Share

Kate

Penulis: Nadca
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-25 18:45:00

Arizona, 1984

Hujan mengguyur kota sejak dua jam yang lalu. Hawa dinginnya terasa begitu menusuk tulang. Jalanan juga terlihat lebih lengang dibanding biasanya. Sepertinya orang-orang enggan untuk pergi keluar rumah. Penghangat ruangan memang lebih baik dibanding dinginnya jalanan. Hanya mereka yang memiliki kepentingan mendesak yang terpaksa harus ada di jalanan.

“Kate, kau belum pulang?” tanya rekan kerjanya sembari mengunci pintu.

Kate masih berdiri di depan toko. Memandang titik-titik air hujan yang turun bersusulan sejak tadi. “Aku masih menunggu hujan reda,” jawabnya.

“Kenapa tidak naik angkutan umum saja?” Rekan kerjanya menunjuk sebuah bus yang melaju pelan di depan mereka. Bus kota itu terlihat kosong. Hanya ada beberapa orang di dalamnya.

Hanya gelengan kepala yang diberikan oleh Kate sebagai jawaban. Ia bisa saja naik bus malam ini dan duduk dengan santai di dalamnya. Namun, uang yang ada di kantongnya sekarang benar-benar harus dihemat. Ia masih memiliki kebutuhan yang lebih mendesak. Berdiri beberapa jam untuk menunggu hujan reda seperti ini bukan masalah untuknya.

Rekan kerja Kate mengembangkan payung berwarna hitam. “Aku pulang dulu.”

“Hati-hati,” ucap Kate sambil melambaikan tangan.

Sekarang cahaya di depan toko roti tempat Kate kerja sudah berkurang. Hanya tinggal cahaya remang-remang  yang berasal dari lampu di depan toko. Bangunan yang biasanya ramai di pagi hari itu kini tampak sunyi. Begitu juga jalanan di depannya. Meski begitu, hujan belum juga mau berhenti.

Sebelah tangan Kate terulur. Menadahi tetes-tetes air hujan dari langit. Hidupnya terasa hampa dan kosong. Badan yang letih setelah bekerja seharian, ditambah keletihan hati yang entah sampai kapan. Ia tahu, seharusnya ia segera pulang sekarang.

Setelah mempertimbangkan banyak hal, Kate nekat untuk menerobos hujan. Kemudian langkah kakinya semakin cepat saat melihat petugas apotek akan menutup pintu.

“Jangan ditutup dulu, John!” teriak Kate dari kejauhan.

Pemilik apotek bernama John itu menoleh pada Kate yang sedang berlari ke arahnya. “Dari mana saja kau?” tanyanya.

“Aku menunggu hujan reda dari tadi. Tapi, sepertinya langit tidak akan berhenti menumpahkan isinya sampai pagi,” keluh Kate. Ia menyibakkan air yang membasahi rambut.

“Seperti biasa?” tanya John yang dijawab anggukan oleh Kate.

Setelah John menghilang ke dalam ruangan, Kate memutuskan untuk duduk di kursi depan. Kakinya terasa lemas setelah berjalan dan berlari-lari. Menguras sisa-sisa tenaga. Namun, ia merasa beruntung karena tiba tepat waktu. Kalau sampai ia terlambat sedikit saja, tentu akan fatal sekali akibatnya.

Tidak lama John kembali menghampiri Kate dengan sebungkus obat di tangannya. “Bagaimana keadaan ayahmu?”

Kate mengembuskan napas dengan kasar. “Masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Tidak ada perubahan sama sekali. Obat-obat ini hanya memperlambat rasa sakit saja.”

“Ayahmu memang sudah seharusnya mendapat pengobatan yang jauh lebih baik. Ia harus dirawat di rumah sakit, Kate.” John berucap selembut mungkin.

Mendengar kata rumah sakit, Kate hanya diam saja. Ia tahu hal itu. Memang seharusnya penyakit jantung ayahnya itu mendapat penanganan dokter. Bukan malah obat murahan seperti ini. Namun, ia juga bisa mengukur sejauh mana kemampuannya. Biaya rumah sakit belum terjangkau olehnya sekarang.

“Terima kasih, John.” Kate meraih bungkusan di tangan John dan menyerahkan beberapa lembar uang sebagai gantinya.

John menjawab dengan anggukan. Ia pun tidak bisa membantu banyak, selain memberikan harga yang cukup miring untuk Kate.

Perkenalan mereka terjadi beberapa bulan lalu. Saat itu sedang turun hujan juga. Kate terlihat termenung di depan apotek. Ia ingin membeli obat untuk ayahnya, tetapi tidak punya cukup uang. John yang merasa kasihan akhirnya memberikan harga yang cukup murah. Sejak itu, Kate langganan datang ke tempat ini setiap kali obat ayahnya habis.

“Hati-hati di jalan,” pesan John begitu Kate pamit untuk pulang.

Sekarang Kate tidak lagi peduli dengan air hujan. Ia sibuk memikirkan kondisi ayahnya sekarang. Ia harus sampai di rumah dengan cepat. Tidak peduli dengan baju dan kepalanya yang basah.

Saking fokusnya ingin segera sampai di rumah, Kate sampai tidak menyadari kalau ada bahaya yang sejak tadi mengintai dirinya. Bahaya yang akan menghancurkan hidupnya. Selamanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • G.A.L.E   Telur Mata Sapi

    “Maaf untuk apa, Sayang? Kau tidak perlu minta maaf. Aku senang karena akhirnya kita bisa bertemu lagi. Aku takut sekali kalau kau hilang.” Gil mengelus rambut Kate dengan halus.Kalimat tersebut terdengar menyakitkan di telinga. Membuat air mata Kate tidak berhenti mengalir. Bahkan sampai membasahi baju Gil.Lihatlah, lelaki itu begitu menyayanginya. Namun, ia sama sekali tidak bisa menceritakan apa yang sudah terjadi. Ia tidak ingin Gil kecewa. Karena hal itu pasti akan berakibat buruk pada kesehatan Gil nantinya.Dalam hati, Kate bertekad untuk menyimpan semua cerita ini sendiri. Alangkah lebih baiknya jika tidak diketahui oleh siapa pun, termasuk Gil. Biarlah kejadian kelam malam itu menjadi kenangan buruk yang jauh tertinggal di belakang sana.“Kau ke mana saja?” Gil melepaskan pelukan dan mengusap air mata di pipi Kate. Bibirnya tampak bergetar ketika mengatakan hal ini. Pertanda betapa hebat gejolak perasaannya di dalam sana

  • G.A.L.E   Maafkan Kate, Ayah!

    Entah butuh waktu berapa lama untuk Kate sampai di rumah. Yang pasti, matahari sudah sempurna tenggelam ketika akhirnya ia sampai di depan pintu rumah.Rumah kecil di permukiman padat penduduk itu terlihat sepi. Kate mendongak dan menatap tulisan Gil Dalton dengan nanar. Hatinya langsung mencelos mengingat ayahnya.Tangan kecil Kate mendorong pintu yang tidak terkunci. Pelan-pelan sekali ia melakukannya. Seolah takut bangunan ringkih ini akan roboh karena sentuhan tangannya. Begitu pintu sudah terbuka sempurna, hanya ruangan kosong dan lengang yang menyapa. Sama sekali tidak ada orang.“Ayah ke mana?” Kate berbicara dalam hati. Ia belum berani mengeluarkan suara. Lebih tepatnya tidak ingin Gil melihatnya dalam keadaan berantakan seperti ini.Pelan-pelan sekali ia mencoba masuk. Kemudian menutup pintu di belakangnya tanpa suara. Ia terlihat seperti maling yang sedang mengendap-endap memasuki rumah orang. Padahal ini adalah rumah ayahnya sendiri

  • G.A.L.E   Lihatlah Gadis Itu!

