"Naya, mana sarapannya?" tanyaku pada Naya yang sedang menyusui putra pertama kami yang berusia sepuluh bulan. "Nggak ada, Mas," jawabnya enteng. Dia malah menyandarkan tubuh kurusnya pada sandaran kursi sambil memejamkan mata. Tingkahnya sangat membuatku emosi, padahal aku harus berangkat kerja. Tentu saja harus mendapatkan asupan makanan. Kalau tidak penyakit lambungku akan kambuh. "Kenapa nggak ada? Aku mau berangkat kerja ini," decakku kesal. Hening. Naya tidak menjawab pertanyaanku. Dia malah sambil menyusui Daffa. Semakin membuatku kesal dengan tingkahnya. Masih pagi dia sudah ngantuk lagi. Hanya itu saja kerjanya dirumah, tidur. Brak! Yuk ikutin kisah selanjutnya, dijamin pasti seru
View More"Nay, aku masuk ya," ucapku ketika sudah berada di depan pintu kamar yang sedikit terbuka. Tidak ada jawaban. Tapi aku tetap memilih masuk."Berhenti, Mas. Jangan masuk!" tekan Naya padaku sambil mengangkat tangannya. Langkahku terhenti."Aku mau bicara," ucapku lagi sambil melangkah lagi untuk bicara lebih dekat. Naya bangun dari tidurnya, kulihat Daffa tertidur pulas di sampingnya."Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Mas. Aku mau kita pisah, aku rasa hubungan kita sudah tidak sehat. Aku tidak sanggup lagi bertahan, jadi tolong ceraikan aku. Biarkan aku melepaskan diri dari kalian."Naya berucap tanpa melihat ke arahku. Dia bahkan mengacuhkan aku yang berusaha mendekatinya. Bukannya minta maaf, tapi malah ini yang dia katakan."Sadar, Nay. Sadar. Yang barusan kamu ucapkan itu tidak baik," ucapku sambil menarik tangan Naya yang semula mendekap tubuhnya."Lepas, Mas. Aku sadar, yang nggak sadar itu kamu," bentak Naya yang membuatku kaget. Semakin kesini sikap Naya semakin berubah.
POV Arman"Yakin seribu persen saya, Pak. Apalagi akhir-akhir ini Istri saya itu berubah. Dia tidak lagi peduli pada saya, bahkan sekarang dia memutuskan untuk pulang kerumah orang tuanya," jelasku lagi. Padahal aku tidak ingin semua orang tau tentang masalah rumah tanggaku. Tapi apa boleh buat, aku harus membuat Pak Bagas percaya padaku."Kamu tau siapa laki-laki ini?" tanya Pak Bagas sambil menunjuk laki-laki yang masih sok keren itu. Aku hanya menggeleng tanpa bersuara. Aku masih kesal."Dia itu anak saya! Calon penerus perusahan saya. Tempat kamu bekerja!"Deg!"Maaf, Pak. Saya tidak mengerti," ucapku gugup. Nafasku seakan terhenti saat ini juga. Rasanya bumi berhenti berputar pada porosnya."Dia Ajun Prawira. Anak saya, keluarga Prawira. Kamu mengerti sekarang?" tanya Pak Bagas padaku setelah menjelaskan untuk kedua kalinya. Aku menelan ludah yang terasa kering. Kenapa aku menjadi mendadak pusing seperti ini. Aku kehabisan kata, tidak tau mau bilang apa lagi."Dia yang kamu perma
POV Arman"Iya, Mas. Aku akan jelaskan semuanya di sana. Kita sama-sama harus bisa menjelaskan pada orang tuaku. Bagiamana bisa aku di sini bersama Pak Wira. Dan bagaimana bisa kamu ke sini bersama wanita ini. Satu lagi, kamu juga harus bisa menjelaskan kenapa bisa diantar jemput oleh wanita seperti dia," desis Naya pelan.Deg!Bagaimana Naya bisa tau jika aku sering pergi dan dijemput oleh Intan. Kenapa sekarang jadi aku yang harus menjelaskan semuanya."Apa maksud kamu?" tanyaku menatapnya garang."Kamu tau sendiri maksud aku, Mas. Ingat ya, aku tidak bodoh. Kita buktikan nanti di rumah Abi dan Umi. Siapa sebenarnya yang bersalah.Setelah mengatakan itu, Naya langsung pergi dengan tas di punggungnya. Juga laki-laki tadi mengikuti dari belakang. Apa-apaan ini, seharusnya di sini aku yang marah. Bukan malah Naya yang memperlakukan aku seperti ini.Padahal yang ketahuan selingkuh itu dia, bukan aku. Aku mengepalkan tangan dengan kuat, sebisa mungkin aku harus bisa meredam emosi yang ki
