Share

Bersama Simbok

Disangka

Masih Hilang Ingatan

Part 5

"Mbok, Tuan Andri kok belum menikah?" tanyaku pada Mbok Mun yang sedang asyik memotong sayuran untuk kami masak. Lagi-lagi dia hanya diam dengan raut wajah tertekan. Sebenarnya aku sedang menyelidik. Berpihak pada siapakah Mbok Mun?

"Em, ya belum. Kan baru mau menikah sama non Maya," jawab Mbok Mun ragu-ragu. Sekali-kali ia kerutkan senyuman. Aku lihat pula tangannya gemetar.

"Menurut Mbok, apa tuan Andri dan non Maya cocok?" tanyaku sambil mengiris bawang putih menjadi potongan persegi. Namun tak beraturan, karena aku kurang ahli.

"Yo, kalau mereka sama-sama cinta to cocok wae. Tapi, memang non Maya iku agak jahat. Tapi cocok 'lah," jawabnya. Katanya kalau mereka sama-sama cinta ya cocok.

"Jahat gimana? Maksud Mbok agak kasar?" selidikku lagi. Mbok mengangguk pelan sambil tersenyum malu. Namun kudengar juga tarikan nafasnya.

"Emh. Lalu, apa menurut Mbok, tuan Andri itu baik? Aku masih penasaran. Sejak hilang ingatan aku tak tahu gimana sifat majikanku. Masak Yo Mbok, tuan Andri kayak suka godain saya. Kan saya risih!" jelasku berbisik di akhir. Si Mbok hanya menyeringai.

Mbok Mun malah diam. Ia seperti salah tingkah. Ingin jawab tapi takut. Dia terkesan seperti dikecam oleh Mas Andri dan Maya.

"Inah? Apa kamu memang hanya ingat namamu Inah?" kata Mbok tiba-tiba berkata demikian. Seorang asisten rumah tangga yang sudah mengabdi sejak aku kecil. Pas aku lahir dan aku mulai tumbuh, Mbok sudah ada di rumah ini. Dia baik dan sangat menjagaku. Menjaga mama. Wanita berusia enam puluh tahunan kelahiran Salatiga itu kini belum tahu kalau ingatanku sudah kembali.

"Memangnya kenapa, Mbok?" tanyaku santai.

Kutatap wajah Mbok Mun dari sudut mata. Bola matanya seperti berkaca-kaca. Apa ia rindu padaku?

Irisan bawang telah selesai. "Mbok? Kenapa? Mbok kok gak jawab?" selidikku sambil mencuci tangan. Takutnya nanti perih pas tak sengaja menggaruk bagian mata.

"Eh, ora. Ora popo." Katanya tidak apa-apa. Bola mata Mbok Mun memperlihatkan kesedihan. Dia seperti menyayangkanku dengan amnesia ini. Apa aku cerita saja sama Mbok Mun? Kasihan juga. Dia kan sejak dulu amat melindungiku. Kali ini pun pasti. Maka dari itu ia tak pernah berani menyuruhku. Iris bawang pun aku yang agak memaksa.

"Mbok, kita ke taman belakang, yuk! Ada hal yang ingin aku bicarakan," ajakku pada Mbok Mun. Dia nampak kaget. "Opo? Bicara opo?" katanya bicara apa?

"Bicara soal tuan Andri." Aku menjawab santai. Mbok makin heran saja. Dia pasti bertanya-tanya. "Hah? Tuan?" Dia bicara sambil berjalan menyusuriku dengan penuh tanda tanya.

Aku tahu, kepulangan Mas Andri ke rumah masih lama. Ini baru pukul sepuluh, dan Maya mungkin pergi bersamanya. Aku ajak Mbok Mun ke taman belakang. Aku dan dia akan duduk menghadap ke arah pintu. Walaupun nanti ada orang tiba-tiba, kami akan segera mengetahuinya.

"Untuk apa Inah?" Mbok Mun masih penasaran saat aku menyuruhnya mengikuti langkahku ke arah taman belakang. Duduk di gazebo kecil yang dibuat karena keinginan almarhum papa.

"Duduk, Mbok," pintaku. Telapak tanganku menepuk lantai kayu bermaksud menyuruh Mbok Mun duduk.

"Iyo," jawabnya. Katanya, ya.

"Mbok? Sejak kapan Mbok kerja di rumah ini?" tanyaku pelan. Sambil kuayunkan kedua kaki. Karena kami duduk dengan kaki terlonjor ke bawah.

"Me-memangnya ada apa? Kenapa sampeyan tanya seperti itu?" katanya kenapa aku bertanya demikian. Aku diam menunggu jawaban. "Jawab saja," ujarku lagi.

Si Mbok menatap kosong ke arah depan. Menatap tanaman bonsai yang dulu kubentuk bersamanya sewaktu kecil. Menjadi bentuk love.

"Aku sudah kerja lama, Inah. Sejak yang punya rumah ini meninggal," jawab si Mbok dengan tatapan kosong. Ia seperti terhipnotis oleh keindahan tanaman bonsai yang sudah besar itu. Sengaja. Biar ia mengingat memori kami.

"Orang tua tuan Andri?" tanyaku. Kepalanya spontan menggeleng-geleng. "Bukan," jawabnya. "Lalu?" tanyaku. Seketika dia terperanjat. "Astaghfirullah!" Ia kaget. Apa ia tadi menjawab tanpa sadar?

"Kenapa, Mbok?" tanyaku dengan wajah polos.

"Em, ora, ora. Kita lanjut kerja saja. Nanti tuan datang!" kata si Mbok was-was. Dia seperti ketakutan dan serba salah.

"Tuan yang mana, Mbok?" tanyaku. Ia menoleh. Pas di langkah kakinya yang kedua. Karena ia tadi buru-buru pergi.

"Ya tuan Andri," jawabnya. "Ayok!" pintanya mengajakku.

"Bukan aku?"

Hening.

Mbok tiba-tiba diam. Tubuhnya mematung tanpa menoleh balik menatapku seperti tadi. "Ma-maksud-nya?" Perlahan Mbok Mun kini menoleh. Tatapannya menyelidik dan berkaca-kaca.

"Maksudku apa? Apa Mbok tak ingat dengan pohon bonsai itu? Bukankah aku dan asisten rumah mama yang buat itu. Mbok, bukan?" Kalimat barusan keluar dari mulutku dengan santai. Aku yakin, Mbok akan berpihak padaku saat ia tahu kalau aku sudah pulih. Aku bisa melihat dari tatapannya tadi.

Dadanya ia tarik beriringan dengan tarikan nafas. "N-Non A-Au-, Non Aurel?" Ia terkejut. Mulutnya menganga dan kini kelima jarinya menutupi mulut yang menganga itu. Bola matanya makin berkaca-kaca. Dia mendekatiku perlahan. Aku tersenyum padanya. Senang sekali rasanya bisa mendengar si Mbok sebut lagi nama asliku.

"Mbok masih ingat aku Aurel? Bukan Inah 'kan?" tanyaku pelan.

Tes.

Kulihat air mata Mbok Mun menetes di pipi. Dia berjalan ke arahku dengan penuh rasa haru. Itu yang kulihat. Apa dia bahagia mendengar kepulihan ingatanku?

"Non?" Si Mbok langsung berlari. Ia refleks memelukku sambil menangis. "Non Aurel? Non sudah pulih? Sejak kapan, Non? Maafin si Mbok yang sudah jadikan Non seperti si Mbok. Huhuhu." Mbok Mun menangis. Tapi tetap ia tahan. Pasti takut ada yang mendengar.

Aku juga membalas pelukannya. Bola mata tak henti menyelidik ke arah pintu. Takutnya ada yang datang.

"Non? Maafin si Mbok! Si Mbok udah lancang jadiin Non pembantu. Bantu-bantu si Mbok di dapur. Maaf, Non. Si Mbok benar-benar nyesel. Tapi Mbok terpaksa. Ini karena keinginan tuan Andri dan non Maya." Si Mbok menjelaskan sambil terus memelukku. Bahkan kini ia malah merendahkan lututnya.

