Saat Mina tiba di depan pintu gerbang kosan, ia terkejut melihat Kinan sudah berdiri di sana, bersandar santai sambil mengetik sesuatu di ponselnya.
“Kinan? Kok udah sampai duluan?” tanya Mina sambil tersenyum sembari menghampiri Kinan.
Kinan mendongak dan tersenyum balik. “Eh Mina, iya nih, tadi aku buru-buru pulang, soalnya capek banget. Eh, kebetulan kita ketemu di sini.”
Mina membuka gerbang kosan, mengisyaratkan Kinan untuk masuk bersamanya. “Ayo, masuk. Hari ini seru banget di kantor!” katanya dengan nada penuh semangat.
“Oh ya? Gimana hari pertamamu?” tanya Kinan sambil mengikuti Mina masuk ke lorong kosan yang mulai gelap karena matahari hampir terbenam.
Mina bercerita panjang lebar, menjelaskan bagaimana ia diperkenalkan oleh leader timnya, Raka, dan bagaimana ia bertemu dengan rekan-rekan kerja lainnya. Ia berbicara dengan antusias, tak bisa menyembunyikan kegembiraannya karena merasa diterima dengan baik di tempat kerjanya.
Kinan mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk atau melempar komentar singkat. Meski begitu, tatapannya terus mengamati sekitar, terutama lorong kosan yang terasa dingin.
“Baguslah kalau kamu betah di kantor,” kata Kinan saat mereka mendekati ruang tamu. “Kesan pertama itu penting banget buat ningkatin kepercayaan diri.”
Ketika mereka hampir sampai di kamar masing-masing, suara langkah lain terdengar dari arah gerbang. Mina dan Kinan sama-sama menoleh, melihat seorang perempuan muda dengan koper besar masuk. Wajahnya ceria, dengan rambut panjang tergerai, dan ia langsung melambaikan tangan ke arah mereka.
“Hai! Wah, rame banget, kayaknya kosan ini tambah hidup ya,” sapa perempuan itu dengan suara riang.
Mina tersenyum sopan, sementara Kinan menyahut lebih dulu. “Oh, Pika. Kamu baru balik? Lama juga nggak kelihatan.”
Pika tersenyum lebar. “Iya, aku baru pulang dari Surabaya. Dua minggu lebih di sana, urusan kerjaan juga. Wah, seru banget ketemu kalian.”
Mina menyadari bahwa ini pertama kalinya ia bertemu Pika. Ia melirik Kinan dengan sedikit bingung, lalu memperkenalkan diri. “Hai, aku Mina. Baru kemarin ngekos di sini.”
“Oh! Kamu penghuni baru ya? Senang kenalan sama kamu,” jawab Pika ramah sambil menjabat tangan Mina. “Aku anaknya Bu Diah, ibu kos di sini. Kalau ada apa-apa, jangan ragu bilang ke aku juga, ya.”
Mina mengangguk sambil tersenyum. “Oh, terima kasih, Pika.”
Setelah mengobrol sebentar, Pika pamit menuju kamarnya di lantai atas. Mina dan Kinan melanjutkan langkah mereka menuju kamar masing-masing.
Saat Mina membuka pintu kamarnya, Kinan sempat menoleh sekali lagi. “Mina, kalau ada apa-apa, kabarin aja ya. Kamarmu kan tidak jauh dari kamarku.”
Mina tertawa kecil. “Santai aja, Kin. Aku baik-baik aja kok.”
Kinan tersenyum tipis, tapi dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Terutama setelah pertemuan singkat dengan Pika, yang entah kenapa, memberikan perasaan aneh pada suasana kosan malam itu.
***
Pika melangkah masuk ke kamar ibunya dengan langkah cepat, wajahnya tegang. Bu Diah sedang duduk di kursi, menyeruput teh hangat ketika melihat anaknya datang dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Bu,” Pika langsung membuka pembicaraan tanpa basa-basi. “Aku baru tahu dari Ratna, katanya penghuni baru yang bernama Mina itu tinggal di kamar nomor lima?”
Bu Diah menatapnya dengan tenang. “Iya, memang kenapa?”
“Kenapa Ibu kasih dia kamar itu?” nada suara Pika meninggi. “Masih ada kamar lain yang kosong, kan? Ibu tahu kamar itu…” Pika menggantungkan kalimatnya, tetapi jelas apa yang ia maksud.
Bu Diah meletakkan cangkirnya ke meja dengan pelan. “Kamar lain nggak cocok, Pika. Mina butuh kamar yang tenang, dan nomor lima itu kosong. Sudah lama nggak ada yang pakai.”
“Justru karena sudah lama nggak ada yang pakai, Bu!” Pika berseru, suaranya mulai gemetar. “Ibu lupa apa yang terjadi terakhir kali? Indah kabur cuma dalam semalam, Bu. Dia bilang dia dengar suara-suara aneh. Dan sebelum itu…” Pika menarik napas dalam, berusaha mengontrol emosinya. “Bu, kita tahu tragedi enam tahun lalu nggak bisa dihapus begitu aja.”
Bu Diah menatap anaknya dengan pandangan lembut tetapi tegas. “Pika, berapa kali ibu harus bilang? Kita nggak bisa terus terjebak di masa lalu. Apa yang terjadi waktu itu adalah tragedi, tapi kita harus melanjutkan hidup.”
“Menerima penghuni baru di kamar itu sama aja kayak mengundang masalah,” Pika memotong dengan nada kesal. “Ibu tahu, kamar itu nggak pernah benar-benar tenang sejak…”
“Cukup, Pika!” Bu Diah membentak, nadanya lebih tajam dari biasanya. “Ibu sudah memutuskan. Mina anak yang baik. Dia nggak mudah takut, dan sejauh ini dia nyaman tinggal di sana.”
“Tapi kalau sampai ada apa-apa?” Pika menatap ibunya penuh amarah yang bercampur cemas. “Ibu mau bilang apa ke Mina? Atau ke keluarganya nanti?”
Bu Diah terdiam sejenak, tetapi wajahnya tetap tenang. “Kalau kita berdoa dan menjaga niat baik, tidak akan ada yang buruk terjadi. Ibu yakin. Dan kamu juga harus percaya itu.”
Pika menggelengkan kepala dengan frustrasi. “Ibu terlalu keras kepala. Aku cuma nggak mau kejadian itu terulang. Kalau sampai Mina mengalami hal yang sama, Pika nggak tahu apa yang harus dilakukan.”
“Cukup, Pika,” suara Bu Diah kembali melembut, meski tegas. “Ibu tahu kamu peduli, tapi percayalah, semuanya akan baik-baik saja. Kamu nggak usah terlalu khawatir.”
Pika hanya bisa menatap ibunya dengan ekspresi penuh emosi, sebelum akhirnya berbalik keluar dari kamar tanpa berkata apa-apa lagi.
Bu Diah menatap pintu yang tertutup perlahan, menarik napas panjang. Dalam hatinya, ia tahu kekhawatiran Pika bukan tanpa alasan, tetapi ia juga tahu bahwa kamar nomor lima adalah kunci untuk mempertahankan semuanya.
Langit di ufuk timur perlahan mulai berubah warna, dari gelap pekat menjadi ungu keemasan. Udara pagi terasa dingin menusuk, namun semangat rombongan mulai bangkit kembali saat mereka memulai perjalanan ke puncak tepat pukul 05.00.Pak Rahman memimpin rombongan di barisan depan, diikuti oleh Zuen, Iren, Mina, dan Tara yang berjalan berdekatan di tengah, sementara Pika memilih untuk berada di barisan paling belakang. Sebagai salah satu yang paling berpengalaman dalam mendaki, Pika merasa tanggung jawabnya adalah memastikan tidak ada yang tertinggal atau mengalami masalah di perjalanan.Namun, semakin jauh mereka berjalan, semakin tidak tenang perasaan Pika. Bukan hanya karena medan yang semakin berat, tapi karena Tara.Pika melirik ke arah Tara yang berjalan di depan dirinya. Gerakannya terlihat lambat dan kaku, berbeda dari biasanya. Wajahnya tetap pucat, dan tatapannya kosong. Pika merasa ada sesuatu yang salah, tapi ia tidak tahu apa itu."Tara… kenapa kamu jadi seperti ini?" gumamn
Setelah memastikan semua orang sepakat, Pika keluar dari tenda untuk menyampaikan keputusan kepada Pak Rahman.Di dalam tenda, suasana kembali hening. Tara berbaring kembali tanpa mengatakan apa-apa, sementara Mina merapikan tasnya untuk memastikan semuanya siap saat mereka harus pergi.Zuen duduk bersandar di dinding tenda, menatap ke arah pintu dengan pandangan kosong. "Aku harap keputusan ini yang terbaik," gumamnya.Iren yang duduk di sebelahnya menghela napas panjang. "Aku juga. Semoga Tara benar-benar kuat. Aku nggak mau ada yang jatuh sakit atau… sesuatu yang lebih buruk."Mina menoleh ke arah mereka berdua, wajahnya menunjukkan kepercayaan diri yang tulus. "Nggak ada yang buruk akan terjadi. Kita harus percaya, kan? Kalau kita bareng-bareng, semuanya pasti baik-baik aja."Kata-kata Mina membuat suasana sedikit lebih ringan. Zuen dan Iren tersenyum kecil, meskipun rasa gelisah masih mengintai di hati mereka.Di sudut tenda, Tara membuka matanya sedikit, mengamati Mina dalam diam
Dini hari suasana terasa lebih dingin dari biasanya. Jam di tangan Pak Rahman menunjukkan pukul 02:00 saat ia berjalan menuju tenda Pika. Suara langkah kakinya terdengar samar di atas tanah yang lembap. Lampu senter kecil yang dibawanya menerangi jalan, menciptakan bayangan panjang yang tampak semakin menakutkan di antara pohon-pohon tinggi.Pak Rahman berhenti di depan tenda Pika dan mengetuk bagian atasnya perlahan."Pika, kamu bangun?" tanyanya dengan suara pelan namun tegas.Terdengar suara resleting tenda dibuka. Pika muncul dengan wajah setengah mengantuk, rambutnya berantakan dan tubuhnya terbungkus jaket tebal."Pak Rahman? Ada apa?" tanya Pika, suaranya serak."Saya mau tanya, apa kalian berencana melihat matahari terbit di puncak? Kalau iya, kita harus mulai perjalanan sekarang," jawab Pak Rahman sambil menunjuk ke arah jam di pergelangan tangannya.Pika menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya yang masih kusut. Ia menoleh ke dalam tenda, tempat Nadin dan Ratn
Iren dan Zuen saling bertukar pandang, wajah mereka dipenuhi rasa takut. Langkah kaki itu masih terdengar, semakin jelas, seperti bergerak lebih dekat ke tenda mereka."Zuen, kamu denger itu lagi?" bisik Iren sambil mendekat ke Zuen.Zuen mengangguk, matanya tidak lepas dari pintu tenda. "Iya. Aku nggak tahu siapa atau apa itu, tapi ini nggak wajar."Mina menghela napas panjang, mencoba untuk tetap tenang. "Mungkin ini cuma pikiran kalian aja. Aku nggak denger apa-apa, beneran."Namun, suara langkah kaki itu mendadak berhenti. Keheningan yang mengikuti terasa jauh lebih mencekam daripada suara apa pun.Zuen dan Iren semakin tegang, tetapi Mina tetap tidak mendengar apa-apa. Dia memandang teman-temannya dengan rasa bingung sekaligus penasaran."Kalian berdua serius banget. Kalau ada suara itu, kenapa aku nggak denger?" tanya Mina.Zuen mengangkat bahu, suaranya pelan. "Aku juga nggak tahu. Tapi ini nyata, Min. Aku yakin."Mina kembali menoleh ke Tara, yang masih duduk diam dengan wajah
Yang lain mengikuti, menatap Tara dengan campuran lega dan keheranan. Tara berdiri di tengah kabut, tubuhnya sedikit membungkuk, tetapi senyuman kecil terlihat di wajahnya."Aku… aku akhirnya balik," ucap Tara dengan suara pelan.Mina langsung berlari dan memeluk Tara erat-erat, air mata mengalir di pipinya. "Tara, maaf! Aku bener-bener minta maaf. Aku ninggalin kamu. Aku pikir… aku pikir kamu nggak akan balik."Tara tidak langsung menjawab, hanya menepuk punggung Mina dengan lemah. Suaranya terdengar serak. "Aku baik-baik aja, Mina. Jangan nangis, ya. Maaf aku tadi pergi gak bilang-bilang"Yang lain ikut bergabung, memeluk Tara satu per satu dengan wajah lega. Bahkan Zuen yang biasanya tenang terlihat emosional, sementara Kinan terus-menerus memastikan Tara benar-benar tidak terluka.Namun, di tengah kehangatan itu, Pak Rahman hanya berdiri di tempatnya, mengamati Tara dengan tatapan tajam. Ada sesuatu yang tidak beres. Wajah Tara terlalu pucat, lebih pucat dari orang yang hanya kehu
Hujan masih turun, meski mulai mereda menjadi gerimis tipis. Udara di sekitar perkemahan terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Kabut tetap tebal, seperti selimut tak kasat mata yang menutup pandangan. Malam semakin larut, tetapi perasaan cemas di antara rombongan tak kunjung reda.Tenda yang tadinya menjadi tempat berlindung terasa seperti ruang sempit penuh beban. Semua orang duduk dalam diam, saling melirik dengan wajah lelah dan pucat. Ketakutan dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, memenuhi atmosfer yang sudah mencekam sejak Tara menghilang.Pintu tenda terbuka dengan suara lirih. Pak Rahman masuk, wajahnya basah oleh air hujan, tubuhnya tampak kelelahan setelah berjam-jam mencari di tengah hutan. Semua mata tertuju padanya, berharap ia membawa kabar baik.Namun, tatapan kosong di wajahnya sudah menjawab semuanya. Ia menggeleng pelan, mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. "Saya belum berhasil menemukan Tara."Kata-kata itu membuat suasana di dalam tenda lang