Share

#2

last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-27 11:26:15

"Biasa aja kali ... panggil nama gue? Nggak usah pake embel-embel Kak, berasa tuwir gue!"

"Wkwkwk ..."

Tawa seluruh siswa di kantin sekolah menggelegar bersamaan dengan wajahku yang memerah dan menahan tangis.

"Minggir nggak, lo? Sekali lagi lo berani ganggu Nisa? Lo berurusan sama gue!! Ingat itu!"

Tiba-tiba suara Kak Aldo menghentikan gelak tawa kakak kelas dua dan lengannya melingkar di pundakku. Menggiringku ke tempat sepi di belakang sekolah. Dia menghapus air mataku yang berhasil menetes.

"Makanya lo jangan jauh dari gue, Nis ... kalo mau ke kantin tunggu gue di kelas, Oke?" bisiknya lembut di telingaku.

Aku hanya bergeming menunduk semakin tajam. Rasanya seperti ada desiran aneh yang menjalari hatiku. Apa ini?

Aneh tapi nyaman.

"Lo gakpapa 'kan, Nis?" tanya Dina menghampiriku di depan kelas.

Dia adik Kak Aldo yang kebetulan sekelas denganku.

"Gue kan udah bilang sama lo, Na? Jangan biarin Nisa ke kantin sendirian! Lo ke mana tadi?" omel Kak Aldo masih merangkulku masuk ke kelas beriringan dengan Dina di belakang

"Elaah ... gue ke toilet bentar tadi, tau-tau lo udah nongol di sini sama dia? Gue tadi niatnya emang mau ke kantin, sih? Dompet gue ketinggalan di kelas, so ... balik lagi, deh! Ribet banget sih, lo, Kak? Nisa nggak kenapa-napa ini?"

"Bawel, lo! Udah kalian mau makan apa? Gue yang traktir, gue yang beliin, kalian makan di kelas aja! Ok?"

Sedikit terhibur dengan perdebatan sepasang saudara ini. Aku jadi tenang di sisi mereka. Kapan aku bisa mempunyai keluarga utuh kembali seperti mereka. Rasanya tak akan pernah mungkin.

"Nah ... gitu dong, Nis ... senyum! Cantik, kan?" Kak Aldo mengerling melihatku sedikit menyunggingkan senyum dan menatapnya.

"Makasih, Kak ... Na ..." ucapku kemudian dengan sedikit menunduk malu.

"Cie ... yang kalo senyum paling cantik ..." goda Dina hampir mencolek pinggangku tapi bisa menghindarinya.

Kami tertawa bertiga. Hal yang telah lama tak pernah kulakukan. Bahagia. Melupakan segala keterbatasan dinding aturan yang dibuat ayah.

"Bukan ayah yang membuat semua batasan untuk kamu, Nis ..., kita dipilih Allah menjadi manusia istimewa karena Alhamdulillah bisa diberi kesempatan hidup. Diberi nikmat untuk bisa mempelajari apa yang seharusnya dilakukan manusia di dunia. Ibadah pada Allah yang berpedoman Alquran dan sunnah. Jadi, bentuk rasa syukur kita adalah berusaha menjadi pribadi yang taat, Sayang ...." begitu katanya malam ini.

Lagi-lagi aku harus pura-pura menguap dan mengucapkan selamat malam. Berdoa dan memejamkan mata.

Ponsel di nakas bergetar setelah kepergian Ayah. Nama Kak Aldo di sana.

"Assalamualaikum!" sapaku sedikit berbisik. Takut Ayah akan mendengarnya.

"Belum tidur, kan? Bisa kita ngobrol? Gue di luar jendela kamar lo."

Satu kalimat yang kudengar membuat tubuh ini bergetar. Bagaimana bisa dia masuk ke pekarangan rumah sementara Ayah terbiasa berjaga di ruang depan sampai sedikit larut. Katanya takut jika aku keluar tanpa ijin.

Untuk memastikannya, aku berjalan mendekat ke jendela dan membuka tirainya. Ponsel di telingaku hampir saja meluncur bebas ke lantai saat sosok yang baru saja terkekeh di ujung telpon ada di hadapanku.

Aku memberikan gelengan dan dia cemberut.

"Sampai kapan gue nunggu di sini? Dingin, banyak nyamuk, nih! Mana udah hampir dua jam, lagi?" ucapnya lagi sedikit terdengar dari ponsel yang kutempelkan di depan dada. Saking terkejutnya tadi melihat keberadaannya.

Dua jam? Artinya saat Ayah sedang di mushala. Kasihan dia sampai harus nunggu aman. Aku jadi penasaran, untuk apa dia datang sembunyi-sembunyi. Bimbang, harusnya aku tak boleh memasukkan laki-laki ke dalam kamar.

Tapi swperti ada bisikan agar aku membuka jendelanya. Setelah beberapa detik berperang dengan dua langkah yang harus kuambil. Akhirnya kubuka jendela kayu dengan sangat hati-hati agar tak kentara decitannya.

Begitu kubuka lelaki berhoodie itu langsung melompati jendela sembari menangkap tubuh dan menutup mulutku yang hampir saja terpekik kaget.

"Ssstttt ... tenang, gue nggak bakal ngapa-ngapain, lo! Gue cuma mau bilang selamat malam aja, kok! Hehe," kekehnya tetap menahan tangannya di pundakku.

Sedikit meronta, aku terlepas dan memberi tatapan tajam.

"Keluar sebelum Ayah menyadari sesuatu di kamarku, Kak! Keluar!" Aku mendorong dan berbisik hampir tak terdengar.

"Dengan satu syarat!" katanya menahan tanganku di dadanya, "rasakan detak jantung gue dan tatap mata gue, Nis!"

Benar-benar merinding dibuatnya dengan bisikannya dan tatapan lembut nan sayu penuh puja di depan mataku. Tak pernah merasakan sedekat ini dengan lelaki selain Ayah. Dia berhasil membuatku mengangguk dan detak jantungku seperti genderang perang.

Semakin tak terkendali ketika Kak Aldo mendekap erat tubuhku. Detak jantungnya bisa kurasa. Dia mengelus rambut hingga punggungku.

"Lo ... cantik dengan rambut tergerai indah, Nis ...,"

Bisikan itu bagai racun dan candu yang merasuk di setiap hembusan nafasku.

"Astaghfirullah! Ini dosa ... Kak!" tubuhku bergetar hebat menjauh dan meluruh ke lantai.

Memasukkan lelaki bukan mahram di malam hari. Bahkan berpelukan dan dia melihat auratku.

Allah ...

"Ok! Gue salah! Maaf ... Gue cabut! Besok gue jemput di depan gang, ya? Bye!" Dia tampak sedikit panik dan langsung melompat keluar saat Ayah mengetuk pintu.

Mungkin mendengarku beristighfar sedikit keras tadi. Jadi Ayah memastikan apa aku baik-baik saja.

Entah mengapa semalaman aku nggak bisa tidur. Tatapan wajah teduh di bawah temaram sinar bulan, bisikan dan pelukannya masih terasa nyata bagiku. Hangat, nyaman, dan ... candu.

Sepanjang malam kuhabiskan dengan tersipu-sipu salah tingkah di atas kasur. Miring ke kanan, ke kiri, telentang, tengkurap bahkan berdiri dan duduk lalu berbaring lagi. Berjuta rasanya.

Pengalaman pertama yang sungguh aku ingin mencobanya lagi dan lagi ... aaah Kak Aldo.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dinodai Kakak Sebelum SAH   #60

    Annisa Khairani mengusap wajah basahnya dengan kasar. Mulai berdiri dari duduknya bersandar pintu apartemen. Hampir 15 menit dia membanjiri pipi dengan deras air mata. Merenungi sekaligus mengingat akan dosa yang pernah dilakukan di dalam kondominium hasil dari menjadi endorse media sosialnya dulu.Langkah kakinya tertatih lemah menuju pintu kamar. Memasukinya dengan perasaan yang campur aduk. Membayangkan kembali kehidupan pernikahan yang pernah dirancangnya bersama Aldino atau Kak Al-nya kala itu. Kemudian bergantian siluet dingin dan kakunya suami dadakan yang halal bergelar ustadz.Bagai dua sisi mata uang yang tak bisa disamakan meski berada dalam kepingan yang sama."Sayang ... jika memang takdir kita tak bersama. Maka jangan pernah bandingkan jodohmu kelak dengan aku. Karena jika aku di posisinya, aku juga nggak akan pernah mau dibandingkan. Tapi aku yakin kamulah jodohku sampai nanti aku siap menghalalkanmu." Kalimat panjang Aldo berdengung di kepala perempuan yang sekarang me

  • Dinodai Kakak Sebelum SAH   #59

    Sementara di dalam sebuah kamar seorang pria menggeliatkan tubuhnya saat seruan ayat suci yang diperdengarkan sebelum adzan dikumandangkan membuatnya terjingkat kaget."Astaghfirullah! Sudah hampir Dhuhur? Nisa? Ke mana istriku? Kenapa tak membangunkanku?" gumamnya mengedarkan pandang ke sekeliling yang sepi.Fahdillah baru menyadari apa yang telah terjadi beberapa saat sebelumnya. Pengalaman pertama mengarungi kautan ternikmat di dunia bersama kehalalan. Membuatnya tersenyum tipis lalu turun dengan membawa serta selimut sebagai penutup. Menuju kamar mandi dengan masih mengembangkan senyum. Masih terbayang bagaimana ia akhirnya bisa menyentuh sang istri dengan begitu memuja.Usai menyelesaikan mandi besarnya yang sesuai tuntunan yang telah fasih baginya. Ustadz lulusan salah satu Universitas di Kairo itu keluar dengan handuk terkalung di lehernya."Ninis? Saya langsung ke masjid, ya? Cepat ba–" Matanya membelalak nyaris keluar saat membuka selimut di samping tempat dia terlelap tadi.

  • Dinodai Kakak Sebelum SAH   #58

    Setelah pergulatan manis selama kurang lebih 1 jam. Fahdillah mulai terdengar dengkuran halusnya. Berbaring di sisi sang istri yang juga telah memejamkan mata dengan berbalut selimut yang sama.Annisa sedikit membuka mata dan bergeser perlahan. Menengok ke samping dan mencoba mengguncang bahu polos suaminya. Tak ada respon, artinya pria yang sudah menghalalkannya setahun lalu itu benar-benar terlelap. Dia beringsut turun dari ranjang dengan menutup aurat menuju kamar mandi."Maaf Kak ...." Tangisnya pecah berjongkok di balik pintu. Dia menyalakan kran air sengaja meredam tangisnya yang kembali tersedu-sedu. Sesegera mungkin dia tuntaskan sekarang juga. Agar di kemudian hari tak lagi ada tangis dalam hidupnya. Annisa hanya ingin bahagia dan mengisi hatinya dengan tenang dalam pertaubatan hingga tua. Setelah puas melampiaskan sesak di dada. Dia mandi besar dan keluar sudah dengan berpakaian lengkap. Tinggal memakai hijab setelah mengeringkan rambutnya.Dengan sangat hati-hati dia kelua

  • Dinodai Kakak Sebelum SAH   #57

    Fahdillah menyadarinya dan mendengar gumaman dari seorang yang sangat dikenal. Sekelebat bayangan berlari menjauh dari teras rumahnya."Jelaskan semuanya pada Ustadzah Lia, sekarang atau tidak sama sekali!" Annisa kembali mendorong suaminya menjauh."Saya tidak akan melangkahkan kaki keluar rumah sebelum semua masalah kita selesai, Nisa. Kita bersihkan kesalahpahaman ini sekarang juga," tegas Fahdilah menahan dua bahu istrinya.Annisa tetap menggeleng kuat dan menunduk. Tak sekali pun berani menatap wajah suaminya secara langsung. Apalagi bertemu tatap dengan dua netra Fahdillah yang selalu saja mampu membuat hatinya goyah."Lihat saya, Nisa!" sentak Fahdillah sedikit keras dengan mengguncang tubuh kecil sang istri.Seketika kaki tertutup gamis panjang itu merosot ke lantai. Memeluk lutut dan tersedu-sedu lagi. Semua beban berat yang selama ini dia sembunyikan seolah tak mampu lagi diatumpu sendirian. Satu tahun lamanya dalam diam nyatanya tak sanggup lagi dipendam.Pria itu meremas s

  • Dinodai Kakak Sebelum SAH   #56

    'Sebodoh inikah seorang lulusan Mesir tentang urusan rumah tangga? Apa yamg dipelajarinya selama di sana?' batin Nisa bergemuruh."Maafkan saya, Nisa." Berulang kali hanya kalimat itu yang bisa diucapkan Fahdillah. Bahkan hampir setiap hari lelaki 30 tahun itu selalu mengucapkan hal yang sama pada istrinya.Bosan?Mungkin bukan itu yang dirasakan oleh Annisa. Lebih kepada tidak mengerti apa yang menjadi masalah dalam benak suaminya itu. Sudah satu tahun tapi sikap datar dan dingin itu sama sekali tak berubah. Justru semakin parah dengan sekarang pekerjaan ustadz itu tak hanya mengelola koperasi dan managemen pondok. Melainkan merintis usaha pondok yang baru yakni mendirikan jasa travel haji dan umroh."Entahlah Kak ...." Kalimatnya terjeda, "Nisa harus bagaimana lagi untuk menahan semua ini? Nisa pikir, hubungan kita semakin hambar dan hampa. Benar-benar hanya status saja yang berubah. Kak Fahd terasa asing bagi Nisa mungkin begitu juga sebaliknya." Embusan napas berat keluar dari bib

  • Dinodai Kakak Sebelum SAH   #55

    "Maafkan kami, Pak, Bu. Saudari Annisa dan juga Saudara Fahdillah harus kami tahan di sini sementara waktu.""Apa?" Seru semua orang di ruang tunggu kompak berdiri bersamaan."Akan kami jelaskan setelah semua prosedur terpenuhi. Giliran Saudara Fahdillah dan juga Anda berdua. Atas nama Saudara Agung Sanjaya dan Saudari Nastiti. Mari yang saya sebutkan ikut ke ruang pemeriksaan!" terang polisi berpangkat 3 bintang menunjukkan jalan ke sebuah ruangan.Annisa memeluk ibu kandungnya saat Fahdillah memberi isyarat untuk masuk bersama. Perempuan yanh seluruh wajahnya tertutup niqob itu menggeleng kuat masih terisak."Semua akan baik-baik saja, Nisa ...," ucap Fahdillah menenangkan sambil melepaskan Annisa dari ibunya."Bunda juga akan di sini, Sayang. Nggak akan ke mana-mana. Masuklah!" Sambil mengusap kepala sang putri, Nastiti mencoba memberi kekuatan.Keterangan Aldo a.k.a Aldino atau nama kecilnya Rizal Khoiruddin, polisi banyak mendapatkan keterangan. Bahkan bukti kejadian masa lalu ka

  • Dinodai Kakak Sebelum SAH   #54

    "Ustadz, ada tamu dari Kepolisian menunggu di kantor." Seorqng santri yang bertugas menjadi penerima tamu menyampaikan kabar pada Ustadz Fahdillah di kediamannya pagi ini usai sarapan."Kepolisian?" ulang pria yang sudah rapi dengan kemeja lengan panjang dan sorbannya itu penuh tanda tanya."Kalau begitu saya permisi, Ustadz. Assalamualaikum!" pamit santri itu meninggalkan rumah Fahdillah."Kak Fahd! Kak Aldo ditangkap polisi! Pak Johan kirim pesan sejak semalam dan panggilan terabaikan baru Nisa buka!" Dengan tergopoh-gopoh panik, Annisa mencegah suaminya melangkahkan kaki dari pintu.Fahdillah menoleh dengan mengernyitkan dahi."Aldo?"Nisa mengangguk cemas dengan wajah yang sudah sangat sendu."Biar saya saja yang menghubungi kembali Pak Johan. Di kantor ada tamu dari kepolisian. Saya pikir itu yang mereka akan kabarkan. Apa kamu akan ikut?" tawar Fahdillah menyongsong tubuh istrinya yang berguncang. Menangis dalam dekapannya, lalu dibawa masuk lagi ke dalam rumah."Apa yang terjad

  • Dinodai Kakak Sebelum SAH   #53

    "Nathan!" Berulang kali Aldo menekan bel kamar apartemen sahabatnya, tapi tak kunjung direspon. Hingga dia menggedor pintu dan berteriak kencang.Meski dia sadar jika itu tak akan ada gunanya. Tapi kesebarannya telah menguap begitu saja setelah semua bayangan mengerikan pasangan lawan jenis di dalam tempat tinggal dengan privasi itu."Shit! Buka pintunya, NATHANAEL!" teriaknya lantang sambil menggedor dan menendang pintu di depannya."Maaf, ada yang bisa saya bantu?" Seorqng sekuriti menghampiri Aldo yang hendak memukulkan tangannya lagi. Sudah terangkat penuh kekuatan namun menggantung mendengar teguran dari arah belakangnya."Istri saya ada bersama sahabat saya di dalam kamar ini, Pak! Tolong beri saya akses keamana untuk bisa memergoki keduanya, Pak!""Maaf, ini privasi customer. Saya tidak bisa memberikam akses apa pun kecuali bisa membuktikan kepemilikan atas unit kamar ini, Pak," balas pria berseragam serba hitam dan memiliki nama d

  • Dinodai Kakak Sebelum SAH   #52

    Sejak dua hari lalu, Fahdillah dan Nisa mulai tinggal di rumah khusus pengurus pondok. Tak banyak yang berubah dari sikap pria berhidung mancung dengan rahang tegas ditumbuhi bulu cambang rapi itu pada sang istri.Seperti biasa kegiatan sehari-harinya hanya seputar mengajar dan memantau kinerja koperasi pondok. Tak banyak berada di rumah meski masih dalam satu komplek pondok. Akan benar-benar di rumah saat makan siang dan malam hari setelah jadwal tugasnya selesai. Saat itu pun tak akan banyak berinteraksi dengan Nisa, sudah terlalu lelah dengan aktivitasnya."Kak, bisa bantu menyimak hafalan Nisa hari ini? Sedikit susah di ayat yang serupa. Caranya bedakan gimana?"Fahdillah sudah bersiap dengan baju tidur, kaos nyaman dipadu celana pendek longgar. Mulai bersandar di kepala ranjang dan muroja'ah hafalannya sendiri.Annisa membuatnya menoleh dan mengurungkan membaca ta'awudz. Perempuan itu meringis kaku menunjuk mushaf terbuka di hadapan suaminya.

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status