Kuberdirikan lagi ia. Aku sungguh terharu. Sampai air mata ini pun ikut menetes kala Mbok Mun kuraih tubuhnya. Lalu kupeluk dia kembali. Perawakan yang lebih jangkung darinya ini sangat bahagia bisa melihat kasih sayang si Mbok. Dia menangis dan terus mengucap syukur pada Tuhan.

"Non? Non jadi tidak amnesia?" Mbok Mun menyelidik sambil meraba-raba pipi juga keningku. Kepalaku menggeleng-geleng. Tapi aku juga menyuruhnya untuk diam. Jangan bicara keras-keras. Nanti ada yang dengar.

"Mbok duduk lagi," pintaku. Si Mbok menyeka air matanya beberapa kali. Dia masih memandangku dengan haru.

"Non? Mbok masih gak ngerti. Terus Non kok diam saja lihat tuan Andri bawa wanita?" Si Mbok tak bisa menahan untuk tak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memang membutuhkan jawaban.

"Suut! Jangan kenceng-kenceng, Mbok. Aku akan jelaskan." Aku berkata demikian. Si Mbok memgangguk-angguk dengan sumringah.

"Ya Gusti, Mbok bahagia, Non. Tapi Mbok juga minta maaf. Mbok udah lancang," kata si Mbok lagi. Air matanya kembali menetes. Lalu kembali ia seka.

Aku tahu Mas Andri belum pulang. Karena suara pintu gerbang pun belum terdengar. Itu artinya belum ada siapapun yang masuk.

"Jadi Non cuma pura-pura?" tanya si Mbok.

"Enggak," jawabku. Lantas si Mbok kaget.

"Ora? Lalu?" Ia makin penasaran.

"Enggak pada awalnya, Mbok. Aku memang sempat amnesia. Dan sejak Mbok bilang kalau aku terbentur karena Maya, sejak itu amnesiaku pulih mungkin, ya? Maka dari itu, pas aku bangun tanya hari apa pada Mbok. Itu karena aku ingin mengingat," jelasku. Si Mbok masih tak percaya.

"Tapi, jadi memang Non awalnya beneran amnesia?" Mbok menanyakan lagi.

"Iya. Dan aku tak tahu apa yang aku lakukan pas aku amnesia. Hingga akhirnya aku tahu, kalau mas Andri dan Maya sengaja mengubah identitasku. Dia jadikan aku pembantu di rumahku sendiri." Baru saja sampai sana, si Mbok sudah meraih lenganku dan memohon-mohon.

"Non, maafin si Mbok. Mbok hanya di suruh. Mbok menolak, tapi non Maya mengancam. Mbok tak tahu harus gimana lagi!" kata si Mbok sambil terus meminta maaf. "Mbok tak mau diusir. Dan itu artinya Mbok akan jauh dari Non. Setidaknya, meskipun Non ilang ingatane, Mbok tetap jagain si Non!" Nada Si Mbok terhentak diiringi isak tangis.

"Suut! Jangan kenceng-kenceng! Aku gak apa-apa, kok. Mbok santai saja," pintaku lagi. Si Mbok manggut-manggut. Kembali ia seka air matanya.

"Jadi gimana, Mbok? Awalnya aku ini gimana? Terus foto-fotoku di rumah juga tidak ada. Foto mama sama papa juga gak ada?" tanyaku kembali ingin mengetahui hal apa saja yang sudah kedua orang gil* itu lakukan.

Si Mbok masih menahan isak tangis. "Ya begitu, Non. Pas Mbok di dapur, tiba-tiba non Maya minta si Mbok buat panggil si Non sebagai Inah. Non Maya bilang Mbok harus samakan Non dengan si Mbok. Maaf, Non. Si Mbok tak bisa apa-apa." Sampai sana aku makin emosi dengan apa yang telah si Maya lakukan. Sok jadi pengatur.

"Lalu?" Aku masih penasaran.

