author-banner
Sofia Saarah
Sofia Saarah
Author

Novels by Sofia Saarah

Tak Pernah Aku tak Mencintaimu

Tak Pernah Aku tak Mencintaimu

“Bagaimana jika satu kalimat dari istrimu… benar-benar melemparmu kembali ke masa lalu?” Shaz, pria berdarah India-Iran, terbangun di rumah lamanya. Tapi ini bukan sekadar hari biasa, ia kembali ke delapan tahun sebelum menikahi Alysaa, perempuan Indonesia yang kini mengisi seluruh hatinya. Di waktu ini, Alysaa bahkan belum mengenalnya. Sementara masa lalunya bersama Jazzlyne… masih mengganggunya dan belum berakhir pada saat itu. Waktu memberinya kesempatan kedua. Tapi mampukah ia menemukan Alysaa lebih awal? Dan jika iya… sanggupkah ia membuat wanita itu jatuh cinta lagi padanya, sebelum semuanya terlambat?
Read
Chapter: Bab 12 - Kenangan dan Kerinduan
Langit Kochi sore itu mulai memudar warnanya, berubah dari biru laut menjadi oranye lembut, seperti susu teh yang terlalu lama diaduk. Jalanan kecil di sekitar lingkungan keluarga Alavi tampak sibuk dengan aktivitas khas penduduk lokal.Shaz menyalakan motor matic-nya Hero Maestro edisi 2016 yang masih gagah berdiri, berwarna hitam doff dengan stiker kecil “Ride Safe, Not Fast” di bagian samping. Ia tersenyum kecil saat tangannya menyentuh setang motor itu. Motor yang masih akan ia gunakan hingga tahun 2025. Saksi bisu banyak perjalanan... dan luka."Kau masih hidup, ya? Bahkan mesinmu lebih setia daripada beberapa manusia,” gumamnya sambil menekan starter.Mesin motor menyala halus. Shaz melaju perlahan melewati gang kecil di pinggir jalan menuju rumah Raheem. Jalan itu... begitu familiar. Tapi kali ini, waktunya yang berbeda. Langit, bau rempah dari dapur warga, dan suara pedagang lewat semuanya terasa seperti lukisan nostalgia.Ia sempat melambatkan laju motornya saat melewati bari
Last Updated: 2025-06-23
Chapter: Bab 11 - Langkah Menuju Alysaa
Sore hari di Kochi terasa hangat dan tenang. Cahaya matahari menyusup pelan lewat kisi-kisi jendela kamar Shaz, menyapu lembut meja tempat laptopnya terbuka. Aroma kapulaga dan cengkeh dari dapur sesekali terbawa angin, menandakan Mami sedang menyeduh teh sore.Tapi kali ini, Shaz tak menyentuh teh. Ia duduk tegak, mengenakan kemeja putih dan jam tangan sederhana. Rambutnya disisir rapi, wajahnya bersih. Tak ada jejak lelah atau bimbang.Di hadapannya, layar laptop menyala, menampilkan ruang rapat virtual dengan tiga wajah yang tampak formal dan tajam.Perempuan berhijab bernama Farah Iskandar dari tim HR.Pria berkacamata bernama Anand Mehra, Kepala Departemen Analisis Pasar.Dan satu lagi wanita berkacamata elegan bernama Datin Amira, Wakil Presiden Wilayah Asia Tenggara.“Selamat sore, Tuan Shahjaz. Apakah suara kami terdengar jelas?”Shaz mengangguk, senyumnya sopan dan tenang.“Jelas sekali. Selamat sore. Terima kasih atas kesempatannya.”“Baik. Mari kita mulai dengan perkenalan
Last Updated: 2025-06-23
Chapter: Bab 10 - Aroma, Usaha, dan Jalebi Takdir
Hari-hari berlalu seperti teh tanpa gula, mengalir, tapi hambar.Setiap pagi, Shaz terbangun dengan harapan kecil yang absurd, semoga ketika ia membuka mata, ia sudah kembali ke apartemen mereka di Doha. Bahwa ia akan mendengar suara khas Alysaa saat merapikan selimut, mencium aroma kopi buatan istrinya, dan memeluk tubuh hangatnya yang wangi vanilla-honey, khas shampoo mahal kesayangannya.Tapi yang ada hanyalah guling biru dongker.Dan kipas langit-langit yang berdecit seperti suara dosa kecil.Shaz tetap memeluk guling itu erat, menutup mata seolah bisa memaksa semesta mengembalikannya ke pelukan Alysaa. Tapi yang terasa hanya… dingin.Lalu, ada yang aneh pagi itu.Guling yang ia peluk… mengeluarkan aroma. Aroma yang sangat ia kenal. Aroma tubuh Alysaa. Bukan hanya samar. Jelas. Menggoda. Membuat jantungnya menjerit lirih.Ia terperanjat. Bangun cepat. Duduk tegak.Matanya melotot ke arah guling yang kini kembali netral.“Guling haram,” gumamnya panik.Ia mengendus bajunya. Udara.
Last Updated: 2025-06-22
Chapter: Bab 9 - Roti Canai, TrueLove, dan Takdir yang Terlambat
Ponsel masih bergetar ringan di tangan Shaz.“Raheem calling…”Shaz akhirnya menekan tombol hijau.“Halo?” suaranya berat, masih setengah emosional.Suara Raheem langsung menyambar cepat dari seberang.“KU DENGAR DARI AFZAL KAU PULANG KE INDIA?!”Shaz menjauhkan ponsel dari telinga. “Iya...”“Baiklah, kawan,” suara Raheem menurun setengah dramatis, “aku akan ke rumahmu sekarang. Ceritakan padaku... apa yang wanita Argentina itu lakukan padamu.”Shaz memejamkan mata. “Dia dari Portugal, Raheem. Kau ingat?”“Portugal... Argentina… sama aja. Aku pendukung Ronaldo, jadi siapapun mantanmu, aku anggap dari negara Messi!”Shaz mendesah panjang. “Terserah kau.”“Aku serius. Kalau dia dari Argentina, berarti dia bagian dari taktik Messi menjatuhkan Ronaldo. Dan kau… korban konspirasi global.”“Raheem… ini bukan Piala Dunia.”“Justru karena itu aku datang! Tunggu aku di sana. Siapkan teh panas dan dua roti prata. Kita akan membedah trauma dan strategi comeback!”Shaz menggeleng, tapi senyum tip
Last Updated: 2025-06-21
Chapter: Bab 8 - Mawar Merah dan Luka Lama
Setelah sesi psikiater yang terasa seperti talk show keluarga, Shaz akhirnya masuk lagi ke kamarnya. Kepalanya berdenyut, pikirannya campur aduk.Ia menjatuhkan diri ke kasur, lalu melirik meja samping.Di sana, iPhonenya masih iPhone 7 Jet Black, rilis paling keren tahun itu, dan baterainya sudah terisi penuh.“Mungkin Afzal yang charge,” gumamnya.Ia mengambil ponsel itu, memeriksa casingnya yang sudah sedikit retak di sudut."Ini... benar-benar ponsel lamaku," desahnya.Terakhir kali ia pegang ponsel, itu iPhone 16 Pro Max dengan tiga kamera segede kamera CCTV. Tapi ini? Hape yang harus digeser dulu buat lihat notifikasi.Ia membuka kunci layar.Backgroundnya… langit senja di Kerala. Icon aplikasinya masih jadul. Bahkan, Instagram masih belum punya fitur story!“Kalau memang aku kembali ke masa lalu… berarti Alysaa sekarang ada di Indonesia?”Shaz buru-buru membuka Instagram. Sinyalnya lelet. Loading-nya muter kayak fidget spinner."Astaghfirullah… sinyal Wi-Fi rumah tahun 2017 mem
Last Updated: 2025-06-21
Chapter: Bab 7 - Pasien dari Masa Depan
Shaz masih terduduk di tangga, wajahnya tertutup tangan. Pikirannya kacau. Nafasnya pendek. Dadanya sesak.Ia mendongak perlahan, matanya memindai ruang tamu. Pandangannya jatuh pada kalender duduk di atas meja sudut. Tangannya bergerak cepat meraihnya.Maret 2017.Tertulis jelas. Tanpa belas kasihan.Shaz menatap tanggal itu lama-lama. “Ini... nyata?” gumamnya lemas.Di atas sofa, Afzal sedang duduk santai sambil memainkan sendok teh di gelas chai-nya. Ia menoleh sambil mengangkat alis. “Bibi... aku rasa dia benar-benar depresi.”Mami yang baru kembali dari dapur mengangguk pelan, sambil membawa sepiring samosa. “Kau benar, Afzal. Matanya kosong. Tatapannya... seperti habis diputusin dua kali oleh wanita yang sama.”“Tapi aku nggak diputusin!” Shaz berdiri. “Aku... aku menikah!”Afzal menyipitkan mata. “Waduh, parah. Sudah delusi. Parah banget.”Shaz memijat pelipisnya. Suasana di rumah makin suram—dan lucu sekaligus tragis.Pintu depan terbuka. Seorang pria berwibawa masuk dengan se
Last Updated: 2025-06-21
Gadis Tanpa Mata Batin

Gadis Tanpa Mata Batin

Seorang perempuan biasa, bukan dari kalangan ahli agama, namun keluarganya membesarkannya dengan penuh kehangatan dan cinta. Dirinya berasal dari keluarga sederhana yang pergi ke kota untuk bekerja. Karena keuangan yang terbatas Minama seorang perempuan berhijab terpaksa mencari kostan yang sesuai dengan budgetnya, sampai dia menemukan sebuah tempat tinggal kostan berlantai 2 yang menurutnya bagus, fasilitas yang memadai namun harganya sangat jauh di bawah rata-rata. Saat pertama kali penyerahan kunci kamar, dari sanalah semua cerita Mina di mulai..
Read
Chapter: 32. Keanehan Kembali
Langit di ufuk timur perlahan mulai berubah warna, dari gelap pekat menjadi ungu keemasan. Udara pagi terasa dingin menusuk, namun semangat rombongan mulai bangkit kembali saat mereka memulai perjalanan ke puncak tepat pukul 05.00.Pak Rahman memimpin rombongan di barisan depan, diikuti oleh Zuen, Iren, Mina, dan Tara yang berjalan berdekatan di tengah, sementara Pika memilih untuk berada di barisan paling belakang. Sebagai salah satu yang paling berpengalaman dalam mendaki, Pika merasa tanggung jawabnya adalah memastikan tidak ada yang tertinggal atau mengalami masalah di perjalanan.Namun, semakin jauh mereka berjalan, semakin tidak tenang perasaan Pika. Bukan hanya karena medan yang semakin berat, tapi karena Tara.Pika melirik ke arah Tara yang berjalan di depan dirinya. Gerakannya terlihat lambat dan kaku, berbeda dari biasanya. Wajahnya tetap pucat, dan tatapannya kosong. Pika merasa ada sesuatu yang salah, tapi ia tidak tahu apa itu."Tara… kenapa kamu jadi seperti ini?" gumamn
Last Updated: 2025-05-29
Chapter: 32. Gangguan Berlanjut
Setelah memastikan semua orang sepakat, Pika keluar dari tenda untuk menyampaikan keputusan kepada Pak Rahman.Di dalam tenda, suasana kembali hening. Tara berbaring kembali tanpa mengatakan apa-apa, sementara Mina merapikan tasnya untuk memastikan semuanya siap saat mereka harus pergi.Zuen duduk bersandar di dinding tenda, menatap ke arah pintu dengan pandangan kosong. "Aku harap keputusan ini yang terbaik," gumamnya.Iren yang duduk di sebelahnya menghela napas panjang. "Aku juga. Semoga Tara benar-benar kuat. Aku nggak mau ada yang jatuh sakit atau… sesuatu yang lebih buruk."Mina menoleh ke arah mereka berdua, wajahnya menunjukkan kepercayaan diri yang tulus. "Nggak ada yang buruk akan terjadi. Kita harus percaya, kan? Kalau kita bareng-bareng, semuanya pasti baik-baik aja."Kata-kata Mina membuat suasana sedikit lebih ringan. Zuen dan Iren tersenyum kecil, meskipun rasa gelisah masih mengintai di hati mereka.Di sudut tenda, Tara membuka matanya sedikit, mengamati Mina dalam diam
Last Updated: 2025-01-11
Chapter: 31. Keputusan Pendakian
Dini hari suasana terasa lebih dingin dari biasanya. Jam di tangan Pak Rahman menunjukkan pukul 02:00 saat ia berjalan menuju tenda Pika. Suara langkah kakinya terdengar samar di atas tanah yang lembap. Lampu senter kecil yang dibawanya menerangi jalan, menciptakan bayangan panjang yang tampak semakin menakutkan di antara pohon-pohon tinggi.Pak Rahman berhenti di depan tenda Pika dan mengetuk bagian atasnya perlahan."Pika, kamu bangun?" tanyanya dengan suara pelan namun tegas.Terdengar suara resleting tenda dibuka. Pika muncul dengan wajah setengah mengantuk, rambutnya berantakan dan tubuhnya terbungkus jaket tebal."Pak Rahman? Ada apa?" tanya Pika, suaranya serak."Saya mau tanya, apa kalian berencana melihat matahari terbit di puncak? Kalau iya, kita harus mulai perjalanan sekarang," jawab Pak Rahman sambil menunjuk ke arah jam di pergelangan tangannya.Pika menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya yang masih kusut. Ia menoleh ke dalam tenda, tempat Nadin dan Ratn
Last Updated: 2025-01-10
Chapter: 31. Mencekam
