Mungkin, seumur hidup, orang yang tidak mau Anna temui lagi adalah mantan suaminya.
Bukan karena Anna membenci pria itu, tapi Anna terlalu takut pada kemarahan dan kebencian pria itu padanya. Namun, takdir malah membawa Diego, mantan suami Anna berdiri tepat di hadapannya seperti ini. "Bagaimana kabarmu, Bu Anna Wijaya?" Suara Diego membuat Anna tersentak. "D-Diego ...." lirih Anna dengan susah payah. "Pak Diego!" Diego mengoreksi. "Jangan lupa kalau posisi kita sudah setara sekarang. Atau malah ... aku lebih tinggi?" Diego menyeringai. Anna menahan napasnya sejenak dan ekspresi Anna benar-benar membuat Diego puas. "Mengapa ekspresimu seperti sedang melihat hantu, Bu Anna? Kau pasti tidak berharap bertemu denganku lagi kan? Tapi nyatanya kita bertemu lagi." Seringaian itu makin mengembang dengan tatapan yang tidak pernah lepas sedikit pun dari Anna. "Jadi apa hidupmu lebih bahagia setelah membuang suami miskinmu yang tidak berguna ini dan menikah lagi dengan pria kaya?" "Bahkan, kau menyingkirkan aku dengan cara yang sadis." Ingatan Anna langsung melayang pada enam tahun yang lalu saat Diego ditangkap. Alih-alih membebaskan, Anna malah memberinya surat cerai. "Mari kita bercerai! Aku tidak pernah benar-benar mencintai orang miskin sepertimu!" seru Anna dengan tega di kantor polisi. Dan itu adalah pertemuan terakhir mereka karena Anna tidak pernah diijinkan lagi berhubungan dengan Diego. Tubuh Anna bergidik saat Diego mulai melangkah mendekat. "Kau ingat aku dipenjara selama tiga tahun kan?" "Tiga tahun mungkin tidak terasa bagimu yang langsung menikah lagi dengan pria kaya dan hidup mewah, tapi tiga tahun terasa begitu menyiksa bagiku di dalam penjara." "Bahkan, aku hampir mati berkali-kali karena menjadi bulan-bulanan narapidana yang lain. Aku dipukuli, dihina ...." Diego tertawa sinis. "Bahkan tubuhku ditato, kau mau melihatnya, hmm?" Diego meneguk minumannya sambil kembali menyeringai. "Tapi ini miris sekali, menikah dengan pria kaya malah membuatmu bangkrut, sedangkan suami yang kau buang ini malah sekarang menjadi kaya." "Takdir memang suka bermain-main, Bu Anna." Diego terus berbicara, tapi Anna tidak bisa menanggapi satu patah kata pun. Rasa syoknya membuat bibirnya tertutup rapat dan suaranya tidak mau keluar. Diego makin puas melihat ekspresi Anna dan Diego terus melangkah hingga pria itu tiba tepat di hadapan Anna. Diego sedikit membungkuk, menyejajarkan wajahnya dengan wajah Anna. Tatapan mereka bertaut sejenak dan Anna menemukan tatapan yang berbeda di sana. Bukan lagi tatapan hangat seperti dulu, melainkan tatapan penuh kebencian. "Tapi jangan khawatir! Jangan khawatir karena aku tetap bersamamu. Saat semua pengusaha tidak ada yang mau menjadi investor di perusahaan suamimu yang sudah tidak ada harapan itu, masih ada aku." "Walaupun tentu saja ada syaratnya. Bukankah terlalu bodoh untuk mengeluarkan begitu banyak uang demi hal yang tidak pasti?" Anna yang sempat mengalihkan tatapannya pun kembali menatap Diego. "Itu ... bagaimana ...." Anna kesulitan bicara, apa ia harus bertanya dulu bagaimana Diego bisa sukses? Atau Anna harus meminta maaf dulu karena hal menyakitkan yang Diego alami? Atau lebih baik Anna melarikan diri saja? Entahlah, Anna tidak bisa berpikir saat debar jantungnya mengentak kencang. Namun, Anna berusaha tenang dan profesional dengan tidak membahas masa lalu lagi. "Maksudku ... kami sudah mencantumkan semuanya di proposal. Kami ... akan berusaha mencapai target agar kau bisa mendapatkan timbal balik yang sesuai. Kami tidak mungkin membiarkan investor rugi ...." Diego mengangguk dan menyela. "Tentu saja! Tapi itu tidak cukup untukku. Secara teori dan perhitungan pun kau tahu perusahaanmu mustahil bisa memenuhi target itu kan?" "Tentu saja kami bisa! Kami sangat optimis kalau kami bisa bangkit lagi. Kau bisa melihat sendiri bagaimana masa jaya kami dulu ...." Anna masih berbicara dengan cepat, tapi Diego sudah melangkah memutari tubuhnya sampai Anna pun menegang sendiri, apalagi saat Diego mendadak berhenti di belakangnya. Anna menahan napasnya saat ia bisa merasakan deru napas Diego di tengkuknya, dada pria itu begitu dekat dan hampir menempel dengan punggungnya. Satu tangan Diego perlahan diletakkan di paha samping Anna dan Anna pun membelalak saat merasakan tangan itu bergerak naik menyusup ke dalam rok span yang ia kenakan. "Apa yang kau lakukan, Diego?" pekik Anna yang langsung membalikkan tubuhnya dan menatap Diego dengan marah. Namun, Diego malah tersenyum menatap kemarahan wanita itu. "Dengarkan aku, Bu Anna! Aku tidak mau berpanjang lebar. Aku akan dengan senang hati menyetujui proposal yang kau ajukan itu karena syarat dariku hanya satu." Jantung Anna sudah berdebar kencang mendengarnya, apalagi sentuhan Diego barusan benar-benar membekas dan membuatnya merinding sendiri. Bukan merinding karena berhasrat, tapi merinding karena sesuatu yang lain, ketakutan akan sesuatu yang tidak jelas dari mantan suaminya yang sekarang benar-benar sudah berubah itu. Anna menelan salivanya. "Apa? Syarat apa itu?" tanya Anna memberanikan dirinya. "Kalau kau benar-benar ingin menyelamatkan perusahaan suamimu ...." Diego terdiam sejenak, sebelum ia melanjutkan ucapannya sambil menyeringai. "Layani aku di ranjang lagi seperti saat kita masih suami istri!" **Hidup ini bukan sekedar tentang memiliki, tapi tentang memberi dan menerima. Memberi semampu yang bisa kita berikan dengan tulus tanpa mengharap balasan, dan menerima dengan ikhlas tiga hal yang pasti dalam hidup kita. Yang pertama adalah rejeki. Tidak peduli seberapa keras kita berusaha atau sejauh mana kita melangkah, rejeki akan datang sesuai takarannya. Kadang lebih cepat, kadang lebih lambat, tapi selalu cukup sesuai kebutuhan.Yang kedua adalah takdir. Tidak peduli jalan mana yang kita pilih, takdir akan menemukan jalannya sendiri. Ada hal-hal yang bisa kita upayakan, tapi ada pula yang sudah digariskan dan harus diterima dengan kebesaran hati.Dan yang terakhir adalah kematian. Tidak peduli siap atau tidak, kematian akan datang menjemput pada waktunya. Itu adalah kepastian yang mengajarkan kita untuk lebih menghargai setiap detik kehidupan.Dan Anna sudah merasakan semua itu begitu jelas, bahkan juga begitu dekat dengan kematian itu. Saat Anna kehilangan Martha yang tidak
Delapan bulan kehamilan Anna adalah delapan bulan yang paling luar biasa. Berbagai perasaan campur aduk saat ia hamil anak kembar. Ada rasa berlebihan saat ia mulai sensitif, ada rasa mual parah dan tidak nafsu makan, ada rasa pegal luar biasa sampai kesulitan bernapas karena perutnya terlalu sesak, ada rasa sakit juga saat bayinya menendang, sulit berjalan karena perutnya terlalu berat, dan semua masalah lain dalam kehamilan. Namun, di atas semua itu, ada rasa haru, ada rasa bahagia saat ia diperhatikan dan dimanjakan, ada rasa bangga pada suami dan anaknya, dan terlebih ada rasa syukur yang tidak terkira. Tuhan baik dan mengijinkan Anna melewati delapan bulan kehamilan ini tanpa halangan yang berarti. Bahkan, Anna sempat berdebar dan berpikir mungkin kehamilan ini tidak akan sama bagi orang yang pernah melakukan transplantasi hati. Namun, seolah Tuhan berkata dengan restu-Nya, semua hal buruk itu tidak akan berarti apa pun. Dan di sinilah Anna, menantikan saat melahirkan yang s
