"Sean!"Tante Sandra mengejar langkah lebar putra bungsunya, meninggalkan tiga muda mudi sebaya yang masih diliputi suasana tegang. Selena memandang pilu Sean dan Tante Sandra yang sudah menjauh. Tak menyangka bahwa kedatangannya ini justru ditanggapi begini. Sangat jauh dari ekspektasinya. Dengan raut sedih, dia beralih menatap Sandi yang menghela nafas lelah. "Maaf, aku bikin hari bahagia kamu justru jadi begini," sesalnya. Sandi melengos tak menanggapi. Dia langsung meletakkan beberapa lembar uang di kantong bill. Dinara yang sedari tadi hanya diam karena tak paham memilih untuk tidak ikut campur. Dia meraih tas tangannya lalu hendak membiarkan dua orang itu untuk menyelesaikan masalah mereka. "Aku balik duluan!" ujarnya sambil beranjak. Sandi mencekal lengannya lalu justru menarik Dinara tanpa basa-basi. Meninggalkan Selena yang menatap cekalan tangan itu dengan perasaan campur aduk. Belum beberapa langkah, Selena kembali bersuara. "Tapi kamu tetap bisa kan bantu a
Sandi menilik sekitarnya yang terasa sedikit asing. Rungunya dapat menangkap jelas lagu dengan lirik berbahasa korea dilengkapi video klipnya yang tayang di layar besar. Kali ini dia duduk bersila di lantai dilengkapi meja kayu panjang persegi. Berhadapan langsung dengan gadis cantik yang sesekali menggumamkan lirik lagu yang terputar. Atribut wisudanya telah dilepas dan dititip di mobil Dinara. Tersisa kemeja hitam dengan lengan tergulung, celana kain hitam dan sepatu pantovel hitam yang diletakkan di depan pintu masuk. Setelah dari hotel tempat penyelenggaraan wisuda, Dinara justru memboyongnya masuk ke dalam rumah makan dengan konsep korea. Gadis itu bilang dia tidak bisa mengunyah dan menikmati makanan di rooftop dengan tenang tadi. Alhasil perutnya jelas keroncongan."Kita gak terlalu tua untuk makan disini, kan?" Sandi mengernyit saat menyadari beberapa orang disekitarnya masih berseragam putih abu atau bahkan remaja-remaja libur UN. Kontras dengan mereka yang datang de
"Astaga kita cuma pergi empat hari, bukan pindahan ke Bali selamanya!" Rencana liburan berkedok survey lokasi untuk bisnis baru milik Viviane belum apa-apa sudah menghasilkan drama. Empat gadis yang sedang bersiap itu nampak kelimpungan mengurus barang apa saja yang hendak dimasukkan kedalam mobil. Julie daritadi sibuk mengatur tumpukan koper yang didominasi oleh barang-barang entah penting atau tidak milik Kiran. Jika yang lain membawa satu koper dan satu tas bahu, Kiran berbeda sendiri. Seperti biasa, Kiran itu sudah seperti lemari berjalan yang membawa banyak sekali pakaian, makeup, aksesoris dan aneka perintilan lainnnya. "Tuh, ini udah gue susun serapih mungkin, tapi barang lo sendiri kayaknya perlu truk buat ngangkut!" sarkas Julie lagi. Mulai lelah menjadi bak seksi perlengkapan yang mengatur barang-barang gerombolan tur ini. Kiran melotot, "itu di depan masih bisa astaga!" gadis itu mencoba memasukkan lebih banyak barang lagi di kursi belakang. "Terus kita ma
"Bali panassss!"Kiran membuka sesi vlog rutinnya begitu gerombolan mereka keluar dari bandara. Bulan Juni memang sedang panas-panasnya. Apalagi sengatan Bali yang lumayan membakar kulit. Supir keluarga Viviane sudah menunggu di areal kedatangan dan dengan sigap membantu gadis-gadis untuk memasukkan barang-barang mereka. Setelah itu mereka langsung meluncur untuk makan siang dulu lalu kearah Canggu. Menengok gedung lama milik keluarganya yang sempat terbengkalai. "Ini udah ditinggal berapa lama, Vi?" tanya Dinara saat melihat-lihat kondisi gedung. Viviane bilang gedung ini sempat dikontrakkan lalu di tengah jalan berhenti sewa karena bisnis si penyewa tercegat akibat zaman covid kemarin. "Dua tahun lebih?" dia mengira- ngira. Dinara mengusap debu di bagian meja besar yang cukup menggumpal. "Masih kelihatan oke meskipun udah sempet ditinggal. Emang cuma perlu dibersihin ulang aja sih," komentar Dinara. Tempat itu dulunya sempat digunakan sebagai distro, jadi Viviane mungkin tak a
Tubuh-tubuh super lelah setelah seharian kesana kemari itu akhirnya terlempar nyaman diatas kasur empuk villa. Saking lelahnya, bahkan tadi hampir semuanya tertidur dalam perjalanan dari Canggu menuju Ubud yang memakan waktu sekitar satu setengah jam itu. Hari ini mereka belum mau lanjut mulai berwisata karena masih perlu istirahat. Beberapa dari mereka mungkin belum seratus persen lepas dari pengaruh jet lag. Turun dari pesawat sekitar jam setengah dua belas siang. Langsung makan siang dan cek bangunan hingga pukul tiga. Setelah itu nongkrong di cafe bersama Nathan dan Kevin hingga pukul tujuh petang dan baru on the way Ubud. Untungnya sudah pada makan di cafe, jadi setidaknya tidak akan ada drama kelaparan kali ini. Dinara mendapat bagian satu kamar bersama Kiran. Sementara Julie bersama Kanaya, Chakra sendiri dan tentu saja kamar tunggal untuk Viviane. Tahu kan siapa yang mengatur? Tentu saja James yang ternyata juga punya akses langsung pada si pemilik Villa. Bagaimana tidak? P
Siapa manusia aneh yang pakai kacamata hitam pukul sembilan malam begini? The one and only Sandi Arsena. Syukurnya bukan dia orang yang berada dibelakang setir. Lelaki itu dijemput supir sanak keluarganya yang juga sedang ada di Bali saat ini. Pria itu turun dari mobil, bergegas menurunkan beberapa buah koper setelah berhasil memastikan bahwa ia sudah sampai sesuai alamat yang sebelumnya dikirimkan. Langkahnya tegap dan pasti kala kaki panjang dibalut jeans biru muda itu melangkah masuk melewati gapura ukiran yang langsung disapa ramah resepsionis. Setelah mengutarakan tujuannya, seseorang lanjut mengarahkannya untuk masuk lagi dalam private villa yang sudah dikuasai oleh antek-anteknya itu. "Oii Sandi!" Lelaki dua puluh dua tahun yang pada akhirnya melepas kaca matanya itu tersenyum tipis. Punggung tegapnya ditepuk pelan sang kakak kelas yang dulu sempat berada dalam klub basket membela sekolah bersamanya. "Sorry gue malem banget nyampenya, yang lain pada dimana, Cak?" Sa
Hujan lebat di pagi hari ini menyisakan hawa dingin yang menusuk tulang. Siapa sangka langit sepertinya juga punya mood swing sama seperti manusia?Baru saja kemarin menginjakkan kaki di tanah Bali yang cuacanya panas luar biasa bahkan hampir membakar kulit. Bisa- bisanya kini langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Hujan hampir badai sejak pagi yang membuat siapapun tentu jadi malas beraktivitas diluar ruangan.Termasuk Dinara dan Kiran yang masih menggulung diri masing- masing dalam selimut tebal mereka. Hujan diluar membuat keduanya semakin malas bergerak. Apalagi saat sempat mengintip keluar jendela tadi, langit terlihat masih cukup gelap untuk ukuran pukul delapan pagi.Bahkan kala Julie yang tidur di kamar sebelah sejak tiga puluh menit lalu sudah mencak- mencak gusar di dalam kamar mereka, keduanya masih memutuskan untuk tidak bergerak. Hanya bisa menyorot Julie yang mondar- mandir mengecek jendela lalu kembali menghela nafas kasar dan rapalan kalimatnya."Gila ya? Niat
"Jadi, sebenarnya sejak kapan lo naksir Dinara?" Sandi menyunggingkan senyum tipis penuh makna kala pertanyaan itu kembali hinggap di rungunya. Dia sendiri tidak tahu pasti sebenarnya sejak kapan dia mulai menyukai Dinara.Sementara Sandi tak mau sibuk menghabiskan waktu untuk mengingat awal mula, matanya masih menerobos santai memandangi Dinara yang diyakininya tengah tersipu. Semburat merah muda malu-malu kucing itu jelas bukan efek blush on! Bibirnya menarik seutas senyum gemas. Dinara masih menunduk berpura-pura tidak peduli. Seolah dia akan bodo amat dengan apapun yang kawannya lontarkan. Padahal telinga gadis itu sudah makin memerah. Tapi dibanding memenuhi rasa ingin tahu kawan- kawan jahilnya, Sandi memilih lurus pada aturan utama permainan. "Ini bukan giliran gue buat jawab, kan?" Dia mematahkan harapan gadis- gadis kepo dihadapannya. Semua menghela nafas kesal. Sekarang mereka tentu berharap setelah ini punya kesempatan untuk menggali dalam perihal Sandi dan Dinara yang