Share

PART 2 : JANGAN BEGADANG

Mata Safira perlahan membuka, terlihat ruangan yang di dominasi putih membuat wanita itu semakin membuka lebar matanya, tubuhnya bangkit dari tidur dan melihat tangannya yang sedang di berikan cairan infus.

"Kenapa aku ada di sini?" tanyanya pada dirinya sendiri.

Tak lama terdengar suara langkah kaki, yang membuat Safira bingung sekaligus penasaran, hingga pria yang membawanya makan itu terlihat berjalan sambil menatapnya datar.

"Sudah mendingan?" tanya Dexter yang menaruh plastik yang berisikan macam-macam buah-buahan di meja samping ranjang.

Setelah itu dia duduk di kursi samping ranjang, yang membuat Safira bingung.

"Jika memang sakit! Jangan mengingatnya lagi!" ujar pria itu, yang mengambil salah satu buah dan mengupasnya dengan pisau.

"Maaf ya jadi repot-repot, mas Dexter! Biasanya saya kalau sakit kepala minum obat, tapi saat di halte tadi saya kecopetan, uang, hp bahkan pakai saya raib. Padahal saya ke sini buat mau kerja."

Satu potong apel, Dexter berikan Padanya, Sontak membuat wanita itu buru-buru menerimanya dan memakan pemberian itu , walau ia tak tau pria di depannya ini siapa, seperti dia begitu dekat dengannya hingga pria itu amat baik padanya.

"Kerja?"

Safira mengangguk dengan mulut penuh dengan apel yang diberikan Pria itu tadi.

Dexter memberikan beberapa potong apel lagi ke pada Safira dengan menggunakan piring.

"Kamu tau di mana tempat kerjanya?"

"Gak tau mas, pas saya di halte bus saya udah telepon temen saya tapi gak diangkat."

Satu potong apel itu Safira makan lagi, rasanya renyah dan manis membuat dia merasa puas, tapi mengingat semua kebaikan pria itu, ia jadi merasa tidak enak. "Mas, sebelumnya makasih ya atas semuanya, saya gak tau hubungan saya sama mas apa, apa mungkin teman lama ya? Tapi nanti saya janji kalau saya punya uang, saya bakal traktir masnya deh."

Dexter sekarang meletakan jeruk yang sudah dia kupas dengan mimik datar. "Gimana kalau kamu ganti sekarang?"

Wanita itu terdiam, ia tak paham apa yang pria di depannya bicarakan. Ia kira kebaikan ikhlas, namun kenapa ia merasa di tatapan datarnya pria itu seperti sedang menyembunyikan kesedihan. "Ma-maksud masnya apa?"

"Kamu kerja di tempatku."

"Jadi apa?" tanya Safira, ia masih mencoba menyakinkan dirinya, agar percaya pada pria yang terlihat tanpa ekspresi itu.

"Pembantu, tapi jika aku berangkat kerja kamu ikut ke kantor untuk jadi OB mau?"

Safira berpikir sebentar, lalu takut-takut menatap Dexter. "Jadi kerjaannya dobel begitu?"

"Yah, kamu mau gaji berapa?" tanya pria itu, yang membuat Safira heran.

"Kan mas Dexter yang mau ngegaji saya, kok nanya sih?"

Tak lama pria itu mengambil sejumlah uang di dompetnya, terlihat ada foto seseorang di sana tapi tak nampak jelas. Setelah mengambil beberapa lembar itu, dia meraih tangan Safira dan meletakan uang itu di sana. "Ada dua juta, kalau kamu merasa kurang, aku akan narik saldo di ATM."

Saat Dexter hendak pergi, tangan Safira mencegahnya, membuat pria itu sekarang menoleh dan kembali duduk. "Kenapa?"

"Kayaknya udah cukup deh mas! Ini udah aja kebanyakan!"

"Yakin?"

Safira mengangguk, dia merasa tak enak bila mana menambah bayaran untuk kerja yang mungkin tidak seberapa. "Iya mas, Udah cukup kok, hhhmm tapi mas kalau masalah tempat tinggal dan makan di tanggung mas Dexter kan?"

"Kamu tidur di rumahku!"

"Rumah mas Dexter, banyak keluarga ya? Udah punya keluarga ya mas? Udah punya anak belum?"

"Aku masih sendiri," balasnya Singkat yang membuat Safira terdiam, tunggu! Kalau sendiri itu artinya ia dan Dexter hanya berdua? "Kenapa? Takut?"

Karena tak ada pilihan lain, Safira menggeleng. Dia harus membuang pikiran jeleknya, dari mimik wajah datar itu tak terlihat seperti orang jahat, tapi tak ada salahnya kan waspada. "Mau kok mas, mau. Karena saya juga bingung mau kemana, saya ikut masnya aja deh."

"Kalau gitu, setelah pulang dari rumah sakit kamu ikut aku!" Mendengar ucapan itu, Safira hanya mengangguk sambil tersenyum.

.

.

Pintu mobil terbuka memperlihatkan pemandangan halaman ruang yang minimalis, namun tinggi menjulang. Sekitar ada 2 lantai yang terlihat, warna coklat klasik menambah kesan cantik di bangunan tersebut.

"Mas Dexter tinggal sendiri?" tanya Safira sambil menatap sekitar, rumah ini berada di pertengahan kompleks, yang besar bangunan hampir sama dengan yang dimiliki pria itu.

"Hhhmm."

"Rumah mas besar loh padahal."

"Seramai-ramainya sebuh rumah, kalau kita gak menemukan kebahagiaan buat apa tetap tinggal bersama?" tanya Dexter, yang membuat beberapa barang dari mobilnya, membuat Safira sontak menoleh kearah dengan mimik mencerna semua perkataan pria itu. "Ayo masuk!"

Mendengar suruhan tersebut, Safira segera masuk. Walau ia takut ada tetangga yang bicara macam-macam tentang mereka, mengingat wanita dan pria tidak boleh seatap kecuali sda ikatan pernikahan.

"Tenang aja! Tetangga di sini mayoritas pengusaha dan pebisnis, jadi mereka jarang ada di rumah."

Safira mengangguk paham, tapi kenapa pria itu bisa tau apa yang dia pikirkan?

Saat masuk Safira menatap sekitar, ruangannya cukup mewah namun ada beberapa hal kuno yang membuat terlihat unik. Saat hampir sampai di dapur, pria itu berhenti di sebuah pintu yang membuat Safira penasaran.

Terlihat sebuah kasur kecil, lemari pakaian yang lumayan besar dan kipas angin berdiri, seperti ini kamar untuknya. "Ini kamar buat saya ya mas?"

"Iya, kamar di sini cuma ada 3 termasuk kamarku yang di atas, dan kamu kehilangan baju juga kan?"

Safira mengangguk, dia bingung harus bagaimana dengan baju sekarang ia pakai, walau pria di depannya ini sudah mencucinya di tempat londri, tapi masa ia harus memakai sampai beberapa kedepan?

"Di Lemari itu ada beberapa setelan yang bisa kamu pakai! Kamu paham?"

"Iya mas, paham."

"Kalau gitu aku mau ke atas, kamu kalau mau bebersih silahkan, tapi nanti besok sekitar jam 8 pagi kita ke kantor, kamu paham kan, Safira?"

Wanita berumur 24 tahun itu mengangguk paham. "Iya mas."

"Jangan begadang!" ujar pria itu lagi, sebelum benar-benar naik ke atas tangga.

Setelah tak melihat lagi wujud Dexter, Safira yang merasa tak enak hati jika harus beristirahat memilih melangkah kaki ke dapur, terlihat dapur cantik yang tak kalah mewah dari rumahnya.

Terlihat beberapa piring kotor, sampai juga lantai yang kusam, membuat Safira tersenyum. Ia akan bekerja keras mulai sekarang dan membuat ibu juga pria yang sudah banyak membantunya merasa bahagia atas hasil kerjanya.

Walau ia agak merasa sedih karena tak dapat mengingat apapun tentang pria itu, tapi ia akan memeriksa kondisi lagi, agar cepat sembuh dan mengingat semuanya, ia berjanji untuk itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status