Chapter: 15. Honeymoon?Sherine turun dengan langkah tenang, menyembunyikan kecamuk hati yang sejak pagi tak kunjung reda. Saat kakinya menyentuh anak tangga terakhir, ia mendapati sosok anggun duduk dengan sikap santai namun elegan. Rambutnya ditata rapi dalam sanggul Prancis, coat krem berpotongan ramping membalut tubuh semampainya, dan kalung mutiara melingkar manis di leher jenjangnya. Aura sosialita tak hanya tampak dari pakaian, tapi dari caranya duduk, tersenyum, dan bahkan sekadar memutar cangkir teh.Thamara Paramitha Soedono, ibunda Dewa. Sosok yang disegani di kalangan sosialita, pemilik butik high-end dan donatur tetap di berbagai acara amal besar.Sherine segera menghampirinya dan membungkuk sopan sebelum memeluknya."Mama, kok nggak bilang mau ke sini? Saya bisa siapkan masakan dulu atau sesuatu untuk Mama," ucap Sherine lembut, matanya tulus dan penuh hormat."Ahhh, sayang… Mama sengaja bikin kejutan buat kamu dan Dewa. Tapi kata Una, Dewa hari ini malah pergi bekerja," sahut Thamara sambil me
Huling Na-update: 2025-07-29
Chapter: 14 - Ibu MertuaDi apartemennya yang mewah di New York, langit malam mulai berganti dengan warna tembaga matahari terbit. Veneza berdiri di depan jendela besar, mengenakan kimono sutra berwarna ivory, menatap langit dengan tatapan gelisah.Tangannya menggenggam ponsel, namun layar itu tetap gelap—Dewa tak kunjung membalas.“Sudah tiga hari… dan dia belum menjawab satupun pesanku,” gumamnya, suara pelan namun tajam. Ia mengusap wajahnya, frustasi.Ponsel itu dilemparkannya ke atas sofa. Pikiran cemburu mulai membakar hatinya, apalagi sejak berita pernikahan Dewa dan Sherine muncul di media.“Dia terlalu cantik…” lirih Veneza, saat melihat salah satu foto Sherine yang terpampang di layar tablet. Mengenakan kebaya pastel, senyumnya tenang… dan itu membuat hatinya semakin tidak tenang.Ia tak bisa menahannya lagi. Dengan nada tegas, ia memanggil asistennya, “Marry, carikan penerbangan paling awal ke Jakarta. Aku akan ke sana hari ini juga.”Marry terkejut. “Miss, Anda yakin ingin pergi tanpa memberitahu M
Huling Na-update: 2025-07-27
Chapter: 13 - PenyesalanCahaya pagi menembus tirai kamar dengan lembut, membiaskan siluet dua tubuh yang terbungkus selimut putih. Sherine duduk membelakangi Dewa, punggungnya tegak tapi matanya sayu. Di sampingnya, Dewa baru saja membuka mata. Sorotnya kosong sejenak sebelum menyadari kenyataan di hadapannya.Tubuh Sherine.Hangatnya masih terasa di sisi ranjang.Dewa bangkit perlahan. Jemarinya, entah karena naluri atau penyesalan, menyentuh pelan punggung Sherine—hangat dan gemetar. Sherine tersentak, langsung menarik tubuhnya menjauh.“Pak Dewa!” serunya pelan, panik, tak siap menghadapi pagi ini.“Good morning...” ucap Dewa dengan suara serak, mencoba tenang meski jantungnya berdegup kencang.Sherine hanya diam. Napasnya tak stabil. Ia menarik selimut lebih tinggi, seolah ingin menyembunyikan luka yang lebih dalam dari sekadar tubuh yang tak tertutup.Dewa duduk di sisi tempat tidur, memandang wanita itu yang kini terlihat seperti bayangan dirinya sendiri—hancur, diam, tapi tegar.“Aku minta maaf... unt
Huling Na-update: 2025-07-26
