Si Mbok mengusap kedua matanya yang berair. Seakan tak mampu lagi untuk bercerita. Dia pun terus terisak dan menangis diikuti oleh pelukan Karmila.
"Lanjutkan Mbok, apa yang terjadi?"
"Setiap hari aku mendengar jerit tangis para wanita itu, Nduk. Sangat menyakitkan. Andai aku seorang pejuang akan aku bakar barak itu. Biar pun mati, aku mati dalam kebanggaan."
"Memangnya, apa yang dilakukan oleh para tentara itu?"
"Kempeitai selalu mendatangkan para wanita dua minggu sekali. Wanita yang sudah tidak sehat, akan dibuang atau dibunuh. Bahkan banyak sekali wanita-wnaita kita yang dibawa ke bangsa mereka atau tempat lain."
"Ke-kejam sekali mereka Mbok."
"Mereka sangat kejam. Tanpa ada perasaan sama sekali. Memperlakukan wnaita kita seperti budak.Yang hanya dibutuhkan untuk digagahi saja. Banyak wanita yang bunuh diri. Enggak hanya itu saja, banyak juga bayi yang dibunuh. Bayi yang tak berdosa, yang tak pernah tahu Bapakny
Kali ini Karmila benar-benar mengarahkan pandangannya pada si Mbok. Wanita tua itu hanya mengangguk. Tanpa memberi penjelasan."Jadi, semua pakaian wanita yang ada di sini bekas para wnaita seperti aku ini, Mbok?""I-iya, Nduk.""Aaaaahhh!"Karmila memukul tembok kamar, berulang-ulang."Jadi aku bukan yang pertama kali?""Bukan, Nduk. Banyak wanita sebelum kamu. Makanya aku menyarankan padamu seperti tadi. Karena apa yang mereka lakukan, seperti yang ingin kamu lakukan sebelumnya."Seketika Karmila menunduk dengan tangis yang tak bisa dia bendung lagi. Sedang di sudut kamar. Lazuarrdi hanya bisa terpaku tanpa bisa berkata-kata lagi. Ingin hatinya menarik lengan Karmila dan mengajak pergi dari tempat terkutuk ini. Namun, apa daya. Dia tak mampu berbuat sesuatu untuknya."Mas ... Mas Ardi!"Dia merasa tubuhnya bergoyang."Mas Ardi!"Samar Lazuarrdi seperti mendengar suara yang memanggil namanya. Hingga dia me
Satriyo mengeluarkan mobil dari halaman rumah. Tak lama kemudian. Mobil sudah melaju meninggalkan Marni yang masih menatap kepergian mobil itu. "Sat!" "Iya, Mas. Ada apa?" "Tadi aku masih bermimpi soal Karmila." "Karmila ...?" "Iya, Sat. Dan, semua itu sangat jelas sekali. Aku seperti ada di tahun itu." "Memangnya apa yang terjadi sama Karmila?" Lazuarrdi menghela napas panjang. Terlihat dia begitu kesal oleh mimpi semalam. Hingga berulang kali hembusan napasnya terdengar. Sampai membuat Satriyo menoleh ke arah Lazuarrdi. "Kenapa, Mas?" "Dia dipaksa melayani seorang kapten kalau enggak salah namanya Hayato Kenji." "Hayato Kenji?" ulang Satriyo. "Apa yang kamu pikirkan Sat?" "Mas Danang, Mas." Kalimat Satriyo membuat Lazuarrdi mengerutkan dahinya. Dia pun menoleh pada Satriyo. Tatap matanya fokus pada jalanan yang masih lengang. "Maksud kamu gimana?" "Coba Mas Ardi
Satriyo langsung menarik pergelangan tangan wanita itu. Lalu mengajaknya duduk di teras depan rumah. Dari pos keamanan, terlihat seorang lelaki yang mendekati mereka."Kalian pasti mau ceritain kejadian semalam ya?""Iya, Naryo. Biar Mas Satriyo bisa cerita sama Mas Ardi.""Memangnya ada apa?" tanya Satriyo heran melihat mereka yang masih membisu."Coba bilang ada apa Mbok sama Mas Satriyo?" lanjut Naryo. Tatap matanya masih mengarah pada Mbok Yani, yang masih bingung harus memulia cerita dari mana."Ayok, Mbok!" Desak Satriyo."Ehhh, semalam dari dalam kamar Mas Ardi kedengeran suara wanita nyanyi.""Wanita nyanyi?" ulang Satriyo terkejut.Mbok Yani dan Naryo mengangguk."Memang nyanyi apa?"Tanpa berkata-kata, mereka berdua menggeleng. Membuat Satriyo semakin penasaran. Hingga terus mendesak mereka untuk bercerita. Walau awalnya Mbok Yani masih terlihat ragu dan takut. Pada akhirnya dia mulai menceritakan apa ya
Seketika mereka merasa bulu kuduk berdiri dan merinding. Lalu saling berpandangan dengan raut wajah yang tegang."Kalian apa ya ngerasa toh?" tanya Mbok Yani."Padahal masih pagi loh ini," sahut Naryo."Memang aura rumah ini berbeda. Sejak pedang itu pernah dibawa ke sini.""Bener, Mas Satriyo. Apa enggak sebaiknya dicarikan orang pintar atau ustad?" lanjut Naryo."Memangnya Mas Ardi percaya yang begituan?" tanya Mbok Yani. Mengalihkan pandanganya pada Satriyo. Begitu juga Naryo."Kok kalian lihatnya ke aku?""Yah, kita berdua ingin tau. Apa Mas Ardi itu juga percaya sama hantu dan perklenikan. Apalagi dia udah lama tinggal di luar. Mamanya juga orang luar.""Tapi, Mas Ardi kehidupannya lebih lama tinggal di Jawa. Sama kakek neneknya 'kan?" sahut Satriyo."Bener juga," sahut Mbok Yani dan Naryo bersamaan.Di dalam kamar. Lazuarrdi masih tertidur pulas. Hingga dering ponsel membangunkannya. Masih dengan mata yang t
