Ketika Tama mulai memuntahkan bunga, ia benar-benar terkejut. Ia tahu dirinya tidak sedang jatuh cinta pada siapa pun. Jadi kenapa hanahaki menyerangnya? Lebih parah lagi, ini masalah hidup dan mati. Dokter mengatakan kemungkinan ada mutasi dari hanahaki yang membuat 'cinta orang lain' bisa menginfeksi tubuhnya. Tama kesal, tapi ia tak punya pilihan. Ia harus menemukan siapa yang diam-diam mencintainya sebelum napasnya benar-benar berhenti.
View MoreSuara sepatu berdecit di lantai kayu gymnasium. Sorak-sorai penonton memantul dari dinding-dinding tinggi, membentuk gelombang suara yang menggema. Lampu-lampu gantung menyorot lapangan, membuat setiap gerakan pemain terlihat jelas, seolah menari di bawah sorotan panggung.
Tama melesat cepat, melewati lawan dengan gerakan lincah. Dengan satu lompatan, dia melepaskan tembakan, bola melayang dan masuk tepat ke sasaran. Skor tercipta. Teman-temannya menyambut dengan high-five dan tepukan semangat, sorak penonton meledak. Banner bertuliskan Brightwood High School dijunjung tinggi dan digoyang-goyangkan. Tama memandang ke arah penonton, tersenyum cerah. Bola kini di tangan lawan. Mereka bergerak cepat, mencoba membalas ketertinggalan skor mereka. Tama menyesuaikan posisi, membaca gerakan lawan. Satu pemain mencoba memutar ke sisi kanan, tapi Tama memotong jalurnya, memaksa lawan mundur. Pemain lawan lain melepaskan tembakan dari jarak dekat. Tama melompat, tangan terulur, dan bola berhasil diblok. Tanpa membuang waktu, ia langsung menggiring bola kembali, mencari celah untuk menyerang. Tama berdeham, dia merasakan sesuatu menggelitik tenggorokannya. Tapi masih tetap coba untuk fokus ke pertandingan. Namun seketika dadanya seperti dihantam sesuatu yang besar, membuat pegangannya pada bola terlepas, bola menggelinding dan segera di ambil lawan dan mencetak skor. "Riverview Academy!" "Riverview Academy!" "Brightwood High School!" "Brightwood High School!" Sorak sorai semakin keras, namun Tama tidak bisa mendengarkannya. Ia sedang sibuk terbatuk untuk melegakan tenggorokannya, meski rasanya tidak ada bedanya. Dia berhenti sebentar, mengatur napas yang kian memberat. Pak burhan, pelatih Brightwood High School, merasa ada yang tidak beres dengan kapten timnya, segera memberi isyarat ke wasit, meminta time-out. "Ada apa denganmu?" Pak Burhan bertanya pada Tama yang sedang meneguk air. Tama menutup botolnya dan menggeleng. "Tenggorokanku kering. Mungkin akan flu." Pak Burhan menatapnya tajam, tidak sepenuhnya percaya pada jawaban itu. “Kalau benar sakit, jangan dipaksa. Pertandingan panjang, kita butuh kau sampai akhir.” Tama hanya menarik napas, menunduk sejenak, lalu mengusap wajahnya dengan handuk. “Aku bisa, Coach. Jangan khawatir.” Ardi, anggota termuda menepuk bahunya pelan. “Kalau ada apa-apa, bilang. Jangan sok kuat, kapten.” katanya dengan senyum lebar. "Tama lebih kuat dari kelihatannya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Aldo merangkul anggota termuda tersebut. Tama menyeringai, "Akan aku buktikan, kita akan memenangkan pertandingan ini." Peluit wasit kembali terdengar, menandakan time-out segera berakhir. Semua pemain bersiap kembali ke lapangan. Tama terbatuk lagi, namun mencoba mengabaikan hal itu, merasa pertandingan lebih penting. Dengan gesit, Tama kembali berlari untuk merebut bola dari tangan lawan. Serangan balik dilancarkan. Tama mengoper pada Ardi, lalu berlari membuka ruang. Operan balik datang, dan tanpa ragu ia menembak. Bola melayang sempurna, masuk. Skor bertambah. Waktu terus berjalan, permainan semakin panas. Tama merasakan udara menipis, tapi tetap memimpin timnya dengan tenang. Setiap strategi berjalan, setiap operan terhubung, setiap tembakan mendekatkan mereka pada kemenangan. Detik terakhir berbunyi. Lawan gagal mencetak skor penutup. Peluit panjang mengakhiri pertandingan. Brightwood High School keluar sebagai pemenang. Timnya bersorak, saling tos dan berpelukan singkat. Mereka menuju ruang ganti setelah menerima piala kemenangan. Suasana penuh suka cita, namun Tama kembali batuk. Kali ini lebih keras dan menyakitkan. Sesuatu seperti tersangkut di tenggorokannya. Tama memaksa batuknya agar benda apapun itu keluar. Air matanya sudah membasahi pipinya namun ia terus terbatuk sampai sesuatu keluar. Kelopak bunga berwarna merah muda keluar dari mulut Tama. 'Dari mana asalnya itu?' batin Tama heran. Seingatnya dia tidak pernah memakan bunga sebelumnya. Semua mata di ruangan itu tertuju padanya, namun Aldo yang segera menghampirinya, menutupi Tama dari yang lainnya. Wajahnya tampak khawatir. “Hei, kau baik-baik saja?” tanyanya, cemas. Tama terbatuk lagi, tubuhnya terhuyung hingga akhirnya jatuh berlutut. Kelopak-kelopak bunga lain menyembur keluar bersama napasnya yang terputus-putus. Tangannya bergetar saat mencoba menahan diri, namun tubuhnya semakin lemah. Aldo berjongkok, menahan bahu sahabatnya. “Bertahan, Tama!” serunya panik. "Kapten!" *・゚゚・*:.。..。.:*゚:*:✼✿ Tama terbangun perlahan, matanya mengerjap menyesuaikan diri dengan cahaya. Dia merasakan sedikit rasa sakit di tangan kirinya, lalu menyadari adanya selang infus yang menempel pada lengannya. Napasnya terasa berat, tetapi lebih teratur dibandingkan sebelumnya. Di samping tempat tidurnya, Aldo duduk dengan tangan sedang mengetik di layar ponselnya, sementara Erwin berdiri di dekat jendela, menatap keluar. Mereka berdua tampak cemas, dan begitu Tama mulai bergerak, Erwin yang pertama kali menyadarinya. "Bagaimana keadaanmu?" Erwin bergegas menghampiri, suaranya penuh perhatian. Tama berusaha duduk, tapi tubuhnya terasa lemah. "Lebih baik," jawabnya singkat. Suaranya masih terdengar serak, "Bagaimana dengan pertandingannya?" "Kita menang. Kau pingsan setelah kita menang, kau lupa?" Mata Tama kosong, sebelum mengangguk. "Ah ingatan itu baru sampai di otakku." Aldo membenarkan posisi duduknya, memandang Tama dengan ekspresi penasaran bercampur kekhawatiran. "Tama, ada yang perlu kau jelaskan," katanya dengan nada serius. "Jadi, beritahu kami, siapa orang yang sangat kau dambakan itu sampai menumbuhkan tanaman cinta di organ pernapasanmu?" Tama mengernyit, menatap Aldo dengan tatapan bingung. "Apa maksudmu?" tanyanya lemah, belum sepenuhnya paham arah pembicaraan. Erwin menarik napas panjang dan duduk di sisi tempat tidur. "Kau didiagnosis penyakit Hanahaki," katanya pelan.Felisha melangkah maju. "Tama, kau sudah tau efek sampingnya?" Nada bicaranya lebih seperti pernyataan. Dia terdiam sejenak mencerna sesuatu. "Kau sudah tau tentang itu, dan kau masih akan melakukan operasi ini?" suaranya bergetar, jarinya terangkat untuk mencengkeram kedua bahu Tama dengan begitu kuat. Tama mengalihkan pandangan. Dia enggan menatap siapapun di ruangan itu. Mata kelamnya hanya tertuju pada dinding rumah sakit yang putih dan bisu. "Itu tidak akan berguna untukku," katanya datar tanpa adanya emosi sedikitpun yang ditunjukkan. Felisha tersentak. "Tidak ada manusia yang tidak membutuhkan cinta," bisiknya lirih. “Ada.” Kali ini Tama menoleh. Tatapannya tajam. “Aku.” Dia melanjutkan dengan nada getir. “Aku bahkan membencinya. Dan aku masih tidak percaya aku berada di sini dan melakukan operasi sebentar lagi, hanya karena 'cinta' yang tidak aku punya dari awal." "Omong kosong." Felisha tert
Kamar rawat inap terasa dingin oleh AC, dindingnya putih bersih tanpa ornamen, terlalu sunyi sampai rasanya menakutkan. Tama berbaring setengah duduk, selang infus menempel di punggung tangannya. Pandangannya kosong menatap jendela, meski yang terlihat hanya gedung rumah sakit lain di seberang.Pintu kamar diketuk pelan. Felisha muncul lebih dulu, membawa kantong plastik, lalu disusul Erwin dengan cengiran lebarnya.“Hei,” Felisha menyapa, matanya tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir. “Kau kelihatan pucat sekali.”Tama hanya mengangkat bahu. “Tentu, aku pasien,” katanya dengan santai.Erwin menarik kursi, kemudian duduk di samping ranjang rumah sakit. “Kapan jadwal operasimu?” tanyanya.Tama menoleh, memperhatikan kedua sahabatnya bergantian. "Lima jam lagi."Erwin hanya mengangguk tanpa menambahkan sepatah kata pun. Sementara itu, Felisha meletakkan kantong kresek yang dibawanya di atas nakas. Pandangannya kemudian tertuju pada kelopak-kelopak bunga yang tercecer di pojok meja. Se
Tama merasa tidak sehat.Belum dua puluh menit, namun sudah terengah-engah ketika mengikuti porsi latihan biasa. Tama yakin dia sedang dalam kondisi paling menyedihkan sepanjang hidupnya, dan dia mungkin takkan pernah pulih dari kondisi terkutuk yang mengerikan ini. Seandainya parasit di organ pernafasannya tidak pernah ada...Sekarang Tama menyebutnya sebagai parasit. Sebutan paling tepat untuk sesuatu yang hidup menempel dan merugikan inangnya."Istirahatlah, kau terlihat pucat." Pak Burhan menyarankan. Tama menurut. Dia menepi sambil terbatuk-batuk. Menyembunyikan kelopak bunga di tangannya."Yang lain berlari keliling lapangan sepuluh putaran!" seru Pak Burhan, disambut keluhan dan protes dari anak-anak lainnya. Aldo mengerutkan kening ketika menoleh ke arah Tama, lalu akhirnya ikut berlari menyusul teman-temannya."Kau akan dicap pilih kasih oleh mereka." Tama menutup botol minumnya yang tersisa setengah.Pak Burhan hanya mengangkat bahu, tampak acuh. “Itu risiko menjadi guru yan
“Apa maksudmu mengatakan itu?” Tama memekik, berdiri dari duduknya dan memberikan tatapan tajam pada Felisha. “Jangan membuatnya salah paham.”Felisha balas menatap, namun tatapannya sedikit goyah dan getir.Keadaan menjadi tegang. Erwin mendekati Felisha sedangkan Aldo menjaga Tama agar tidak lepas kendali.Di tengah keadaan yang tidak nyaman ini, Raisa mencoba keluar dari kebingungan. “Eh, adakah yang mau menjelaskan sesuatu padaku?”Bel masuk berbunyi dan guru pelajaran pertama sudah di depan pintu. Mereka memutuskan untuk berhenti dan kembali ke bangku masing-masing mengabaikan tatapan beberapa teman sekelas mereka yang mulai penasaran.Namun bukan berarti Tama bisa menghindar selamanya. Tepat saat bel istirahat berbunyi, mereka memutuskan untuk menyeret Tama dan melanjutkan pembicaraan tadi di tempat sepi dan tidak mencolok, seperti di sudut ruang bagian belakang perpustakaan.Tama menyadari bahwa ada tambahan orang dan dia curiga seiring berjalannya waktu seluruh sekolah akan ta
Rumor menyebar lebih cepat daripada angin.Tama setuju dengan pepatah tersebut.Tidak tau dimulai dari siapa, namun rumor tentang ia yang telah ditolak seorang gadis dan mendapat kutukan dari dewa cinta dengan batuk berbunga telah menyebar ke seluruh penjuru sekolah.Rumornya tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak benar.Tama tidak pernah mengerti orang-orang yang gemar mencampuri urusan orang lain. Tidak bisa dipungkiri, kalau Tama merupakan idola sekolah dan banyak yang menaruh atensi padanya, tak heran rumor sekecil apapun akan langsung membesar dengan hitungan detik."Tama!"Merasa dipanggil namanya, ia menoleh. Seorang gadis berjalan ke arahnya, dia melambaikan tangan pada Tama. Laki-laki itu menunggu sampai gadis tersebut lebih dekat untuk menyapanya kembali, "Raisa.""Bagaimana keadaanmu?""Seperti yang terlihat, aku baik.""Rumor tidak berbicara begitu."Tama terkekeh, “Rumor hanyalah rumor.” Ia menyelipkan kedua tangannya ke saku celana, memilih berdiri tenang di tengah ta
Tama menatap tajam pria paruh baya yang setengah rambutnya sudah memutih. Sama sekali mengabaikan teguran kakaknya yang berada disampingnya."Berapa kali aku harus mengatakannya? Aku tidak menyukai, mencintai, atau merayu siapa pun. Sepanjang hidupku, aku tidak pernah mempunyai perasaan seperti itu."Setelah mendengar dari dokter secara langsung tentang kondisi kesehatannya, Tama masih tidak mau percaya. Itu tidak masuk akal.Serius, Hanahaki? Dari segala jenis penyakit lainnya?Apakah dia sedang bermimpi sekarang?Sang dokter menghela napas. Wajahnya masih tenang, sudah terbiasa menghadapi pasien keras kepala seperti Tama. "Bahkan jika kau menyimpan perasaan pada seorang pria—”"Tidak siapa pun, berarti termasuk seorang pria," sahut Tama, menekankan setiap kata.Tama selalu punya sifat pemarah. Pada dasarnya, itu sifat utamanya. Bukan berarti dia bangga akan hal itu, tapi keadaan saat ini benar-benar menguras emosinya.Wanita di sebelah Tama mengusap punggungnya perlahan. Sejujurnya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments