Raisa seorang gadis yang baru berusia 20 tahun. Dan, harus menjadi seorang pemandi jenazah. Hingga pada sebuah kejadian, saat memandikan jenazah Bu Sapto. Kukunya terlepas, dari jasad. Tersangkut di renda jilbab Raisa. Sejak itu, kehidupan gadis manis itu berubah. Dia selalu dihantui oleh Bu Sapto.Kematian Bu Sapto semakin menjadi teka teki. Hingga Raisa bersama Delon, menyelidiki tentang Kematiannya.
View MoreRaisa terhenyak saat dirinya diminta untuk ikut memandikan jenazah bu Sapto. Padahal dia baru beberapa kali, mengikuti pelatihan itu bersama emak haji.
"Kenapa harus saya, Bu? Yang lain 'kan bisa," elak gadis manis itu.
"Enggak ada orang. Emak haji lagi pulang ke Padang. Bu Titin ada hajatan di rumahnya. Mbah Sarji sakit, jadi cuman ada kamu, biar dibantu dengan ibu-ibu masjid," ucap Bu Marto panjang lebar.
Dia berusaha meyakinkan gadis itu. Raut wajahnya berubah. Dirinya tak yakin, jika harus menerima permintaan ini.
"Kasihan jenazah Bu Sapto!"
"Tapi, selama ini saya selalu sama Emak Haji."
"Raisa, enggak baik menolak. Ini tentang orang meninggal. Bukan hal bersenang-senang!"
Gadis itu mulai berpikir. Ada pertarungan dalam benaknya. Antara menerima atau menolak. Namun, dia sudah berjanji pada neneknya, emak haji. Jangan pernah menolak jenazah untuk dimandikan. Siapa pun!
Dengan berat hati, akhirnya dia menerima. Raisa bergegas mengganti pakaian dan menyambar tas kecil.
Hatinya selalu berdoa. Ini adalah pengalaman pertama baginya terjun langsung, tanpa ada emak haji di sisinya.
"Aku pasti bisa! Pasti bisa ...!"
*
Suasana rumah Bu Sapto sudah banyak pelayat yang berdatangan. Berbagai kelengkapan untuk mandi sudah dipersiapkan.
Kali ini, Raisa nampak tegang. Wajahnya hampir tak bisa tersenyum. Kala jenazah sudah memasuki ruang pemandian. Jantungnya semakin berdebar kencang.
"Bismillah."
Saat kain jarik yang menutupi tubuhnya terbuka, bau busuk dan anyir menjadi satu. Ada beberapa luka di bagian kaki dan kuku tangan. Kata mereka karena diabetes yang diderita. Bagian pergelangan tangan pun terlihat parah.
Berulang kali gadis itu, membaca doa dalam hatinya. Dia mulai mengikuti tata cara memandikan jenazah yang diajarkan selama pelatihan.
Setelah mencuci rambut, membersihkan bagian vital serta kuku dan tubuh. Raisa yang dibantu oleh dua orang ibu pengurus masjid dan satu orang keluarga, mulai menutupi mayat dengan kain jarik.
Ketika hendak diangkat dan dibawa masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba, benang jilbabnya seperti terkait pada sesuatu. Saat dia lihat, benang itu terkait pada kuku jempol tangan bu Sapto yang panjang.Sontak membuat gadis itu sangat terkejut. Saat dia mau mengatakan pada orang-orang, keburu mayat sudah di angkat untuk masuk ke dalam rumah.
"Astagfirullah!" ucapnya.
Kuku itu terlepas, dan menempel diantara renda jilbabnya. Raisa menjadi panik. Dia berusaha untuk menarik kuku dari sela benang yang terurai.
Belum sampai dia mengambil, kuku itu sudah tak terlihat. Kemungkinan terlepas dan terjatuh. Raisa kelimpungan mencari benda kecil itu. Dia mulai panik.
"Uuups! Di mana kuku itu?" gumamnya lirih.
"Kamu cari apa?" tegur Bu Marto.
"Eeeh, ca-cari kuku Bu," jawabnya dengan melihat ke lantai.
"Kuku siapa?"
"Kuku Bu Sapto," bisik Raisa lirih.
"Haaaaa! Apa?" teriak wanita itu kencang.
Raisa mengabaikan wanita itu, yang masih syok mendengar ceritanya. Kemudian, Bu Marto menarik lengannya kuat.
"Kamu apa ndak takut? Hati-hati kamu dihantuinya," jelas Bu Marto.
"Makanya Ibu bantu saya cari!"
Mereka berdua terus mencari benda sangat kecil, yang hampir tak terlihat itu. Mustahil mereka akan menemukannya, disaat para pelayat semakin banyak berdatangan.
"Gimana Bu Marto?"
Raut wajah Raisa terlihat tegang. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya.
"Enggak usah dicari, pasti enggak ketemu," ujar Bu Marto.
"Ta-tapi, apa enggak jadi masalah?"
Terlihat wanita itu mengernyitkan dahinya. Dia pun bingung menjawab apa atas pertanyaan yang terlontar pada Raisa.
Gadis itu masih mendongak ke arah Bu Marto. Sambil menunggu jawaban.
"Gimana Bu?"
"Semoga enggak apa-apa Sa."
"Maksud Ibu?
"Yah, enggak akan terjadi apa-apa."
Suara Bu Marto terdengar bergetar. Sesekali dia melena ludahnya sendiri.
"Bu Marto kok diam saja? Kenapa?"
"Ehhh ... cuman kaget soal kuku tadi. Kamu kalau mau ganti baju pulanglah!"
"Iya, Bu. Saya pulang dulu."
Setelah itu, Raisa berpamitan pulang untuk mengganti pakaiannya yang basah. Sepanjang perjalanan, dia merutuki dirinya yang sial.
"Kenapa kuku itu harus terselip diantara benang jilbabnya?"
'Emak Haji, apa yang harus Raisa lakukan sekarang?' bisiknya dalam hati.
*
Malam ini, gadis itu masih gelisah. Dia tidak bisa tenang. Ingin bercerita pada bapak, tapi dia mengurungkan niatnya. Raisa tak ingin di salahkan. Apalagi bila keluarga Bu Sapto yang mendengar. Atau warga desa Bu Sapto.
Cukup lama Raisa terduduk di atas kasur, dengan mendekap lututnya. Seperti teringat sesuatu, dia mengambil sebuah gunting dan tas plastik.
Raisa berjalan ke ruang belakang, mencari jilbabnya yang sudah tertumpuk pakaian kotor. Dia berniat mencuci bersih, setelah itu membuangnya.
Saat mencuci, telapak tangannya merasakan duri tajam yang menusuk walau tidak sakit. Sontak kedua matanya terbelalak, manakala melihat kuku itu ternyata terselip dibalik renda.
"Aaaahhh!"
Dia mendengkus kasar. Seolah mempersalahkan dirinya yang kurang teliti. Gadis itu mengambil kuku Bu Sapto. Kemudian dia letakkan dalam kantong plastik kecil dan mengikatnya.
Tak lupa juga Raisa, membungkus jilbab yang masih basah. Berjalan keluar rumah untuk membuangnya ke tempat sampah.
Namun, dia merasakan seperti ada seseorang yang mengikuti dari arah belakang. Seketika itu dia menoleh. Tak terlihat ada siapa pun.
"Aneh. Aku kok merasa ada seseorang tadi. Kayak ada suara orang berjalan?"
Pandangan matanya berpendar mengelilingi seluruh halaman rumah. Cukup lama dia terdiam dan mematung.
"Mungkin cuman perasaan aku aja."
Buru-buru Raisa kembali masuk ke dalam rumah. Adik dan bapaknya sibuk menonton televisi. Gadis itu masuk ke dalam kamar kembali. Plastik yang berisi kuku bu Sapto, diletakkannya bersebelahan dengan Alquran.
Entah apa alasannya?
Dia mulai merebahkan tubuhnya yang penat. Raisa berpikir besok pagi, akan menguburkan kuku itu.
"Besok pagi akan aku kuburkan di makamnya. Semoga semua baik-baik aja."
Terdengar hembusan napas berat. Berulang kali dia menarik napas dalam-dalam.
"Kenapa ini terjadi sama aku ya Allah? Kok bisa kuku itu terselip di jilbab aku? Kok bisa?"
Tampak dia memukul kepalanya berulang kali. Sembari sesekali melirik ke atas lemari. Tempat kuku itu dia taruh.
"Aku memang sembrono! Terlalu grusa grusu."
Perasaan Raisa semakin tidak tenang. Kegelisahan itu semakin jelas terpancar dari mimik wajahnya.
Dia membalikkan tubuhnya menghadap jendela kamar.
"Haaahhhh!"
Terdengar helaan napas yang terasa berat. Berulang kali terdengar.
Tiba-tiba ....
Raisa seperti merasa ada yang aneh. Sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri dan merinding.
Tangannya bergerak ke arah belakang. Mengusap tengkuk berulang kali.
Raisa mulai merasakan bagian punggung terasa hangat. Seperti hangatnya hembusan napas.
Deg!
Ada desir aneh menyelinap dihatinya. Semakin membuat tubuhnya bergidik.
"Aa-ada apa di belakangku ini?" Gadis itu langsung berbalik, dan seketika jantungnya berhenti berdetak. Mulutnya terbuka lebar.
"Haaaahhh!"
Matanya terbelalak. Tanpa bisa dia mengerjap sedikit pun.
"Ka-kamu ...?"
*
Follow my IG Raifiza_lina
Baca juga ELEGI WANITA KEDUA, GEISHAKU KARMILA, THE DUKE WILLIAM (9 ISTRI)
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments