Frank menoleh ke asal suara. Jam berjalan tergopoh. Kemejanya terlihat kusut tidak karuan. Sama kusut dengan wajahnya. Belum lagi ditambah titik-titik air yang jatuh dari rambut.
“Ada di ujung dunia belahan mana kau?” tanya Frank tanpa basa-basi. Raut wajahnya tampak kesal.
Meski hanya pelayan, Frank sudah dianggap saudara sendiri oleh Jam. Bahkan di antara mereka sudah tidak ada sekat antara pelayan dan majikan. Tak jarang Jam yang harus menunduk pada Frank jika merasa dirinya salah.
“Ruangan ini memang cukup tenang, Frank. Sampai kau tidak sadar kalau di luar sedang terjadi badai hebat.” Jam berusaha untuk membela diri. Tangannya menyisir rambut yang sedikit berantakan dan basah.
Saat Frank menelepon dan mengatakan Aleda masuk rumah sakit, Jam memang langsung pergi menyusul. Namun, di tengah perjalanan, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Angin bergerak kencang sampai merobohkan sebuah pohon besar. Tentu saja hal itu juga melumpuhkan lalu lintas. Kemacetan tak bisa dielakkan lagi. Sialnya, Jam ada di sana.
Kedua lelaki itu duduk bersisian. Tidak ada yang bicara di antara mereka. Koridor juga tampak sepi. Sejak Frank duduk di sini, belum ada satu orang pun yang lewat. Lagi pula siapa orang yang mau jalan-jalan di depan ruang operasi kalau memang tidak berkepentingan.
“Kau di mana tadi?” tanya Frank akhirnya, memecahkan sunyi. Ia melirik sekilas pada Jam.
Yang ditanya tidak kunjung menjawab. Malah mengembuskan napas dengan berat. Seperti ada banyak beban di hati dan pikirannya sekarang. “Ada pekerjaan penting. Itu kenapa telepon Aleda tidak terjawab.”
Frank paham betul dengan pekerjaan majikannya ini. Kalau Jam sudah mengatakan ada pekerjaan penting, itu berarti memang tidak bisa diganggu. Apalagi untuk pekerjaan-pekerjaan rahasia, alat komunikasi dalam bentuk apa pun tidak ada yang boleh dibawa ke ruang rapat.
“Saat aku menelepon?” tanya Frank lagi. Kali ini betul-betul menoleh.
“Pertemuan baru saja selesai,” ujar Jam pendek. Seperti tidak ada kalimat yang lebih baik dari kalimatnya barusan.
Di sampingnya, Frank tampak mengangguk-anggukkan kepala. Ia juga tidak ingin bertanya lebih lanjut tentang pertemuan yang dikatakan oleh Jam. Untuk urusan pekerjaan, Frank memang tidak banyak bertanya. Tidak perlu menurutnya.
Waktu terus berjalan. Di luar, badai masih berlangsung dengan hebat. Namun, belum ada satu pun orang yang keluar dari ruang operasi. Jam sudah lelah berjalan mondar-mandir sejak tadi. Sekarang ia hanya bisa duduk dan pasrah. Bersiap untuk segala kemungkinan yang bisa saja terjadi.
“Kapan mereka keluar dari ruangan itu?” tanya Frank dengan mata tertutup.
“Entahlah.” Jam yang ikut terpejam di sampingnya menjawab pendek.
Keduanya masih terpejam saat terdengar suara pintu dibuka. Bagai ditarik dari alam mimpi, mereka langsung berdiri tegak. Seorang dokter berdiri di depan pintu ruang operasi. Memandangi Jam dan Frank bergantian. Mungkin sedang menilai siapa suami dari pasien yang baru saja ditanganinya.
“Saya suaminya, Dok.” Jam berinisiatif untuk maju selangkah. “Bagaimana istri dan anak saya?” cecarnya.
Dokter tersebut membuka masker yang menutupi wajahnya sejak tadi. Sekarang baik Jam maupun Frank bisa melihat ekspresinya dengan jelas. Namun, wajah itu terlihat murung. Jam langsung memikirkan kemungkinan buruk yang sebentar lagi akan diterimanya. Membayangkannya saja sudah membuat jantung berdetak lebih cepat. Bahkan kakinya terasa seperti tidak menapak di lantai.
“Kami minta maaf, Pak.” Sang dokter memasang wajah serius
Kalimat yang membuat Jam dan Frank langsung berpandangan. Tentu saja isi kepala keduanya mengatakan hal yang sama.
“Apa maksud Anda?” sahut Jam sedikit meradang karena kalimat barusan.
