Dua puluh tahun yang lalu. . .
Hyang Tarangga yang mengerjakan tugasnya di Janaloka tiba – tiba mendapat serangan dari pasukan Ashura di bawah pimpinan Mahamara. Hyang Tarangga yang saat itu hanya seorang diri kesulitan melawan pasukan Ashura dan harus bersembunyi di Janaloka untuk memulihkan tenaganya. Dalam usaha penyelamatan dirinya tanpa di sengaja, Hyang Tarangga bertemu dengan seorang pria buta yang sedang berkeliling menjual tanaman herbal.
“Tuan baik – baik saja?” tanya pria buta itu ketika merasakan ada seseorang di dekatnya dalam keadaan terluka.
“Tuan bisa melihat saya?” tanya Hyang Tarangga heran.
Pria buta itu menganggukkan kepalanya. “Aku mungkin buta di hadapan para manusia, tapi dengan mataku yang buta ini aku bisa melihat dengan jelas makhluk – makhluk yang bagi kebanyakan manusia tidak terlihat dan kasat mata.”
Sepertinya. . pria ini adalah penerima berkah k
Hyang Yuda terkejut mendengar penjelasan dari Hyang Tarangga mengenai usaha terakhirnya ayahnya yang tidak lagi diingatnya. Bahkan bayangannya sekalipun sama sekali tidak tertinggal dalam ingatan Hyang Yuda.“Jadi. . . Hyang Tarangga bertemu dengan ayahku? Bagaimana rupa ayahku?”Hyang Yuda bertanya dengan penuh rasa penasaran akan wajah dari sosok ayah yang tidak pernah ditemuinya seumur hidup sebagai manusia bernama Sena.“Dia pria yang baik. Meski buta, dia memiliki wajah yang tampan untuk pria di usianya yang mendekati empat puluh tahun. Dia juga memiliki mata yang indah sama seperti mata yang kamu miliki Hyang Yuda. Sayangnya. . . takdir yang dimilikinya lebih buruk dari takdirmu sebagai manusia, Hyang Yuda. Menikah di usia yang sudah cukup tua dan terlambat memiliki anak. Ketika akhirnya memiliki anak yang begitu didambakannya, dia tidak bisa bersama dengan putranya dan bahkan tidak bisa melihat wajah putranya yang sangat tamp
Ada sebuah legenda yang telah turun temurun diwariskan dalam prasasti yang tersimpan di Aula Amaraloka. Dalam legenda itu dikatakan bahwa kelak akan datang masa di mana seorang dewa mampu memanggil senjata legendaris yang bermata dua. Dua buah senjatalegendaris itu adalah Kandaga dan Gandhewa memiliki dua nama yang dapat membawa bencana dan membawa kedamaian bagi tiga alam. Kandaga dan Gadhewa itu memiliki nama Atahiktri(1) dan Sanghara yang kelak bisa membawa perdamaian dan kiamat bagi tiga alam. (1)Atahiktri dalam bahasa sansekerta memiliki arti kebajikan. Mendengar peringatan yang dibuat oleh Hyang Tarangga dalam saluran komunikasi, para Hyang yang sedang berjaga dan bertugas seketika membanjiri saluran komunikasi dengan berbagai pertanyaan. [Sanghara Gandhewa?] Tanya Hyang Marana yang sedang bertugas danberada di Nirayaloka dan Sadyapara. Tidak lama kemudi
Menggunakan Gaganacara miliknya, Hyang Marana segera berpindah tempat dari Nirayaloka menuju ke Amaraloka. Dengan membawa Atma dari Pawestri Manohara, Hyang Marana yang tiba di Amaraloka dibuat terkejut melihat keadaan yang sedang terjadi di Amaraloka.“Itu. . . itu benar – benar Sanghara Gandhewa dalam legenda. . .” ucap Hyang Marana dengan mulut menganga karena tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya di sini.Sementara itu, Hyang Yuda yang hendak melepaskan panah Sanghara Gandhewa mengurungkan niatnya begitu melihat Atma dari Pawestri Manohara di samping Hyang Marana.“Maafkan saya, Hyang Amarabhawana dan Hyang Tarangga. Saya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menemukan atma yang Hyang Amarabhawana dan Hyang Tarangga minta. Atma ini nyaris saja memasuki gerbang amratatwa(1) dan saya harus beradu mulut lebih dulu dengan Sadyapara Dorapala.”(1)Amratatwa dalam bahasa s
Hyang Yuda terkejut mendengar jawaban yang diberikan oleh Hyang Tarangga, “Kenapa aku harus kehilangan ingatanku, Hyang Tarangga?”Hyang Amarabhawana yang tidak tega melihat Hyang Tarangga terus menjelaskan rencana itu kemudian maju berbicara menggantikan Hyang Tarangga untuk berbicara.“Hyang Yuda. . . rencana itu awalnya adalah rencana yang sempurna yang telah dirancang oleh Hyang Tarangga bersama denganku. Hyang Tarangga bahkan membaca semua takdir manusia dan memikirkan semua kemungkinan yang ada untuk membantu Hyang Yuda. Tapi sesuatu terjadi di luar kendali. . .”“Apa itu, Hyang Amarabhawana?”“Bukankah sebelumnya Hyang Tarangga menjelaskan Hyang Yuda menerima dua berkah dari ayah Hyang Yuda?”Hyang Yuda menganggukkan kepalanya mengingat penjelasan Hyang Tarangga sebelumnya, “Benar. Satu berkah yakni mata yang mampu membuat ayahku melihat makhluk – makhl