POV ArmanSetelah mendapatkan ijin dari Pak Bagas. Aku segera menelpon Intan agar menjemputku. Jika aku memesan taksi online, pasti akan lama. Karena jarak antara kantorku ke jalan Linggar Jati lumayan jauh. Untung saja Intan dengan senang hati membantuku kali ini."Emangnya kita mau kemana sih, Mas?" tanya Intan padaku saat kami sedang dalam perjalanan menuju ke cafe tempat Naya selingkuh."Kita ke cafe yang di jalan Linggar Jati ya. Aku ada perlu," jawabku tanpa melihat kearahnya. Dipikiranku sekarang hanya Naya dan Naya.Kuacuhkan beberapa pertanyaan yang dari tadi terlontar dari mulut Intan. Karena aku memacu mobil dengan sedikit kencang, makanya aku ingin fokus menyetir saja."Mas, hati-hati. Aku takut," pekik Intan saat aku membawa mobil dengan kecepatan tinggi."Maaf, Intan. Tapi aku sedang terburu-buru," jawabku."Tapi ini mobilku, Mas. Kalau terjadi apa-apa kamu harus tanggung jawab," bentak Intan sambil memukul lenganku."Iya, kamu diam aja dulu. Aku harus segera sampai kesa
Pov NayaKuraih beberapa berkas yang sudah aku persiapkan sebelumnya. Tidak lupa ponsel dan headset. Aku butuh itu untuk bisa fokus. Kulirik jam yang ada di pergelangan tangan. Ternyata sudah pukul delapan pagi.Hari ini aku ada janji dengan Pak Wira. Aku tidak boleh terlambat. Karena katanya dia ada jadwal lainnya setelah ini. Setelah pertemuan tidak sengaja kemarin, membuatku lebih sering berkomunikasi dengannya.Apalagi setelah waktu itu dia membantuku menenangkan Daffa yang sedang menangis. Karena jarang-jarang Daffa mau digendong oleh orang lain."Nay, makan dulu," ujar Ibu saat aku baru saja keluar kamar."Nggak sempat lagi, Umi. Aku buru-buru," tolakku lembut kemudian meraih Daffa dalam gendongan Umi. Aku membuka resleting baju kemudian memberikan Daffa ASI.Karena kata Umi, biar Daffa dijaga oleh Umisaja. Lagian aku juga pergi tidak lama, jadiUmi ingin menghabiskan waktu bersama cucutercintanya. Untungnya selain minum ASI,Daffa juga minum sufor. Jadi aku tidak terlalu cema
POV Naya"Kamu tau kenapa Umi dan Abi dulu setuju kamu menikah dengan Arman?" Pertanyaan Ini barusan hanya aku jawab dengan gelengan kepala."Karena orang tuanya Arman adalah sahabat baik, Umi," ucap Umi pelan tapi mampu membuatku kaget."Jadi Ibunya Mas Arman sahabat Umi? Tapi kok....""Ibu kandungnya. Bukan Ibu yang kamu maksud," sanggah Umi membuatku syok."Aku nggak ngerti maksud, Umi.""Ibu mertua kamu sekarang, bukan Ibunya Arman. Dia hanya babu yang kemudian menjadi ratu dirumah itu.Deg!"Jadi selama ini dia bukan mertuaku?" tanyaku spontan sambil menutup mulut."Hus, ngomong apa kamu. Dia tetap mertua kamu," balas Umi sambil mengibaskan tangannya."Pantesan selama ini Ibu nggak sayang sama Daffa dan aku. Ternyata....""Sebenarnya Umi sama Abi tau kalau kamu diperlakukan tidak baik oleh mereka. Tapi kami memutuskan diam dulu, lagian kamu juga sudah dewasa. Tau bagaimana caranya menghadapi masalah," sambung Umi lagi yang membuatku merajuk."Umi tau, tapi nggak mau belain Naya,"