“Maaf untuk apa, Sayang? Kau tidak perlu minta maaf. Aku senang karena akhirnya kita bisa bertemu lagi. Aku takut sekali kalau kau hilang.” Gil mengelus rambut Kate dengan halus.Kalimat tersebut terdengar menyakitkan di telinga. Membuat air mata Kate tidak berhenti mengalir. Bahkan sampai membasahi baju Gil.Lihatlah, lelaki itu begitu menyayanginya. Namun, ia sama sekali tidak bisa menceritakan apa yang sudah terjadi. Ia tidak ingin Gil kecewa. Karena hal itu pasti akan berakibat buruk pada kesehatan Gil nantinya.Dalam hati, Kate bertekad untuk menyimpan semua cerita ini sendiri. Alangkah lebih baiknya jika tidak diketahui oleh siapa pun, termasuk Gil. Biarlah kejadian kelam malam itu menjadi kenangan buruk yang jauh tertinggal di belakang sana.“Kau ke mana saja?” Gil melepaskan pelukan dan mengusap air mata di pipi Kate. Bibirnya tampak bergetar ketika mengatakan hal ini. Pertanda betapa hebat gejolak perasaannya di dalam sana
Entah butuh waktu berapa lama untuk Kate sampai di rumah. Yang pasti, matahari sudah sempurna tenggelam ketika akhirnya ia sampai di depan pintu rumah.Rumah kecil di permukiman padat penduduk itu terlihat sepi. Kate mendongak dan menatap tulisan Gil Dalton dengan nanar. Hatinya langsung mencelos mengingat ayahnya.Tangan kecil Kate mendorong pintu yang tidak terkunci. Pelan-pelan sekali ia melakukannya. Seolah takut bangunan ringkih ini akan roboh karena sentuhan tangannya. Begitu pintu sudah terbuka sempurna, hanya ruangan kosong dan lengang yang menyapa. Sama sekali tidak ada orang.“Ayah ke mana?” Kate berbicara dalam hati. Ia belum berani mengeluarkan suara. Lebih tepatnya tidak ingin Gil melihatnya dalam keadaan berantakan seperti ini.Pelan-pelan sekali ia mencoba masuk. Kemudian menutup pintu di belakangnya tanpa suara. Ia terlihat seperti maling yang sedang mengendap-endap memasuki rumah orang. Padahal ini adalah rumah ayahnya sendiri
“Hei! Lihatlah gadis itu!” Seorang ibu paruh baya berbicara pada temannya sembari menunjuk Kate.Yang ditunjuk hanya bisa menunduk sembari berjalan dengan tertatih. Ia tahu pasti akan menyita perhatian orang. Bagaimana tidak? Penampilannya sungguh acak-acakan. Rambut berantakan, wajah kusut, baju dan celana sobek, badan membiru dan lebam. Tentu saja orang akan bertanya-tanya.Rupanya seruan itu membuat orang-orang yang ada di jalan refleks menoleh. Tentu saja sama seperti yang dipikirkan oleh Kate. Mereka semua memandangnya dengan heran. Kening-kening berkerut, jari-jari menunjuk, mulut-mulut berbisik.“Mama, Mama, apakah itu orang gila?” Seorang anak kecil bertanya pada ibunya sambil menunjuk Kate.Wajar saja kalau anak kecil itu berpikir demikian. Penampilan Kate memang sangat tidak meyakinkan untuk disebut manusia normal.Dituduh seperti itu, hati Kate rasanya sakit sekali. Ia benar-benar tidak memiliki harga diri sekaran
Bumi berputar sebagaimana mestinya. Sama sekali tidak peduli dengan seorang gadis malang yang kembali tidak sadarkan diri di lantai sebuah bangunan kosong. Gadis yang kehilangan seluruh harapan hidup karena tingkah manusia serakah tak punya hati.Kadang semesta memang memberikan rasa sakit tak berkesudahan untuk segelintir orang. Rasa sakit yang tidak akan pernah ditemukan obatnya. Yang setiap harinya akan terus mengalirkan darah tak kasat mata. Luka menganga yang tidak akan bisa dilihat oleh mata manusia normal. Hanya orang-orang berhati bijak yang akan menyadari betapa dalamnya luka tersebut.Akan tetapi, semesta selalu bekerja dua sisi. Ketika memberikan rasa sakit, ia juga sedang menyiapkan alasan di balik semua itu. Sama seperti yang dialami oleh Kate sekarang. Memang saat ini ia belum mengerti atau mungkin tidak akan pernah mengerti. Namun, kejadian hari ini sangatlah berarti untuk seseorang di masa depan sana. Seseorang yang tidak sengaja terhubung dengannya nan