Peperangan yang terjadi di Janaloka lima ratus tahun kemudian. . . Angin kencang bersama dengan getaran dahsyat datang diikuti cahaya yang keluar dari tubuh Hyang Yuda. Sama seperti kebangkitan keduanya yang sempat dilupakan oleh Hyang Yuda, kini Hyang Yuda mengalami kebangkitan yang sama untuk kedua kalinya. Seluruh pakaian Hyang Yuda yang tadinya serba putih dengan jubah perang berwarna emas berubah menjadi kombinasi hitam, biru dan ungu. Sayap dengan warna kombinasi yang sama muncul di punggung Hyang Yuda diikuti dengan mahkota dan topeng emas yang menutupi separuh wajah Hyang Yuda. Berkat cincin yang dipasangkannya di jari manis tangan kanannya, Hyang Yuda secara paksa memanggil kembali semua berkah miliknya yang sempat diberikannya kepada Pawestri Manohara istrinya yang kini bernama Sasarada. Melihat perubahan yang terjadi kepada Hyang Yuda, Mahamara justru bertepuk tangan merasa sangat senang karena keinginannya yang telah t
Begitu proses kremasi berakhir, Dyah Manila berniat untuk mencuri abu dari Rakryan Tumenggung Sena. Namun sesuatu yang tidak diduganya datang menghalangi niat buruknya itu. “Siapa kamu?” teriak Dyah Manila ketika melihat sosok pria yang berdiri dengan membawa tiga guci abu di tangannya. Pria itu tersenyum ke arah Dyah Manila dan menjawab, “Niatmu buruk sekali, Dyah Manila.” “Aku tidak pernah melihatmu di sini, siapa kamu? Kenapa kamu membawa tiga guci abu itu bersamamu? Dan dari mana kamu tahu namaku?” “Aku. . . aku tahu lebih banyak dari yang kamu kira, Dyah Manila. Aku juga tahu kapan kamu akan matidan bagaimana kamu akan mati . . . kupikir pertemuanmu dengan Sena akan membuatmu sadar dan membersihkan hatimu yang kotor itu. Kupikir perasaanmu terhadap Sena akan membawamu pada jalan kebaikan dan berusaha untuk menyelamatkan Sena dari takdir buruk yang sudah membayanginya. Tapi nyatanya. . . kamu justru terlibat dalam bah
Hyang Yuda hanya bisa menggelengkan kepalanya ketika melihat satu per satu adegan dalam kehidupan yang dijalani oleh Dyah Manila bahkan setelah kematiannya. Di antara pikirannya yang terbelah antara membaca ingatan kehidupan Mahamara dan kehidupan nyata, Hyang Yuda mengajukan pertanyaan kepada Hyang Tarangga yang berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri. “Hyang Tarangga. . .” “Ya, Hyang Yuda. . .” jawab Hyang Tarangga. Hyang Tarangga terkejut mendengar namanya dipanggil karena biasanya para Hyang yang sedang membaca ingatan makhluk lain akan benar – benar fokus dan mengabaikan keadaan sekelilingnya. Dengan alasan itu, Hyang Tarangga biasanya akan selalu ditemani oleh Hyang Marana atau Hyang Yuda ketika melakukan hal yang sama. “Apakah sosok yang dilihat Dyah Manila waktu itu dan membawa tiga guci abu milikku dari Majapahit adalah Hyang Tarangga?” Hyang Tarangga menganggukkan kepalanya, “Ya, itu memang aku. Setelah mengawasi
“Apa maksud dari ucapanmu itu?” tanya Dyah Manila. “Banyak makhluk termasuk para dewa melupakan kejadian penting di hari kebangkitan Hyang Yuda sebagai Dewa Perang yang Agung dari Amaraloka. Entah bagaimana semua makhluk yang terlibat di hari kebangkitan Hyang Yuda sebagai Dewa Perang melupakan ingatan mereka, Mahamara,” jelas penyusup itu kepada Dyah Manila. “Lalu dari mana kamu tahu tentang hal ini?” “Ada satu makhluk yang tidak sengaja mengetahui hal ini dan kemudian bersembunyi di Janaloka. Dari informasi yang saya dapat, makhluk ini berhasil melarikan diri dan bersembunyi.” “Kalau begitu, aku ingin kamu membawaku menemui makhluk itu. Ada yang harus aku tanyakan langsung padanya.” Tidak butuh waktu yang lama bagi Dyah Manila yang telah mendapatkan posisi sebagai Mahamara untuk menemukan makhluk yang dimaksud. Makhluk itu rupanya adalah Amarokkecil yang bersembunyi di tanah suci Girilaya tempat wasi dimak