Share

11. Apa Hubungan Edwin dan Raka

Aku mencoba menenangkan hatiku yang panas. Pemaparan data siswa yang diberitahukan oleh petugas administrasi sekolah tadi, sangat membuatku syok dan sakit kepala. Suamiku impoten. Senjatanya tidak bisa bangun. Jadi, bagaimana bisa ada namanya di data orang tua Raka, dan kenapa juga nama anak lelaki itu sama seperti suaminya. Hidayat; adalah nama keluarga dari Mas Edwin. Raka anak angkat dan tidak mungkin langsung secepat itu menyematkan nama keluarga di belakang namanya.

Ini adalah sebuah teka-teki yang harus segera aku temukan jawabannya dari suamiku. Tak mungkin aku bertanya pada anak sekecil Raka. Walau aku tahu ia anak yang cerdas, ia pasti bisa menjawab dengan jujur apa yang akan aku tanyakan, tetapi tidak akan baik bagi kondisi hatinya saat ini.

“Bagaimana sekolah hari ini, Raka?” tanyaku saat kami sudah berada di dalam mobil menuju jalan pulang.

“Baik. Ada PR matematika,” jawabnya singkat dan padat. Kepalanya sama sekali tidak menoleh ke arahku, melainkan fokus menatap jalanan padat di depan sana.

“Oh … bisa tidak mengerjakan PR-nya?” tanyaku lagi berbasa-basi dan kali ini ia menoleh cepat ke arahku dengan tatapan sulit aku artikan.

“Kata papa ada guru les nanti sore. Jadi PR-nya akan dibantu guru les,” jawabnya lagi dengan sorot mata tajam.

“Oh, begitu. Ya sudah. Kalau Raka cape, tidur saja! Perjalanan kita masih panjang karena macet,” ucapku sambil mengusap kepalanya dengan lembut. Namun sayang, anak lelaki itu seperti tak nyaman. Ia buru-buru menghindar dari sapuan tangangku. 

Oke, satu lagi kesalahan suamiku. Tidak bicara apapun perihal ini semua. Mulai dari data siswa sampai soal guru les yang akan datang ke rumah. Otakku tak cukup kuat untuk memikirkan ini semua. Begitu banyak hal yang dilakukan Mas Edwin diluar pengetahuanku dan itu takkan baik untuk hubungan kami sebagai suami istri.

Saat berhenti di lampu merah, lekas kuambil ponsel untuk mengirim pesan pada suamiku. Pesanku di awal saja belum juga ia balas, hanya dibaca saja. Kepalaku benar-benar berasap saat ini. 

“Aku mau ke kantor, Mas.”

Isi pesan yang akan aku kirimkan pada Mas Edwin, kuhapus. Aku akan langsung saja mendatanginya ke kantor. Takkan tenang aku bernapas sebelum suamiku itu mengatakan ada apa sebenarnya dengan semua ini.

“Raka, sebelum tinggal di rumah Tante, tinggalnya di mana?” tanyaku dengan suara sangat lembut. 

“Ya di rumah, Tante. Masa di hutan,” jawaban anak kelas satu Sekolah Dasar yang mampu membuatku diam tak berkutik. Benar-benar akan menjadi sebuah masalah, jika Raka terus bersikap ketus seperti ini padaku. Jika untuk beberapa waktu aku bisa bersabar, tetapi berjanji di lain hari akan sesabar ini menghadapi Raka.

Tak ada pembicaraan lagi setelah ini. Aku diam seribu Bahasa, sedangkan Raka pun nampaknya sudah terlelap karena kelelahan. Sungguh anak yang sangat tampan dengan kulit bersih dan bulu mata lentiknya. Hanya saja jika bicara begitu ketus dan sangat tajam. Ah, melihat sikap Raka mengingatkanku pada sikap ibu mertuaku yang sama persis. Sepertinya Raka akan lebih cocok tinggal bersama ibu daripada bersamaku.

Mobil berhenti di depan pagar rumahku. Mang Dirman sudah berdiri menunggu di depan pagar, bersiap menggendong Raka yang masih terlelap untuk dibawa masuk ke dalam rumah. Lelaki itu mengnagguk tanda menyapaku, lalu membuka pintu mobil dengan sigap.

“Kalau raka tidak mau makan sendiri, minta Bik Isa suapi ya, Mang. Saya ada urusan sebentar. Oh iya, nanti sore aka nada tamu—guru les Raka. Ijinkan masuk ya. Namanya nanti akan saya infokan,” kataku berpesan pada Mang Dirman.