Chapter: 12 - Malam PertamaMalam turun dengan sayap kelam, menyelimuti kamar itu dalam diam yang menggantung. Sherine duduk di sudut ranjang, tubuhnya menggigil bukan karena dingin, melainkan karena perasaan yang tak mampu ia beri nama. Ketakutan menyelusup ke tulangnya, seperti kabut yang perlahan menyusupi hutan sunyi.Sherine menghentak lengannya. “Tolong, jangan paksa saya, Pak Dewa. Saya sudah cukup lelah dengan semua kelakuan Anda!”Namun dalam satu gerakan yang tidak diduga, Dewa menariknya mendekat. Tubuh Sherine saat ini hampir menempel dengan Dewa. Tatapan mata mereka bertubrukan—mata Sherine penuh luka dan takut, mata Dewa dipenuhi oleh amarah dan gairah yang membuncah, campuran yang berbahaya bagi hati siapa pun."Siapa yang bilang kamu tidak pantas jadi ibu dari anakku?" suara Dewa rendah, namun terdengar bagai gemuruh badai.Sherine menelan ludah. “Apa maksud Anda…”Dewa langsun menyambar bibir Sherine dan melumatnya dengan ganas, sehingga nafas keduanya beradu tak berturan.Satu persatu pakaian me
Huling Na-update: 2025-07-25
Chapter: 11 - Aku MencintaimuSuasana sepanjang perjalanan pulang benar-benar sunyi. Hanya suara mesin mobil dan hembusan AC yang menemani. Sherine duduk menatap jendela, rahangnya mengeras, matanya tak berkedip, menyimpan amarah dan luka yang belum sempat diredam. Sementara Dewa mencuri-curi pandang ke arahnya, jari-jarinya menggenggam erat setir. Ada penyesalan yang menggantung di dadanya. Tapi semua terlalu cepat terjadi, terlalu tajam untuk dijelaskan. Setibanya di rumah, Sherine turun lebih dulu, langkahnya cepat dan penuh amarah. Dewa turun kemudian, menyusul. Ia menutup pintu mobil pelan, tapi berat. Seolah beban emosinya ikut jatuh bersamaan. “Sherine, tunggu...” Suaranya terengah. Ia menarik napas, lalu mempercepat langkah. Sherine tidak menjawab. Ia membuka pintu rumah dengan kasar dan langsung berjalan menuju tangga. Dewa tak bisa tinggal diam. Ia mengejarnya dan meraih pergelangan tangan Sherine. Hangat. Bergetar. “Sherine, dengarkan dulu. Kamu salah paham.” Sherine menepis tangan Dewa dengan ka
Huling Na-update: 2025-07-22
Chapter: 10 - Cemburu“Kita pulang sekarang?” Suara Dewa terdengar tenang, nyaris dingin saat ia menoleh ke arah Sherine. Tangannya menyentuh lengan Sherine sejenak, lembut tapi mantap. Di sekitarnya, suasana rumah keluarga Ahlam masih hangat oleh gelak tawa dan aroma masakan.Sherine baru hendak menjawab saat Zoya, adiknya, memotong dengan suara riang, “Kenapa cepat-cepat, sih?”Dewa tersenyum kecil, kali ini matanya menatap lurus pada semua anggota keluarga. “Kami ada janji ke dokter kandungan. Untuk program hamil.”Semua hening selama dua detik. Sherine membeku di tempatnya, bibirnya terbuka tanpa suara. Ia menoleh perlahan ke arah Dewa, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.“Pak Dewa?” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.Umma langsung tersenyum bahagia, menepuk tangan dengan semangat. “Alhamdulillah! Semoga Umma dan Baba segera gendong cucu ya, Nak!”Baba mengangguk mantap. “Itu baru menantu lelaki sejati!”Sementara semua bersuka cita, hati seseorang di pojok ruangan terasa runtuh pe
Huling Na-update: 2025-07-21
Chapter: Bab 46 - Bunga Lili yang BerguguranLangkah Raheem tergesa, mengikuti Shaz yang terus melangkah menjauh dari rumah besar itu. Napasnya masih belum teratur, pikirannya belum pulih dari ketegangan barusan.“Raheem!”Sebuah suara memanggilnya dari belakang.Ia menoleh cepat.Seorang perempuan berdiri di antara para tamu. Kebaya warna lilac yang ia kenakan terlihat kontras dengan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai. Mata bulatnya memandang penuh harap, dan seulas senyum lembut tersungging di bibirnya.“Raheem, ini aku. Kau masih ingat?”Raheem mengernyit. Matanya menyipit, mencoba mengingat. “Kau… temannya Alysaa?”Perempuan itu terkekeh. “Iya. Aku Maya. Kita pernah bertemu di Malaysia. Kau dan Shaz mengantar kami kebandara, kau ingat?”“Oh, ya! Aku ingat sekarang,” Raheem mengangguk pelan, nada suaranya mulai hangat. “Yang satu lagi, ke mana?”“Radya? Dia masih di dalam, bersama tamu-tamu yang lainnya.” Maya melirik ke arah rumah.Ada jeda hening sejenak. Keduanya saling menatap, seperti mencoba menyesuaikan diri dal
Huling Na-update: 2025-07-31
Chapter: Bab 45 - Pergilah !Langkah kaki Shaz terdengar pelan di sepanjang sisi rumah besar itu. Jalan setapak kecil yang sempit dan ditumbuhi kembang sepatu mengantarnya ke area belakang—halaman terbuka dengan pohon mangga besar di sudutnya.Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat sebagian acara di dalam. Hiasan pita dan bunga-bunga melambai ditiup angin, tamu-tamu bersorak kecil saat hidangan mulai disajikan. Tapi telinganya hanya menangkap satu pertanyaan yang berdengung keras dalam benaknya:“Apakah aku sudah terlambat?”Ia menepis keraguan, memantapkan langkah secepat mungkin—seperti pria yang mengejar takdirnya yang hendak direbut dunia.“Shaz, tunggu!” seru Raheem dari belakang, menarik lengannya. “Apa kau yakin ini cara yang tepat?”Shaz menatapnya dengan mata yang berapi. “Kalau aku pergi sekarang, aku akan menyesal seumur hidup.”Beberapa tamu menoleh. Bisik-bisik mulai terdengar dari berbagai sudut.“Siapa itu?”“Tampaknya bukan dari pihak keluarga…”“Tapi… tampan sekali, ya?”Seorang pria paruh baya b
Huling Na-update: 2025-07-27
Chapter: Bab 44 - LamaranShaz menarik napas lega... tapi hanya sedetik. Hinggga tiba seseorang lewat—seorang tetangga wanita berusia sekitar empat puluhan, membawa tas plastik berisi sayuran. Ia menatap mobil-mobil itu dan berseru dengan suara cukup keras.“Wah, udah dateng ya? Banyak banget mobilnya. Lamaran besar, ya, Bu Sari?”Ibu warung—Bu Sari—menoleh cepat.“Lamaran?”“Iya, katanya calon mantu Pak Ardan datang hari ini. Dari Kota Bandung, atau mana, saya lupa.”Shaz tak mengerti semua kata itu, hanya frasa: “lamaran”.Tapi cukup. Itu kata yang menghantam kepalanya seperti batu.Ia langsung membuka G****e Translate dan mengetik dengan cepat.“Maaf, ini hari lamaran? Lamaran siapa?”Ibu Sari membaca, ragu sejenak… lalu menatap Shaz lebih lama. Kerutan di wajahnya tampak berubah jadi empati yang dalam.“Kata tetangga barusan sih… anak Pak Ardan yang mau dilamar. Cantik sekali lho. Rombongan mobil mewah itu ternyata rombongan calon pengantin pria"Shaz menunduk. Udara terasa tipis. Botol air mineral dalam ta
Huling Na-update: 2025-07-25
Chapter: Bab 43 - Kenangan Masa DepanMobil berwarna hitam metalik melaju pelan melewati jalanan yang meliuk di kaki pegunungan. Aroma khas daun teh yang lembap memenuhi udara, sementara hamparan kebun menghijau di kedua sisi, seolah ikut menyambut dua pria asing yang tengah membawa misi dari masa lalu.Di balik kemudi, Shaz menggenggam setir dengan kedua tangan. Tatapannya fokus, namun hati dan pikirannya masih jauh, tertinggal di tempat bernama ketakutan. Ia hampir tak mengucapkan sepatah kata pun sejak keluar dari hotel pagi itu. Hanya suara GPS dan hembusan napas panjang yang memenuhi kabin.Raheem, duduk di kursi penumpang dengan pandangan tak kalah tegang, sesekali melirik ke arah luar jendela. “Tempat ini… terasa seperti perhentian terakhir, ya?”Shaz mengangguk sekali. “Kalau kita salah alamat, aku nggak tahu lagi harus kemana.”Angin tipis pegunungan berembus lewat celah kaca, namun suasana di dalam mobil tetap terasa pengap. Shaz memegang setir erat-erat, seolah jalan yang ia tempuh kali ini adalah jalan satu-sa
Huling Na-update: 2025-07-22
Chapter: Bab 42 - Menuju Rumah MertuaKafe itu masih sama.Aroma kopi hangat masih menguar dari mesin espresso di balik meja kasir. Tapi bagi Shaz, tempat itu seperti lukisan lama yang warnanya memudar—masih familiar, tapi tak lagi menyimpan kehangatan.Ia berdiri di depan meja pemesanan. Matanya menelusuri wajah-wajah barista yang sibuk. Tak satu pun yang ia kenali.“Bahkan semesta seperti menutup semuanya dariku,” gumamnya lirih. “Karyawan yang dulu memberi tahu tempat tinggal Alysaa… tidak ada.”Shaz melangkah pelan ke arah kursi pojok yang pernah ia duduki saat pertama kali datang ke Bandung bersama Raheem. Kursi itu masih di sana. Sunyi. Seolah menunggu luka lama untuk duduk kembali.Raheem mendekat, membawakan dua gelas kopi dan sepiring kue kecil.“Sudah, duduklah. Kita pikirkan lagi. Mungkin ada petunjuk lain,” ujarnya sambil menyodorkan gelas kopi ke Shaz.Shaz mengambilnya tanpa banyak bicara. Cairan hangat itu menyentuh bibirnya, tapi tak menyentuh hatinya.“Kau tahu kontaknya Maya atau Radya?” tanyanya pelan,
Huling Na-update: 2025-07-20
Chapter: Bab 41 - TerlambatBandara Kuala Lumpur dipenuhi suara langkah tergesa, pengumuman keberangkatan, dan aroma kopi dari kios di sepanjang terminal. Tapi tak satu pun dari itu menyentuh kesadaran Shaz. Ia duduk di kursi tunggu dengan punggung membungkuk, tangan terkepal, dan mata tak lepas dari layar ponsel yang kosong dari notifikasi.Raheem duduk di sebelahnya, menatap sahabatnya dengan raut prihatin. Bahkan ia tak perlu bertanya untuk tahu bahwa Shaz sedang mencoba menahan napas yang sejak lama terasa menggantung.“Raheem,” gumam Shaz pelan, “nomormu masih diblokir?”Raheem menggeleng pelan. “Iya, Shaz. Dia benar-benar... menghilang.”Shaz memejamkan mata. Wajah Alysaa—matanya yang jernih, bibir ranumnya—terus muncul di bayangannya. Tapi kali ini, senyumnya menjauh. Buram. Terhapus perlahan.“Bagaimana kalau… dia sedang hamil?” suaranya terdengar rapuh.Raheem menghela napas. “Kalau dia yakin hamil, mungkin dia nggak akan segan buat cari kamu. Tapi kalau dia yakin tidak…” Ia menatap Shaz dengan sorot la
Huling Na-update: 2025-07-19
Chapter: 32. Keanehan KembaliLangit di ufuk timur perlahan mulai berubah warna, dari gelap pekat menjadi ungu keemasan. Udara pagi terasa dingin menusuk, namun semangat rombongan mulai bangkit kembali saat mereka memulai perjalanan ke puncak tepat pukul 05.00.Pak Rahman memimpin rombongan di barisan depan, diikuti oleh Zuen, Iren, Mina, dan Tara yang berjalan berdekatan di tengah, sementara Pika memilih untuk berada di barisan paling belakang. Sebagai salah satu yang paling berpengalaman dalam mendaki, Pika merasa tanggung jawabnya adalah memastikan tidak ada yang tertinggal atau mengalami masalah di perjalanan.Namun, semakin jauh mereka berjalan, semakin tidak tenang perasaan Pika. Bukan hanya karena medan yang semakin berat, tapi karena Tara.Pika melirik ke arah Tara yang berjalan di depan dirinya. Gerakannya terlihat lambat dan kaku, berbeda dari biasanya. Wajahnya tetap pucat, dan tatapannya kosong. Pika merasa ada sesuatu yang salah, tapi ia tidak tahu apa itu."Tara… kenapa kamu jadi seperti ini?" gumamn
Huling Na-update: 2025-05-29
Chapter: 32. Gangguan BerlanjutSetelah memastikan semua orang sepakat, Pika keluar dari tenda untuk menyampaikan keputusan kepada Pak Rahman.Di dalam tenda, suasana kembali hening. Tara berbaring kembali tanpa mengatakan apa-apa, sementara Mina merapikan tasnya untuk memastikan semuanya siap saat mereka harus pergi.Zuen duduk bersandar di dinding tenda, menatap ke arah pintu dengan pandangan kosong. "Aku harap keputusan ini yang terbaik," gumamnya.Iren yang duduk di sebelahnya menghela napas panjang. "Aku juga. Semoga Tara benar-benar kuat. Aku nggak mau ada yang jatuh sakit atau… sesuatu yang lebih buruk."Mina menoleh ke arah mereka berdua, wajahnya menunjukkan kepercayaan diri yang tulus. "Nggak ada yang buruk akan terjadi. Kita harus percaya, kan? Kalau kita bareng-bareng, semuanya pasti baik-baik aja."Kata-kata Mina membuat suasana sedikit lebih ringan. Zuen dan Iren tersenyum kecil, meskipun rasa gelisah masih mengintai di hati mereka.Di sudut tenda, Tara membuka matanya sedikit, mengamati Mina dalam diam
Huling Na-update: 2025-01-11
Chapter: 31. Keputusan PendakianDini hari suasana terasa lebih dingin dari biasanya. Jam di tangan Pak Rahman menunjukkan pukul 02:00 saat ia berjalan menuju tenda Pika. Suara langkah kakinya terdengar samar di atas tanah yang lembap. Lampu senter kecil yang dibawanya menerangi jalan, menciptakan bayangan panjang yang tampak semakin menakutkan di antara pohon-pohon tinggi.Pak Rahman berhenti di depan tenda Pika dan mengetuk bagian atasnya perlahan."Pika, kamu bangun?" tanyanya dengan suara pelan namun tegas.Terdengar suara resleting tenda dibuka. Pika muncul dengan wajah setengah mengantuk, rambutnya berantakan dan tubuhnya terbungkus jaket tebal."Pak Rahman? Ada apa?" tanya Pika, suaranya serak."Saya mau tanya, apa kalian berencana melihat matahari terbit di puncak? Kalau iya, kita harus mulai perjalanan sekarang," jawab Pak Rahman sambil menunjuk ke arah jam di pergelangan tangannya.Pika menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya yang masih kusut. Ia menoleh ke dalam tenda, tempat Nadin dan Ratn
Huling Na-update: 2025-01-10
Chapter: 31. MencekamIren dan Zuen saling bertukar pandang, wajah mereka dipenuhi rasa takut. Langkah kaki itu masih terdengar, semakin jelas, seperti bergerak lebih dekat ke tenda mereka."Zuen, kamu denger itu lagi?" bisik Iren sambil mendekat ke Zuen.Zuen mengangguk, matanya tidak lepas dari pintu tenda. "Iya. Aku nggak tahu siapa atau apa itu, tapi ini nggak wajar."Mina menghela napas panjang, mencoba untuk tetap tenang. "Mungkin ini cuma pikiran kalian aja. Aku nggak denger apa-apa, beneran."Namun, suara langkah kaki itu mendadak berhenti. Keheningan yang mengikuti terasa jauh lebih mencekam daripada suara apa pun.Zuen dan Iren semakin tegang, tetapi Mina tetap tidak mendengar apa-apa. Dia memandang teman-temannya dengan rasa bingung sekaligus penasaran."Kalian berdua serius banget. Kalau ada suara itu, kenapa aku nggak denger?" tanya Mina.Zuen mengangkat bahu, suaranya pelan. "Aku juga nggak tahu. Tapi ini nyata, Min. Aku yakin."Mina kembali menoleh ke Tara, yang masih duduk diam dengan wajah
Huling Na-update: 2025-01-07
Chapter: 30. KembaliYang lain mengikuti, menatap Tara dengan campuran lega dan keheranan. Tara berdiri di tengah kabut, tubuhnya sedikit membungkuk, tetapi senyuman kecil terlihat di wajahnya."Aku… aku akhirnya balik," ucap Tara dengan suara pelan.Mina langsung berlari dan memeluk Tara erat-erat, air mata mengalir di pipinya. "Tara, maaf! Aku bener-bener minta maaf. Aku ninggalin kamu. Aku pikir… aku pikir kamu nggak akan balik."Tara tidak langsung menjawab, hanya menepuk punggung Mina dengan lemah. Suaranya terdengar serak. "Aku baik-baik aja, Mina. Jangan nangis, ya. Maaf aku tadi pergi gak bilang-bilang"Yang lain ikut bergabung, memeluk Tara satu per satu dengan wajah lega. Bahkan Zuen yang biasanya tenang terlihat emosional, sementara Kinan terus-menerus memastikan Tara benar-benar tidak terluka.Namun, di tengah kehangatan itu, Pak Rahman hanya berdiri di tempatnya, mengamati Tara dengan tatapan tajam. Ada sesuatu yang tidak beres. Wajah Tara terlalu pucat, lebih pucat dari orang yang hanya kehu
Huling Na-update: 2025-01-05
Chapter: 29. PencarianHujan masih turun, meski mulai mereda menjadi gerimis tipis. Udara di sekitar perkemahan terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Kabut tetap tebal, seperti selimut tak kasat mata yang menutup pandangan. Malam semakin larut, tetapi perasaan cemas di antara rombongan tak kunjung reda.Tenda yang tadinya menjadi tempat berlindung terasa seperti ruang sempit penuh beban. Semua orang duduk dalam diam, saling melirik dengan wajah lelah dan pucat. Ketakutan dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, memenuhi atmosfer yang sudah mencekam sejak Tara menghilang.Pintu tenda terbuka dengan suara lirih. Pak Rahman masuk, wajahnya basah oleh air hujan, tubuhnya tampak kelelahan setelah berjam-jam mencari di tengah hutan. Semua mata tertuju padanya, berharap ia membawa kabar baik.Namun, tatapan kosong di wajahnya sudah menjawab semuanya. Ia menggeleng pelan, mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. "Saya belum berhasil menemukan Tara."Kata-kata itu membuat suasana di dalam tenda lang
Huling Na-update: 2025-01-05