Disangka
Masih Hilang Ingatan
Part 4
♥️♥️♥️
Sekarang aku tahu. Mereka memanfaatkan amnesiaku ini. Demi apa? Pasti demi harta, tahta dan kekuasaan. Aku yakin, ini diluar ekspektasi mereka. Tentang aku amnesia. Namun, itu malah dibuat peluang untuk mereka.
Setelah aku tahu semua yang Mas Andri dan Maya bicarakan, aku langsung kembali ke kamar. Kepala ini masih sangat pusing. Maksudku adalah untuk memikirkan rencana. Untuk mengibuli mereka dengan secara tidak langsung melindungi aset-aset milikku. Aku tak mau hasil kerja keras papa dan mama berakhir tragis di tangan kedua orang serakah itu. Dan aku baru terfikir, Mas Andri dulu sangat santun, baik dan perhatian hanya untuk mengambil perhatianku. Ya, yang sebenarnya ia incar adalah hartaku. Beginilah nasib seorang wanita yang tidak punya lagi tempat untuk mencurahkan isi hati. Sampai-sampai aku terbutakan oleh cinta Mas Andri.
Tak tuk tak tuk
Suara langkah kaki mendekat. Pastinya itu Mas Andri dengan si Maya. Suara sepatunya amat nyaring. Tak mungkin Mbok Mun atau Pak Nasir yang datang dengan suara langkah seperti itu. Untungnya aku sudah sampai di kamar. Aku pura-pura tidur lalu terbangun saja kalau mereka masuk.
Krek! Benar saja. Ada yang membuka pintu. Aku tiba-tiba bangun. Dan yang membuka pintu adalah Mas Andri.
"Tu-Tuan?" sapaku gagap. Aku tahu kalau waktu amnesia aku memanggilnya dengan sebutan 'Tuan' bukan dengan sebutan 'Mas'.
Dia menyelinap masuk. "Kamu masih ingat kamu siapa?" kata Mas Andri sambil mendekat. Dia malah duduk di sampingku.
"Maaf, Tuan, Inah gak enak kalau Tuan duduk disini. Nanti pacar Tuan marah!" Aku melipat kedua kaki bermaksud menjauh darinya. Ingin bergeser ke belakang sudah pas-pasan.
Wajah Mas Andri yang tadinya gugup kulihat menghela nafas dengan lega. "Oh syukurlah. Kamu masih ingat nama kamu. Enggak, Nyonya Maya gak akan marah," jawabnya sambil tersenyum. Entah set*n apa yang sudah merasuki diri ini, hingga aku mau menikah dengan pria tukang tipu sepertinya. Parasnya tidak begitu tampan, dia juga bukan orang tajir. Hanya tubuhnya saja yang menjulang tinggi. Bagaikan pohon kelapa. Haha.
"Em, Nyonya Maya dimana?" selidikku. Jadi aku memanggil si Maya itu dengan sebutan Nyonya? Ya ampun, dasar si Maya gak tahu malu. Apa ia tak berfikir kalau aku hanya sandiwara waktu itu?
"Maya sudah pergi. Oh ya, kepala kamu masih sakit? Aku pijitin," tawarnya manis. What? Apa maksudnya? Ya, kita mahram, tapi aku sedang pura-pura lupa ingatan.
"Maaf, Tuan, gak enak. Lebih baik Tuan pergi saja. Eh, atau saya yang akan pergi. Saya mau ke dapur. Gak enak kalau masih tetap tidur." Aku berusaha menjauh. Tatapan Mas Andri licik sekali. Ini, dia cari kesempatan saat tak ada Maya, atau memang sengaja menggodaku untuk mengetahui kebenaran ingatanku?
"Inah, kita kan dulu pernah dekat. Kita amat dekat. Kamu masih ingat tidak?" ujarnya lagi dengan tatapan yang akan membuatku terpesona. Kalau aku jawab tidak pernah, dia pasti curiga.
Aku memasang wajah panik. Sengaja. "Astaghfirullah, Tuan. Ja-jadi? Kita pernah dekat? Ma-maksud Tuan saya godain Tuan? Enggak, gak mungkin Tuan," ringisku takut.
"Tuan, saya memang lupa ingatan. Tapi Tuan tak bisa membodohi saya. Saya tak mungkin dulu ingin menjalin hubungan dengan Tuan. Tuan, saya ini hanya seorang pembantu," elakku. Aku terperanjat dan duduk meringis ketakutan. Apa ekspresinya?
"Inah, kita memang pernah ada hubungan. Dan aku sama sekali tak mencintai Maya. Kamu lebih aku pilih dibanding dia. Kamu gak inget?" katanya lagi makin nyosor. Dia berniat meraba daguku. Namun aku segera mengibas jari nakalnya. Dasar laki-laki celamitan!
"Maaf, Tuan. Tuan jangan kurang ajar. Meskipun saya pembantu, saya bisa laporkan Tuan atas dasar pelecehan. Kalau dulu saya begitu, maafkan saya Tuan. Saya minta maaf. Saya lebih baik pulang kampung saja." Aku terus meringis ketakutan.
"Iya, saya akan pulang kampung," ujarku lagi sambil hengkang dari kasur tipis yang sudah luntur warnanya itu.
"Eh, Inah jangan. Kamu jangan pergi. Ya, saya minta maaf. Kamu pasti lupa tentang kejadian kita dulu. Kamu tetap disini, ya, saya minta maaf," jelasnya agak panik. Aku masih belum tahu maksud Mas Andri. Dia ingin mengetahui apa aku bohong atau tidak? Atau mencari kesempatan disaat Maya tidak ada? Dan kalau ya aku masih hilang ingatan, mungkin aku akan percaya saja kalau kita pernah ada hubungan. Dan bisa jadi ia berbuat yang tidak-tidak padaku. Tapi kami kan suami istri? Hah, tetap saja. Aku jadi takut padanya. Lebih ke jijik.
Aku mulai mengatur nafas. "Tuan, tolong jangan paksa saya buat mengingat. Saya tahu saya orang tak punya, tapi saya tak mau ternoda sebelum saya menikah." Aku masih meringis agak ketakutan. Ah, entah akting ini baik atau tidak. Sewaktu di sekolah dulu, pelajaran teaterku bernilai buruk. Aku tak jago akting.
"Oke, oke. Aku ngerti, kok. Ya sudah. Aku keluar dulu," katanya sambil bangkit. Tatapannya masih menyelidik serius. Dia perlahan pergi.
"Eh, Tuan, mbok Mun bilang, saya memang sudah tak punya orang tua di kampung saya. Jadi beneran? Saya anak yatim piatu?" tanyaku pura-pura.
"Em-a-eu-iya, kamu yatim piatu. Dan kamu memilih kerja disini. Aku sempat tertarik oleh wajah kamu yang ayu, kulit putih kamu, dulu. Dan memang kita sempat ada hubungan. Tapi kamu pasti lupa," jelasnya lagi makin berbohong saja. Mas Andri, Mas Andri.
Aku pura-pura melamun sambil berkaca-kaca. Aku rasa sih iya, bola mataku berkaca-kaca. Tanpa irisan bawang pun berhasil. "Hiks. Tapi, Tuan, saya mohon. Jangan Tuan berani macam-macam sama saya. Kalau dulu saya begitu, saya minta maaf, Tuan. Maafkan saya. Saya tidak mau menjadi orang yang berdosa." Aku kembali berpura-pura.
"Iya. Ya sudah, aku keluar dulu." Dia pergi setelah kepala ini meng'iyakan dengan anggukkan. Mas Andri pergi dengan tatapan sumringah.
***
Keesokan harinya.
"Inah," sapa seorang pria yang aku kenal. Dia suamiku. Aku kaget. Aku yang sedang membersihkan kamarnya pun terperanjat. Ini masih sangat pagi. Ia tadi sudah pamit ke hotel, tapi malah balik lagi.
"Eh, Tuan, maaf, saya cuma bersihin ranjangnya. Sambil nanti bawa baju kotor," jawabku dengan santai. Sejenak menyudahi menepuk-nepuk tempat tidur empuknya. Maksudnya tempat tidur empukku.
Dia malah mendekat. Tatapannya aneh dan penuh hasrat. Aku yakin, dia memang memanfaatkan hilangnya ingatanku.
"Maaf, Tuan, Tuan mau apa?" Aku ketakutan dengan sorot matanya.
"Inah, kita dulu pernah lakukan ini. Kamu gak inget? Kamu dengan lincahnya bermain denganku. Aku ini bujangan. Dan aku tertarik sama kamu," ujarnya sambil menyodorkan tubuh.
Plak!
Langsung kutampar saja pipinya itu dengan penuh amarah atas sikap yang ia perlihatkan. Namun batin ini berniat mewakilkan tamparan itu untuk perselingkuhan yang telah ia lakukan.
"Arkh! Kamu tampar saya?" amarahnya terpendam. Ia pegangi pipi kirinya yang mulai memar.
"Tuan, saya hanya pembantu. Tapi saya tidak serendah itu. Kalau Tuan masih seperti ini, saya akan pulang ke kampung saya," jelasku sambil pergi. Aku bicara seperti itu karena yakin, dia tak akan membiarkanku pergi. Dia tak bisa ambil alih asetku yang semua surat-suratnya kusimpan di pengacara. Tanpa tanda tanganku, dia tak bisa apa-apa. Kalau aku meninggal pun, semua asetku akan dijual dan diberikan pada yayasan. Sesuai surat yang sudah kutandatangani. Pesan mama. Bila aku meninggal sebelum memiliki anak. Jadi Mas Andri tak akan dapat apapun.
"Tunggu, Inah!" Ia mengejarku. Aku terus berlari dan pura-pura menangis.
"Inah!" Dia berhasil mengejarku. Ia meraih lenganku dengan cepat.
"Mas Andri!" teriak seorang wanita. Dan itu si Maya. Dia datang pagi-pagi nyelonong masuk.
"Lepaskan saya, Tuan, saya bukan wanita rendahan," ujarku sengaja supaya Maya mendengar kalimatku. Dengan segera Mas Andri melepas kepalannya dari tanganku. Aku segera pergi menjauh dari mereka. Padahal aku ingin tahu, gimana ekspresi Maya? Dan apa yang akan ia bicarakan?
"Mas! Apa maksud si Inah bilang dia bukan wanita rendahan? Oh, kamu mau ...." Mas Andri menempelkan jari telunjuknya ke bibir si Maya.
"Kamu salah faham. Aku hanya ingin tahu, apa dia amnesia atau tidak. Tapi sepertinya dia benar-benar amnesia. Dia malah ingin pergi dari rumah ini gara-gara kelakuanku. Aku yakin, Aurel belum kembali. Dan kamu lihat barusan, kan, dia nampak tak tahu apapun!" bisik-bisik Mas Andri. Kok aku jadi sanksi dengan apa yang ia katakan. Dia seperti berbohong pada Maya. Mas Andri memang seperti ingin memanfaatkan amnesiaku untuk memuaskan hasratnya.
"Kamu jangan bohong! Kamu pasti merayu dia 'kan? Kamu manfaatkan amnesiamya. Kamu memang begitu orangnya!" tembal balik si Maya dengan wajah ketus sekali. Belum jadi suami saja sudah marah pas lelakinya di goda wanita lain. Apalagi aku yang sudah sah!
"Hey, Sayang. Kita belanja, ya. Kamu mau apa? Kita belanja sepuasnya." Mas Andri merayu. Tuh kan benar. Mas Andri tadi memang benar-benar ingin mencumbuku. Bukan seolah-olah ingin tahu tentang ingatanku sebenarnya. Dasar buaya!
"Ya sudah!" jawab si mata duitan dengan manja. Mereka pun mulai melangkah.
"Kamu gak ke kantor?" kata si Maya. Aku masih memperhatikan mereka dari sudut tersembunyi.
"Ah gak apa-apa. Sudah ada yang handle, kok," jawab Andri santai. Benar-benar tidak punya tanggung jawab. Kalau perusahaan terus ia pegang, bisa-bisa gulung tikar. Huwh!
"Inah! Kamu ngapain?" Mbok Mun mengagetkanku yang sedang menyidik dua pecundang tadi.
"Eh, Mbok. Itu, Mbok, tadi nyonya Maya marah-marah sama saya. Tadi dia memergoki saya sedang di rayu tuan Andri. Saya nangis dan kabur. Tuan Andri kejar saya." Aku memasang wajah ketakutan. Si Mbok malah memasang wajah panik. Bola matanya tak fokus.
"Mbok? Kenapa?" tanyaku mengejutkan Mbok Mun yang belum kuketahui, berpihak pada siapakah dia? Tapi dulu Mbok Mun sangat baik padaku. Entah sekarang. Bisa jadi ia ada di pihak Maya dan Mas Andri.
"Eh, enggak. Kamu mau rayu tuan?" Mbok malah bertanya demikian.
"Oh ya, Mbok. Kata tuan Andri, dulu aku pernah menyukainya? Dan kami malah sempat akan ada hubungan. Apa benar, Mbok?" selidikku dengan raut wajah sepolos mungkin. Mbok diam dan gagap.
"Eum, eu, ora tahu ah. Sampeyan kan gak pernah cerita. Mungkin? Aku ora tahu. Ya sudah, aku ke dapur dulu." Mbok nampak salah tingkah dan tak tahu apa yang harus ia jawab. Si Mbok tak pernah menyuruhku bekerja. Apa dia memang canggung karena aku majikannya?
Baiklah, dengan sifat Mas Andri seperti itu, aku lebih mudah untuk membodohinya. Pria pengumbar nafsu dasar!
***
DisangkaMasih Hilang IngatanPart 5"Mbok, Tuan Andri kok belum menikah?" tanyaku pada Mbok Mun yang sedang asyik memotong sayuran untuk kami masak. Lagi-lagi dia hanya diam dengan raut wajah tertekan. Sebenarnya aku sedang menyelidik. Berpihak pada siapakah Mbok Mun?"Em, ya belum. Kan baru mau menikah sama non Maya," jawab Mbok Mun ragu-ragu. Sekali-kali ia kerutkan senyuman. Aku lihat pula tangannya gemetar."Menurut Mbok, apa tuan Andri dan non Maya cocok?" tanyaku sambil mengiris bawang putih menjadi potongan persegi. Namun tak beraturan, karena aku kurang ahli.
"Mbok, menurut Mbok, bagusnya si Maya diapain ya?" tanyaku pada Simbok. Ia yang sedang mencuci piring dan aku sedang duduk sambil memainkan pisau."Aduh, itu pisau buat apa?" kata Simbok ketakutan. Ia yang sedang mencuci piring pun segera meraih pisau di tanganku."Apa sih, Mbok?" ulasku halus."Non jangan nekad ah. Mending kita jahilin aja tuh si non Maya. Jangan dengan benda tajam kayak gitu." Wajah Simbok parno. Memangnya aku fikir aku akan berbuat nekad dengan pisau di tanganku?Aku terkekeh. Pisau sudah ada di genggaman Simbok. "Ya ampun, Mbok, aku masih waras kali. Kalau yang adanya pisau di meja, ya yang aku raba pisau, lah," jawabku masih terkekeh."Syukurlah. Simbok pikir Non mau ....""Enggaklah, Mbok. Aku kan gak jahat. Tindakan kriminal mah aku gak suka. Lebih suka ke, menjahili gitu. B
Sebuah benda kecil yang bertugas merekam percakapan Mas Andri di kamar sudah kutempel sejak satu hari yang lalu. Kusuruh Simbok membelinya. Supaya aku tak keluar rumah.Barusan Mas Andri marah sekali saat pulang. Dia yang tak berhasil mendapatkan tanda tanganku untuk ia berikan pada pengacara keluarga, langsung membanting pintu dengan keras. Dia mungkin kecewa. Mas Andri, Mas Andri.Segera aku berlari ke kamar yang selama ini kutempati. Sebuah kamar berukuran kecil. Petak dan tak ber-AC. Namun aku nikmati saja. Demi kelancaran sandiwara ini.Langsung kudekatkan headset ke telinga. Dimana aku bisa mendengar percakapan Mas Andri atau apapun menggunakan benda yang sudah kubeli. Seperti seorang detektif saja."Bod*h! Si Aurel hilang ingatan. Mana mungkin ia ingat soal tanda tangannya? Dan aku? Aku sama sekali tak tahu tanda tangan dia seperti apa. Kalau
"Bu Aurel? Coba beritahu saya, apa yang anda ingat?" Dokter bertanya. Baru saja ia datang. Tak lama setelah aku pura-pura terbangun dokter pun tiba. Pasti Mas Andri tak sabar ingin mengetahui kondisiku sebenarnya.Kulihat Maya masih mematung dengan wajah pucat. Tapi ia juga pasti percaya dengan sandiwaraku. Maka dari itu ia tak langsung pergi. Ia pasti sedang menyelidiki semua yang terjadi padaku."Seingat saya ...." Sengaja kupangkas kalimat. Sejenak kutatap Mas Andri, lalu kutatap Maya. Ketiga jari memegangi kening tanda aku masih merasa pusing. Saat kutatap Maya, wajahnya makin pucat saja. Mas Andri seperti menelan ludah melihatku yang tak henti menatap Maya. Namun tatapan ini bukan tatapan Amarah. Hanya tatapan menyelidik.Lalu kutatap Mas Andri lagi. Kini butiran keringat kecil mulai muncul di keningnya. Nafasnya pula naik turun tertahan. Dia
Bukan tak sakit harus bersandiwara seperti ini. Cintaku pada Mas Andri bukan sekedar cinta monyet kaum remaja. Tapi, cinta ini murni dari dalam hati dengan itikad menjalankan rumah tangga yang harmonis. Karena Allah.Dia yang sedari dulu kulabuhkan cinta, kini telah berkhianat. Amat sangat menusuk sanubari. Bukan sekedar mainan atau kebohongan belaka. Cinta suci ini telah ia nodai. Bahkan ingin ia nodai sampai ingin memusnahkan aku dari dunia ini. Setelah mendapatkan semua hartaku.Tidak.Kamu tak bisa lakukan itu, Mas. Kalian berdua amat menyakiti pikiran ini. Apalagi kudengar kalau aku akan segera kalian musnahkan. Pedih. Perih. Tubuh ini mengguncang hebat kala mendengar pembicaraan kejimu itu. Aku seperti benalu yang ingin kalian singkirkan sejak lama, mungkin. Tapi alasan harta dan tahta, itulah yang memperlambat laju kalian. Kalau itu cara kalian, aku juga puny
DisangkaMasih Hilang IngatanDeg!"Kemana dana ini di luncurkan? Hah?" Rudi kutatapi dengan nanar. Wajahnya amat pucat. Bahkan makin pucat."Em, a-anu, Bu, pak Andri. Pak Andri yang pakai uang itu. Saya tak tahu untuk apa. Yang pasti saya hanya di perintah saja," jawabnya gagap. Amat ketakutan.Aku geram. Geram sekali padanya. Pada Rudi dan juga pada Mas Andri."Kamu masih ingin bekerja?" tanyaku. Biar kuberi dia harapan."Mau, Bu, saya masih sangat mau bekerja disini. Tolong Ibu jangan pecat saya." Dia meringis. Bahkan memohon-mohon.Mulai kuatur nafas ini, meskipun sulit, tapi aku berusaha. Heurkh. "Oke, siapa yang barusan kamu telepon?" tanyaku.Dia diam. Perlahan dengan penuh tekanan mulai angkat bicara. "Ta-tadi, pak Andri, Bu," jawabnya ketakutan. Dasar tukang adu.
"Nah, Sayang, ini adalah hunian yang aku belikan buat kamu. Untuk istriku tercinta. Taraaa!" Mas Andri membawaku ke sebuah apartemen yang mewah dan megah. Dengan desain baru yang pengerjaannya baru selesai beberapa bulan yang lalu.Aku amat terkejut. Bukan karena bahagia, tapi karena dia akan berikan apartemen mewah ini tadinya untuk wanita yang kini ikut bersama kami. Jangan harap."Ya ampun, Mas. Ini bagus banget. Kamu memang pria yang paaaaling sempurna. Kamu mapan, kamu juga sayang istri." Aku memujinya habis-habisan di depan Maya pula. Karena Maya ikut. Mas Andri yang mengusulkan."Gimana? Kamu suka?" tanya Mas Andri sembari melayangkan kedua lengan tanda aku harus mengagumi pemberiannya.Maya seperti ikut bahagia. Tapi tetap saja, aku melihat tatapan kesal di netranya. Amat lekat. Dia sedang bersandiwara. Pastinya, karena Mas
___________"Jadi Ibu, Ibu mertua saya?" Mertuaku langsung kaget setengah mati kala kalimat itu muncul dari indra pengecap ini.Kulihat wajahnya syok tapi ada raut gembira. Pastinya, selama ini mereka hidup pas-pasan, sudah kuduga, ada niat menggelitik dibalik kedatangannya.Ia meraih kedua bahuku. "A-Aurel, ini Ibu. Bu Lasmi, Ibu mertua kamu. Kamu beneran gak inget? Ibu dapat kabar dari Andri, dan dia yang suruh Ibu buat datang kesini, dan juga suruh urus kamu," kata ibu mertuaku dengan kebahagaiaan histeris dibalik batinnya. Aku merasakan itu. Walaupun tatapanku polos, tapi ini adalah sebuah tatapan penyelidikan.Kening mengernyit dengan cepat."Aurel, kamu itu menantu Ibu. Kamu di persunting oleh anak Ibu yang tampan dan mapan. Kamu itu harus bangga." Seratus delapan puluh derajat ekspresi ibu mertua berubah. Raut bahagia mulai terpancar.