Home / Urban / Enam Tahun Tanpa Malam Pertama / 11. Apa Hubungan Edwin dan Raka

Share

11. Apa Hubungan Edwin dan Raka

last update Last Updated: 2021-06-11 17:45:55

Aku mencoba menenangkan hatiku yang panas. Pemaparan data siswa yang diberitahukan oleh petugas administrasi sekolah tadi, sangat membuatku syok dan sakit kepala. Suamiku impoten. Senjatanya tidak bisa bangun. Jadi, bagaimana bisa ada namanya di data orang tua Raka, dan kenapa juga nama anak lelaki itu sama seperti suaminya. Hidayat; adalah nama keluarga dari Mas Edwin. Raka anak angkat dan tidak mungkin langsung secepat itu menyematkan nama keluarga di belakang namanya.

Ini adalah sebuah teka-teki yang harus segera aku temukan jawabannya dari suamiku. Tak mungkin aku bertanya pada anak sekecil Raka. Walau aku tahu ia anak yang cerdas, ia pasti bisa menjawab dengan jujur apa yang akan aku tanyakan, tetapi tidak akan baik bagi kondisi hatinya saat ini.

“Bagaimana sekolah hari ini, Raka?” tanyaku saat kami sudah berada di dalam mobil menuju jalan pulang.

“Baik. Ada PR matematika,” jawabnya singkat dan padat. Kepalanya sama sekali tidak menoleh ke arahku, melainkan fokus menatap jalanan padat di depan sana.

“Oh … bisa tidak mengerjakan PR-nya?” tanyaku lagi berbasa-basi dan kali ini ia menoleh cepat ke arahku dengan tatapan sulit aku artikan.

“Kata papa ada guru les nanti sore. Jadi PR-nya akan dibantu guru les,” jawabnya lagi dengan sorot mata tajam.

“Oh, begitu. Ya sudah. Kalau Raka cape, tidur saja! Perjalanan kita masih panjang karena macet,” ucapku sambil mengusap kepalanya dengan lembut. Namun sayang, anak lelaki itu seperti tak nyaman. Ia buru-buru menghindar dari sapuan tangangku. 

Oke, satu lagi kesalahan suamiku. Tidak bicara apapun perihal ini semua. Mulai dari data siswa sampai soal guru les yang akan datang ke rumah. Otakku tak cukup kuat untuk memikirkan ini semua. Begitu banyak hal yang dilakukan Mas Edwin diluar pengetahuanku dan itu takkan baik untuk hubungan kami sebagai suami istri.

Saat berhenti di lampu merah, lekas kuambil ponsel untuk mengirim pesan pada suamiku. Pesanku di awal saja belum juga ia balas, hanya dibaca saja. Kepalaku benar-benar berasap saat ini. 

“Aku mau ke kantor, Mas.”

Isi pesan yang akan aku kirimkan pada Mas Edwin, kuhapus. Aku akan langsung saja mendatanginya ke kantor. Takkan tenang aku bernapas sebelum suamiku itu mengatakan ada apa sebenarnya dengan semua ini.

“Raka, sebelum tinggal di rumah Tante, tinggalnya di mana?” tanyaku dengan suara sangat lembut. 

“Ya di rumah, Tante. Masa di hutan,” jawaban anak kelas satu Sekolah Dasar yang mampu membuatku diam tak berkutik. Benar-benar akan menjadi sebuah masalah, jika Raka terus bersikap ketus seperti ini padaku. Jika untuk beberapa waktu aku bisa bersabar, tetapi berjanji di lain hari akan sesabar ini menghadapi Raka.

Tak ada pembicaraan lagi setelah ini. Aku diam seribu Bahasa, sedangkan Raka pun nampaknya sudah terlelap karena kelelahan. Sungguh anak yang sangat tampan dengan kulit bersih dan bulu mata lentiknya. Hanya saja jika bicara begitu ketus dan sangat tajam. Ah, melihat sikap Raka mengingatkanku pada sikap ibu mertuaku yang sama persis. Sepertinya Raka akan lebih cocok tinggal bersama ibu daripada bersamaku.

Mobil berhenti di depan pagar rumahku. Mang Dirman sudah berdiri menunggu di depan pagar, bersiap menggendong Raka yang masih terlelap untuk dibawa masuk ke dalam rumah. Lelaki itu mengnagguk tanda menyapaku, lalu membuka pintu mobil dengan sigap.

“Kalau raka tidak mau makan sendiri, minta Bik Isa suapi ya, Mang. Saya ada urusan sebentar. Oh iya, nanti sore aka nada tamu—guru les Raka. Ijinkan masuk ya. Namanya nanti akan saya infokan,” kataku berpesan pada Mang Dirman.

“Baik, Non. Ada lagi?” tanyanya.

“Tidak, itu saja,” jawabku sambil tersenyum tipis. Begitu Mang Dirman menutup pintu mobil, aku pun melesat pergi menuju kantor Mas Edwin.

Perjalanan hari senin sangat membuatku lelah. Ditambah lagi tadi aku belum sempat makan siang. Kusempatkan mampir di sebuah restoran soto untuk menyantap makan siangku yang hampir saja terlewat. Makanan yang masuk ke dalam mulutku masih terasa hambar. Itu tandanya aku memang sedang tidak baik-baik saja. Namun, aku tetap harus makan agar aku tidak sakit dan kuat menghadapi kenyataan yang akan kudengar dari Mas Edwin sebentar lagi.

Masuk ke lobi parkir kantor, aku sempat bertemu dengan beberapa karyawannnya yang kebetulan aku kenal. Mereka menyapaku ramah dan sangat bersahabat. Aku pun menyambut sapaan mereka dan tentu saja dengan senyuman. Di tanganku sudah membawa paper bag berisi beberapa roti yang sengaja aku beli untuk Mas Edwin.

“Pak Edwinnnya ada gak, Lasmi?” aku bertanya pada sekretarisnya.

“Eh, Ibu. Apa kabar, Bu? Pak Edwin ada di ruangannya. Baru saja kembali dari meeting,” jawab Lasmi sambil mempersilakan aku langsung saja masuk.

“Terima kasih Lasmi,” ucapku sambil tersenyum. Dengan langkah tegap dan mengatur napas yang mulai memburu, aku menekan knop pintu ruangan suamiku.

“Mas,” panggilku. Lelaki itu sepertinya sedang menelepon seseorang. Ia menoleh dan melihatku bagaikan melihat hantu. Dengan sedikit gugup, ia buru-buru mematikan ponselnya.

“Loh, ada apa Ria? Kenapa kamu ke sini?” tanyanya yang membuatku semakin keheranan. Aku tak menyahut. Kakiku mendekat pada mejanya, lalu membebaskan bokongku mendarat di kursi kebangsaannya.

“Kenapa kamu gak balas pesanku, Mas?”

“Aku meeting. Baru ini pegang HP,” jawabnya sambil memutar bola mata malasnya.

"Oke. Terus, sekarang apa jawaban kamu atas pertanyaan aku, Mas?" tanyaku sambil menatapnya tajam. Tak kubiarkan mataku berkedip sedetik pun dari memperhatikan mimik wajahnya yang terlihat canggung.

"Pertanyaan yang mana? Tadi aku hanya membacanya sekilas," katanya lagi sambil berpura-pura sibuk melihat ponselnya.

"Baca lagi kalau begitu," balasku tak mau menyerah. Aku berjanji takkan pulang ke rumah sebelum mendengar pengakuan dari suamiku sendiri.

Bulir keringat mulai muncul di dahinya. Berkali-kali ia menyeka keringat dengan tangannya. Lalu melirik sekilas ke arahku.

"Kenapa bisa nama kamu ada di data orang tua dari Raka? Dan kenapa nama kamu ada di belakang namanya? Dan kenapa kamu tidak cerita, bahwa Raka sudah dari Januari kamu daftarkan sekolah di sana? Jawab jujur dan jangan mengelak, Mas," cecarku dengan suara bergetar. 

Sungguh saat ini hatiku begitu sakit atas kenyataan yang aku dapati hari ini tentang Raka. Namun aku tak boleh cengeng di depan Mas Edwin. Aku kuat dan tak boleh kalah dengan lelaki itu.

"Pikiran kamu itu terlalu sempit. Namanya Hidayat itu bukan cuma aku. Ada jutaan nama Hidayat. Lalu atas dasar apa kamu heran dan mempertanyakannya?" tanyanya balik menyerang logikaku.

"Tapi Mas, yang namanya Edwin Prakasa Hidayat, aku rasa hanya kamu saja. Jangan bohong!" kali ini suaraku meninggi. Mas Edwin terlonjak saat aku berteriak di depannya dengan air mata yang sudah mengalir deras di pipiku.

Lelaki itu diam dan semakin resah. Ia memijat keningnya yang berair dengan kuat. Aku tahu dia sedang memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaanku ini. Aku tahu ia akan menyiapkan alasan yang pas agar masuk ke dalam otakku.

"Mas! Jawab! Kenapa diam? Siapa Raka? Dan apa hubungannya denganmu?!"

"Sebenarnya ... Itu ... Raka ... Raka ...."

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Enam Tahun Tanpa Malam Pertama   95. Malam Pertama

    Edisi Malam Jumat"Wajahmu mengerikan sekali." Zamir menatap sinis Rena yang masih mendekam dalam penjara. Hari ini adalah tahun keenam ia dihukum. Masih ada empat tahun lagi yang harus ia lewati di dalam penjara untuk membayar semua perbuatannya yang telah merugikan banyak orang, sekaligus melakukan tindakan hampir membunuh seseorang dengan sengaja."Kalau lu kemari cuma mau mengejek gue, sebaiknya lu pergi aja!" Rena bangun dari duduknya dan bermaksud meninggalkan Zamir. Lelaki teman tidurnya sekaligus lelaki yang membuat semua rencananya yang hampir menguasai harta Erlan berhasil."Raka menikah hari ini. Pestanya sangat meriah. Apa kau tidak ingin lihat, bagaimana kebahagiaan kembali padanya? Heh, wanita yang pernah ia nikahi, kembali menjadi istri sahnya dan kau tahu, dia akan menjadi salah satu penerus keluarga Teja Corp. Ah, satu lagi ... Erlan juga

  • Enam Tahun Tanpa Malam Pertama   94. Pernikahan Siwi dan Raka

    PTM 48Hari pernikahan besar antara Siwi dan Raka digelar di sebuah hotel bintang tiga milik Teja yang baru saja sebulan resmi beroperasi. Berlangsung di ballroom yang cukup megah dan luas, pasangan Siwi dan Raka-lah yang pertama kali menggunakan tempat itu sebagai lokasi sakral mengucapkan janji suci pernikahan. Ruangan yang dengan kapasitas menampung maksimal kurang lebih seribu lima ratus orang. Namun tidak perlu khawatir dengan kapasitas maksimum itu, karena tamu dijamin tidak akan berdesakan dan penuh karena area foyer dari ballroom ini sangat luas.Ada yang menarik dari acara pernikahan anak pemilik hotel baru di Jakarta ini, tidak adanya pelaminan megah, tempat tamu memberikan doa dan selamat. Lalu di mana kedua pengangtin itu akan duduk? Siwi dan Raka memiliki konsep bahwa mereka yang akan berkeliling menyambut tamu yang datang. Kenapa tidak ada pelaminan dalam sebuah pesta pernikahan? Bukankah pelaminan itu hal wajib dalam sebuah pe

  • Enam Tahun Tanpa Malam Pertama   93. Pesta Ulang Tahun Ayumi

    6 Tahun KemudianHari Sabtu yang begitu dinantikan oleh anggota keluarga besar Teja dan Ria pun tiba. Hari yang akan dilangsungkannya pesta ulang tahun Ayumi; cucu mereka yang telah berusia delapan tahun.Pesta digelar dengan meriah di dalam rumah Teja yang baru saja selesai direnovasi. Yah, setali tiga uang. Sambil mengadakan pesta ulang tahun, Teja juga mengadakan syukuran acara rumah barunya yang semakin bagus dan mewah. Ada beberapa tamu artis dan petinggi yang datang memberikan selamat.Pesta yang digelar di dalam ruangan, tetapi juga tamu dipersilakan untuk menikmati pemandangan luar rumah yang sangat asri. Teja berhasil mendesign rumahnya dengan ide dan sesuai keinginannya sendiri. Begitu melihat hasilnya, ia sangat puas.Semua tamu yang datang ke rumahnya tentu saja membawa banyak kado untuk Ayumi. Gadis kecilnya yang semakin hari semakin cantik d

  • Enam Tahun Tanpa Malam Pertama   92. Ketuk Palu Hakim Pengadilan

    Rena terus saja menggaruk tubuhnya yang terasa sangat gatal. Tidak hanya di kedua kaki dan tangan, Rena juga mengalami rasa gatal di leher dan juga wajahnya. Entah apa yang terjadi sehingga tahanan lain tidak mau satu sel dengan Rena, karena amat jijik dengan bau busuk serta kudis yang muncul di permukaan kulit wanita itu.Seorang dokter sudah didatangkan untuk memeriksa Rena dan ia pun sudah diberikan salap dan juga obat yang harus diminum sehari tiga kalia agar rasa gatalnya hilang. Namun sangat disayangkan, wanita itu masih terus menggrauk seluruh tubuhnya. Jangankan tahanan lain, sipir penjara dan pengacaranya saja tidak sanggup duduk berlama-lama di dekat karena karena bau bangkai seperti bangkai tikus tercium hidung mereka. Rena pun hampir frustasi dengan keadaannya yang sangat menyedihkan. Tidak ada siapapun yang bisa menoleongnya, karena kedua orang tuanya juga masuk ke dalam penjara, karena kasus penggelapan

  • Enam Tahun Tanpa Malam Pertama   91. Permintaan Siwi

    PTM 44Kondisi kesehatan Evan berangsur pulih. Polisi menjadwalkan reka ulang kejadian esok hari. Kepada pihak kepolisian, Evan sudah mengakui kesalahannya atas penyekapan berencana bersama tiga orang pria suruhannya. Semua itu ia lakukan karena sakit hati—merasa dipermainkan oleh Siwi. Jejak ciuman Siwi dengan Raka yang nampak di matanya, membuat lelaki itu buta dan nekat melakukan kejahatan yang belum pernah ia lakukan.Erlan pun sudah mulai pulih, tetapi masih dirawat di rumah sakit, karena kepalanya masih sering sakit. Lelaki itu belum mengetahui perihal pengakuan Evan dan Rena yang sudah mendekam di jeruji besi. Pak Sulis yang meminta pada pihak kepolisian untuk menahan diri memberitahukan apapun pada Erlan, karena Erlan memiliki riwayat penyakit jantung.“Siapa kamu?” tanya Erlan pada wanita bertubuh semok yang tengah duduk termenung di sofa kamar perawatannya. Wanita itu menoleh, lalu dengan sigap be

  • Enam Tahun Tanpa Malam Pertama   90. Tertangkap

    Siwi terbangun berjam-jam berikutnya. Sinar matahari pagi yang masuk ke kamar perawatannya, membuat Siwi merasakan matanya sedikit silau. Setelah matanya dapat menatap jelas langit-langit kamar, Siwi pun merenggangkan ototnya yang kaku. Kulitnya terasa tertarik dan begitu kebas karena tangannya terlalu lama diikat pada sisi tempat tidur.Jika kemarin ia belum terlalu merasa ya nyeri di sekujur tubuhnya, tapi pagi ini tubuhnya terasa sangat sakit. Siwi menoleh ke samping, tepatnya ke arah sofa. Papa dan mamanya tengah terbaring dengan lelap. Entah pukul berapa mereka baru tidur setelah menjaganya semalaman. Jam di dinding sudah menunjukkan angka sembilan dan Siwi mulai merasakan cacing di dalam perutnya melakukan orasi.Siwi ingin bangun setengah duduk untuk mengambil air, tetapi tubuhnya tidak mampu digerakkan. Kali ini ia meringis saat merasakan nyeri pada pinggang dan juga pangkal lengan. Merasa ada pergerakan dari brangkar putriny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status