Senja ini hujan tiada berhenti. Semenjak pulang dari Martha Hall, Nesia memilih untuk berdiam diri di rumah sambil bersiap diri untuk menunggu kedatangan Vino dengan sedikit rasa khawatir karena hujan masih saja turun meski tidak begitu deras.
Yang membuat Nesia khawatir adalah karena malam ini Vino berniat mengajak Nesia ke rumahnya untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. Memperkenalkan bahwa Nesia adalah kekasihnya.
“Bang, tapi aku khawatir jika harus ke rumahmu,” kata Nesia tadi pagi dengan nada keberatan ketika Vino mengutarakan niatnya. Ketika itu, Vino sedang menjemput kemudian mengantar Nesia menuju ke tempat kerjanya sebagai pegawai kebersihan di Martha Hall.
“Nes, apa yang membuatmu khawatir?” tanya Vino sedikit tersenyum.
“Aku belum siap jika mereka tidak menerima kehadiranku. Abang tahu, kan, siapa aku dan bagaimana latar belakangku?” tanya Nesia penuh permohonan.
Vino tersenyum.
“Abang tahu. Dan kamu juga tahu, kan, bahwa Abang tak pernah mempermasalahkan apapun mengenai semua itu?” tanya Vino menatap Nesia, mencoba meyakinkan gadis itu bahwa hubungan mereka akan baik-baik saja.
“Aku tahu Abang bisa menerima semuanya. Tapi bagaimana dengan mereka? Bagaimana dengan keluarga Abang?” tanya Nesia.
Vino terdiam sesaat.
“Tapi kita tidak bisa selamanya berhubungan sembunyi-sembunyi seperti ini, kan, Nes? Cepat atau lambat kita harus memberitahu ayah sama ibu bahwa Abang sudah punya gadis yang Abang cintai dan mencintai Abang. Kamu tahu, aku ingin kita segera menikah agar kamu tidak bekerja lagi di sini,” ujar Vino.
Nesia terkejut.
“Apakah menurut Abang pekerjaanku ini hina?” tanya Nesia dengan hati-hati.
“Tidak! Tentu saja tidak begitu. Hanya saja bekerja di sini terlalu berat untukmu. Nanti, setelah kita menikah, Abang tidak akan membiarkanmu berada di sini lagi. Tugas kamu hanya mengurus rumah dan Abang. Selebihnya, biarkan semua tanggung jawab mencari uang ada di tangan Abang.” Vino memberikan harapan besar pada Nesia.
Nesia tersenyum mendengar kalimat yang diucapkan oleh Vino. Kemudian gadis itu mengangguk setuju dengan ajakan Vino untuk menemui orang tuanya.
Namun hingga senja sudah mulai habis dan hari berganti malam, hujan tak juga reda. Pun dengan Vino yang berjanji akan datang, sudah setengah jam berlalu namun laki-laki itu tidak juga menampakkan batang hidungnya.
“Nungguin siapa, Nes?” tanya Tita ketika melihat Nesia duduk dengan gelisah di ruang tamu rumah kontrakan itu.
Nesia tersenyum.
“Nungguin Vino. Kamu tumben pulang lambat, Ta?” tanya Nesia untuk menutupi hatinya yang resah.
Tita tersenyum.
“Iya, tadi ada nyonya Sandra dan bu Dina yang tiba-tiba datang mengajak makan siang,” jawab Tita kemudian meletakkan sepatu kerjanya di rak sepatu.
“Nyonya Sandra? Siapa dia?” tanya Nesia.
“Tantenya bu Dina. Aku masuk dulu, ya?” ujar Tita yang kemudian masuk ke kamarnya yang terletak di bagian belakang.
Nesia kembali gelisah sendirian menunggu hujan reda. Hingga sepuluh menit kemudian, ketika Nesia hampir menyerah menunggu kedatangan Vino, sebuah mobil terlihat memasuki halaman kontrakan ini.
Nesia masih menunggu dan senyumnya tersungging ketika melihat bahwa yang datang adalah Vino, lelaki yang menjalin hubungan dengannya selama dua tahun belakangan ini.
“Maaf, Nes. Hujannya nggak reda-reda, jadi Abang terlambat,” ujar Vino ketika dia tiba di hadapan Nesia yang menyambutnya dengan wajah penuh rasa menyesal karena membuat Vino seperti ini.
“Seharusnya Abang tidak perlu nekat seperti ini kalau hujan. Kan bisa lain hari,” ujar Nesia dengan sabar sambil mengulurkan handuk yang tadi diambilnya begitu Vino tiba.
Lelaki muda itu menerima handuk itu untuk mengeringkan rambutnya yang sedikit basah.
“Nggak apa-apa. Abang sudah janji sama kamu, jadi Abang harus menepatinya. Lagian Abang tak mau menunda lagi,” kata Vino yang menyerahkan kembali handuk kecil itu pada Nesia.
“Nanti kalau Abang sakit bagaimana?” tanya Nesia lagi.
Vino tersenyum. “Laki-laki tidak apa-apa kalau sakit. Kita berangkat sekarang?” tanya Vino yang dijawab dengan anggukan oleh Nesia.
Keduanya berangkat ke rumah Vino meski hujan belum juga reda. Sepanjang perjalanan, Nesia lebih banyak diam. Pikirannya berkecamuk oleh banyak hal yang mengganggu pikirannya. Bahkan beberapa pertanyaan Vino tidak dia jawab karena dia sedang melamun.
Jantung Nesia yang sejak tadi tidak tenang, kini semakin berdegup semakin kencang ketika mobil yang dikendarai Vino memasuki halaman rumah Vino yang cukup besar. Ketika hendak turun, Nesia ragu. Dia takut akan ditolak oleh keluarga Vino meskipun laki-laki itu berusaha meyakinkan dirinya bahwa keluarganya pasti akan baik-baik saja dengan keadaannya.
“Masuk, yuk!” ajak Vino mengulurkan tangannya pada Nesia.
Sejenak, Nesia ragu. Namun, beberapa saat kemudian dia menyambut uluran tangan Vino dan mengikuti langkah lelaki itu memasuki rumahnya.
“Tunggu di sini sebentar, ya?” kata Vino menyuruh Nesia menunggu di ruang tamu kemudian dia masuk, mungkin mencari orang tuanya.
Benar saja, tak berapa lama kemudian Vino datang lagi. Kali ini dengan seorang perempuan setengah baya yang berwajah kurang ramah. Bahkan menatap Nesia dengan sorot mata meneliti. Seketika Nesia berdiri dan mengangguk pada perempuan itu dengan senyum yang disetel ramah.
“Kenalin, Bu. Ini Nesia, teman dekatku yang kemarin aku bilang sama Ibu. Dan Nes, ini ibuku,” Vino memperkenalkan kedua perempuan itu.
“Selamat malam, Tante,” ucap Nesia mengangguk dan mengulurkan tangannya hendak meminta menjabat tangan ibunya Vino.
Namun naas, uluran tangan Nesia sama sekali tidak bersambut. Perempuan itu membiarkan tangan Nesia menggantung, sehingga Nesia menjadi canggung dan menarik kembali tangannya dengan malu. Sementara Vino yang melihat kecanggungan ini segera mendekati Nesia dan mengajaknya duduk.
“Jadi kamu yang namanya Nesia?” seorang perempuan dengan pakaian yang cukup rapi, menatap Nesia yang menunduk dengan canggung karena merasa diintimidasi.
Nesia mengangguk dengan jantung yang menggelepar tak karuan.
“Orang tuamu berasal dari mana? Atau sedang bekerja di mana? Perusahaan? Memiliki usaha sendiri? Atau … mungkin orang biasa atau malah seorang buruh?” tanya bu Tuti, perempuan yang sejak tadi mengintimidasi Nesia itu dengan sinis.
“Bu, mengapa bertanya seperti itu?” tanya Vino, laki-laki yang duduk di dekat Nesia dengan canggung juga.
“Vin, apa ibu salah bertanya? Selama ini kamu selalu memujinya bahwa dia perempuan yang cantik dan berbudi pekerti, kan?” bu Tuti menatap tajam mata Vino.
“Tapi, Bu?” Vino hendak mencegah kalimat selanjutnya.
“Saya yatim piatu, Bu,” kata Nesia mendongak, menatap mata bu Tuti dengan keberanian yang mengejutkan.
Jangankan bu Tuti, bahkan Vino juga terkejut mendengar jawaban spontan Nesia yang diucapkan tanpa ragu sama sekali itu.
“Nes?” seru Vino menatap Nesia.
