Sevi bekerja di perusahaan susu segar, hidupnya tampak sempurna. Ia mencintai pekerjaannya sebagai milk tester, mencintai susu strawberry, dan hidup mandiri. Tapi semuanya berubah ketika ia menemukan susu baru yang justru membangkitkan ‘reaksi biologis’ aneh pada tubuhnya. Tanpa hamil, tanpa hubungan, tiba-tiba tubuhnya memproduksi ASI... beraroma strawberry. Lebih rumit lagi, bosnya yang dikenal dingin dan perfeksionis, Arlan, mulai mencium rahasia aneh yang disembunyikannya. Tapi siapa sangka? Keanehan itu justru jadi awal kedekatan mereka dengan cara yang tidak pernah terpikirkan Sevi sebelumnya. “Saya tahu cara supaya nggak terlalu sakit. Mau?”
Lihat lebih banyakSevi terbangun dengan rasa lengket di area dadanya. Awalnya ia mengira itu hanya keringat karena cuaca panas. Namun saat jemarinya menyentuh, terasa basah. Ia tercekat, lalu buru-buru masuk ke kamar mandi.
Di depan cermin, pandangannya membeku. Dari dadanya, cairan putih kekuningan merembes pelan. Ia menekan sedikit, rasa nyeri menjalar, dan cairan itu keluar lebih deras.
“Apa-apaan ini…?” bisiknya, panik.
Jantungnya berdebar tak beraturan. Ia belum pernah hamil. Siklus haidnya normal. Ia bahkan belum pernah disentuh. Jadi kenapa tubuhnya bereaksi seperti ini? Ingatannya langsung melayang ke malam sebelumnya—dua botol susu stroberi edisi terbatas BerryStraw – Limited Edition yang ia habiskan. Rasanya lebih segar, lebih manis dari biasanya. Terlalu manis.
Sevi terduduk di tepi ranjang, memegangi dadanya yang berdenyut, antara nyeri dan sensasi panas yang tak ia pahami. Ia mencoba menenangkan diri, tapi waktu tak berpihak padanya. Ia tetap harus berangkat kerja. Dengan pasrah, ia menutup dadanya dengan lapisan pakaian ekstra dan tisu untuk menahan rembesan.
Di kantor, ia berulang kali harus ke kamar mandi untuk mengganti tisu. Sulit baginya berkonsentrasi. Namun siang itu, sebuah pesan masuk: ia dipanggil ke ruangan Arlan, bosnya, untuk menyerahkan laporan hasil uji kualitas.
Sevi masuk dengan langkah ragu. Duduk di hadapan Arlan, ia berusaha bersikap profesional. Ia membungkuk sedikit saat menyerahkan berkas. Tapi gerakannya terhenti ketika menyadari tatapan Arlan… tepat ke arah dadanya.
Alis pria itu bertaut. “Sevi… kenapa bajumu basah?”
“A—” Sevi buru-buru menunduk, menutupi bagian itu dengan map. “Bukan apa-apa, Pak. Cuma… ketumpahan minuman.”
Arlan mengangkat kepala. Ekspresinya tetap dingin, tapi jauh di balik tatapan datarnya, ada sesuatu yang lain. Bukan sekadar heran, tapi juga… terusik. Selama ini, ia sudah terbiasa menahan diri di hadapan Sevi—karyawan yang diam-diam mencuri perhatiannya sejak awal masuk kerja.
Senyum tipis Sevi saat rapat, cara dia tenggelam dalam laporan, seseorang yang menyukai pekerjaan diri sendirinya adalah wanita yang langka. Hingga wangi samar stroberinya yang entah kenapa selalu tertinggal di sekitar meja kerja. Semua itu sudah lama membuat Arlan waspada terhadap dirinya sendiri.
Kini, dengan Sevi duduk di depannya dalam keadaan canggung, wajah memerah, dan noda basah yang jelas membekas di bajunya, pertahanan yang ia bangun terasa retak.
“Di kantor, penampilan nggak cuma harus rapi. Baju kamu seperti ini nggak sopan. Saya harap—”
“Saya mengerti, Pak,” Sevi langsung memotong. Ia berdiri terburu-buru, pipinya panas. “Maaf. Saya akan… bereskan.”
Ia keluar hampir berlari.
Arlan masih menatap pintu yang tertutup, rahangnya mengeras. Aroma manis samar menggantung di udara. Aroma yang sejak dulu diam-diam membuatnya lemah, kini terasa semakin kuat. Ia mengembuskan napas panjang, tapi itu tak menghapus sensasi yang tertinggal.
Pagi itu, Sevi bangun dengan tubuh masih gemetar. Setiap kali menutup mata, ia bisa merasakan lagi bibir Arlan menyentuh kulitnya—terlalu nyata untuk disebut mimpi. Dada Sevi berdenyut, lembap, meninggalkan rasa hangat yang membuatnya ingin menjerit Sejak kejadian malam itu, dunia Sevi terasa runtuh. Layar komputer di depannya penuh huruf, tapi matanya hanya menangkap simbol kosong. Setiap kedipan membawa kembali kilasan memori—kilasan yang seharusnya ia singkirkan, namun terus datang seperti ombak menghantam karang. Jantungnya berdetak tak karuan tiap kali pintu ruangan Arlan terbuka. Bahkan suara langkah sepatu di koridor cukup membuatnya menahan napas. Ia mencoba menipu diri, pura-pura tak pernah ada apa-apa. Namun denyut gugup di dadanya selalu mengkhianati. Pernah terlintas untuk menyerahkan surat resign. Tapi kenyataan pahit segera menabrak logika, Pekerjaan ini adalah impiannya, dan pekerjaan bergaji layak yang sesuai minat tidak mudah dicari. Semua kenyamanan yang ia bangun
Suasana kantor malam itu begitu sunyi. Hanya dengungan pendingin ruangan dan bunyi jarum jam dinding yang sesekali terdengar. Lampu neon berpendar dingin, memantulkan cahaya putih pucat ke meja-meja kerja yang sebagian besar sudah kosong.Sevi masih duduk di balik meja, menatap layar komputer dengan mata panas. Jemarinya mengetik cepat, menyusun laporan analisis sampel yang gagal. Seharusnya bisa dikerjakan besok, tapi deadline mendesak.Di lantai itu, hanya ada satu orang lain—Arlan, bosnya. Cahaya lampu meja pria itu tampak redup dari balik pintu kaca yang setengah terbuka. Sesekali terdengar suara kertas dibalik atau kursi digeser.Sevi mencoba fokus, tapi tubuhnya mengkhianati. Dada kirinya nyeri, seakan ditarik dan ditekan. Ia menyesuaikan posisi, tapi rasa sakit justru makin menusuk. Napasnya tersengal, jari otomatis mengusap bagian itu pelan. Sekejap, nyeri bercampur sensasi hangat yang membuatnya menggigit bibir.Ia tahu betul penyebabnya. Sejak kemarin, tubuhnya memproduksi c
Pagi itu, Sevi membuka mata dengan berat. Layar ponselnya menyala terang, menampilkan deretan notifikasi chat kantor. Grup tim sibuk membicarakan deadline, atasannya menanyakan progres, bahkan beberapa email masuk sudah menunggu balasan. “Saya masih sakit, izin istirahat hari ini.”Tanpa menunggu balasan, ia taruh ponsel kembali di meja samping ranjang. Kaos longgarnya terasa lembap di bagian dada, lapisan tisu yang ia selipkan sejak semalam sudah basah menempel di kulit. Sensasi nyeri samar muncul setiap kali ia mengubah posisi tidur. Ia mendesah frustasi, menarik kaosnya ke depan, menatap noda samar yang semakin jelas.Dengan langkah gontai, Sevi menyeret tubuh ke meja kerja kecil di sudut kamar. Ia menyalakan laptop, bukan untuk bekerja, melainkan mencari jawaban.Ketikannya pertama: “minum susu keluar ASI padahal belum hamil”.Hasil pencarian memenuhi layar. Forum ibu muda, artikel medis, thread anonim. Ia membaca satu per satu dengan mata yang mulai perih. Semuanya sama—membicara
Seiring hari-hari berlalu, Sevi mulai menjalani rutinitas yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar menghangatkan kontrakannya, ia terbangun oleh rasa nyeri di dadanya. Sensasi itu seperti alarm alami yang memaksanya bangun, meski matanya masih berat.Langkah pertama yang ia lakukan bukan lagi menyeduh kopi, melainkan mengambil pompa ASI dari meja dan memulai proses memompa. Cairan yang keluar tetap beraroma manis strawberry—samar, tapi jelas. Kadang ia tersenyum kecut melihat botol kecil itu terisi, seolah tubuhnya kini menjadi pabrik kecil yang memproduksi sesuatu yang tak pernah ia pesan.“Parah… jadi kayak sapi perah,” gumamnya pada diri sendiri.Setelah itu, barulah ia bersiap berangkat kerja. Malam harinya, ia mencoba membatasi konsumsi susu strawberry. Ia tahu, semakin banyak ia minum, semakin “produktif” tubuhnya esok hari. Tapi membatasi bukan berarti berhenti—setiap tegukan tetap menjadi godaan yang sulit ia tolak.Di kantor, Sevi mas
Pagi itu, Sevi terbangun dengan rasa nyeri yang lebih menusuk di bagian dadanya dibandingkan hari sebelumnya. Ia sudah terbiasa menahan sedikit rasa sakit, hidup di kota besar memang membuat seseorang terbiasa berkompromi dengan ketidaknyamanan, tetapi kali ini, rasa nyeri itu membuatnya sulit bernapas dalam-dalam. Setiap gerakan, bahkan sekadar mengangkat tangan, membuat dadanya seperti ditarik dari dalam.Ia duduk di tepi ranjang, mencoba mengatur napas. Cairan hangat mulai merembes lagi, membasahi kaos tipis yang ia kenakan. Sevi menatap noda basah itu dan menghela napas panjang. Tangisnya mulai pecah."Aku nggak mungkin maksain diri ke kantor kalau keadaannya seperti ini," batinnya. Ini aneh.Tangannya meraih ponsel di nakas. Ia memilih izin sakit untuk mengecek ke dokter mengenai kondisinya.Rumah sakit cukup ramai saat Sevi tiba. Tangannya menggenggam erat kertas nomor antrean, 17. Ia menunggu dengan kepala tertunduk, berharap tidak ada yang mengenalinya. Satu per satu nama dip
Sevi terbangun dengan rasa lengket di area dadanya. Awalnya ia mengira itu hanya keringat karena cuaca panas. Namun saat jemarinya menyentuh, terasa basah. Ia tercekat, lalu buru-buru masuk ke kamar mandi.Di depan cermin, pandangannya membeku. Dari dadanya, cairan putih kekuningan merembes pelan. Ia menekan sedikit, rasa nyeri menjalar, dan cairan itu keluar lebih deras.“Apa-apaan ini…?” bisiknya, panik.Jantungnya berdebar tak beraturan. Ia belum pernah hamil. Siklus haidnya normal. Ia bahkan belum pernah disentuh. Jadi kenapa tubuhnya bereaksi seperti ini? Ingatannya langsung melayang ke malam sebelumnya—dua botol susu stroberi edisi terbatas BerryStraw – Limited Edition yang ia habiskan. Rasanya lebih segar, lebih manis dari biasanya. Terlalu manis.Sevi terduduk di tepi ranjang, memegangi dadanya yang berdenyut, antara nyeri dan sensasi panas yang tak ia pahami. Ia mencoba menenangkan diri, tapi waktu tak berpihak padanya. Ia tetap harus berangkat kerja. Dengan pasrah, ia menutu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen