VALLENT
("Seru juga ternyata berdiskusi begini dengan Purplelloide. Ku kira kau orangnya tidak asyik dan doyan marah-marah saja. Hehe.") KALISTA ("Jangan menilai orang lain terburu-buru. Apalagi dengan orang yang kau temui di dunia online.") VALLENT ("Sip. Haha. Ngomong-ngomong, foto profilku muncul tidak di situ?") KALISTA ("lya, ada. Kata-kata.") VALLENT ("Eh, masa? Harusnya gambar balon udara.") KALISTA ("Tidak, kok. Kata-kata romantis.") VALLENT ("Apa kata-katanya?") KALISTA ("Can i call you jasmine without jas?") VALLENT ("Boleh.") KALISTA ("Apa kau mengerjaiku?") VALLENT ("Sorry. Hehe. Sepertinya foto profil balon udaraku masih loading.") KALISTA ("Berubah lagi foto profilmu. Tulisan lagi.) VALLENT ("Tulisan apa?") KALISTA ("Sayang.") VALLENT ("Apa sayang?") KALISTA ("Val, please deh.") VALLENT ("Tidur sana. Jangan terlalu diporsir mengetik. Good night, Purple.") Kalista tanpa sadar tersenyum membaca pesan terakhir Vallent. Senyum itu langsung sirna ketika Bian muncul membuka pintu kamar dengan kasar. Kalista menghela napas. Malam ini sepertinya, Kalista tidur di lantai lagi. "Senyum-senyum sendiri seperti orang gila. Kau sedang berbalas pesan dengan pacarmu? Jika benar kau punya pacar, katakan pada Jihan biar pernikahan konyol ini berakhir." Kalista tidak menanggapi. Ia langsung mengampar selimut tambahan di lantai dan menaruh bantal di tepian atasnya. "Kau akan membuat Jihan dan aku berselisih bila kembali tidur di sana. Jihan pasti akan berpikir bila aku laki-laki jahat yang berlaku kejam terhadapmu." Hedeh. Kalista benar-benar ingin menggebuki Bian rasanya. Jadi rupanya, Bian ingin terlihat seperti malaikat di mata Jihan. Padahal di depan Kalista, kelakuannya seperti penyihir. Kalista memungut selimut dan bantal yang baru digelar, lalu kembali menaiki ranjang dan menempati space kosong di samping Bian. "Kita harus mendiskusikan ini mau tak mau. Ku biarkan kau tidur bersamaku dan aku akan memperlakukanmu seperti yang Jihan inginkan, tapi itu hanya bila dihadapannya saja. Bila kita sedang berdua seperti ini, aku tidak akan ramah." "Terserah anda, Tuan." "Kalau kita sedang bersama Jihan, panggil aku Mas." "Ya." Kalista langsung berbaring dengan membelakangi Bian. Tak lupa menarik selimut sampai menutupi ujung kepalanya. Bian kesal memperhatikan Kalista yang menurutnya terlalu berlebihan. Mau berpenampilan seperti apapun, Bian tidak akan tergoda. Kalista sama sekali tidak menggairahkan. Postur badannya kecil dan tergolong kurus. Buah dadanya kecil dan tidak punya bokong sekal. Berbeda dengan Jihan yang sangat sempurna di matanya. Jihan tidak hanya cantik, tapi juga memiliki bentuk tubuh ideal. Bian melirik sinis pada Kalista yang sudah tidak bergerak lagi. Sepertinya sudah ketiduran. Bian jadi menerka-nerka, kira-kira apa yang membuat Kalista bercerai dengan mantan suaminya. Bian yakin dengan pasti jika Kalista tidak bisa menyenangkan mantan suaminya. Orang kalau sudah terlanjur tidak suka, pasti doyan berprasangka. Malam itu pun, kembali berlangsung dengan dingin. Iman Bian dan Kalista cukup kuat untuk tidak berbuat macam-macam. Sayangnya hal tersebut mengecewakan Jihan keesokan paginya. Jihan kecewa saat mengetahui kalau Bian dan Kalista belum melakukan ritual malam pertama. Sepertinya Jihan harus berbuat sesuatu agar malam pertama mereka bisa terlaksana. Jihan memperhatikan Bian yang bicara dengan asyik di tengah-tengah sarapan. Namun hal itu hanya ditujukan kepada Jihan. Jihan melirik Kalista yang kesannya seperti obat nyamuk diantara dirinya dan Bian. Padahal Kalista hanya berfokus pada sarapannya yang lezat tanpa peduli pada apapun yang terjadi di meja makan. "Sayang, buka mulutmu. Aaaaaa." Bian ingin bersikap romantis pada sang istri. Tentu saja hanya Jihan seorang yang dimaksud istri dalam konteks ini. Jihan melirik Kalista yang menenggak air putihnya. "Mas, suapi Kalista saja." Tawa Bian seketika luntur. Kalista juga hampir tersedak ketika Jihan menyuruh Bian menyuapinya. Kalista benci terjebak di situasi ini. "Jihan, aku sudah kenyang. Lihat, piringku sudah kosong. Aku duluan, ya? Aku ada banyak pekerjaan hari ini." Kalista langsung beranjak dari meja makan dengan piring, sendok dan gelas kotornya untuk langsung ia cuci. "Tidak perlu kau cuci, Kal. Biar Bibi saja yang melakukannya." Namun Kalista sudah menghilang ke belakang. "Mas, lain kali harus adil, ya? Jangan cuma Jihan yang diajak ngobrol. Ajak Kalista juga. Disuapi juga sesekali istri barunya." Bian tidak mau dan tidak bisa. Apalagi bila harus melakukannya di hadapan Jihan. "Maaf, aku masih belum terbiasa, Sayang." "Kebetulan hari ini hari minggu. Bagaimana kalau kita jalan-jalan?" usul Jihan. "Ya. Kita memang selalu rutin jalan-jalan berdua setiap hari libur. Istriku ingin kemana? Aku akan mengantarmu, kemana pun kau mau." "Bertiga. Mulai hari ini, kita jalan-jalannya bertiga dengan Kalista." Bian mendadak tidak bersemangat. Untuk apa quality timenya bersama Jihan malah harus diusik oleh Kalista? Padahal rencananya, Bian ingin mengajak Jihan shopping untuk menghibur hati sang istri tercinta. "Mas, jangan pilih kasih. Mas kan sudah janji untuk berlaku adil padaku dan Kalista? Kalista itu sahabatku satu-satunya. Sejak TK, Mas. Kalau Mas Bian menyakiti dia, maka sama saja Mas Bian menyakitiku." Bian selalu dibuat jatuh cinta berkali-kali pada Jihan. Di matanya, selain cantik, istrinya juga sangat berhati mulia. Kebaikan hatinya yang membuat cinta Bian tidak pernah luntur. Suka tidak suka, Bian pun menyetujui usul Jihan untuk mengajak Kalista. Kalista sebenarnya menolak ajakan jalan-jalan dengan Jihan dan Bian. Tapi seperti biasa, Jihan memelas seperti memaksa Kalista untuk ikut. Akhirnya karena tidak tega, Kalista pun setuju. Bahkan Kalista lagi-lagi dipinjami baju oleh Jihan. Bian sempat tercengang ketika Jihan dan Kalista mengenakan pakaian bermodel sama. Seperti biasa, Jihan terlihat mempesona. Sedangkan Kalista, hmm, cantik sih menurut Bian, tapi tetap biasa saja. "Mas, nanti Jihan akan mendesign khusus baju couple untuk kita bertiga." Bian mengangguk saja selagi menyetir. Jihan sungguh lucu menurut Bian. Dimana-mana yang namanya couple itu berdua, bukan bertiga. Bian tidak akan mau mengenakannya, karena akan menimbulkan pusat perhatian pada khalayak umum. Jihan merengek pada Bian untuk diajak ke mall. Kalista memperhatikan keduanya yang asyik mengobrol dengan seru di kursi depan. Dirinya sendirian di belakang, memperhatikan mereka sambil tersenyum. Kalista bahagia melihat senyum Jihan yang penuh cinta untuk Bian. Dilihat dari sisi manapun, Jihan dan Bian sangat serasi. Rasa cinta keduanya benar-benar terpancar dengan jelas. Sesampainya di mall, Kalista yang awalnya hanya berjalan di belakang Jihan dan Bian yang sedang bergandengan, ditarik Jihan untuk berjalan sejajar dengan mereka. "Mas, istrinya digandeng. Daripada tangan satunya menganggur." Kalista dan Bian bertatapan sekilas. Keduanya sama-sama tidak ingin melakukannya. Namun Jihan lagi-lagi bertindak diluar dugaan. Jihan tautkan jemari Bian di sela-sela jari mungil Kalista. "Sangat pas. Ayo, kita jalan lagi!" Jihan kembali memeluk lengan Bian. Bian dan Kalista sepanjang perjalanan begitu kikuk. Kikuk serta malu dengan tatapan pengunjung mall lainnya. Bian pun terlihat tidak konsentrasi menanggapi ocehan Jihan. Kalista total bungkam. Entah mengapa, Kalista jadi bernostalgia saat dirinya masih menjadi istrinya Nevan. Ketika mereka jalan-jalan, Kalista selalu ingin digandeng Nevan. Namun Nevan sering menolak dengan alasan malu dilihat orang. Sekarang Kalista sadar, bila alasan Nevan menolak digandeng. bukan karena malu dilihat orang, melainkan karena Nevan tidak pernah mencintainya.Semua orang berkumpul di tempat itu. Berbagai hidangan lezat tersaji dan semuanya tinggal pilih. Para pelayan berkeliling menawarkan minuman kepada tamu undangan. Ruangan yang biasanya berisi perabotan rumah sekarang disulap menjadi tempat pesta mewah ulang tahun peringatan pernikahan yang ke dua puluh. Sang raja dan ratu pesta sedang bergandengan mesra menyapa para tamu. Keduanya tersenyum lebar, berbicara ramah kepada semua orang yang menyapa. Dari aura keduanya, terpancar bahagia yang membuat semua orang iri. Mereka dinilai pasangan paling bahagia sekarang. Meski banyak diterpa cobaan, akhirnya mereka berhasil melewati cobaan itu bersama. Ketika keduanya sama-sama ikhlas, akhirnya mereka menemukan kelegaan dan bisa bersama sampai detik ini. "Bian, Jihan! Selamat, ya!" Kalista langsung menghambur ke pelukan Jihan. Liam dan Bian pun sudah memiliki obrolannya sendiri. Sedangkan Jihan dan Kalista malah bernostalgia ke masa lalu. "Kal,
"Drew, kata tante Kalista, kau mendaftar les di ruang teacher, ya?" tanya Namira yang saat itu sedang menikmati salad buah di kantin sekolah. Drew menutup bukunya dan kini melipat tangannya sebelum mengangguk, menjawab pertanyaan gadis berambut panjang di hadapannya. "Kalau begitu, aku nanti mendaftar les di sana juga, ah! Pasti ayah mengizinkan kalau ada kaunya." Namira mendorong salad buahnya untuk lebih menghadap Drew. Drew menggeleng karena ia tidak begitu suka salad buah. Chicken teriyaki pesanannya belum tiba sama sekali. "Mengapa ayahmu sangat percaya aku? Kalau aku tiba-tiba berbuat jahat padamu, bagaimana?" Drew mengatakannya dengan begitu ketus. Namun, Namira tidak terlihat sakit hati karena Namira setiap hari meladeni sikap Drew yang demikian. "Maka Kak Vano akan menghantuimu dan membalaskan dendamku," jawab Namira sambil mengendikkan bahu. "Kau pikir Kak Vano mati penasaran? Gentanyangan? Jangan bercanda," tegur
"Tante Kalista, Drew tadi di sekolah merokok dengan Angkasa!" "Heh?! Dasar tukang adu!" Gadis yang masih mengenakan seragam SMA-nya tersebut menjulurkan lidahnya pada Drew yang baru saja melepaskan sepatunya sehabis pulang sekolah. Gadis tersebut langsung berlari pergi ke rumahnya sendiri. Kalista yang tadinya menyambut kedatangan putranya dengan berdiri beberapa meter darinya, seketika berkacak pinggang dan menatap tajam pada Drew. "Bunda, jangan percaya Namira!" Drew tidak akan sanggup lagi kalau harus dihukum oleh bundanya. Kakinya masih pegal sampai sekarang, setelah kemarin, Kalista memukul kakinya dengan sapu lidi. Ya. Bundanya memang tidak menerapkan parenting modern. Berbeda dengan Papa Liam dan Mama Jihannya yang selalu memilih jalan diskusi sebagai penyelesaian masalah. Bahkan ketika Drew meminta tolong pada sang ayah, beliau cenderung berpikir agar menurut saja dengan bundanya dengan alasan agar hidup aman sentosa.
"Val!""Sayang!""Vallent!"Kalista berdecak kesal karena suaminya dipanggil-panggil tidak ada sahutan. "Liam Benedicta! Kau dimana?!" Kalista menggerutu. Liam tidak ada kelihatan batang hidungnya sama sekali. Maka, Kalista pun dengan tertatih turun dari tempat tidur. Ketika tungkainya menginjak permukaan lantai dan ia mencoba berdiri, Kalista nyaris terseok. Untung saja ia memegangi header ranjang untuk menstabilkan kedua kakinya terlebih dahulu. Setelah ia tegak berdiri, barulah Kalista mencoba berjalan, meski harus meringis kesakitan akibat ibadah sucinya dengan Liam. "Sayang, kau mau kemana?" tanya Liam yang baru muncul dengan badan penuh keringat. Sepertinya Liam baru pulang dari lari pagi di sekitar pantai. Liam juga hanya mengenakan kaos tanpa lengan agak ketat dan celana pendek longgarnya. Liam langsung menghampiri Kalista dan memapahnya yang terlihat kesulitan berjalan. "Sakit sekali ya, Sayang?" tanya Liam yang malah membuat Kalista ingin mencubit hidung sang suami. "
Jihan sadar jika yang ia lakukan sekarang bukan mimpi.Napasnya dan Bian terengah. Jihan malu bukan main karena bisa-bisanya berpikir kalau ia hanya di dalam mimpi. Tanpa menunggu lagi, Jihan pun dengan cepat turun dari tempat tidur tanpa menoleh ke arah Bian yang langsung kaget dengan perubahan sikap Jihan. Namun, karena terlalu terburu-buru, kaki Jihan tersandung sesuatu dan membuatnya mengaduh kesakitan. "Jihan, mana yang sakit?!" tanya Bian yang sudah sigap duduk bersimpuh di depan kaki Jihan. Bian meraih kaki yang diusap-usap oleh Jihan, kemudian sekali lagi bertanya, bagian mana yang sakit sambil mendongak ke atas untuk melihat ke wajah Jihan. Jihan langsung berjalan mundur dengan gugup sambil berusaha menutupi rasa malunya.Bian yang sadar kalau Jihan sekarang kembali takut, akhirnya lebih dulu mengucap maaf. "Maaf." Bian pun berdiri dan berbalik menjauhi Jihan. Bian berusaha membuka pintu kamarnya
Bian duduk menghadapi pekerjaannya kembali. Namun, pekerjaannya hanya teronggok begitu saja. Bian sedang mengatasi gejolak yang tiba-tiba membara di dalam dirinya. Bian malu kalau harus ketahuan Jihan bahwa ia sedang ingin sekarang. Tidak hanya rasa malu yang mencoba ditutupi Bian. Namun, juga ia tidak ingin kalau Jihan sampai salah paham terhadap dirinya. Apalagi Bian merasa kalau Jihan masih tidak terlalu nyaman berada di dekatnya. "Drew sudah tidur lagi, Mas," ucap Jihan yang membuat Bian sedikit gelagapan. Bian tersenyum kikuk dan mengangguk singkat. Hening kembali menerpa keduanya. Hanya terdengar suara hujan yang berisik di luar sana. Jihan pun memilih untuk duduk di tepi tempat tidur Bian yang menghadap box bayi Drew. Jihan memilih memandangi Drew sambil tersenyum hangat. Meski Drew bukan anak kandungnya, Jihan tetap merasa sangat bahagia ketika merawatnya. Jihan tidak menuntut apa-apa sama sekali selama membantu Kalista mengu