“Apa yang sudah terjadi?” Kate berseru histeris. Entah kekuatan dari mana yang membuatnya bisa berteriak sekuat itu.Bagaimana tidak histeris? Ia terduduk di atas tanah tanpa ada selembar benang pun yang menempel di badannya. Dengan cepat ia mengedarkan pandangan. Bajunya berceceran tidak jauh darinya.Tanpa pikir panjang, gadis malang itu beringsut untuk memungut pakaian. Wajahnya bersemu merah. Sedih, marah, malu, semuanya bercampur di sana. Benar-benar tidak bisa dideskripsikan dengan kalimat. “Apa yang sudah terjadi sebenarnya?” batinnya sambil terus bergerak.Sayangnya, baju itu tidak lagi utuh. Selain kotor, ada beberapa bagian yang sobek. Sepertinya ditarik dengan paksa. Namun, ia tetap mencoba untuk mengenakannya. Lebih baik ada yang sedikit sobek daripada tidak memakai selembar kain pun.Setelah bersusah payah untuk menggerakkan badan ketika memakai baju, sekarang penampilan Kate sedikit lebih baik. Meski masih sama kacaun
Arizona, 1984Matahari sudah keluar dari peraduannya sejak tadi. Menghangatkan tanah yang diguyur hujan deras semalam. Menguapkan embun yang masih bertengger di atas dedaunan.Di ujung gang dekat rumah kosong, Kate tergeletak tidak berdaya. Hangatnya matahari pagi bahkan tidak bisa membuatnya tersadar. Ia masih diam di tempat. Tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Kalau saja gang ini dilewati orang, pasti mereka akan berpikir kalau Kate adalah seorang mayat.Tanpa peduli dengan tubuh lemah yang tergolek di bawah sana, matahari terus saja beranjak naik. Melaksanakan tugas hariannya. Menghangatkan bumi untuk kemudian memanggangnya. Seperti siang ini misalnya. Suhu bumi meningkat beberapa derajat dibanding tadi pagi. Matahari sedang semangat-semangatnya memancarkan sinar.“Bangun, Kate!” Kesiur angin seolah berbisik membangunkan gadis tersenyum.Perlahan-lahan, Kate menggerakkan jari. Untuk kemudian mulai membuka mata. Namun, r
Ketika Ben dan Gale sibuk berpandangan, tiba-tiba tawa Ladarian pecah. Membuat keduanya heran sekaligus terkejut. Keheningan yang menyergap beberapa menit lalu langsung lari terbirit-birit. Digantikan oleh suara tawa Ladarian yang menggema ke seluruh ruangan.Beberapa detik kemudian Gale dan Ben ikut tertawa. Mereka tahu kalau baru saja selamat dari hukuman besar yang menunggu.“Lucu sekali!” Ladarian masih terus terbahak-bahak sembari memegangi perut. “Perutku sampai sakit.”“Dia memang payah sekali, Om!” Ben menunjuk Gale sambil terus tertawa.“Enak saja!” Gale langsung menyahut. “Kau juga tidak kalah payah. Ditampar seorang gadis, memalukan sekali.”“Lebih tepatnya kalian berdua yang memalukan hahaha.” Ladarian terlihat puas sekali tertawa. Bahkan dari sudut matanya sampai keluar air mata.Kalau tawa Ladarian karena merasa ceritanya lucu, tidak demikian dengan arti ta
“Apa ceritamu barusan benar-benar terjadi?” tanya Ladarian akhirnya membuka mulut setelah terdiam cukup lama.Tanpa pikir panjang, Ben langsung mengangguk. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan. Baginya, Ladarian mau menanggapi saja sudah merupakan kesempatan emas yang tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja.“Ah, benar sekali, Dad. Bahkan aku beberapa kali menabrak orang. Diteriaki seorang nenek-nenek karena menumpahkan minuman di tangannya.” Gale berusaha untuk membumbuhi. Sengaja menambah-nambahi agar cerita Ben terlihat semakin nyata.Merasa mendapat dukungan, Ben langsung terlihat bersemangat. Setidaknya ia tahu kalau ada Gale yang akan membantunya sekarang. Jadi, kalau sampai Ladarian masih tidak percaya, mereka bisa memikul kebohongan ini berdua.“Jangan lupakan juga seorang anak kecil yang menangis karena kau tidak sengaja menginjak mobil-mobilannya. Kemudian ibu anak tersebut berteriak serta memaki-makimu.” Be
“Apa maksudmu?” Ladarian langsung menoleh pada Ben. Sekarang tatapan tajam itu beralih.Jelas saja Ben agak gemetar ditatap seperti itu. Ia memang sudah memberanikan diri untuk buka suara. Namun, ia lupa mempersiapkan diri kalau harus ditatap dengan sorot mata tajam.Sejauh ini, Ladarian memang orang yang paling disegani oleh Ben. Bahkan posisi ayahnya saja kalah dengan lelaki yang sedang berdiri di depannya saat ini.“T-tadi kami sedang jalan-jalan mencari udara segar.” Ben takut-takut memulai kalimat.Ladarian sama sekali tidak memotong. Ia menunggu dengan sabar meski tahu kalau Ben membutuhkan lebih banyak waktu untuk menjelaskan hal ini. Sementara Gale tampak was-was. Ekspresinya menyiratkan kekhawatiran. Bagaimana kalau Ben menceritakan yang sebenarnya terjadi?“Kami iseng masuk ke salah satu taman yang cukup ramai,” lanjut Ben. Sesekali ia melirik pada Gale. Entah menyuruh pemuda itu tetap diam di tempat, a