POV NayaAku menatap langit malam, sesak yang sedari tadi menghampiri dada masih saja terasa sampai sekarang. Perkataan Mas Arman saat menelpon mampu membuatku goyah.Seumur pernikahan, tidak pernah Mas Arman mengancamku dengan ancaman akan menikah lagi. Apa dia pikir pernikahan itu mudah. Apa dia tidak berpikir bagaimana perasaanku saat mendengar penuturannya barusan.Bohong jika aku bilang tidak sedih. Rumah tanggaku bagai terombang-ambing di lautan lepas. Aku menikah dengan Mas Arman atas dasar cinta, bukan dasar paksa. Jadi jika terjadi masalah seperti ini, aku terpuruk.Padahal di luar sini sangat dingin, tapi biarlah segala resah dan gelisahku terbang bersama angin malam. Tidak ada lagi air mata, hatiku bergejolak menahan amarah dan kecewa. Bagaimana bisa sekarang Mas Arman berubah seperti ini."Unaiya, masuk dulu, Nak. Nanti kamu masuk angin," teriak Umi dari bawah. Umi selalu memanggilku dengan nama lengkap. Tapi aku suka.Saat ini aku memang sedang berada di tempat Ibu. Tadi
"Mas, baju kamu kok kusut sih? Ini lagi dasinya nggak rapi. Sini biar aku rapikan," ucap Intan mendekatkan badannya kepadaku.Dan tanpa permisi dia membenarkan dasiku yang memang tadi sangat kusut. Jika dilihat dekat seperti ini, Intan ternyata sangat cantik. Jarak kami sangat dekat hingga nafasnya terdengar jelas. Bajunya dengan belahan dada rendah, semakin membuat gairahku bangkit. Dadanya tercetak jelas, hingga membuatku merasa melayang.Tanpa bisa kutahan lagi, aku meraih tubuhnya agar semakin dekat denganku. Menyentuh wajahnya dan dengan lembut melumat bibir merahnya. Maafkan aku, Naya. Ini salahmu yang pergi meninggalkan kewajibanmu sebagai istri."Astaghfirullah." Aku mendorong tubuh Intan kasar hingga dia mengaduh kesakitan."Au, kamu apa-apaan sih, Mas?" tanya Intan sambil mengelus punggungnya yang terbentur pintu mobil."Maafkan aku, Intan. Tadi aku tidak sengaja," ucapku sambil menelan saliva yang terasa kering.Apa yang sudah aku lakukan, tidak seharusnya aku bertindak sep
"Kamu pulang, kalau tidak....""Kalau tidak apa, Mas?" sanggahnya menantang ancamanku."Kalau tidak aku akan nikah lagi!"Aku yakin kali ini Naya pasti akan pulang. Mana mau dia kehilangan aku. Karena aku tau aku laki-laki yang dia cintai. Aku juga yakin dia akan secepatnya kembali. Jika aku mau, aku juga bisa menikah dengan Intan. Aku yakin dia juga masih suka dan senang jika harus menjadi istriku."Ha-ha...." Bukannya takut, Naya malah semakin tertawa terbahak-bahak mendengar penuturanku barusan. Dia pikir ini lucu? Aku hampir saja mati saat mencuci baju barusan."Aku serius, Nay!" bentakku geram. Dia seakan mengolok-olokku."Maaf. Maaf, Mas. Ha-ha. Habisnya kamu lucu sih," jawab Naya masih dengan sedikit Semakin membuat darahku mendidih."Apanya yang lucu? Aku hampir saja matikarena mencuci baju. Seharusnya kamu yangmelakukan semua ini. Bukan aku sebagai suami, aku udah capek cari uang dan sekarang masih saja mengerjakan pekerjaan rumah," tegasku lagi sambil memukul meja makande
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.