Satriyo pun mengangguk. Lazuarrdi hanya bisa mengembuskan napas panjang."Ternyata mereka tetap ada di sini. Biar pun pedang samurai sudah aku pindahkan ke rumah Eyang. Apa yang sebenarnya mereka kejar ini?"Pertanyaan Lazuarrdi memang benar. Satriyo pun berpikir hal yang sama dengan tuannya. Tak lama, aroma kopi latte kesukaannya tercium wangi. Mbok Yani membawa dua cangkir dan diletakkannya di meja makan."Mas Ardi mau sarapan apa?""Buatkan roti toaster aja, Mbok. Beri selai mocca!""Baik, Mas. Mas Satriyo apa mau juga?""Enggak, Mbok. Aku mending sarapan sego pecel aja Mbok. Kenyang!" tegasnya sembari tergelak.Lazuarrdi kembali meneruskan perbincangannya dengan Satriyo. Dia masih berpikir bahwa ada sesuatu sehingga membuat Karmila menampakkan dirinya. Yang pasti berhubungan dengan pedang samurai itu. Termasuk wanita berpakaian kimono. Akan tetapi siapakah mereka?"Kazumi ...?" Lazuarrdi berdesis."Kazumi, Mas?
Mobil melaju kencang menembus jalan tol. Tak banyak percakapan yang terjadi antara Lazuarrdi dan Satriyo. Hingga dua jam berlalu. Mereka mulai melewati pesisir pantai utara. "Apa rumahnya di sekitar pantai sini?" "Iya, Mas. Sedikit masuk gang kecil." "Apa mobil bisa masuk?" "Bisa Mas. Tenang aja." Mobil pun mulai melewati sebuah jalan kecil. Yang hanya cukup untuk satu mobil saja. Tak jauh dari mulut gang terdapat sebuah tanah lapang. Satriyo memarkir mbolnya di sana. "Kita turun di sini, Mas." "Rumahnya yang mana?" "Kita masih jalan masuk!" Lazuarrdi pun segera turun. "Emang enggak apa-apa?" "Tenang aja, Mas. Aman kok." Tampak Lazuarrdi manggut-manggut. Dia berjalan mengikuti Satriyo yang mendahuluinya. Jalanan tertutupi pasir putih khas pantai. Dengan tembok rumah warga yang memakai batu kapur putih. Sangat jarang yang memakai batu bata merah. Lazuarrdi terus mengamati rum
Waras tak melanjutkan kalimatnya. Tiba-tiba, dia merasakan tenggorokannya seperti tercekik. Hingga ponsel Lazuarrdi terlempar. "Cak ... Cak! Ada apa ini?" teriak Satriyo panik. "Dia kenapa Sat?" "Aku juga enggak tau, Mas." Lelaki itu terus mengerang kesakitan. Bahkan tubuhnya terus menggeliat seolah menggelepar bagai seekor ikan di daratan. Satriyo dan Lazuarrdi berusaha untuk menolongnya. Mereka melepaskan kancing baju lelaki itu. Serta melonggarkan celana yang dipakainya. "Kita harus minta tolong pada warga sekitar, Sat. Aku juga enggak tahu bagaimana cara untuk menolongnya." "I-iya, Mas." Akhirnya Satriyo berlari keluar. Dia menuju gerombolan ibu yang tadi menyapa mereka. "Tolong, Bu! Cak Waras kesakitan, Bu. Apa ada dokter dekat sini?" "Loh memangnya kenapa, Mas?" "Aku juga enggak tahu kenapa, Bu. Ayo tolong kami!" Para wanita itu berlarian mengikuti Satriyo yang berlari terlebih dahulu. Hing
"Di sini ada seorang wanita memakai Kimono. Dan, terlihat dari arah samping. Dia seperti tengah memandang pedang samurai itu.""Lalu, kenapa sampai membuat Cak Waras seperti itu?""Kalian bukan berhubungan dengan sosok hantu biasa saja. Ini--"Mustofa menghentikan kalimatnya. Lalu dia menggeleng, pelan. Membuat Lazuarrdi dan Satriyo bertanya-tanya. Tampak lelaki itu kembali melanjutkan melihat foto pedang itu."Di mana kah Kakeknya Mas dapatkan pedang samurai ini?" "Itu yang masih ingin saya cari tahu, Pak. Makanya sekarang saya ada di sini. Semuanya ini sangat tiba-tiba buat saya. Setelah Kakek meninggal, saya langsung diberi pedang samurai itu sama Nenek.""Pedang ini haus darah!" tegas Mustofa, tanpa berkedip melihat pada Lazuarrdi. Tatapnya tajam tanpa jeda. "Pedang ini haus darah, Mas!" ulangnya lagi.Lazuarrdi hanya menggelengkan kepalanya berulang-ulang."Sebenarnya saya baru saja mengembalikan pedang samurai itu ke rum