"Kembar? Ibu akan punya cucu kembar?"Retha memekik senang saat Diego memberitahunya tentang kehamilan Anna. "Benar, cucu Ibu akan bertambah dua sekaligus!" "Ya Tuhan, bagaimana ini? Ibu senang sekali! Oh, Anna, kau hamil anak kembar? Tapi kalian sudah memastikan semuanya baik-baik saja kalau Anna hamil sekarang kan?" "Tenang saja, Ibu, kami sudah memberitahu dokter yang merawat Anna dan tidak ada masalah. Kondisi Anna sendiri juga sangat stabil untuk melanjutkan kehamilan. Tentu saja kami akan melakukan kontrol rutin nantinya." "Oh, syukurlah! Selamat, Sayang! Selamat!" Retha memeluk Diego dan Anna bersamaan. Bukan hanya Retha yang bahagia luar biasa, tapi Joyce dan keluarganya langsung melonjak kegirangan saat Anna meneleponnya dan memberitahu tentang kehamilan ini. Dan yang paling bahagia tentu saja Darren yang baru diberitahu saat anak itu pulang sekolah. "Adiknya dua, Mama? Darren mau punya
Diego pulang keesokan harinya dengan rasa rindu yang luar biasa pada keluarganya. Setiap hari, Diego selalu melakukan video call dengan Anna dan Anna selalu menunjukkan dirinya yang segar, walaupun sebenarnya lemas. Namun, sejak Anna mengetahui hasil tespeknya, Anna benar-benar merasa segar. Bahkan, rasa mual yang ia alami sudah terasa tidak mengganggu lagi. "Yeay, Papa pulang!" seru Darren yang langsung naik ke gendongan Diego. "Halo, Anak Papa! Papa membawa banyak oleh-oleh untukmu!" Diego menciumi anaknya itu. "Yeay, Darren mau oleh-oleh. Mana, Papa?" "Haha, sebentar! Bik, tolong ambilkan yang tas besar itu, itu untuk Darren." Bik Nim langsung mengambilkan tas besar yang dibawa oleh Diego, isinya mainan dan baju baru untuk Darren sampai Darren memekik kegirangan. "Yeay, ada mainan robot! Yeay!" Darren pun heboh sendiri dengan mainan barunya. "Kau pulang, Diego!" sapa Retha juga. "Iya, Ibu! Aku membawakan oleh-oleh untuk Ibu juga. Di sana ada untuk Bik Nim dan untuk Anna
Beberapa waktu berlalu setelah bulan madu dan liburan yang menyenangkan, Diego dan Anna kembali pada aktivitasnya. Darren sendiri akhirnya naik kelas dan anak itu tidak jadi pindah sekolah karena Diego bertekad tetap menyekolahkan anaknya di sekolah yang terbaik. "Aku tidak apa kalau Darren harus pindah ke sekolah yang lebih ringan biayanya, Diego. Bukan karena aku tidak percaya padamu, tapi biaya sekolah Darren yang sekarang benar-benar mahal," kata Anna waktu mereka mendaftarkan Darren ke SD. "Aku paham apa yang kau pikirkan, Sayang, tapi Darren sudah nyaman di sekolah yang sekarang, semua temannya melanjutkan di sekolah yang sama, dan aku juga mau anakku sekolah di sana. Percayalah padaku, aku siap menanggung anakku dan keluarga kita. Jangan pikirkan yang lain karena aku yakin Tuhan akan selalu membuka jalannya untuk kita!" Dan benar saja, sejak Diego dan Anna menikah, rejeki yang berlimpah ruah tidak berhenti memenuhi hidup mereka, mengalir seperti mata air yang tidak pernah h
"Mama, ayo foto!" Dua minggu setelah pernikahan, Diego dan Anna pun lanjut berbulan madu. Tidak lupa mereka membawa Darren dan Bik Nim. Sebenarnya Retha sudah menawarkan diri untuk menjaga cucunya itu agar Diego dan Anna bisa menikmati bulan madu, tapi mereka tidak mau meninggalkan putranya itu. Retha sendiri sudah diajak, tapi ia menolak dan lebih memilih liburan di kampung halamannya saja. Dan di sinilah mereka, bulan madu sekaligus liburan di Bali, pulau yang begitu eksotis dan sangat cocok untuk berlibur. Diego sendiri sebenarnya ingin mengajak Anna ke luar negeri, tapi mati-matian Anna menolak. "Kita sedang merintis karir lagi, untuk apa membuang uang hanya demi liburan? Kemarin pesta nikah saja sudah menghabiskan uang!" omel Anna waktu itu. "Tapi bisnis baru kita sudah mulai jalan, Sayang! Rejeki pengantin itu tidak akan ada habisnya, jadi tidak usah dipikirkan tentang uangnya, kita bisa mencarinya lagi!" "Tetap tidak, Diego! Jangan boros! Kita harus berhemat! Liburan di