin. Para pelayan bekerja seperti biasa, namun Delia bisa merasakan tatapan waspada mereka. Seolah semua orang di rumah itu sudah punya alasan masing-masing untuk memperhatikannya. Delia turun ke ruang makan. Arga sudah duduk di sana, makan sambil membaca laporan kerja. Tidak ada sapa. Tidak ada basa-basi. Hanya suara sendok dan denting piring. “Pagi,” kata Delia datar. Arga tidak langsung menjawab. Ia menutup berkasnya dan menatap Delia singkat. “Aku dengar kau keliling rumah sampai malam.” Delia duduk. “Aku hanya melihat-lihat.” “Rumah ini tidak aman
“Mas Arga,” ujar Delia mencoba tetap tenang. “Tentang ayahku… aku ingin tahu apa yang sebenarnya keluarga Mahendra sembunyikan.”Arga tidak langsung menjawab. Ia membuka sebuah map di depannya, menandai beberapa bagian dengan pena. Laki-laki itu seolah mengabaikan keberadaan Delia sepenuhnya.“Sebelum bertanya tentang ayahmu,” Arga akhirnya berkata, “kau harus tahu dulu siapa yang paling dirugikan dari proyek itu.”Delia mengerutkan kening. “Ayahku kehilangan segalanya. Itu sudah cukup jelas.”Arga menatapnya tajam. “Kau pikir hanya keluargamu yang hancur?”Delia terdiam.Arga berdiri dan membuka laci meja. Dari sana, ia mengambil sebuah berkas tipis dan melemparkannya ke meja di depan Delia. Kertas-kertas itu jatuh berserakan.“Baca.”Delia mengambil salah satu halaman dengan hati berdebar. Semakin ia membaca, semakin udara di ruangan itu terasa menipis.Data korban. Nama seseorang. Tahun kejadian. Lokasi proyek.Korban: 1. Luka berat. Identitas: A. M. Mahendra.Delia menutup mulutny


















Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.