Ucapan Tristian membuat mereka terkejut, apalagi aku. Aku menatap horor ke wajah pria itu yang tersenyum licik."Saya harus mengawasi sesuatu. Tolong di urus segera!"Semua orang mengangguk lalu membubarkan diri. Sedangkan aku masih tercengang tidak percaya. Aku sangat paham apa yang terlintas dipikiran pria itu."Greet, kalau sudah selesai silahkan keluar." tambahnya dengan sengaja saat yang lain masih mengantri keluar pintu.Aku mendengus pelan. Lalu berdehem sambil mengangkat wajahku. "Terima kasih, Pak. Permisi!" Aku langsung menghentak keluar tanpa menunggu jawaban. Sekilas pria itu terkekeh. Awas saja nanti malam aku akan membahas usul konyolnya ini!"Greet ..." panggil Nora sambil melambai menyuruhku mendekat. "Kok bisa ngikut sih si Bapak?""Auk!" Kesal! Aku sangat kesal!"Mau honeymoon kali yak ama bininya?" Aku mendelik sesaat pada Nora membuat gadis itu beringsut duduk. Lalu aku berjalan kembali keruanganku. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin segera pulang dan berdebat d
Tiga hari kemudian ...."Greet!"Aku menoleh melihat mba Luna berjalan masuk ke dalam coffe shop, aku tengah mengantri untuk membeli kopi, semalam aku kurang tidur dan pagi saat bangun aku merasa sangaaat mengantuk."Hai, Mba ...." Aku membalas lambaian tangannya."Tumbenan beli kopi pagi-pagi?" Dia berdiri di belakangku yang memang kosong.Aku hanya menggumam sebagai jawaban. Mba Luna terus bicara tentang acara tahunan kantor yang akan digelar sebulan lagi. Acara itu berisi kegiatan lomba-lomba dan macam lainnya. Mataku berkeliling dan menangkap sosok Tristian yang berjalan masuk melalui pintu putar lobby. Sudah tiga hari kami tidak berkomunikasi. Entah mengapa rasanya semuanya diluar batas kebiasaan kami.Biasanya saat bertengkar, salah satu dari pasti ada yang mengalah, tapi kali ini aku berpegang pada pendirianku bahwa pikiran Tristian terlalu berlebihan dan menyinggung perasaanku. Secara tidak langsung bisa dibilang dia tidak percaya sama sekali padaku.Dan itu sangat mengganggu.
Aku menelan salivaku menatap Tristian. Mba Luna terbelalak menatap kami berdua."Tian?" Dia mengerjap, terlihat bingung tapi juga ada emosi lain.Tristian terlihat tenang, kemudian menarik napas. "Kamu bilang dompetnya ketinggalan, aku pikir ... aku belum turun, jadi aku sekalian ambilin."Hening.Lalu tawa pecah dari mulut Mba Luna. "Astaga, aku pikir ...” Mba Luna mengusap kasar wajahnya, “ ya ampun! Aku ampe bingung.” Dia terkekeh aneh sambil berjalan ke nakas dan mengambil dompetnya.Aku hanya diam sambil tersenyum getir, begitu juga dengan Tristian. Pria itu melirikku sejenak sebelum Mba Luna berbalik."Kita jalan dulu ya, Greet ..."Mba Luna mengamit lengan Tristian dan menariknya keluar. Aku terduduk sambil menghela napas, tidak ada debaran berlebih di dadaku. Tristian dengan cepat mencari alasan dan kebetulan tepat. Aku tidak berpikir apa-apa lagi. Setelah mereka pergi aku memutuskan untuk tidur sejenak.Malamnya saat makan malam, Mba Luna dan Tristian baru terlihat. Aku berbi
"Te-temanku.""Siapa? Pierce?" Wajah wanita itu tersenyum penasaran sambil duduk. Dia terlihat antusias.Aku menggeleng pelan."Masa? Ampe pink gitu pipi kamu Greet ... beneran bukan dia?" Mba Luna tertawa pelan.Aku sebenarnya tidak enak, aku dan Tristian menjalin hubungan di belakang Mba Luna. Tapi mau bagaimana lagi, pria itu tidak mau melepasku, aku pun tidak ingin dia menjauh. Tapi aku dan Tristian sudah membuat perjanjian untuk tetap menutup rapat hubungan kami. Saat di Indonesia Tristian bahkan menggunakan nomor lain untuk berkomunikasi denganku. Aku takut ada orang yang memperhatikan jika tanpa sengaja membaca nama yang kutulis di kontak ponselku untuk pria itu."Gila, rame banget ya!"Mata kami berdua berpendar ke sekeliling. Mungkin karena setelah jam makan siang makanya ramai, banyak orang membeli cookies atau coffe. Aku memesan caramel milkshake, Mba Luna memesan strawberry milkshake yang merupakan minuman favorit disini dan beberapa jenis cookies untuk kami coba. Tidak la
“Untung lukanya tidak dalam, tidak perlu dijahit.” Dokter yang bertugas di klinik wilayah setempat tersenyum padaku. Dia membersihkan dan mengoleskan antiseptik ke lukaku. "Kalau bengkak, kompres saja dengan es batu.”Aku mengangguk. "Thankyou, Dok ...."Setelah selesai aku duduk di taman disamping klinik. Merasa lega karena lukaku hanya lecet saja, lalu aku cemas, bagaimana keadaan Mba Luna?Aku memejamkan mata mengingat saat tadi bagaimana paniknya Tristian, dia bilang tengah berjalan ke arah kami saat melihatku dan Mba Luna terjatuh. Dia langsung menghampiriku tanpa sadar kalau ada mba Luna juga disana.Saat kami sudah ke pinggir aku menyuruhnya mengurus Mba Luna. Tristian terlihat enggan tapi aku memaksa. Lagipula rekan lainnya terlihat bingung melihat kejadian itu, mudah-mudahan tidak ada yang curiga apa-apa saat melihat Tristian malah menolongku terlebih dahulu bukannya membantu istrinya. Aku menghela napas, entah apa yang akan mba Luna pikirkan."Greet ..."Suara lembut itu mem
"Feeling better?" Pierce menempelkan kain terikat berisi es batu ke kedua lututku yang sedikit membiru.Aku meringis pelan tapi kemudian merasa nyaman. "Yeah, thanks."Pria itu kemudian berjalan ke kamar mandi setelah membantu mengganti perbanku. Saat Pierce datang, Mba Luna mengajak Tristian untuk pergi makan malam. Tristian sempat bertemu dan menyapa Pierce, dia tersenyum padaku sebelum keluar kamar. Mba Luna malah yang terlihat salah tingkah saat Pierce langsung cemas saat melihat lukaku."Wanna eat something?" Dia membuka buku menu layanan kamar, Pierce bilang kami akan tetap makan malam walau di kamar."Mmm, banana ice cream for dessert please ...." pintaku membuat Pierce terkekeh.Dia menelepon layanan kamar dan memesan makanan untuk kami. Satu jam kemudian pesanan kami datang. Sambil makan, kami bertukar cerita tentang kehidupan sehari-hari, dan juga obrolan seru lainnya. Setelah makanan utama ludes tak bersisa, Pierce membawakan semangkuk banana split with triple ice cream unt
Tristian POV"Bee... kamu kenapa?" Greet terlihat lemas dan pucat. Aku sedikit panik, tiba-tiba kondisinya berubah, padahal semula dia terlihat biasa saja. Greet hanya diam menatapku. Aku mengambilkan minum dan membantunya untuk duduk."Dingin ..." Dia mengerjap pelan."Tapi badan kamu panas. Kita ke dokter ya?" sahutku.Greet menggeleng. "Ga usah, aku mungkin cuma kecapekan."Dia memejamkan matanya. Aku memeluknya sambil berpikir apa yang harus aku lakukan. Sepuluh menit kemudian wanitaku tertidur. Aku menunggu hingga satu jam dan kembali mengecek suhu tubuhnya. Malah semakin panas. Tanpa menunggu lagi aku menghubungi dokter keluargaku dan menyuruhnya datang.Satu jam kemudian dr. Sandy datang. Wanita itu langsung memeriksa keadaan Greet."Saya curiga DBD, Mas." Dia melepas stetoskop kemudian mengambil sesuatu dari tasnya. Mataku menyipit melihat dia mengeluarkan jarum suntik."Saya akan ambil darahnya dan cek di lab."Aku membantu memegang lengan Greet, takut dia terkejut. Greet mer
Greet POVAku sudah merasa lebih baik, hampir sepuluh hari aku ijin kantor, berarti hampir dua minggu totalnya aku di rumah. Berkat ketelatenan Tristian dan perhatian Mamanya yang mengurusku selama aku sakit, aku tidak perlu dirawat, bahkan sekarang sudah siap untuk beraktivitas normal. Untungnya tidak ada rekan kantorku yang menjenguk, Tristian bilang dia sengaja menyebar isu kalau aku ada di Bandung saat sakit.Aku sedang merapihkan apartemen, membereskan baju-baju yang baru dikirim oleh laundry langganan Tristian. Mba Luna beberapa kali telepon dan bilang sayang sekali tidak bisa datang untuk menengok. Tapi ku bilang bahwa akhir pekan ini aku sudah kembali ke Jakarta. Dan senin sudah mulai kerja, dia bilang ingin cerita banyak.Tristian saat ini sedang pergi menemui Mama Mba Luna, mereka akan bicara mengenai perceraian itu. Aku harap semua berjalan lancar.Tristian terus menemani saat aku sakit, dia ingin membawaku ke apartemennya tapi aku lebih nyaman disini. Apalagi kalau Mamanya