“Mas, jawab! Kenapa diam saja? Siapa Raka dan apa hubungan anak itu dengan Mas?” aku berteriak menanti penjelasan darinya. Suamiku nampak semakin gugup dan berkeringat. Aku perhatikan jakunnya naik turun tanda keresahan yang semakin tinggi. Bola matanya saja tidak berani menatapku. Aku tahu Mas Edwin pasti punya rahasia.
“Raka itu … sebenarnya … anak ….” Mas Edwin kembali mengusap wajahnya yang berkeringat dengan sapu tangannya. Sedangkan aku masih menanti lanjutan kalimat sampai mulutku setengah terbuka.“Apa, Mas? Kenapa gugup? Jawab saja siapa Raka?” tanyaku lagi yang terus menekannya. Jika sudah tak cinta, ingin sekali aku garuk wajah suamiku yang saat ini sangat menyebalkan.“Raka itu … mm … anak … anak angkat saya, Ria,” ucap Mas Edwin dengan terbata. Aku berjalan mendekat padanya dengan langkah pelan dan penuh penasaran. Lelaki itu, lagi-lagi membuang pandangannya dariku.“Aku tahu kamu jujur, Mas. Tapi coba katakana padaku, kenapa harus ada nama hidayat di belakang nama Raka? Apa kamu juga yang memberikannya?” “Kamu ini aneh! Pulang sana! seperti polisi sedang menginterogasi pencuri saja. Pekerjaanku masih banyak. Jadi tolong pulang!” Mas Edwin menunjuk pintu yang ada di samping kami saat ini. Satu hal yang baru sekali ini ia lakukan padaku. Yaitu mengusirku dari ruangannya. Sungguh keterlaluan.“Aku rasa tak ada yang salah dengan pertanyaanku, Mas? Kenapa ada nama Hidayat di belakang nama Raka?” tanyaku lagi sambil menekan suara. Menahan emosi yang membuat dadaku sangat sesak saat ini. Air mata masih dengan senang hati turun membasahi pipi. Aku pun bingung untuk apa aku mengisi lelaki di depanku yang kini sudah sangat berubah.Tiba-tiba saja Mas Edwin meraih tanganku, lalu ia bawa untuk ia kecup. Begitu dalam kami saling bertatapan dan kulihat sorot cinta yang terbaca dari dalam sana, masihlah sama. Sekali lagi dia mencium tanganku, lalu membawaku duduk di sofa. Aku hanya menurut saja, karena siang ini aku merasa tak begitu bertenaga. Kulteakkan bokongku di sofa empuk itu dengan tangan masih dalam genggamannya.“Sayang, kamu mau curiga apa? Kamu ‘kan tahu aku impoten. Apa kamu mencurigai Raka anakku? Sayang, tolong percaya aku ya. Raka anak temanku yang cukup dekat denganku dan ibu. Teman dari SMA sampai kuliah. Jadi, bagi ibu anak wanita itunadalah cucunya sendiri, dan aku pun begitu terhadap Raka,” terangnya dengan suara begitu lembut dan mendayu. Aku ingin melepas genggaman ini dari tangannya, tetapi tidak bisa. Mas Edwin memegangnya terlalu kuat.“Kamu harus percaya saya. Nama ayah Raka itu Hidayat dan aku mendaftarkan diri sebagai ayah sambung yang resmi dengan memakai nama Hidayat juga. Gak papa’kan?” ujarnya dengan penuh kelembutan. Kuberaniklan diri menatap bola matanya dengan tajam untuk beberapa saat. Lalu dengan pelan aku mengangguk. Mas Edwin membawaku ke dalam pelukannya, lalu membiarkan aku menangis untuk beberapa saat di dekapannya. Dada yang begitu hangat dan selalu ada untukku selama enam tahun ini. Kenapa aku jadi meragukannya?“Sudah, jangan menangis! Kamu harus sabar dan sedikit tahan emosi jika berhadapan dengan Raka ya. Anak itu tak pernah kenal dengan orang lain selain mamanya, ibu guru, dan juga aku sebagai ayahnya. Maafkan aku sudah membuatmu khawatir,” ujar Mas Edwin lagi menenangkan isakanku.Dua jam setelah semua masalah terurai, aku pun memilih pulang ke rumah saja. Mas Edwin masih ada rapat dan berkata akan pulang lebih larut dari biasanya. Kukendarai mobil dengan perasaan lebih tenang, setelah aku memutuskan untuk memaafkan dan melupakan kecurigaanku pada Mas Edwin. Mana mungkin suamiku punya anak di luar nikah? Sedangkan senjatanya tidak bisa bangun. Sebelum benar-benar sampai rumah, aku memutuskan untuk mampir di sebuah toko mainan besar. Aku berharap cara ini berhasil sedikit mendekatkanku pada Raka.Aku masuk ke toko mainan dan memilih beberapa mainan lego dan mobil dengan remot sebagai hadiah untuk Raka. Mulai hari ini aku putuskan untuk mendekatkan diri dengan anak angkatku dengan segala tingkah polahnya. Aku yakin, dia pasti akan sangat senang dengan lima hadiah yang aku berikan. Setelah membayar semua belanjaanku dengan kartu kredit Mas Edwin, aku pun kembali mengendarai mobilku menuju rumah. Pintu pagar sedikit terbuka dan aku menekan klaskon mobil beberapa kali. Sepertinya ada tamu. Ah, iya. Aku baru saja teringat dengan guru les Raka yang mulai hari ini dan seterusnya mengajarkan Raka pelajaran sekolah.“Mang, ada tamu ya?” tanyaku pada Mang Dirman begitu aku keluar dari mobil. Sebuah motor Ho**a Scoo** terparkir manis di dekat mobil baruku.“Guru les Den Raka, Non. Baru lima belas menit,” jawab Mang Dirman sambil tersenyum. Aku pun mengangguk paham, lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Tak lupa kuucapkan salam sebelum kaki kananku menapak di lantai ruang tamu.“Assalamuaalaykum,” seruku. Namun, tak kulihat ada siapapun di sana. hanya sepasang sepatu sandal milik seorang wanita yang aku yakin adalah kepunyaan guru les Raka. Di mana semua orang? Tanyaku dalam hati. Kakiku melangkah ke dapur untuk mengambil segelas air dan memasukkan ke dalam tenggorokanku yang kering. Karena terlalu lebay menangis saat di kantor Mas Edwin, aku sampai lupa untuk membasahi tenggorokanku.Aku berjalan ke ruang belakang, tempat Bik Isa biasa menyetrika. Benar saja, wanita setengah baya itu tengah menggoyangkan pinggulnya ke nana dan ke kiri, mengikuti irama musik yang berasal dari ponselnya. Aku pun berbalik untuk masuk ke kamarku, tetapi kaki ini malah membawa melangkah menuju kamar Raka. Paling tidak, ia harus berkenalan dulu dengan guru anaknya, agar dapat berkomunikasi seputar perkembangan Raka dalam mengikuti pelajaran.Tok!Tok!Klek!Kutekan knop pintu, lalu membuka pintu itu dengan lebar. Dua pasang mata menatap ke arahku dengan kaget. Aku pun sama. Lalu, dengan membuat mimik wajah sewajar mungkin, aku tersenyum ramah, lalu berjalan masuk ke dalam kamar tanpa menutup pintu terlebih dahulu.“Halo, sore, Bu. Saya mama Raka. Perkenalkan nama saya, Maria. Biasa dipanggil Maria,” ucapku memperkenalkan diri sembari mengulurkan tangan untuk berjabat. Wanita itu pun ikut tersenyum manis dan menyambut uluran tanganku.“Saya Mila, guru les Raka sejak masih TK,” ucapnya memperkenalkan diri. Satu hal yang kutangkap dari wanita berkerudung dengan wajah manis ini. Suaranya begitu lembut dan sangat terlihat sebagai guru yang penuh kelembutan.“Saya tinggal sebentar ya, Bu Mila. Saya baru saja dari luar. Nanti kita bicara lagi. oh iya, Raka. Mama punya hadiah mainan untuk Raka, tetapi setelah belajar nanti bukanya ya,” kataku pada anak lelaki tampan itu. raka menoleh pada Bu Mila, lalu dengan instruksi gerakan kepala wanita itu, Raka pun kembali menoleh padaku. “Terima kasih, Tante,” ucapnya sambil tersenyum tipis. Tak apa, begini saja sudah lebih baik. Aku pun membalas senyuman Raka, lalu bergegas meninggalkan kamarnya untuk segera masuk ke kamarku.Aku pun mandi dan melakukan hal yang merilekskan tubuhku. Mulai dari menggunting kuku, mengeringkan rambut, membaca majalah, hingga tak terasa aku pun ketiduran. Aku membuka mata, saat tiba-tiba seperti ada yang membangunkan.“Loh, Mas, kok udah pulang?” tanyaku sambil berusaha duduk di tengah rasa lemas seluruh persendianku. Lelaki itu berjalan menjauh, lalu membuka bajunya satu per satu.“Kamu harusnya lihat langit di luar sana. masih terang atau sudah gelap,” katanya sembari menertawakanku. Bergegas kau turun dari ranjang, lalu mengintip dari balik jendela. Ya Tuhan, lagit sudah gelap sekali. Kulihat jam di dinding, lalu angka tujuh tertera di sana.“Ya ampun, Mas. Aku terlewat salat Ashar dan magrib,” kataku sambil menggaruk rambut yang tidak gatal. “Ya sudah, sana wudu! Aku mau segera mandi,” katanya lagi dengan tubuh bagian bawahnya terlilit handuk. Aku berjalan mendekat, lalu memeluknya dengan sangat agresif. Ya Tuhan, terkadang aku mengutuk diri sendiri kenapa sangat mesum pada Mas Edwin.“Ada apa?” tanyanya sambil mencoba melepas pelukanku.“Aku mau kamu, Mas,” rengekku manja.“Jangan mulai, Ria. Kamu tahu aku gak bisa,” jawabnya sambil memutar bola mata malas.“Mas, mm … kan dia gak bisa gagah gitu ya, Mas? Mmm … kalau dikasih air keras, bisa keras gak?”“Hah?! Apa?”Bersambung
Aku keluar kamar dengan langkah gontai. Mas Edwin lagi-lagi menolakku dengan ketusnya. Sekeras apapun aku berusaha mencobanya, sekeras itu pula ia menolakku. Sudahlah, sepertinya mengisi perut terlebih dahulu lebih baik. Setelah itu baru aku memberikan banyak mainan yang sudah kubeli pada Raka. Suara canda tawa dari ruang makan membuat indera pendengaranku terusik. Itu bukanlah suara Bik Isah. Kuambil langkah lebar agar bisa lebih cepat sampai di ruang makan.Mila;guru les Raka masih ada di ruang makanku sedang bercanda dengan anak lelaki itu. aku berjalan mendekat. “Wah, maaf Bu. Tadi saya ketiduran. Sampai lupa kalau ada Bu Mila,” ujarku berbasa-basi sambil menarik kursi tepat di depan wanita itu.“Gak papa, Bu. Maaf juga saya masih di sini, soalnya belum boleh pulang sama Raka,” sahutnya sambil mengusap rambut anak lelaki itu.“Oh, Raka … Bu Mila harus pulang. Ini sudah malam. Kasian keluarga
Aku merasa seperti sedang bermimpi, sampai menyadari bahwa ini adalah sebuah kenyataan pahit yang harus aku telan dalam pernikahanku. Apa yang dilakukan Mas Edwin saat ini sudah kelewat batas dan aku harus bergerak cepat sebelum hal lebih buruk dari ini terjadi dalam rumah tanggaku. Semakin jam berputar cepat, semakin aku khawatir akan suamiku yang sudah cukup larut, tetapi belum juga pulang. Hal pertama yang aku lakukan adalah mencoba menghubungi nomor ponselnya. Sial! Ponsel itu bordering dari atas meja. Nampaknya Mas Edwin melupakan ponselnya.Seketika aku menemukan ide. Segera aku turun dari ranjang, lalu meraih ponsel itu. Kutekan nomor yang biasa suamiku pakai sebagai pin ponselnya. Namun sayang, sepertinya Mas Edwin sudah mengganti pin ponselnya. Aku semakin gusar dengan mengacak-ngacak rambutku yang panjangnya sudah sebahu. Aku berjalan mondar-mandir di dalam kamar sembil menggigit kuku ibu jari karena rasa gugup sekaligus khawatir. &ld
"Jika kamu merasa berat dengan keadaan kamu yang masih perawan sampai saat ini, aku mengijinkanmu poliandri." Ria melotot mendengar ucapan suaminya. Secepat kilat ia duduk, lalu menarik tangan baju piyama Edwin."Mas, maksud kamu apa? Aku kamu suruh punya suami dua? Suami satu aja aku ngurus otaknya aja belum benar! Mikir dong, Mas! Jangan asal bicara. Memangnya istri kamu ini pelacur, bisa digilir seenaknya!" cecarku tak terima. Lelaki itu pun mendengkus kesal, lalu duduk sejajar denganku sambil berwajah masam. Ia mengacak-acak rambutnya dengan kuat."Jadi mau kamu apa, Ria? Bicara yang jelas. Jangan bertele-tele," katanya lagi padaku sambil melotot."Aku mau kamu berobat dan aku mau Bu Mila tidak perlu tinggal di sini. Dia bisa tetap kos di tempat lain. Aku gak suka ada wanita lain di rumah ini, selain Bik Isah dan aku, Mas!""Kamu egois! Dua-duanya maumu takkan aku penuhi. Aku tidak mau ke dokter dan aku tidak mau mengusir Bu Mi
Mobil Mas Edwin baru saja meninggalkan pekarangan rumah. Suamiku itu ke kantor sambil mengantar Raka ke sekolah, sekaligus menumpangi Bu Mila sampai di TK-nya. Sungguh pemandangan yang sangat manis dan harmonis antara ibu, anak, dan ayahnya. Jika ada orang yang melihat sekilas, tentulah takkan ada yang tahu, bahwa ketiganya orang yang tak memiliki garis keturunan sedarah.Aku mengintip dengan jengah dari jendela kamar. Beberapa foto sudah aku dapatkan saat mereka sarapan pagi bersama sambil bercengkrama, dan juga foto manis saat memasuki mobil barusan. Yah, buat jaga-jaga saja, siapa tahu suatu saat foto ini aku butuhkan.Mang Dirman segera menutup pintu pagar, lalu kembali ke pos jaganya. Suamiku yang paling anti menggunakan mobil ke kantor, pagi ini mendadak bersembangat. Apakah ia berniat untuk menikahi guru les Raka? Mau dia buka perawannya pakai apa? Tang? Martil? Mesin bor? Sungguh lucu suamiku ini. Aku terus saja bermonolog dengan gemas sekaligus kesal
"Terserah, kalau kamu mau ribut di sini, mari kita selesaikan di sini," ucapku dengan menahan geram. Kami semua, termasuk wanita yang bersama suamiku berada di ruang kepala sekolah. Keributan yang sengaja kubuat karena kesal bercampur amarah, telah mengakibatkan kami bertiga digiring ke kantor kepala sekolah.Aku tak ingin berdamai. Walau berkali-kali suamiku mengatakan bahwa aku salah paham. Tak mungkin aku jelaskan semua duduk persoalan pada pihak sekolah Raka'kan? Bisa malu lelaki itu jika mulut ini tak tahan untuk meneriakinya suami tak tahu diuntung."Kamu salah paham, Ria?" katanya lagi sambil memelas di depan wajahku. Namun aku bergeming, sengaja kubuang muka agar tak melihat wajah dramanya. Aku tahu ini semua hanya lakon saja. Begitu sampai di rumah bisa dipastikan pipiku merah terkena tamparannya."Begini, berhubung ini masalah rumah tangga, sebaiknya Bapak dan Ibu menyelesaikan di rumah saja. Tidak baik dan tak b
Aku menangis sejak kepergian Mas Edwin. Lelaki yang aku nikahi dengan dasar cinta sama cinta. Kami memadu kasih layaknya kebanyakan orang. Tidak terlalu intim, tidak juga renggang. Setahun saling mengenal membuat kami berkomitmen untuk meneruskan hubungan ke jenjang yang lebih serius. Aku mengetahui teman-temannya. Aku juga mengetahui lingkungan kerjanya yang saat itu sudah menjabat seorang manager di sebuah hotel bintang lima Jakarta.Dia lelaki baik, royal, dan bertanggung jawab. Meskipun jarang bersikap romantis, tetapi aku tahu lelaki itu mencintaiku. Sehingga aku berani mengangguk setuju saat Mas Edwin mengajakku menikah. Tak ada kecurigaan terlalu berlebihan terhadap lelaki itu, karena memang aku mengenal cukup baik semuanya. Termasuk keluarga besarnya.Namun kini yang terjadi di depan mataku, sebuah kenyataan yang tak pernah ada dalam benakku sebelumnya. Begitu banyak yang terjadi dalam beberapa hari ini. Bumi tempatku berpihak seak
Pagi ini, Bik Isah kembali muntah-muntah setelah membuka bungkusan yang ternyata berisi cacing. Tepatnya ulat bulu. Karena kaget, Bik Isah meneriakinya cacing. Bahkan kotak itu terlepas dari tangannya karena sangat geli dan jijik dengan banyaknya ulat bulu di dalam kotak.Aku pun berteriak histeria hingga Mang Dirman datang dan menyemprotkan ratusan ulat bulu itu dengan cairan pembunuh serangga. Aku berlari masuk ke dalam kamar, sedangkan Bik Isah muntah-muntah hingga tak bisa bangun lagi."Mang, ayo bawa Bik Isah ke dokter," seruku pada lelaki yang kini tengah menyiram tanamanku. Mang Dirman menoleh, kemudian mengangguk, lalu menangkap kunci mobil yang aku lemparkan ke tangannya.Selagi Mang Dirman memanaskan mobil, aku pun bersiap dengan memakai pakaian sederhana, tanpa make up. Kedua mataku masih bengkak, sisa menangis semalam. Hanya pelembab dan juga lipglos yang kuoles tipis.Mang Dirman sudah membawa
POV EdwinBenar-benar Ria mengerikan. Rekeningku dikuras habis olehnya. Hanya tersisa beberapa ratus ribu saja di dalamnya. Hal inilah yang membuatku merasa begitu kesal dan kecewa. Saat melapor pada ibu, bukannya dibela, aku malah disalahkan karena sudah mempercayai semua harta bendaku atas nama Maria. Aku pun tak bisa menyanggah karena ibu tak tahu keadaanku saat ini. Jika aku jujur, maka tamatlah riwayatku sebagai anak. Masalah Raka aku pun belum berani jujur. Sungguh hidup yang dipenuhi kebohongan kecil, ternyata akan mendatangkan kebohongan-kebohongan lainnya.“Jadi, malam ini kalian semua tidur di rumah ibu?” tanya ibuku dengan suara terdengar keberatan.“Iya, Bu. Besok, saya akan cari kontrakan untuk tinggal bersama Raka,” jawabku dengan lemas.“Trus, siapa yang menjaga Raka? Bu Mila? Apa Bu Mila bersedia menjadi