Bintaro~ Sebuah daerah yang jaraknya lumayan jauh dari kampus. Tiga mahasiswa pilihan Prof Gin itu berangkat untuk melakukan observasi sebagai bagian dari proyek mereka. Saat mereka melaju di jalan raya, angin sepoi-sepoi menyapa wajah mereka, memberikan sensasi yang menyenangkan seperti sedang melakukan perjalanan touring. "Gini dong sekali-sekali touring," ucap Dion setengah berteriak karena suaranya kalah dengan riuhnya jalan raya saat itu.Morgan, yang mengemudikan motornya sendirian menyatu dengan suasana jalan raya. Jonathan dan Dion yang berboncengan, juga menikmati pemandangan yang berlalu di sepanjang jalan. Mereka tertawa dan bercanda, menikmati kebersamaan dalam perjalanan ini. "Touring dari Hongkong? Observasi bukan touring," sahut Jon."Iya deh iya," "Eh pegangin hp ku dong terus nyalain kameranya,""Kamu mau ngevlog Jon?""Enggak,""La terus mau ngapain?""Mau ikutan trend di medsos. Yang itu lo Hi Kids! This your dad," "Ya jangan disini dong Jon bahaya,""Lah biar
Hari kedua~Pagi di perumahan di Bintaro itu terasa sejuk. Cahaya matahari pagi mulai merambah masuk ke jendela, memberikan sentuhan hangat di dalam kamar. Ketiganya bangun kesiangan setelah semalam begadang di ruang tamu perumahan yang mereka tempati untuk observasi. Tok...tok...Suasana masih terasa sepi ketika Morgan membuka mata setelah mendengar ketukan pelan di pintu. Dengan gerakan setengah sadar, ia beranjak dari tempat tidurnya dan mendekati pintu. Ceklek...Ketika pintu terbuka, tidak ada sosok manusia yang terlihat. Hanya ada sebuah plastik yang berisi tiga kotak makanan yang diletakkan dengan rapi di depan pintu. "Nggak di kos nggak disini ada aja yang iseng," ucap Morgan sambil melihat sekeliling. Morgan memandang plastik itu dengan sedikit kebingungan, mencari tahu siapa yang telah meninggalkan makanan tersebut. Sementara itu, Jonathan dan Dion masih terlelap di ruang tamu, belum menyadari aroma makanan itu. Sesaat sebelum Morgan melangkah masuk ke dalam, matanya te
Caffe "Black Vortex" di sudut kota ramai adalah tempat yang tak biasa untuk pertemuan gengnya Derren. Suasana di dalamnya penuh dengan asap rokok dan musik yang berdentum. Penerangan dari lampu-lampu gantung yang rendah menciptakan bayangan-bayangan misterius di antara dinding bata terbuka dan furnitur kayu tua. Kursi-kursi kulit merah tua dan sofa-sola tua melengkapi atmosfer yang nyaman dan elegan, bertentangan dengan keberadaan geng yang berada di sana. Derren, yang selalu tampil sebagai sosok pemimpin yang arogan, duduk di pojokan sebuah sofa besar. Rambutnya yang kusut dan sepasang mata yang tajam mencerminkan ambisiusnya dalam mendapatkan apa yang dia mau. "Gimana teror dan racun kemarin?" tanya Derren pada anak buahnya. "Terornya berhasil Ren. Tapi racunnya-""RACUNNYA KENAPA? Gagal?" "Iya Ren,"Derren berusaha menahan amarahnya. Dia berusaha tetap tenang tak seperti biasanya. "Oke itu artinya mereka masih ditakdirkan untuk sehat," ucap Derren. "Setelah ini rencana kamu a
"Udah setengah jam ni ko belum nyala sih,""Iya udah pegel nunggu,""Bisa nggak sih benerin,""Ganti yang lama aja. Rugi pakai jasa mereka,""Bener ganti aja,""Iya ganti aja,"Seruan ibu-ibu membuat Jonathan hampir kewalahan. Sementara Jon hanya mengandalkan sisa-sisa keberaniannya menghadapi ibu-ibu yang brutal menyerangnya. "Saya mohon harap tenang. Semua pasti akan kembali semula," ucap Jon. "Alaaaah bacot lu. Buktiin dong omongan lu," "Iya bener,""Buk, saya mohon beri kami waktu," "Udah mending kalian pergi aja. Nyampah aja disini,"Aksi dorong-dorongan akhirnya terjadi. Jon tak kuat menahan dorongan para emak-emak yang menginginkannya pergi dari sini. Begitu riuh suasana di perumahan sampai akhirnya tak ada yang menyadari kalau semua listrik di tiap unit telah menyala seperti sedia kala. Jaringan wifi pun tersambung secara otomatis ke setiap ponsel. Hingga perhatian ibu-ibu yang menjambak rambut Jon teralihkan pada tiap anak yang memegang ponsel dalam mode lanscape. Merek
Sinar mentari mulai menyusup masuk ke setiap celah. Ruangan yang semula gelap sekarang mulai diterangi oleh warna keemasan yang lembut. Tiga mahasiswa masih terlelap dalam tidur yang pulas, tak menyadari bahwa sudah waktunya bangun. Ketukan pintu yang ringan seperti alarm dadakan yang akhirnya membangunkan Morgan dari dunia mimpinya. Dia meraih ponsel di samping tempat tidur untuk melihat jam, tapi sebelum dia sempat melihat layar, pintu utama terbuka perlahan. Krieettt.. “Kok pintunya nggak dikunci,” ucap pria yang membuka pintu. Sosok pria bertubuh kekar dengan balutan jas hitam itu berhasil membuat mata Morgan terbuka seketika. "Prof Gin," ujarnya sembari membenarkan posisi duduknya. Sementara itu, dua temannya masih tertidur pulas dalam posisi tak teratur. "Prof, mohon maaf ee s--silahkan d-duduk," Morgan masih berusaha mengembalikan kesadarannya. Baginya ia masih berada dialam mimpi melihat dosen pembimbingnya datang kesini tanpa aba-aba. "Iya-Iya, santai aja," sahut Prof
"Ini KTP saya Prof," Lirikan pria paruh baya itu jatuh seketika pada benda kotak pipih yang berisikan identitas penduduk. "Morgan Junior? Bener?" tanya Prof Gin. "Benar Prof," sahut Morgan. Alangkah senangnya Morgan lantaran telah mengganti identitasnya jauh-jauh hari sebelum mendaftar kuliah. Dengan begitu sangat kecil kemungkinannya orang bisa tau siapa dirinya yang sebenarnya. "Kalau gitu, saya butuh ATM,"Ketiga mahasiswa itu mengangkat kepalanya secara serentak. Mulut mereka sedikit terbuka. Reaksi spontan itu menunjukkan keterkejutan. "Mohon maaf Prof, tapi---" Morgan mencoba menyangga. "Salah satu aja. Nggak usah semuanya. Lagian kalau kalian dapat uang DP masa mau kalian simpan di kos?" "Oh begitu Prof," sahut Morgan sembari menganggukkan kepala. Hal yang sama juga dilakukan oleh dua temannya. "Emang kamu pikir ATM buat apa?""Mohon maaf Prof. Mungkin Morgan terlalu fokus," Dion menyanggah."Jangan terlalu fokus. Santai aja. Sama tolong ya, kalau diluar kampus nggak
"Regina, maaf ya. Datar banget. Maaf ya Regina. Lah kebalik dong. Regina maafin aku ya. Etdah kesannya aku ngemis terus," Selama di perjalanan isi kepalanya menyusun kata-kata minta maaf yang tepat. Belasan tahun sekolah, rupanya tak berguna bila tak fasih mengucapkan kata itu. "Sorry ye? Regina sorry ya. Regina Sorry banget. Sorry ye Regina. Lah kenapa jadi kayak paslon nomer dua," Beginilah dampaknya kalau keseringan nonton debat sampai lupa cara minta maaf yang baik. Lagipula bukan masalah besar jika ia tidak minta maaf karena baginya yang terjadi kemarin hanya masalah paham. "Minta maaf aja susah banget. Lagian kemarin ngapain dia disitu. Kayak kurang kerjaan aja. Yang salah tetap dialah, endingnya mancing opiniku yang enggak-enggak," Terlepas dari itu, nyatanya semalam Morgan tak bisa tidur lantaran merasa bersalah. Hingga mengalahkan egonya untuk bertekad minta maaf pada wanita itu. Hanya lampu merah yang berhasil membuat ban butut itu berhenti menggelinding. Teriknya menta
03.40 WIB~Terpantau di dalam kost Morgan sedang menatap laptop dan membuka beberapa aplikasi pengedit desain. Matanya yang lelah tak menyurutkan niatnya untuk mempromosikan projeknya. Sering kali tidur yang seharusnya menjadi keharusan kini berubah menjadi pilihan. Menurutnya lebih baik tak tidur semalam daripada proyeknya tak kunjung direalisasikan. Biarpun beberapa kali menguap, kedua matanya masih kuat melek sampai beberapa menit ke depan. Tiap detail desain yang dibuat harus rapi, masa amburadul. Apa kata dunia. Kejauhan dah. Apa kata Prof Robert bila desain mereka ternyata amburadul. Untuk ke sekian kalinya bibirnya menguap. Beruntung desainnya selesai. Setelah mengirimkan hasil desain itu pada rekannya, Morgan mengistirahatkan kepalanya sejenak. Untuk bersandar di dinding kost yang usang. Tapi beribu cerita terukir disana. Sementara di sebuah grup pribadi berisi tiga anggota ramai sekali pesannya. [Dion : Proposalnya jangan lupa diprint ya @Jon][Jonathan : Iy²][Dion : @M