“Benar, Pak. Sekalipun hasil tes kesehatan saya tidak ada masalah, tapi tidak ada yang bisa menjamin ke depannya. Jadi, saya rasa waktu 1 tahun sudah cukup untuk tahu apakah saya bisa hamil anak Bapak atau tidak?”
Hening, Aksa kembali menatap selembar kertas di tangannya. Melanjutkan membaca. “Tiga, status pernikahan akan tetap menjadi rahasia.” “Kenapa dirahasiakan?” tanya Aksa menatap Ocha, dingin. “Di kantor tidak ada larangan poligami dan menjalin hubungan, yang dilarang hanya perselingkuhan.” “Saya mengerti, Pak. Tapi....” “Kamu menganggap menjadi istri kedua sebagai aib?” Ocha tersenyum simpul. “Secara agama bukan, Pak. Tapi, secara sudut pandang objektif orang-orang tentu saja itu... aib.” Beralih bersandar pada kursi kebesarannya. Dari sana, Aksa memperhatikan Ocha dari ujung kaki hingga kepala, membuat gadis itu mendadak kikuk dan membisu. “Baik, saya setuju,” kata Aksa sambil membubuhkan tanda tangan di atas kertas tersebut. Dalam diam, Ocha meremas roknya. Diyakinkan dirinya bahwa ini adalah pilihan terbaik. Dengan begini, keluarganya akan bahagia, kan? Untungnya, pekerjaan di hari itu cepat selesai. Ocha memilih bertemu teman-teman kuliahnya untuk menenangkan diri. Sayangnya, kegelisahannya tak kunjung mereda. Meski dirinya tertawa, tetapi perasaannya tak benar-benar lepas. Ting! Percakapan mereka buyar kala mendengar dering dari ponsel Ocha. Sang empunya ponsel yang mengenali bahwa nada dering tersebut dari aplikasi w******p pun sigap membuka ponsel. Bahkan Lala, salah satu temannya yang memang paling kepo, ikut mengintip. [Pernikahan kita digelar 3 hari lagi. Jadi persiapkan dirimu karena setelah akad saya akan membawamu tinggal di apartemen.] Netra sahabat Ocha itu melebar. Tak percaya dengan apa yang dilihat di ponsel Ocha yang dia tahu saat ini sedang tidak dekat dengan seseorang? Lala refleks memutar tubuh Ocha menghadapnya. “Ocha, lu?” Panik, kaku dan membisu, Ocha buru-buru meletakkan ponsel dengan posisi terbalik di atas meja, was-was kalau Lala melihat isi pesan dari calon suaminya itu. “Apa?” tanyanya pura-pura bingung. Mencoba santai, walau dalam hatinya dag dig dug setengah mati. Jujur, dia bingung harus bagaimana? Ocha menelan kuat-kuat salivanya yang terasa keras lewat kerongkongan. “Apaan sih, La? Emang apa yang lu baca di hapenya Ocha? Heboh benar lu!” Temannya yang lain ikut mencecar, tapi detik berikutnya langsung mati kutu melihat tatapan sengit Lala. “Diam lu!” Hening, Lala mencoba mencari jawaban dari mata Ocha yang saat ini membisu, sambil meremas-remas jari tangan di bawah meja. Tubuhnya merasa suasana cafe mendadak berubah jadi kutub. “Cha, kok lu diam aja, sih?” desak Lala. “Be—nar, La. Gue....” Suara Ocha bergetar. Kalimatnya menggantung, belum sempat dilanjutkan hingga ponselnya kembali berbunyi. Bedanya, kali ini deringnya panjang pertanda ada panggilan masuk. Nama Pak Aksa terpampang nyata di ponsel yang sudah berada di tangan Ocha. Gegas, gadis berambut panjang itu hendak bangkit dengan maksud mencari tempat lain untuk menjawab telepon, tetapi Lala menahan dan memintanya untuk tetap berada di tempat. Ocha manut karena sejujurnya ia tak tahu harus berbuat apa? “Halo, Pak,” ucapnya pelan. Melirik Lala dan Yaya bergantian. “Kamu membaca pesan saya, tapi kenapa tidak dibalas? Saya harus memastikan kesiapan kamu.” “Maaf, Pak. Saya lagi di luar. Apa gak terlalu