Naya
"Berhenti kamu. Kalau kamu mau saya maafkan, sekarang juga cium kaki saya dan minta maaf," lirih Ibu mencengkal tanganku.Tangisan Daffa semakin menjadi, tapi aku tidak bisa pergi karena dihadang oleh Ibu. Mas Arman mengangguk padaku, tanda dia menyuruhku untuk bersujud di kaki Ibu.Aku memegang tangan Ibu dengan tanganku yang satu lagi. Kemudian aku melepas cekalan tanganku."Maaf, Bu. Saya tidak salah, dan untuk saat ini. Menggendong Daffa lebih penting daripada bersujud di kaki orang yang memfitnahku," tegasku kemudian langsung berjalan cepat ke kamar.*Setelah pertengkaran tadi, akhirnya Ibu pulang setelah Mas Arman memaksa. Dari dalam kamar aku bisa mendengar jika Ibu ingin mengatakan sesuatu. Tapi Mas Arman menolak mendengar, karena sedang terburu-buru katanya.Aku kembali menagis mengingat jalan hidup yang harus aku alami. Kuusap lembut surai hitam Daffa."Sabar, Nak. Semua akan baik-baik saja, ada Ibu," gumamku pelan sambil mengecup lembut keningnya.Puas menangis, aku kembali mengambil ponsel. Aku harus menulis beberapa bab lagi. Karena rencananya tulisanku ini akan aku ajukan kontrak eksklusif pada salah satu platform. Bayarannya lumayan, bisa menambah nominal tabunganku untuk Daffa.Sebenarnya tabunganku sudah lumayan banyak. Hanya saja uang itu aku gunakan untuk membeli rumah. Sesak rasanya terus dicap benalu oleh mertua dan ipar. Aku juga harus bisa waspada jika sewaktu-waktu Mas Arman menceraikan aku demi mendengar omongan Ibunya.Selama aku masih hidup, Daffa tidak boleh merasa kekurangan. Walaupun dia tidak mendapatkan kasih sayang dari Ayahnya. Tapi aku memberikan kasih sayang yang penuh untuk dia.Dulu Mas Arman tidak begini, akhir-akhir ini dia berubah. Semenjak aku melahirkan Daffa, Mas Arman jadi pelit dan perhitungan. Dulu gajinya selalu aku yang kelola. Tapi saat aku melahirkan dan pulang kerumah Abi dan Ummi, Mas Arman tinggal di sini bersama Ibu dan Lela.Sejak saat itulah Ibu mempengaruhi Mas Arman. Padahal Daffa adalah cucunya sendiri, sama seperti Diki. Tapi anakku tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari neneknya itu.*"Assalamualaikum," ucap Mas Arman dari luar. Sudah pukul lima sore, Mas Arman pulang dari kantor."Waalaikumsalam," jawabanku pelan.Aku tidak lagi menyambut kedatangannya. Jika biasanya aku selalu menyiapkan teh atau kopi, sekarang tidak lagi. Dulu ketika uang belanja yang dia berikan tidak cukup. Maka aku akan ke ATM dan menombok dengan uangku.Tapi sekarang, aku tidak mau lagi begini. Dulu aku pikir, gaji Mas Arman memang kecil. Jadi ketika di bagi-bagi untuk Ibu dan nafkah kami.Pasti tidak akan cukup. Makanya aku mau menombok sebagian.Nyatanya kebaikanku itu malah membuat Mas Arman melupakan kewajibannya. Aku baru mengetahuinya Minggu kemarin. Saat Ibu datang kesini dan berbicara dengan Mas Arman.Ternyata uang bulanan untuk Ibu dan Lela lebih besar dari jatah uang nafkahku. Dari sanalah mengapa aku sekarang berubah dan lebih banyak diam. Aku juga tidak lagi meminta bantuan pada Mas Arman.Selama itu bisa aku kerjakan sendiri, maka aku akan berusaha melakukannya. Seperti mengangkat galon air misalnya. Dulu aku harus meminta bantuan Mas Arman berkali-kali baru dia melakukannya.Begitu juga ketika aku mau mandi. Dulu aku sering meminta bantuannya untuk menjaga Daffa. Tapi sekarang tidak lagi. Aku akan mandi ketika Daffa sedang tidur. Jika tidak memungkinkan, maka aku tidak akan mandi.Biar saja aku bau, jadi Mas Arman tidak akan menuntut haknya sebagai suami. Aku juga tidak akan berdosa karena menolak ajakannya.Padahal ada Daffa disini. Tapi dia sama sekali tidak menyentuh anaknya. Jika orang lain pulang kerja mencium anaknya karena rindu. Berbanding terbalik dengan Mas Arman. Jangankan menggendong dan bermain dengan Daffa. Menciumnya saja tidak mau."Nay, kok ikannya cuma satu?" tanya Mas Arman yang ternyata sudah mengganti pakaian kerjanya."Cuma kamu aja Mas yang belum makan," jawabku sambil bermain puzzle dengan Daffa."Kan biasanya jatah buat aku dua atau tiga, Nay!" gerutu Mas Arman sedikit kesal."Itu karena mulai sekarang aku ambil jatahku, Mas," jawabku lagi."Maksud kamu?" tanya Mas Arman bingung."Kalau dulu ikan atau menu lain buat kamu banyak, itu karena aku menahan diri untuk tidak memakan semua jatahku. Karena aku pikir kamu lelah mencari uang, jadi buruh tenaga lebih. Tapi nyatanya, aku baru sadar kalau aku juga butuh nutrisi lebih untuk ASI," jelasku yang membuat Mas Arman bingung.Dulu aku memang selalu menahan diri untuk makan enak. Jika ada sisa satu ikan lagi, maka aku akan makan nasi tanpa ikan. Karena ikan itu aku simpan untuk Mas Arman. Apalagi dia tipikal orang yang gemar makan ikan."Ini juga nasinya ada keraknya. Gimana sih kamu, Nay! Sengaja?" bentak Mas Arman marah.Dia mengentak piring berisi nasi yang ada sedikit kerak itu ke meja. Aku tersenyum kecut melihat reaksinya."Iya," jawabku singkat."Sebenarnya kamu maunya apa sih, Nay? Hah!" teriak Mas Arman yang membuat Daffa terkejut dan menangis.Segera aku menggendong Daffa dan membawanya ke pelukan. Aku tidak ingin psikologinya terganggu karena suara yang keras. Aku berjalan kearah Mas Arman, yang memang ruangan TV satu lorong dengan dapur."Selama ini kalau kamu makan nasi, pernah nggak ada keraknya? Nggak pernah kan, Mas? karena selama ini aku yang makan kerak itu. Kamu selalu aku sisakan nasi yang lembut dan enak, karena aku menghargai kamu sebagai suami.""Tapi apa pernah kamu memikirkan aku? Tidak! Yang kamu pikirkan cuma kamu sendiri dan keluargamu. Aku dan Daffa? Hanya dapat nafkah sisa," ucapku berang.Selama ini memang aku sangat menghargai Mas Arman sebagai suami. Seperti kata Ummi, sebagai istri aku harus mengutamakan kebutuhan suami."Kamu pulang dan pergi kerja, pernah nggak kamu pamit sama Daffa. Atau setidaknya kamu menciumnya, agar dia tau kalau dia juga punya Ayah. Bukan cuma punya Ibu!""Halah, alasan. Dulu kamu juga nggak pernah mengeluh kan? Kenapa sekarang jadi ngelunjak gini sih?" balas Mas Arman ketus."Karena selama ini aku terlalu bodoh dan naif. Aku terlalu memikirkan kamu daripada diriku sendiri. Nyatanya kamu malah tidak mendahului kepentingan aku dan Daffa," jawabku."Kayaknya kamu memang harus pulang lagi kerumah Ummi dan Abi, biar kamu belajar lagi sama Ummi bagaimana dia melayani Abi," ucap Mas Arman yang membuatku tersenyum kecut."Mas, dengar. Abi memperlakukan Ummi seperti permaisuri, bukan seperti babu. Jadi jangan harap jadi raja jika istri masih kamu anggap sebagai babu," lirihku pelan sambil melewatinya menuju kamar.Tidak lagi kudengar umpatan Mas Arman. Sebenarnya banyak hal yang ingin aku utarakan. Tapi sepertinya sekarang bukan waktu yang pas. Karena ada Daffa di sini, dia tidak boleh mendengar kata-kata kasar atau umpatan."Kamu tidur ya, Sayang. Ibu akan terus berjuang sampai Allah mengatakan cukup. Sampai Allah mengatakan berhenti," gumamku sambil menangis memeluk Daffa.Selama ini aku bertahan karena dia. Aku sanggup menahan semua cacian mertua karena Daffa. Tidak terbayangkan olehku untuk bercerai. Umi dan Abi pasti akan malu pada orang-orang jika anaknya jadi janda di usia muda.Sambil menyusui Daffa, aku terus berzikir dan membaca Ayat kursi. Juga membaca doa melembutkan hati anak. Agar kelak dia tumbuh menjadi manusia yang berguna. Tumbuh menjadi laki-laki yang bertanggung jawab.Allahulathiifum bi'ibaadihii, yarzuqumayyasak' wahuwal qawiyyul 'aziiz.Artinya:"Allah Maha Lembut tadbir-Nya (serta melimpah-limpah kebaikan dan belas kasihanNya) terhadap hamba-hambaNya; Ia memberi rezeki kepada sesiapa yang dikehendakiNya (menurut peraturan yang telah ditetapkan), dan Dialah Yang Maha Kuat, lagi Maha Kuasa."Doa yang selalu aku ucapkan ketika Daffa tidur.Kriet!Pintu kamar dibuka oleh Mas Arman, tapi kedatangannya tidak aku gubris sama sekali. Biarlah aku menjadi dingin seperti ini, yang penting aku tidak stress."Nay, aku mau ngomong," ucap Mas Arman padaku."Ngomong aja," jawabku ketus."Besok kamu ke rumah Ibu untuk meminta maaf. Agar hubungan kalian segera membaik, aku capek terus begini," lirih Mas Arman yang membuatku tersenyum sambil menangis."Nay, aku mau ngomong," ucap Mas Arman padaku."Ngomong aja," jawabku ketus."Besok kamu kerumah Ibu untuk meminta maaf. Agar hubungan kalian segera membaik, aku capek terus begini," lirih Mas Arman yang membuatku tersenyum sambil menangis.Setelah memastikan Daffa sudah tidur. Aku bangkit dari pembaringan. Menatap Mas Arman dengan rasa tidak percaya. Inikah laki-laki yang kupilih menjadi suami?"Kamu pikir cuma kamu yang capek, Mas? Kamu pikir cuma kamu yang lelah? Aku juga. Aku hampir gila menghadapi Ibu dan Adikmu itu," tampikku geram."Apa susahnya sih kamu minta maaf, Nay? Kamu cuma perlu datang dan bilang 'maaf"," jawab Mas Arman mengangkat kedua tangannya sambil menggoyangkan kedua jarinya seperti tanda petik."Susah, menurutku itu susah. Kalau kamu mau aku minta maaf, itu akan selamanya menjadi harapan kalian," ucapku pelan kemudian berjalan mengambil ponsel yang dari tadi aku charger.Rencananya aku akan melanjutkan beberapa bab malam ini. Banyak harapan yang aku gantungkan d
POV Naya"Mpok, Bu Narsih siapa?" tanyaku penasaran setelah beberapa orang di sini sudah pulang."Eump... itu." Mpok Atik terlihat gugup saat aku menanyakan siapa Bu Narsih."Mpok, ini berapaan? Sama tolong parutan kelapanya satu ya," ucap seorang Ibu-ibu yang membuat perhatian Mpok Atik beralih."Iya, Buk. Saya parut sekarang," jawab Mpok Atik pergi meninggalkan aku dan Ibu-ibu tadi. Suara mesin parut kelapa nyaring terdengar.Membuat Daffa merasa tidak nyaman, apalagi sekarang sangat panas.Aku memilih pulang saja kerumah, nanti jika warung Mpok Atik sedang senggang akan aku tanyakan kembali.*Setelah selesai memasak, aku memilih menidurkan Daffa sambil mengASIhi. Kutepuk pelan punggungnya agar dia segera tertidur.Tidak sadar aku hampir saja tertidur bersama Daffa. Sayup terdengar suara gaduh dari luar, siapa ya begini."Tidak bisa, Bu. Barang ini COD, jadi bayar dulu kalau mau nerima," ucap seorang laki-laki di depan rumahku."Saya Ibunya, kamu minta saja uang sama dia. Barangnya
POV Naya"Jangan macam-macam ya kamu. Kamu itu cuma anak kemarin sore yang menikah lalu jadi bagian keluarga yang tidak diharapkan. Jadi jangan pernah ungkit nama wanita itu lagi," teriak Ibu berang.Aku terkejut melihat reaksi Ibu. Di luar dugaan, aku pikir Ibu akan melemah karena aku tahu rahasianya. Tapi nyatanya malah seperti ini."Siapa yang mengatakannya padamu? Si Atik itu? Tunggu saja dia akan mati di tanganku," teriak Ibu lagi sambil melipat lengan bajunya.Aku hanya bisa menelan Saliva yang terasa kering. Astaghfirullah, apa yang harus aku lakukan."Kenapa Ibu terlihat sangat marah? Siapa sebenarnya Bu Narsih?" Jujur saja, sebenarnya aku sangat takut jika Ibu marah. Karena dia termasuk perempuan yang barbar.Dulu ketika pertama kali aku dikenalkan oleh Mas Arman pada Ibu dan Lela. Perasaanku sudah merasa tidak enak. Bagaimana tidak, Ibu masih terlihat muda dan awet."Kamu nggak tau siapa Narsih?" tanya Ibu masih dengan nada yang meninggi.Aku menggeleng perlahan, lebih baik
POV ArmanBrak!Aku melempar tas kerja ke sembarang arah. Moodku benar-benar buruk akhir-akhir ini. Bagaimana tidak, banyak sekali keluhan Ibu dan Lela tentang Naya. Ketika aku menegur Naya, yang ada malah keluhan balik yang disampaikan.Aku mengusap wajah dengan kasar. Jika aku membela Ibu, maka Naya mengancam akan pergi dari rumah ini. Tapi jika aku membela Naya, maka aku akan disebut anak durhaka.Entah mengapa satu bulan ini Naya menjadi lebih agresif. Dia tidak lagi mau mengalah pada Ibu dan Lela. Padahal apa susahnya dia pergi kerumah Ibu dan meminta maaf sebagaimana mestinya.Benar kata Ibu, tidak mungkin dia yang kesini lalu meminta maaf pada Naya, menantunya sendiri. Ini bukannya minta maaf, Naya malah semakin membuat masalah.Seperti tadi, Lela mengirimkan aku foto mobil anak aki. Mobil yang harganya sekitar tiga juta. Lela mengatakan jika mobil itu hadiah ulang tahun untuk Daffa yang belikan oleh Naya.Pertamanya aku tidak yakin jika Naya yang membelinya. Tapi setelah Lela
"Dan kamu, Mas. Kamu nggak perlu tau dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu. Karena aku juga tidak tau kemana saja gaji selama ini kamu habiskan. Untukku dan Daffa hanya kamu beri gaji sisa, sedangkan untuk Adik dan keponakanmu. Kamu beri segalanya. Sadar, Mas! Kamu udah nikah.""Ingat! Kalau kamu jatuh sakit atau mati. Tangan inilah yang merawat kamu! Bukan mereka. Daffa lah yang akan mendoakan kamu sampai hari akhir, bukan keponakan kamu!"Aku berteriak histeris berusaha menyadarkan Mas Arman dari belenggu Lela dan Ibu. Bukan aku tidak memperbolehkan Mas Arman berbagi rejeki dengan saudaranya sendiri. Hanya saja dia tidak adil pada kami.Dia memberikan apa saja yang Lela dan Ibu pinta. Tapi tidak dengan aku dan Daffa. Aku seperti harus mengemis dulu jika meminta sesuatu pada Mas Arman. Padahal tanggung jawab utamanya kami."Dasar wanita gila," hardik Ibu menatap ke arahku."Anda yang gila, ingat anak anda ini sudah beristri!" balasku menatap Ibu garang.Plak!Perih menjalar di
POV Naya"Kamu boleh pergi, tapi jangan bawa mobilku, Nay." Mas Arman terus berteriak dari belakang. Tapi itu sama sekali tidak membuatku takut atau berubah pikiran.Saat sudah sampai di dalam mobil, aku menurunkan kaca agar mereka bisa mendengar suaraku."Mas, mobil ini di beli oleh Abu dan Umi. Ayah dan Ibuku. Bukan Ibu kamu. Jadi ini mobilku, bukan mobil kamu ataupun Ibu kamu. Jadi jangan melarangku!"Setelah mengatakan itu, aku langsung menginjak pedal gas. Tidak aku pedulikan lagi umpatan demi umpatan mereka. Aku tau Mas Arman sangat menyayangi mobil ini. Buktinya dia merawatnya dengan baik.Begitu juga dengan Ibu dan Lela. Mereka sangat bangga melihat anaknya sudah memiliki mobil pribadi sendiri. Bahkan mereka selalu mengajak kesana kemari saat pertama kali mobil ini dibeli.Aku ingat dulu, ketika ada acara ngunduh mantu tetangga. Kami semua pergi satu mobil dengan Ibu dan juga Lela. Tetapi Ibu dengan kuat menarik tanganku menyuruhku untuk duduk di belakang. Karena dia yang akan
POV Arman"Udahlah, Man. Kamu ceraikan aja Naya. Kamu lihat sendiri kan gimana kelakuannya sekarang!" tegas Ibu setelah kami kembali masuk ke dalam rumah."Iya, Bang. Dia sama sekali tidak menghargai Abang sebagai suami," sambung Lela mengiyakan saran dari Ibu.Aku hanya bisa menghela nafas berat mendengar ocehan Ibu dan Lela. Sama sekali tidak ingin menanggapi. Saat ini pikiranku sedang kalut, bahkan sekarang perutku sangat perih.Azan di mesjid sedang dikumandangkan oleh Muazin. Biasanya jika ada Naya dirumah dia akan mengingatkan aku untuk segera Shalat Magrib.Kenapa rumah tanggaku bisa seperti ini. Padahal aku yakin sudah melakukan yang terbaik untuk semuanya. Termasuk memberikan gaji yang lebih besar untuk Ibu daripada Naya.Karena Ibu mempunyai pengeluaran yang banyak. Karena perabotan dirumah Ibu juga lebih banyak, otomatis bayar listrik juga lebih mahal.Naya marah ketika aku lebih mengutamakan Ibu daripada dia. Padahal seharusnya dia bersyukur mempunyai suami yang Sholeh sep
POV Arman"Arman, Lo dipanggil tuh sama, Bos." Tiba-tiba saat aku sedang membuat laporan Ardi temanku mengatakan bahwa aku dipanggil oleh Bos."Buat apa ya?" tanyaku penasaran."Entah," jawabnya sambil berlalu pergi.Tidak biasanya Pak Bagas menyuruhku ke ruangannya. Karena biasanya hanya dua hal kenapa dia menyuruh karyawannya menghadap. Satu karena akan naik jabatan atau kenaikan gaji. Dua karena ada teguran karena sudah membuat kesalahan.Dengan cepat aku tinggalkan pekerjaan yang menumpuk. Apa mungkin aku dipanggil karena telat memberikan laporan. Pikiranku berkecamuk memikirkan berbagai masalah yang ada di otak.Tok Tok Tok!"Masuk!" suara baritonnya terdengar sampai ke luar ruangan.Klek!"Permisi, Pak," ucapku dengan sedikit menunduk."Duduk," perintahnya sambil menunjuk ke arah kursi.Aku duduk di depannya dengan perasaan was-was. Pak Bagas tidak langsung mengatakan tujuannya. Dia sibuk memeriksa beberapa berkas yang ada di atas meja kerjanya."Kamu tau kenapa saya panggil kem