“Yatim piatu?” tanya bu Tuti dengan mata melebar.
Nesia mengangguk.
“Ya, saya yatim piatu yang sejak kecil tinggal di panti asuhan.” Nesia menjawab dengan tegas dan penuh rasa percaya diri.
“Nes?” Vino kembali berseru hendak mencegah Nesia bicara lebih lanjut.
Gadis itu menoleh, menatap Vino dengan senyum yang menyejukkan, membuat Vino langsung diserang rasa bersalah yang luar biasa.
“Tidak apa-apa, Bang. Aku tidak ingin berbohong karena sesuatu yang dimulai dengan kebohongan tidak akan berlangsung baik,” kata Nesia dengan lembut.
Bu Tuti mencibir kalimat Nesia.
“Vin? Jadi ini perempuan yang selalu kamu bilang cantik dan baik itu? Yang ternyata tidak lebih dari seorang anak yatim piatu yang tidak jelas asal usulnya?” tanya bu Tuti dengan sinis.
“Bu? Tapi Nesia baik,” sergah Vino.
“Memangnya kenapa kalau dia baik? Kamu keberatan dengan omongan Ibu? Dengar, ya, Vin. Sekali-sekali Ibu tidak akan pernah menerima perempuan yang tak jelas asal usulnya ini sebagai menantu Ibu. Titik!” tegas bu Tuti kemudian bergegas masuk kembali ke dalam, meninggalkan Vino dan Nesia yang terhempas seketika oleh penghinaan bu Tuti.
Ya, ketakutan Nesia selama ini menjadi kenyataan. Pikiran Nesia seketika kosong, seolah kehilangan orientasinya.
“Nes? Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Vino ketika dilihatnya Nesia termangu.
Gadis itu masih terdiam.
“Nes? Jawab Abang, Nes!”
***
Nesia memang sudah pulang dari rumah sakit dan sepertinya keadaan baik-baik saja. Lukas yang melihatnya kini berubah ikut senang meski untuk hal ini dia harus menjadi sasaran pukulan Remy yang salah memahami dirinya. Sejujurnya Lukas maklum jika Remy marah padanya. Kalau saja Remy tahu bahwa dia juga menyukai Nesia, mungkin laki-laki itu akan menghajarnya dengan lebih gila lagi.Karenanya, demi menghindari kegilaan Remy, Lukas memilih menghindar. Setelah jam kantor usai, Lukas tak segera pulang melainkan mengekor Edo kemana pun dia pergi. Edo yang bujang kadaluwarsaitu merasa aneh dengan kelakuan Lukas yang tak biasa.“Hei? Ada apa rupanya kamu mengekor kemanapun aku pergi? Jangan sampai karyawan mengira kamu kasmaran sama aku, Luke.”“Cuih!!! Kasmaran sama kamu? Aku masih cukup normal untuk tidak jatuh cinta sama lelaki tak mutu sepertimu!” Lukas membalas tak kalah pedas.“Jadi mengapa kamu mengekor terus?”Lukas menghela napas berat.“Aku enggan pulang.” Akhirnya Lukas bicara jujur.
Pintu kamar tertutup dan Remy meletakkan Nesia ke atas ranjang dengan gerakan yang lembut dan sebisa mungkin membuat Nesia nyaman di ranjang mereka. Sejujurnya Remy sangat merindukan perempuan muda yang sudah membuat hidup dan hatinya porak poranda dan kehilangan jati diri itu. Dia ingin memeluknya seerat mungkin dan memastikan bahwa perempuan itu tak akan kemana-mana, tak akan jauh darinya dan tak akan meninggalkannya meski perjanjian mereka jelas mengatakan bahwa mereka memiliki keterbatasan waktu bersama.Lelaki yang kini berubah jauh lebih ramah itu sibuk membetulkan letak selimut untuk menutupi tubuh Nesia yang sebenarnya tak lagi kedinginan karena efek obat pagi ini membuatnya sedikit gerah.Nesia menatapnya dengan senyum keheranan.“Mengapa menatapku seperti itu? Apakah aku aneh?” tanya Remy yang berhenti sejenak untuk menatap Nesia yang semenjak hamil terlihat jauh lebih cantik dari biasanya. Meskipun jelas biasanya juga dia selalu cantik di mata Remy.Nesia menggeleng. Tangan
Wajah Remy dan Nesia seketika bersemu merah ketika mereka melihat siapa yang sudah membuka pintu dan menampakkan wajahnya. Tak lain dan tak bukan adalah dokter Ilham bersama seorang suster yang menjadi asisten dokter Ilham pagi ini. Apalagi ketika mereka melihat bahwa dokter dan suster itu tersenyum karena memergoki ulah Remy. “Ehem!” Remy berdehem menghadap ke arah dokter Ilham untuk menetralkan suasana yang mendadak canggung. Tak sedikit pun Remy merasa ingin memperbaiki keadaan. Dia bahkan tak menjauh dari Nesia. “Sebaiknya kamu mulai belajar menahan diri terhadap keinginan apapun pada istrimu, Remy. Kehamilannya masih sangat muda. Aku khawatir akan membahayakan kondisi janinnya.” Dokter Ilham memberikan nasehat seolah mengerti apa yang Remy rasakan. “Berapa lama, Dok?” tanya Remy yang tahu kemana arah pembicaraan dokter Ilham. Pertanyaan sigap yang diajukan Remy membuat dokter Ilham tertawa kecil. Sambil memeriksa tekanan darah Nesia, dokter Ilham tersenyum. Suster yang berada d
Suasana di sebuah ruang rawat di klinik ini terasa begitu heboh dan penuh kegugupan serta kekhawatiran yang berlebihan. Remy terlihat begitu sibuk mengemas semua barang yang kemarin terbawa ke klinik ini meskipun barang itu tak begitu diperlukan karena fasilitas di klinik sudah sangat memadai. Setelah semua barang terkemas rapi, terlihat Remy yang tersenyum lega seolah baru saja menyelesaikan sebuah proyek besar dan bernilai milyaran.Nesia yang sudah siap pulang, kini duduk di sisi ranjang rumah sakit, mengawasi Remy yang sibuk sendirian. Namun, kali ini Nesia memilih diam tanpa banyak tanya karena sejauh ini dia masih belum yakin dengan sikap penerimaan yang dilakukan Remy atas kehadiran bayi di dalam perutnya itu.Awalnya, Nesia mengira bahwa Remy akan marah besar dan menceraikan dirinya kemudian mengusirnya dari rumah itu. Dan untuk semua praduga buruk itu, Nesia bahkan sudah menyiapkan banyak rencana jika memang dia harus terusir dari rumah Remy karena kehamilannya.Tapi siapa sa
Mendengar pertanyaan Lukas, Edo sedikit gelagapan. Namun bukan Edo namanya kalau dia tak bisa mengelak dari cercaan Lukas. “Hei, apakah aku mengatakan bahwa kehidupan seks Remy tidak normal?” tanya Edo merasa tak bersalah. Lukas yang sudah hafal dengan kelakuan Edo hanya tersenyum masam. “Tak perlu berpura-pura lupa dengan ucapanmu sendiri Edo. Jelas-jelas kamu mengatakan bahwa kehidupan seks Remy sekarang berjalan normal. Bukankah itu artinya dia tidak normal sebelumnya?” Edo tergelak. “Aku hanya menduga, Luke. Bagaimana mungkin Remy mengumbar kehidupan seksnya pada orang lain? Sudahlah, habiskan kopimu dan pulanglah. Rumahku tak cukup cocok dengan bujang sepertimu!” ujar Edo kemudian berdiri, mengambil jas kerjanya yang ada di sampiran kursi makan dan mengenakannya dengan santai. “Aku tak mau pulang hanya untuk melihat mereka kasmaran,” jawab Lukas dengan santai, mengabaikan pengusiran yang diucapkan Edo dengan terus terang tadi. Edo tersenyum miris melihat Lukas yang kelihatan s