mendadak ya 3 hari lagi?” “Mami yang memutuskan. Saya tidak bisa apa-apa.” ‘Kalau sudah begitu, kenapa harus nanya gue lagi, coba?’ gerutu Ocha sambil membuang napas frustrasi. “Baik, Pak. Saya ikut saja.” Setelah sambungan teleponnya berakhir, ponsel diletakkan dengan kasar di atas meja. Perasaannya mulai tak karuan, pikirannya semrawut membuat mata indah itu setidaknya perlahan memburam. Air mata pilu mencekam pun tak terbendung lagi. Ocha menunduk, pelan meletakkan jidat pada tangan yang terlipat di meja. “Cha, lu kenapa?” Yaya bertanya panik. Lantas, menatap Lala penuh tanya “La, Ocha kenapa?” Hening. Mereka berdua saling berpandangan. Detik berikutnya, Lala menyentuh bahu Ocha yang terguncang akibat terisak. Perlahan, Lala membawa gadis yang tengah rapuh itu ke dalam pelukannya. Ia tak ingin banyak bertanya, tetapi membiarkan Ocha menangis melepaskan bebannya agar lega. “Gue gak punya pilihan lain, La. Gue diancam diusir dari rumah kalau menolak menikah dengan Pak Aksa,” kata Ocha di sela isak tangisnya. “Jalan pikiran gue buntu, La. Gue gak tau harus ngapain?” “Menikah? Lu mau nikah? Terus sama Pak Aksa? Pak Aksa atasan lu bukan sih? Bukannya dia udah punya bini, Cha?” “Diam dulu bisa gak lu?!” gertak Lala menatap tajam Yaya. “Ngoceh aja dari tadi.” Mereka bertiga diam untuk beberapa saat, hingga pelukan dua wanita muda itu terurai. Setidaknya, Ocha merasa lebih baik sekarang. Tangannya terangkat menghapus wajah yang telanjur basah karena air mata. “Pak Aksa butuh keturunan,” ujar Ocha tetap menatap lurus pada meja, “tapi istrinya gak bisa hamil. Jadi, gue diminta untuk menikah dengannya demi memberinya keturunan.” “Dan lu terima?” tanya Yaya mengangkat alisnya, “dari begitu banyak orang, kenapa harus lu, Cha?” “Dan, betewe... gue ingat lu pernah ngomong ke kita kalau Pak Aksa itu musuh bebuyutan lu waktu kecil?” Yaya memicing. “Tapi, sekarang lu malah mau aja dijadiin istri oleh dia?” Ocha terdengar menghela napas. “Gue udah gak mikirin Pak Aksa siapa. Sekarang gue gak punya pilihan lain. Kalau bisa nolak, gue juga gak mau kali jadi yang kedua.” “Gue gak lupa prinsip gue yang pantang menyakiti wanita lain. Namun, sepertinya Tuhan sedang menguji gue di sini.” “Ada ya keluarga yang tega nyuruh anaknya jadi yang kedua? Itu pola pikirnya gimana sih? Mama gue mah amit-amit. Bakal dicoret gue dari kartu keluarga kalo berani dekatin istri orang.” Senyum Ocha terkulum mendengar perkataan Yaya. Sayangnya, dia tak seberuntung itu mendapatkan orang tua yang perhatian. Dirinya hanyalah seorang anak yang sempat mengira punya keluarga harmonis, ternyata hanya seorang broken home yang sampai sekarang tak tahu keberadaan ibu kandungnya. “Gue cuma anak tiri, jadi wajarlah.” Ocha tersenyum masam. “Hah?!”“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali. Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan. “Aqil denger suara Papa nggak, Nak?” Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”. Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban. “Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah ber
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.” Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?” “Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata. “Aku nggak akan bisa melindungi kamu kalau sampai Aksa membawa masalah
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok