Makasih banyak dukungan man teman semua. luv you all.
“Aku sudah ada di luar rumahmu. Keluar sekarang juga.” Lydia menggeram kesal ketika telepon dari Reino itu terputus tiba-tiba. Padahal baru sekitar sejam dia berada di rumahnya, tapi Reino sudah menjemput saja. Ini gara-gara Lydia harus mengelabui Clarissa. Ya. Perjalanan itu nyatanya memakan waktu lebih dua jam. Dan membuat Lydia yang sebenarnya kelelahan makin lelah saja. Mana di rumah dia juga tidak istirahat karena harus menemani ibunya. “Ma. Sepertinya Lydia sudah harus balik lagi deh,” seru Lydia dengan wajah cemberut. “Eh? Secepat ini?” tanya Liani juga ikutan cemberut. “Mau diapa lagi. Namanya juga masih kerja. Nanti kalau ada waktu dan dapat izin, Lydia pasti mampir lagi kok.” Mau tidak mau, Liani harus merelakan putri kesayangannya pergi bekerja lagi. Andaikata dia masih bisa bekerja, Liani pasti akan memastikan Lydia keluar dari pekerjaannya. Dia kurang suka putrinya harus bekerja keras, sampai menginap di rumah orang. “Bos kamu baik juga ya. Tiap kali pasti dijempu
Akhirnya berakhir sudah masa menginap di rumah orang tua Reino. Lydia berada di sana tepat seminggu, sesuai dengan yang dijanjikan Reino padanya. Dan Lydia mensyukuri hal ini Hanya satu yang membuat Lydia merasa aneh. Rasanya Reino sedikit berubah. Pria itu jadi lebih banyak menghindarinya. Lydia tidak tahu ada apa, tapi itulah yang dia rasakan. Dan rupanya bukan hanya Lydia saja yang merasa seperti itu. Tuti pun merasa kalau Reino menghindar dan makin terlihat dingin. ‘Lagi tengkar ya, Bu?’ tanya Tuti beberapa jam lalu. Dan karena penasaran, Lydia berniat untuk mencari tahu. Apa pun yang terjadi, dia harus tahu alasan Reino menghindarinya. Lydia sama sekali tidak suka dengan keadaan ini. “Pak, ini berkas yang harus ditanda tangani,” sahut Lydia memberikan berkasnya pada Reino. “Taruh saja di meja,” perintah Reino tanpa mendonggak. Rei
“Sebenarnya aku salah apa sih?” tanya Lydia dengan suara isak tangis yang tak bisa dibendungnya. Sekarang bahkan belum jam pulang kerja, tapi Lydia sudah pulang duluan. Dia tidak peduli lagi dengan Reino. Mau dipecat, potong gaji atau apa pun itu, Lydia hanya ingin segera pulang. Lydia yang tidak punya kegiatan lain, kemudian mengajak para sahabatnya untuk bertemu. Dan untungnya semua sedang punya waktu untuk ngumpul. “Emang kau diapaiin sih?” tanya Erika prihatin sekali dengan keadaan Lydia. Seumur-umur, tiga orang itu belum pernah melihat Lydia menangis. Karena itu ketika Lydia menelepon sambil terisak, mereka semua meluangkan waktu untuk menemani sahabat mereka itu. Dan karena Cinta agak sulit keluar rumah, mereka memilih untuk berkumpul di apatemen ibu hamil itu. “Polar Bear Sialan itu,” seru Lydia dengan suara cukup keras. “Dia menghindariku.” “Terus?” t
“SIALAN.” “Woi, jangan banting ponselku.” Kaisar segera mengambil ponselnya dari tangan Reino. Itu adalah satu dari sedikit barang berharga yang dia punya, jadi tidak boleh rusak sama sekali. “Sialan. Coba telepon lagi pacarmu itu,” hardik Reino tidak terima teleponnya diputus sepihak. “Dari pada urus perempuan, mending kau urus dulu investasimu ke perusahaanku,” jawab Kaisar menjauhkan ponselnya dari jangkauan Reino. “Dasar teman tidak berguna. Tidak hal lain apa di otakmu selain uang?” tanya Reino terlihat sangat kesal. “Tentu saja ada Erika di otakku selain uang. Masalahnya kenapa tidak pakai ponselmu sendiri?” Reino menggeram marah. Andai Lydia mau menerima teleponnya, dia tidak akan meminjam ponsel orang lain. Dan kalau bukan karena si brengsek Viktor itu, dia tidak akan sepanik ini. Ya. Pengakuan Viktor yang men
Demi apa pun juga, Lydia tidak pernah berpikir kalau dirinya akan mengalami hal yang seperti di film-film. Apalagi dirinya ini hanyalah rakyat jelata. Dia sama sekali bukan orang kaya atau orang terkenal. Jadi ketika dia tiba-tiba dibekap dan dibawa masuk ke dalam mobil, Lydia sungguh terkejut dan tidak percaya.kenapa harus dirinya yang jadi korban penculikan? “Pak. Saya ini hanya orang biasa saja. Bukan orang kaya atau terkenal,” pekik Lydia sedikit gemetar. Yeah. Siapa pun pasti akan merasa takut dan gemetaran disituasi seperti ini kan? Apalagi pria-pria yang menculiknya ini berwajah seram. Hanya orang tidak waras yang tidak merasa takut. “Pak. Sumpah, saya inibukan siapa-siapa yang pantas diculika,” seru Lydia sudah ingin menangis. “Bos. Kita gak salah nyulik orang kan?” salah seorang penculik itu bertanya. “Mana. Coba kulihat ulang dulu fotonya,” si Bos menjawab, seraya mengeluarkan ponselnya. Si Bos ini membuka aplikasi pesan dan melihat ulang foto yang dikirimkan padanya.