    “Hei! Lihatlah gadis itu!” Seorang ibu paruh baya berbicara pada temannya sembari menunjuk Kate.Yang ditunjuk hanya bisa menunduk sembari berjalan dengan tertatih. Ia tahu pasti akan menyita perhatian orang. Bagaimana tidak? Penampilannya sungguh acak-acakan. Rambut berantakan, wajah kusut, baju dan celana sobek, badan membiru dan lebam. Tentu saja orang akan bertanya-tanya.Rupanya seruan itu membuat orang-orang yang ada di jalan refleks menoleh. Tentu saja sama seperti yang dipikirkan oleh Kate. Mereka semua memandangnya dengan heran. Kening-kening berkerut, jari-jari menunjuk, mulut-mulut berbisik.“Mama, Mama, apakah itu orang gila?” Seorang anak kecil bertanya pada ibunya sambil menunjuk Kate.Wajar saja kalau anak kecil itu berpikir demikian. Penampilan Kate memang sangat tidak meyakinkan untuk disebut manusia normal.Dituduh seperti itu, hati Kate rasanya sakit sekali. Ia benar-benar tidak memiliki harga diri sekaran

  • G.A.L.E   Aku Harus Pulang!

    Bumi berputar sebagaimana mestinya. Sama sekali tidak peduli dengan seorang gadis malang yang kembali tidak sadarkan diri di lantai sebuah bangunan kosong. Gadis yang kehilangan seluruh harapan hidup karena tingkah manusia serakah tak punya hati.Kadang semesta memang memberikan rasa sakit tak berkesudahan untuk segelintir orang. Rasa sakit yang tidak akan pernah ditemukan obatnya. Yang setiap harinya akan terus mengalirkan darah tak kasat mata. Luka menganga yang tidak akan bisa dilihat oleh mata manusia normal. Hanya orang-orang berhati bijak yang akan menyadari betapa dalamnya luka tersebut.Akan tetapi, semesta selalu bekerja dua sisi. Ketika memberikan rasa sakit, ia juga sedang menyiapkan alasan di balik semua itu. Sama seperti yang dialami oleh Kate sekarang. Memang saat ini ia belum mengerti atau mungkin tidak akan pernah mengerti. Namun, kejadian hari ini sangatlah berarti untuk seseorang di masa depan sana. Seseorang yang tidak sengaja terhubung dengannya nan

  • G.A.L.E   Kenapa Aku, Tuhan?

    “Apa yang sudah terjadi?” Kate berseru histeris. Entah kekuatan dari mana yang membuatnya bisa berteriak sekuat itu.Bagaimana tidak histeris? Ia terduduk di atas tanah tanpa ada selembar benang pun yang menempel di badannya. Dengan cepat ia mengedarkan pandangan. Bajunya berceceran tidak jauh darinya.Tanpa pikir panjang, gadis malang itu beringsut untuk memungut pakaian. Wajahnya bersemu merah. Sedih, marah, malu, semuanya bercampur di sana. Benar-benar tidak bisa dideskripsikan dengan kalimat. “Apa yang sudah terjadi sebenarnya?” batinnya sambil terus bergerak.Sayangnya, baju itu tidak lagi utuh. Selain kotor, ada beberapa bagian yang sobek. Sepertinya ditarik dengan paksa. Namun, ia tetap mencoba untuk mengenakannya. Lebih baik ada yang sedikit sobek daripada tidak memakai selembar kain pun.Setelah bersusah payah untuk menggerakkan badan ketika memakai baju, sekarang penampilan Kate sedikit lebih baik. Meski masih sama kacaun

  • G.A.L.E   Tolong Aku!

    Arizona, 1984Matahari sudah keluar dari peraduannya sejak tadi. Menghangatkan tanah yang diguyur hujan deras semalam. Menguapkan embun yang masih bertengger di atas dedaunan.Di ujung gang dekat rumah kosong, Kate tergeletak tidak berdaya. Hangatnya matahari pagi bahkan tidak bisa membuatnya tersadar. Ia masih diam di tempat. Tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Kalau saja gang ini dilewati orang, pasti mereka akan berpikir kalau Kate adalah seorang mayat.Tanpa peduli dengan tubuh lemah yang tergolek di bawah sana, matahari terus saja beranjak naik. Melaksanakan tugas hariannya. Menghangatkan bumi untuk kemudian memanggangnya. Seperti siang ini misalnya. Suhu bumi meningkat beberapa derajat dibanding tadi pagi. Matahari sedang semangat-semangatnya memancarkan sinar.“Bangun, Kate!” Kesiur angin seolah berbisik membangunkan gadis tersenyum.Perlahan-lahan, Kate menggerakkan jari. Untuk kemudian mulai membuka mata. Namun, r

  • G.A.L.E   Ceritamu Keterlaluan!

    Ketika Ben dan Gale sibuk berpandangan, tiba-tiba tawa Ladarian pecah. Membuat keduanya heran sekaligus terkejut. Keheningan yang menyergap beberapa menit lalu langsung lari terbirit-birit. Digantikan oleh suara tawa Ladarian yang menggema ke seluruh ruangan.Beberapa detik kemudian Gale dan Ben ikut tertawa. Mereka tahu kalau baru saja selamat dari hukuman besar yang menunggu.“Lucu sekali!” Ladarian masih terus terbahak-bahak sembari memegangi perut. “Perutku sampai sakit.”“Dia memang payah sekali, Om!” Ben menunjuk Gale sambil terus tertawa.“Enak saja!” Gale langsung menyahut. “Kau juga tidak kalah payah. Ditampar seorang gadis, memalukan sekali.”“Lebih tepatnya kalian berdua yang memalukan hahaha.” Ladarian terlihat puas sekali tertawa. Bahkan dari sudut matanya sampai keluar air mata.Kalau tawa Ladarian karena merasa ceritanya lucu, tidak demikian dengan arti ta

  • G.A.L.E   Aku Tidak Kuat Lagi!

    “Apa ceritamu barusan benar-benar terjadi?” tanya Ladarian akhirnya membuka mulut setelah terdiam cukup lama.Tanpa pikir panjang, Ben langsung mengangguk. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan. Baginya, Ladarian mau menanggapi saja sudah merupakan kesempatan emas yang tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja.“Ah, benar sekali, Dad. Bahkan aku beberapa kali menabrak orang. Diteriaki seorang nenek-nenek karena menumpahkan minuman di tangannya.” Gale berusaha untuk membumbuhi. Sengaja menambah-nambahi agar cerita Ben terlihat semakin nyata.Merasa mendapat dukungan, Ben langsung terlihat bersemangat. Setidaknya ia tahu kalau ada Gale yang akan membantunya sekarang. Jadi, kalau sampai Ladarian masih tidak percaya, mereka bisa memikul kebohongan ini berdua.“Jangan lupakan juga seorang anak kecil yang menangis karena kau tidak sengaja menginjak mobil-mobilannya. Kemudian ibu anak tersebut berteriak serta memaki-makimu.” Be

  • G.A.L.E   Cerita Rekaan Ben

    “Apa maksudmu?” Ladarian langsung menoleh pada Ben. Sekarang tatapan tajam itu beralih.Jelas saja Ben agak gemetar ditatap seperti itu. Ia memang sudah memberanikan diri untuk buka suara. Namun, ia lupa mempersiapkan diri kalau harus ditatap dengan sorot mata tajam.Sejauh ini, Ladarian memang orang yang paling disegani oleh Ben. Bahkan posisi ayahnya saja kalah dengan lelaki yang sedang berdiri di depannya saat ini.“T-tadi kami sedang jalan-jalan mencari udara segar.” Ben takut-takut memulai kalimat.Ladarian sama sekali tidak memotong. Ia menunggu dengan sabar meski tahu kalau Ben membutuhkan lebih banyak waktu untuk menjelaskan hal ini. Sementara Gale tampak was-was. Ekspresinya menyiratkan kekhawatiran. Bagaimana kalau Ben menceritakan yang sebenarnya terjadi?“Kami iseng masuk ke salah satu taman yang cukup ramai,” lanjut Ben. Sesekali ia melirik pada Gale. Entah menyuruh pemuda itu tetap diam di tempat, a

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status