“Baik, Non. Ada lagi?” tanyanya.

“Tidak, itu saja,” jawabku sambil tersenyum tipis. Begitu Mang Dirman menutup pintu mobil, aku pun melesat pergi menuju kantor Mas Edwin.

Perjalanan hari senin sangat membuatku lelah. Ditambah lagi tadi aku belum sempat makan siang. Kusempatkan mampir di sebuah restoran soto untuk menyantap makan siangku yang hampir saja terlewat. Makanan yang masuk ke dalam mulutku masih terasa hambar. Itu tandanya aku memang sedang tidak baik-baik saja. Namun, aku tetap harus makan agar aku tidak sakit dan kuat menghadapi kenyataan yang akan kudengar dari Mas Edwin sebentar lagi.

Masuk ke lobi parkir kantor, aku sempat bertemu dengan beberapa karyawannnya yang kebetulan aku kenal. Mereka menyapaku ramah dan sangat bersahabat. Aku pun menyambut sapaan mereka dan tentu saja dengan senyuman. Di tanganku sudah membawa paper bag berisi beberapa roti yang sengaja aku beli untuk Mas Edwin.

“Pak Edwinnnya ada gak, Lasmi?” aku bertanya pada sekretarisnya.

“Eh, Ibu. Apa kabar, Bu? Pak Edwin ada di ruangannya. Baru saja kembali dari meeting,” jawab Lasmi sambil mempersilakan aku langsung saja masuk.

“Terima kasih Lasmi,” ucapku sambil tersenyum. Dengan langkah tegap dan mengatur napas yang mulai memburu, aku menekan knop pintu ruangan suamiku.

“Mas,” panggilku. Lelaki itu sepertinya sedang menelepon seseorang. Ia menoleh dan melihatku bagaikan melihat hantu. Dengan sedikit gugup, ia buru-buru mematikan ponselnya.

“Loh, ada apa Ria? Kenapa kamu ke sini?” tanyanya yang membuatku semakin keheranan. Aku tak menyahut. Kakiku mendekat pada mejanya, lalu membebaskan bokongku mendarat di kursi kebangsaannya.

“Kenapa kamu gak balas pesanku, Mas?”

“Aku meeting. Baru ini pegang HP,” jawabnya sambil memutar bola mata malasnya.

"Oke. Terus, sekarang apa jawaban kamu atas pertanyaan aku, Mas?" tanyaku sambil menatapnya tajam. Tak kubiarkan mataku berkedip sedetik pun dari memperhatikan mimik wajahnya yang terlihat canggung.

"Pertanyaan yang mana? Tadi aku hanya membacanya sekilas," katanya lagi sambil berpura-pura sibuk melihat ponselnya.

"Baca lagi kalau begitu," balasku tak mau menyerah. Aku berjanji takkan pulang ke rumah sebelum mendengar pengakuan dari suamiku sendiri.

Bulir keringat mulai muncul di dahinya. Berkali-kali ia menyeka keringat dengan tangannya. Lalu melirik sekilas ke arahku.

"Kenapa bisa nama kamu ada di data orang tua dari Raka? Dan kenapa nama kamu ada di belakang namanya? Dan kenapa kamu tidak cerita, bahwa Raka sudah dari Januari kamu daftarkan sekolah di sana? Jawab jujur dan jangan mengelak, Mas," cecarku dengan suara bergetar. 

Sungguh saat ini hatiku begitu sakit atas kenyataan yang aku dapati hari ini tentang Raka. Namun aku tak boleh cengeng di depan Mas Edwin. Aku kuat dan tak boleh kalah dengan lelaki itu.

"Pikiran kamu itu terlalu sempit. Namanya Hidayat itu bukan cuma aku. Ada jutaan nama Hidayat. Lalu atas dasar apa kamu heran dan mempertanyakannya?" tanyanya balik menyerang logikaku.

"Tapi Mas, yang namanya Edwin Prakasa Hidayat, aku rasa hanya kamu saja. Jangan bohong!" kali ini suaraku meninggi. Mas Edwin terlonjak saat aku berteriak di depannya dengan air mata yang sudah mengalir deras di pipiku.

Lelaki itu diam dan semakin resah. Ia memijat keningnya yang berair dengan kuat. Aku tahu dia sedang memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaanku ini. Aku tahu ia akan menyiapkan alasan yang pas agar masuk ke dalam otakku.

"Mas! Jawab! Kenapa diam? Siapa Raka? Dan apa hubungannya denganmu?!"

"Sebenarnya ... Itu ... Raka ... Raka ...."

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status