"Yo, non Maya suruh Mbok bersandiwara jadikan Non pembantu mereka, dengan nama Inah. Mbok juga suruh umpetin semua foto-foto di gudang dulu. Sebelum membakarnya."

Aku kaget. "Mbok bakar foto aku? Atau mereka yang bakar?"

"Ora, Non. Tak mungkin si Mbok bakar foto Non dan almarhum tuan juga nyonya. Ora mungkin. Semua foto masih ada di gudang. Mungkin tuan Andri dan non Maya pun lupa tentang foto itu. Jadi fotonya masih baik-baik saja." Si Mbok terus menjelaskan.

"Dan sejak saat itu, Non tidur di kamar pembantu. Atas perintah tuan dan non Maya. Maaaaaf sekali, Non. Mbok siap di hukum. Asal jangan pecat si Mbok, Non. Mbok sudah betah kerja di rumah ini." Si Mbok merintih di akhir.

"Iya, Mbok aku maafin, Mbok. Tapi, apa Mbok janji, Mbok tak akan bocorkan rahasia ini. Kalau aku sudah tak amnesia?" ujarku.

Si Mbok kaget. "Maksud, Non?"

Kuaraih telapak tangannya. "Mbok, aku ingin Mbok tetap bersandiwara. Tapi, Mbok bersandiwara di pihakku. Mbok harus tetap pastikan kalau mereka tidak tahu aku sudah tak amnesia. Pak Nasir dan semuanya juga tak boleh tahu. Hanya Mbok saja."

Si Mbok makin kaget. "Hah? Ta-tapi, non Maya piye? Non ora bakal usir dia?" ujar si Mbok.

"Gak. Aku gak bakalan usir dia. Ntar sandiwara kita ketahuan dong, Mbok. Pokoknya, Mbok harus tetap seakan-akan aku ini masih hilang ingatan. Mbok ngerti, kan?" Aku memastikan.

"Jadi? Mbok harus sandiwara di depan mereka? Tapi biar apa, Non? Lebih baik Non usir saja mereka," usul si Mbok. "Hati ini sakit sekali lihat Non di tikung blak-blakan. Piye, Non?"

Aku terdiam. "Hemh. Tak segampang itu, Mbok. Aku akan membalas perbuatan mereka berdua dengan sandiwara ini. Apalagi mas Andri berusaha ingin mengambil alih hartaku. Aku akan biarkan mereka merasa menang. Hingga nanti, pada saat yang tepat, akan kujatuhkan mereka."

"Mbok siap bantu aku 'kan?" Si Mbok tersenyum dan manggut-manggut.

"Siap-siap! Kalau itu memang rencana si Non. Pokoke, Mbok dukung si Non. Jadi si Mbok kayak lagi main film?" ujarnya penasaran. Si Mbok kegirangan.

"Tapi jangan salah-salah aktingnya. Ini gak ada di 'cut' ya!" Aku memastikan dia mengerti.

"Aduh!" Si Mbok menggaruk pelipis. Air matanya tak lagi berderai. Aku sengaja membuat dirinya terhibur.

"Yo. Mbok siap! Mbok juga udah pengen tendang tuh si non Maya. Kasar, sok jadi ratu. Mbok gak suka. Apalagi dia iku pelakor 'kan, Non!" Si Mbok nampaknya antusias sekali.

"Oke. Jadi mulai sekarang, aku ini Inah lagi. Awas, jangan kelepasan panggil aku Aurel. Mbok bisa 'kan?"

Si Mbok manggut-manggut lagi. Dan akhirnya kami tos. Tanda sepakat.

"Yuk, kalau gitu kita ke dapur lagi. Kita mulai sandiwaranya!"

Akhirnya, Mbok Mun kini akan jadi partner sandiwaraku. Untuk apa? Untuk perlahan membalaskan sakit hatiku pada Andri dan Maya. Mereka orang yang tak punya malu. Tinggal gratisan di rumahku. Akan kutendang dengan penuh kelembutan dia dari rumah ini.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status