Share

12. Air Keras

“Mas, jawab! Kenapa diam saja?  Siapa Raka dan apa hubungan anak itu dengan Mas?” aku berteriak menanti penjelasan darinya. Suamiku nampak semakin gugup dan berkeringat. Aku perhatikan jakunnya naik turun tanda keresahan yang semakin tinggi. Bola matanya saja tidak berani menatapku. Aku tahu Mas Edwin pasti punya rahasia.

“Raka itu … sebenarnya … anak ….” Mas Edwin kembali mengusap wajahnya yang berkeringat dengan sapu tangannya. Sedangkan aku masih menanti lanjutan kalimat sampai mulutku setengah terbuka.

“Apa, Mas? Kenapa gugup? Jawab saja siapa Raka?” tanyaku lagi yang terus menekannya. Jika sudah tak cinta, ingin sekali aku garuk wajah suamiku yang saat ini sangat menyebalkan.

“Raka itu … mm … anak … anak angkat saya, Ria,” ucap Mas Edwin dengan terbata. Aku berjalan mendekat padanya dengan langkah pelan dan penuh penasaran. Lelaki itu, lagi-lagi membuang pandangannya dariku.

“Aku tahu kamu jujur, Mas. Tapi coba katakana padaku, kenapa harus ada nama hidayat di belakang nama Raka? Apa kamu juga yang memberikannya?” 

“Kamu ini aneh! Pulang sana! seperti polisi sedang menginterogasi pencuri saja. Pekerjaanku masih banyak. Jadi tolong pulang!” Mas Edwin menunjuk pintu yang ada di samping kami saat ini. Satu hal yang baru sekali ini ia lakukan padaku. Yaitu mengusirku dari ruangannya. Sungguh keterlaluan.

“Aku rasa tak ada yang salah dengan pertanyaanku, Mas? Kenapa ada nama Hidayat di belakang nama Raka?” tanyaku lagi sambil menekan suara. Menahan emosi yang membuat dadaku sangat sesak saat ini. Air mata masih dengan senang hati turun membasahi pipi. Aku pun bingung untuk apa aku mengisi lelaki di depanku yang kini sudah sangat berubah.

Tiba-tiba saja Mas Edwin meraih tanganku, lalu ia bawa untuk ia kecup. Begitu dalam kami saling bertatapan dan kulihat sorot cinta yang terbaca dari dalam sana, masihlah sama. Sekali lagi dia mencium tanganku, lalu membawaku duduk di sofa. Aku hanya menurut saja, karena siang ini aku merasa tak begitu bertenaga. Kulteakkan bokongku di sofa empuk itu dengan tangan masih dalam genggamannya.

“Sayang, kamu mau curiga apa? Kamu ‘kan tahu aku impoten. Apa kamu mencurigai Raka anakku? Sayang, tolong percaya aku ya. Raka anak temanku yang cukup dekat denganku dan ibu. Teman dari SMA sampai kuliah. Jadi, bagi ibu anak wanita itunadalah cucunya sendiri, dan aku pun begitu terhadap Raka,” terangnya dengan suara begitu lembut dan mendayu. Aku ingin melepas genggaman ini dari tangannya, tetapi tidak bisa. Mas Edwin memegangnya terlalu kuat.

“Kamu harus percaya saya. Nama ayah Raka itu Hidayat dan aku mendaftarkan diri sebagai ayah sambung yang resmi dengan memakai nama Hidayat juga. Gak papa’kan?” ujarnya dengan penuh kelembutan. Kuberaniklan diri menatap bola matanya dengan tajam untuk beberapa saat. Lalu dengan pelan aku mengangguk. Mas Edwin membawaku ke dalam pelukannya, lalu membiarkan aku menangis untuk beberapa saat di dekapannya. Dada yang begitu hangat dan selalu ada untukku selama enam tahun ini. Kenapa aku jadi meragukannya?

“Sudah, jangan menangis! Kamu harus sabar dan sedikit tahan emosi jika berhadapan dengan Raka ya. Anak itu tak pernah kenal dengan orang lain selain mamanya, ibu guru, dan juga aku sebagai ayahnya. Maafkan aku sudah membuatmu khawatir,” ujar Mas Edwin lagi menenangkan isakanku.

Dua jam setelah semua masalah terurai, aku pun memilih pulang ke rumah saja. Mas Edwin masih ada rapat dan berkata akan pulang lebih larut dari biasanya. Kukendarai mobil dengan perasaan lebih tenang, setelah aku memutuskan untuk memaafkan dan melupakan kecurigaanku pada Mas Edwin. Mana mungkin suamiku punya anak di luar nikah? Sedangkan senjatanya tidak bisa bangun. Sebelum benar-benar sampai rumah, aku memutuskan untuk mampir di sebuah toko mainan besar. Aku berharap cara ini berhasil sedikit mendekatkanku pada Raka.

Aku masuk ke toko mainan dan memilih beberapa mainan lego dan mobil dengan remot sebagai hadiah untuk Raka. Mulai hari ini aku putuskan untuk mendekatkan diri dengan anak angkatku dengan segala tingkah polahnya. Aku yakin, dia pasti akan sangat senang dengan lima hadiah yang aku berikan. 

Setelah membayar semua belanjaanku dengan kartu kredit Mas Edwin, aku pun kembali mengendarai mobilku menuju rumah. Pintu pagar sedikit terbuka dan aku menekan klaskon mobil beberapa kali. Sepertinya ada tamu. Ah, iya. Aku baru saja teringat dengan guru les Raka yang mulai hari ini dan seterusnya mengajarkan Raka pelajaran sekolah.

“Mang, ada tamu ya?” tanyaku pada Mang Dirman begitu aku keluar dari mobil. Sebuah motor Ho**a Scoo** terparkir manis di dekat mobil baruku.

“Guru les Den Raka, Non. Baru lima belas menit,” jawab Mang Dirman sambil tersenyum. Aku pun mengangguk paham, lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Tak lupa kuucapkan salam sebelum kaki kananku menapak di lantai ruang tamu.

“Assalamuaalaykum,” seruku. Namun, tak kulihat ada siapapun di sana. hanya sepasang sepatu sandal milik seorang wanita yang aku yakin adalah kepunyaan guru les Raka. Di mana semua orang? Tanyaku dalam hati. Kakiku melangkah ke dapur untuk mengambil segelas air dan memasukkan ke dalam tenggorokanku yang kering. Karena terlalu lebay menangis saat di kantor Mas Edwin, aku sampai lupa untuk membasahi tenggorokanku.

Aku berjalan ke ruang belakang, tempat Bik Isa biasa menyetrika. Benar saja, wanita setengah baya itu tengah menggoyangkan pinggulnya ke nana dan ke kiri, mengikuti irama musik yang berasal dari ponselnya. Aku pun berbalik untuk masuk ke kamarku, tetapi kaki ini malah membawa melangkah menuju kamar Raka. Paling tidak, ia harus berkenalan dulu dengan guru anaknya, agar dapat berkomunikasi seputar perkembangan Raka dalam mengikuti pelajaran.

Tok!

Tok!

Klek!

Kutekan knop pintu, lalu membuka pintu itu dengan lebar. Dua pasang mata menatap ke arahku dengan kaget. Aku pun sama. Lalu, dengan membuat mimik wajah sewajar mungkin, aku tersenyum ramah, lalu berjalan masuk ke dalam kamar tanpa menutup pintu terlebih dahulu.

“Halo, sore, Bu. Saya mama Raka. Perkenalkan nama saya, Maria. Biasa dipanggil Maria,” ucapku memperkenalkan diri sembari mengulurkan tangan untuk berjabat. Wanita itu pun ikut tersenyum manis dan menyambut uluran tanganku.

“Saya Mila, guru les Raka sejak masih TK,” ucapnya memperkenalkan diri. Satu hal yang kutangkap dari wanita berkerudung dengan wajah manis ini. Suaranya begitu lembut dan sangat terlihat sebagai guru yang penuh kelembutan.

“Saya tinggal sebentar ya, Bu Mila. Saya baru saja dari luar. Nanti kita bicara lagi. oh iya, Raka. Mama punya hadiah mainan untuk Raka, tetapi setelah belajar nanti bukanya ya,” kataku pada anak lelaki tampan itu. raka menoleh pada Bu Mila, lalu dengan instruksi gerakan kepala wanita itu, Raka pun kembali menoleh padaku. “Terima kasih, Tante,” ucapnya sambil tersenyum tipis. Tak apa, begini saja sudah lebih baik. Aku pun membalas senyuman Raka, lalu bergegas meninggalkan kamarnya untuk segera masuk ke kamarku.

Aku pun mandi dan melakukan hal yang merilekskan tubuhku. Mulai dari menggunting kuku, mengeringkan rambut, membaca majalah, hingga tak terasa aku pun ketiduran. Aku membuka mata, saat tiba-tiba seperti ada yang membangunkan.

“Loh, Mas, kok udah pulang?” tanyaku sambil berusaha duduk di tengah rasa lemas seluruh persendianku. Lelaki itu berjalan menjauh, lalu membuka bajunya satu per satu.

“Kamu harusnya lihat langit di luar sana. masih terang atau sudah gelap,” katanya sembari menertawakanku. Bergegas kau turun dari ranjang, lalu mengintip dari balik jendela. Ya Tuhan, lagit sudah gelap sekali. Kulihat jam di dinding, lalu angka tujuh tertera di sana.

“Ya ampun, Mas. Aku terlewat salat Ashar dan magrib,” kataku sambil menggaruk rambut yang tidak gatal. 

“Ya sudah, sana wudu! Aku mau segera mandi,” katanya lagi dengan tubuh bagian bawahnya terlilit handuk. Aku berjalan mendekat, lalu memeluknya dengan sangat agresif. Ya Tuhan, terkadang aku mengutuk diri sendiri kenapa sangat mesum pada Mas Edwin.

“Ada apa?” tanyanya sambil mencoba melepas pelukanku.

“Aku mau kamu, Mas,” rengekku manja.

“Jangan mulai, Ria. Kamu tahu aku gak bisa,” jawabnya sambil memutar bola mata malas.

“Mas, mm … kan dia gak bisa gagah gitu ya, Mas? Mmm … kalau dikasih air keras, bisa keras gak?”

“Hah?! Apa?”

Bersambung

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Mencurigakan sangat mencurigakan. 1. Pas lg tlp tiba2 putusin tlp 2. Jelas2 dia gugup menjawab pertanyaan sampe keringatan seperti itu pasti ada hal lain dh
goodnovel comment avatar
Raisha Naya Ayatulhusna
kasih air keras z biar nyaho
goodnovel comment avatar
Raisha Naya Ayatulhusna
ko bisa ya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status