Lydia tidak tahu dia dibawa ke mana. Matanya tidak ditutup, tapi otaknya tidak bisa mengingat jalan mana saja yang dia lalui. Intinya dia dibawa cukup jauh. Mungkin sekitar dua jam lebih perjalanan. Itu pun tempat mereka berhenti hanyalah rumah kecil yang tidak berpenghuni. Ponsel Lydia juga diambil dan sekarang hari sudah malam. Berulang kali Lydia membasahi bibirnya yang kering. Dia sedari tadi tidak diberikan minum, apalagi makan. Tubuh Lydia yang tidak makan sedari siang sekarang menjadi lemas dan perutnya terasa mual. Udara ruangan yang agak panas pun membuatnya makin dehidrasi. “Pak. Apa gak ada makanan atau minuman? Saya bisa sakit kalau dibiarkan kelaparan,” seru Lydia dengan suara lemah. Orang yang menjaga Lydia hanya melirik sinis, kemudian kembali menatap ponselnya. Dari suaranya sih, sepertinya orang itu sedang bermain game. Lydia ingin sekali merebut ponsel orang itu, tapi jelas itu mustahil. Tangan dan ka
“Pak. Kami sudah berhasil melacak lokasi mobil itu dari pantauan CCTV,” beritahu Hadi setelah dia menerima laporan. Reino tidak memberi tanggapan karena tahu Hadi belum selesai bicara. Dia menunggu, sambil melirik pengawal merangkap asistennya itu dengan mata menyipit tajam. “Lokasinya kurang lebih hampir tiga jam perjalanan darat. Untuk menghemat waktu, kami sudah meminta heli. Sekitar dua puluh lima menit lagi sudah siap di heli pad yang ada di atas pabrik.” “Dua puluh lima menit?” teriak Reino makin marah saja. “Bisa lebih lama dari itu?” “Maaf, Pak. Butuh persiapan untuk menerbangkan helikopter, dua puluh lima menit adalah waktu yang sangat cepat.” “Brengsek.” Reino menendang tempat sampah yang ada di dekatnya, membuat isinya berantakan. Seberantakkan dirinya sendiri. Sejak melihat sendiri kejadian penculikan Lydia, Reino memang terlihat berantakan. Bukan hanya penampilannya, tapi juga emosinya. Apalagi dia dibuat menunggu cukup lama sampai akhirnya Hadi menemukan posisi
Lydia langsung menangis begitu melihat Reino datang. Wajah seram dan pistol yang mengacung, tidak membuatnya takut. Sebaliknya, Lydia merasa senang. “Pak.” Suara Hadi disertai suara tembakan membuat Lydia terlonjak. Rupanya Hadi berhasil menyelamatkan Rudi Wibisono dari kemungkinan cacat seumur hidup dengan mengarahkan pistol Reino ke atas. “Lepas brengsek,” gertak Reino marah. “Pak. Menembak sembarangan bisa membuat Bu Lydia jadi korban,” nasihat Hadi. Dalam keadaan kalut seperti ini Hadi saja bingung dengan panggilannya pada Lydia, apalagi Reino. Pria itu tidak memperhatikan kalau Lydia berada tepat di belakang Rudi. Meleset sedikit saja, bisa jadi wanita itu yang kena. Berhasil mendapatkan kembali kewarasannya, Reino mendorong Hadi dengan sikunya. Kemudian pistol itu diserahkan pada Hadi. Reino tidak mau kehilangan kendali dan asal menembak.