Sudah dua hari ini Lukas menginap di rumah Edo. Selain sebagai sesama pegawai di perusahaan yang ditangani Remy dengan tangan dinginnya, Lukas, Remy dan Edo adalah juga teman dekat. Nyaris tak ada rahasia di antara mereka, kecuali Remy yang memang sangat tertutup terutama soal perempuan.Remy sangat berbanding terbalik dengan Edo. Kalau Remy memilih tertutup mengenai perempuan, termasuk hubungannya dengan Nesia yang tak mudah ditebak, maka Edo memilih jalan vulgar untuk menunjukkan eksistensinya sebagai lelaki tampan dan mapan.“Kamu tak kerja lagi pagi ini, Luke?” tanya Edo ketika pagi ini dia masih melihat Lukas yang malas-malasan menikmati secangkir kopi yang dibuatnya sendiri tadi. Tentu saja Lukas harus membuatnya sendiri karena Edo seorang lajang yang tak memiliki seorang pembantu.Lukas hanya tersenyum kecil dan hambar, membuat Edo semakin penasaran dengan kelakuan Lukas yang tiba-tiba saja minggat ke rumahnya itu.“Memangnya kamu tak takut Remy akan menendangmu dari pekerjaan
Pemeriksaan pagi oleh Dokter Ilham sudah selesai. Seorang suster mengambil sampel urine Nesia dan hanya dalam beberapa menit saja sudah bisa dipastikan bahwa Nesia memang hamil. Setelah Dokter Ilham dan suster keluar, semua terdiam. Bu Maryam, Nesia, dan juga Remy. Tak ingin ikut larut dalam suasana canggung, Bu Maryam mengambil inisiatif untuk pulang dengan alasan sudah ada Remy sekalian membawa pulang tas yang semalam dibawa Remy.Remy yang gamang, tak tahu harus bagaimana, hanya mengangguk sehingga Bu Maryam kemudian segera keluar. Meski dalam hati was-was dengan apa yang akan terjadi pada Nesia ketika Remy tahu akhirnya Nesia hamil, tetapi dalam hati Bu Mar bersyukur bahwa akhirnya Nesia hamil. Pembantu itu hanya bisa berharap bahwa keberadaan anak mereka akan membuat pernikahan ini berjalan sebagaimana seharusnya.Bu Mar sudah menutup pintu, dan Nesia hanya menatap selimut yang menutupi tubuhnya. Keduanya masih sama-sama terdiam, tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Bahkan,
Pagi menunjukkan pukul enam ketika Nesia menggeliat dan membuka matanya. Namun, ada yang membuatnya tak nyaman di bagian tangan. Nesia lalu melihat tangannya dan terkejut mendapati jarum infus terpasang di sana. Dia mencari-cari ke sekeliling untuk mencari tahu apa yang terjadi ketika matanya melihat Remy yang duduk dengan mata terpejam di sisi ranjangnya. Bu Maryam tak terlihat di ruangan itu karena beberapa saat tadi dia pamit untuk mencari kopi di kantin bawah.Nesia mengerutkan keningnya. “Remy?” Tanpa bisa dicegah, Nesia menyebut nama lelaki itu.Merasa ada yang memanggilnya meskipun pelan, Remy segera membuka matanya dan mendapati Nesia sudah terbangun.“Hei, Nes? Kamu sudah bangun?” tanya Remy yang bergegas mendekat pada Nesia, menyambut uluran tangan perempuan itu, dan menciumnya dengan lembut. Entahlah, dia lupa dengan kalimatnya bahwa dia tidak mencintai Nesia, bahwa dia hanya butuh perempuan itu tetap sehat agar bisa bercinta kapanpun dia mau. Tapi nyatanya? Nyawa Remy sepe
“Kalau Bu Maryam mengantuk, Bu Maryam bisa tidur di kasur itu. Biar saya yang berjaga.” Lukas yang menunggui Nesia di ruang rawat inap bersama Bu Mar menyuruh wanita itu tertidur. Lukas tahu kalau Bu Mar pasti lelah.“Lalu Tuan bagaimana?” Bu Mar menatap lesu lelaki itu. Memang dibandingkan dengan Remy, Lukas jauh lebih manusiawi dan lunak serta ramah. Meskipun sekarang Bu Mar mengakui bahwa Remy jauh lebih lunak dan manusiawi.“Saya bisa tidur di sofa.”Bu Maryam mengangguk kemudian menuju ke sebuah kasur kecil yang memang disediakan bagi keluarga pasien yang menjaga. Sebelum dia merebahkan diri, Bu Mar berpesan, “Nanti kalau Nyonya bangun, Tuan Lukas bangunkan saya saja.”Lukas mengangguk. Lelaki itu memilih duduk di sofa, menyelonjorkan kakinya yang panjang ke atas meja yang ada di depannya. Matanya menatap Nesia yang tertidur lelap di atas ranjang rumah sakit. Selang infus terlihat terpasang di tangan kanannya.Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, tetapi Lukas tak juga bis