Iren dan Zuen saling bertukar pandang, wajah mereka dipenuhi rasa takut. Langkah kaki itu masih terdengar, semakin jelas, seperti bergerak lebih dekat ke tenda mereka."Zuen, kamu denger itu lagi?" bisik Iren sambil mendekat ke Zuen.Zuen mengangguk, matanya tidak lepas dari pintu tenda. "Iya. Aku nggak tahu siapa atau apa itu, tapi ini nggak wajar."Mina menghela napas panjang, mencoba untuk tetap tenang. "Mungkin ini cuma pikiran kalian aja. Aku nggak denger apa-apa, beneran."Namun, suara langkah kaki itu mendadak berhenti. Keheningan yang mengikuti terasa jauh lebih mencekam daripada suara apa pun.Zuen dan Iren semakin tegang, tetapi Mina tetap tidak mendengar apa-apa. Dia memandang teman-temannya dengan rasa bingung sekaligus penasaran."Kalian berdua serius banget. Kalau ada suara itu, kenapa aku nggak denger?" tanya Mina.Zuen mengangkat bahu, suaranya pelan. "Aku juga nggak tahu. Tapi ini nyata, Min. Aku yakin."Mina kembali menoleh ke Tara, yang masih duduk diam dengan wajah
Last Updated: 2025-01-07
Chapter: 30. Kembali
Yang lain mengikuti, menatap Tara dengan campuran lega dan keheranan. Tara berdiri di tengah kabut, tubuhnya sedikit membungkuk, tetapi senyuman kecil terlihat di wajahnya."Aku… aku akhirnya balik," ucap Tara dengan suara pelan.Mina langsung berlari dan memeluk Tara erat-erat, air mata mengalir di pipinya. "Tara, maaf! Aku bener-bener minta maaf. Aku ninggalin kamu. Aku pikir… aku pikir kamu nggak akan balik."Tara tidak langsung menjawab, hanya menepuk punggung Mina dengan lemah. Suaranya terdengar serak. "Aku baik-baik aja, Mina. Jangan nangis, ya. Maaf aku tadi pergi gak bilang-bilang"Yang lain ikut bergabung, memeluk Tara satu per satu dengan wajah lega. Bahkan Zuen yang biasanya tenang terlihat emosional, sementara Kinan terus-menerus memastikan Tara benar-benar tidak terluka.Namun, di tengah kehangatan itu, Pak Rahman hanya berdiri di tempatnya, mengamati Tara dengan tatapan tajam. Ada sesuatu yang tidak beres. Wajah Tara terlalu pucat, lebih pucat dari orang yang hanya kehu
Last Updated: 2025-01-05
Chapter: 29. Pencarian
Hujan masih turun, meski mulai mereda menjadi gerimis tipis. Udara di sekitar perkemahan terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Kabut tetap tebal, seperti selimut tak kasat mata yang menutup pandangan. Malam semakin larut, tetapi perasaan cemas di antara rombongan tak kunjung reda.Tenda yang tadinya menjadi tempat berlindung terasa seperti ruang sempit penuh beban. Semua orang duduk dalam diam, saling melirik dengan wajah lelah dan pucat. Ketakutan dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, memenuhi atmosfer yang sudah mencekam sejak Tara menghilang.Pintu tenda terbuka dengan suara lirih. Pak Rahman masuk, wajahnya basah oleh air hujan, tubuhnya tampak kelelahan setelah berjam-jam mencari di tengah hutan. Semua mata tertuju padanya, berharap ia membawa kabar baik.Namun, tatapan kosong di wajahnya sudah menjawab semuanya. Ia menggeleng pelan, mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. "Saya belum berhasil menemukan Tara."Kata-kata itu membuat suasana di dalam tenda lang
Last Updated: 2025-01-05
You may also like
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status