Share

Part Kedelapan

Naya

"Berhenti kamu. Kalau kamu mau saya maafkan, sekarang juga cium kaki saya dan minta maaf," lirih Ibu mencengkal tanganku.

Tangisan Daffa semakin menjadi, tapi aku tidak bisa pergi karena dihadang oleh Ibu. Mas Arman mengangguk padaku, tanda dia menyuruhku untuk bersujud di kaki Ibu.

Aku memegang tangan Ibu dengan tanganku yang satu lagi. Kemudian aku melepas cekalan tanganku.

"Maaf, Bu. Saya tidak salah, dan untuk saat ini. Menggendong Daffa lebih penting daripada bersujud di kaki orang yang memfitnahku," tegasku kemudian langsung berjalan cepat ke kamar.

*

Setelah pertengkaran tadi, akhirnya Ibu pulang setelah Mas Arman memaksa. Dari dalam kamar aku bisa mendengar jika Ibu ingin mengatakan sesuatu. Tapi Mas Arman menolak mendengar, karena sedang terburu-buru katanya.

Aku kembali menagis mengingat jalan hidup yang harus aku alami. Kuusap lembut surai hitam Daffa.

"Sabar, Nak. Semua akan baik-baik saja, ada Ibu," gumamku pelan sambil mengecup lembut keningnya.

Puas menangis, aku kembali mengambil ponsel. Aku harus menulis beberapa bab lagi. Karena rencananya tulisanku ini akan aku ajukan kontrak eksklusif pada salah satu platform. Bayarannya lumayan, bisa menambah nominal tabunganku untuk Daffa.

Sebenarnya tabunganku sudah lumayan banyak. Hanya saja uang itu aku gunakan untuk membeli rumah. Sesak rasanya terus dicap benalu oleh mertua dan ipar. Aku juga harus bisa waspada jika sewaktu-waktu Mas Arman menceraikan aku demi mendengar omongan Ibunya.

Selama aku masih hidup, Daffa tidak boleh merasa kekurangan. Walaupun dia tidak mendapatkan kasih sayang dari Ayahnya. Tapi aku memberikan kasih sayang yang penuh untuk dia.

Dulu Mas Arman tidak begini, akhir-akhir ini dia berubah. Semenjak aku melahirkan Daffa, Mas Arman jadi pelit dan perhitungan. Dulu gajinya selalu aku yang kelola. Tapi saat aku melahirkan dan pulang kerumah Abi dan Ummi, Mas Arman tinggal di sini bersama Ibu dan Lela.

Sejak saat itulah Ibu mempengaruhi Mas Arman. Padahal Daffa adalah cucunya sendiri, sama seperti Diki. Tapi anakku tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari neneknya itu.

*

"Assalamualaikum," ucap Mas Arman dari luar. Sudah pukul lima sore, Mas Arman pulang dari kantor.

"Waalaikumsalam," jawabanku pelan.

Aku tidak lagi menyambut kedatangannya. Jika biasanya aku selalu menyiapkan teh atau kopi, sekarang tidak lagi. Dulu ketika uang belanja yang dia berikan tidak cukup. Maka aku akan ke ATM dan menombok dengan uangku.

Tapi sekarang, aku tidak mau lagi begini. Dulu aku pikir, gaji Mas Arman memang kecil. Jadi ketika di bagi-bagi untuk Ibu dan nafkah kami.

Pasti tidak akan cukup. Makanya aku mau menombok sebagian.

Nyatanya kebaikanku itu malah membuat Mas Arman melupakan kewajibannya. Aku baru mengetahuinya Minggu kemarin. Saat Ibu datang kesini dan berbicara dengan Mas Arman.

Ternyata uang bulanan untuk Ibu dan Lela lebih besar dari jatah uang nafkahku. Dari sanalah mengapa aku sekarang berubah dan lebih banyak diam. Aku juga tidak lagi meminta bantuan pada Mas Arman.

Selama itu bisa aku kerjakan sendiri, maka aku akan berusaha melakukannya. Seperti mengangkat galon air misalnya. Dulu aku harus meminta bantuan Mas Arman berkali-kali baru dia melakukannya.

Begitu juga ketika aku mau mandi. Dulu aku sering meminta bantuannya untuk menjaga Daffa. Tapi sekarang tidak lagi. Aku akan mandi ketika Daffa sedang tidur. Jika tidak memungkinkan, maka aku tidak akan mandi.

Biar saja aku bau, jadi Mas Arman tidak akan menuntut haknya sebagai suami. Aku juga tidak akan berdosa karena menolak ajakannya.

Padahal ada Daffa disini. Tapi dia sama sekali tidak menyentuh anaknya. Jika orang lain pulang kerja mencium anaknya karena rindu. Berbanding terbalik dengan Mas Arman. Jangankan menggendong dan bermain dengan Daffa. Menciumnya saja tidak mau.

"Nay, kok ikannya cuma satu?" tanya Mas Arman yang ternyata sudah mengganti pakaian kerjanya.

"Cuma kamu aja Mas yang belum makan," jawabku sambil bermain puzzle dengan Daffa.

"Kan biasanya jatah buat aku dua atau tiga, Nay!" gerutu Mas Arman sedikit kesal.

"Itu karena mulai sekarang aku ambil jatahku, Mas," jawabku lagi.

"Maksud kamu?" tanya Mas Arman bingung.

"Kalau dulu ikan atau menu lain buat kamu banyak, itu karena aku menahan diri untuk tidak memakan semua jatahku. Karena aku pikir kamu lelah mencari uang, jadi buruh tenaga lebih. Tapi nyatanya, aku baru sadar kalau aku juga butuh nutrisi lebih untuk ASI," jelasku yang membuat Mas Arman bingung.

Dulu aku memang selalu menahan diri untuk makan enak. Jika ada sisa satu ikan lagi, maka aku akan makan nasi tanpa ikan. Karena ikan itu aku simpan untuk Mas Arman. Apalagi dia tipikal orang yang gemar makan ikan.

"Ini juga nasinya ada keraknya. Gimana sih kamu, Nay! Sengaja?" bentak Mas Arman marah.

Dia mengentak piring berisi nasi yang ada sedikit kerak itu ke meja. Aku tersenyum kecut melihat reaksinya.

"Iya," jawabku singkat.

"Sebenarnya kamu maunya apa sih, Nay? Hah!" teriak Mas Arman yang membuat Daffa terkejut dan menangis.

Segera aku menggendong Daffa dan membawanya ke pelukan. Aku tidak ingin psikologinya terganggu karena suara yang keras. Aku berjalan kearah Mas Arman, yang memang ruangan TV satu lorong dengan dapur.

"Selama ini kalau kamu makan nasi, pernah nggak ada keraknya? Nggak pernah kan, Mas? karena selama ini aku yang makan kerak itu. Kamu selalu aku sisakan nasi yang lembut dan enak, karena aku menghargai kamu sebagai suami."

"Tapi apa pernah kamu memikirkan aku? Tidak! Yang kamu pikirkan cuma kamu sendiri dan keluargamu. Aku dan Daffa? Hanya dapat nafkah sisa," ucapku berang.

Selama ini memang aku sangat menghargai Mas Arman sebagai suami. Seperti kata Ummi, sebagai istri aku harus mengutamakan kebutuhan suami.

"Kamu pulang dan pergi kerja, pernah nggak kamu pamit sama Daffa. Atau setidaknya kamu menciumnya, agar dia tau kalau dia juga punya Ayah. Bukan cuma punya Ibu!"

"Halah, alasan. Dulu kamu juga nggak pernah mengeluh kan? Kenapa sekarang jadi ngelunjak gini sih?" balas Mas Arman ketus.

"Karena selama ini aku terlalu bodoh dan naif. Aku terlalu memikirkan kamu daripada diriku sendiri. Nyatanya kamu malah tidak mendahului kepentingan aku dan Daffa," jawabku.

"Kayaknya kamu memang harus pulang lagi kerumah Ummi dan Abi, biar kamu belajar lagi sama Ummi bagaimana dia melayani Abi," ucap Mas Arman yang membuatku tersenyum kecut.

"Mas, dengar. Abi memperlakukan Ummi seperti permaisuri, bukan seperti babu. Jadi jangan harap jadi raja jika istri masih kamu anggap sebagai babu," lirihku pelan sambil melewatinya menuju kamar.

Tidak lagi kudengar umpatan Mas Arman. Sebenarnya banyak hal yang ingin aku utarakan. Tapi sepertinya sekarang bukan waktu yang pas. Karena ada Daffa di sini, dia tidak boleh mendengar kata-kata kasar atau umpatan.

"Kamu tidur ya, Sayang. Ibu akan terus berjuang sampai Allah mengatakan cukup. Sampai Allah mengatakan berhenti," gumamku sambil menangis memeluk Daffa.

Selama ini aku bertahan karena dia. Aku sanggup menahan semua cacian mertua karena Daffa. Tidak terbayangkan olehku untuk bercerai. Umi dan Abi pasti akan malu pada orang-orang jika anaknya jadi janda di usia muda.

Sambil menyusui Daffa, aku terus berzikir dan membaca Ayat kursi. Juga membaca doa melembutkan hati anak. Agar kelak dia tumbuh menjadi manusia yang berguna. Tumbuh menjadi laki-laki yang bertanggung jawab.

Allahulathiifum bi'ibaadihii, yarzuqumayyasak' wahuwal qawiyyul 'aziiz.

Artinya:

"Allah Maha Lembut tadbir-Nya (serta melimpah-limpah kebaikan dan belas kasihanNya) terhadap hamba-hambaNya; Ia memberi rezeki kepada sesiapa yang dikehendakiNya (menurut peraturan yang telah ditetapkan), dan Dialah Yang Maha Kuat, lagi Maha Kuasa."

Doa yang selalu aku ucapkan ketika Daffa tidur.

Kriet!

Pintu kamar dibuka oleh Mas Arman, tapi kedatangannya tidak aku gubris sama sekali. Biarlah aku menjadi dingin seperti ini, yang penting aku tidak stress.

"Nay, aku mau ngomong," ucap Mas Arman padaku.

"Ngomong aja," jawabku ketus.

"Besok kamu ke rumah Ibu untuk meminta maaf. Agar hubungan kalian segera membaik, aku capek terus begini," lirih Mas Arman yang membuatku tersenyum sambil menangis.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status