Keesokan harinya aku diantar Lea dan Ubay pulang ke rumah."Apa ga sebaiknya kamu tinggal di rumahku aja sampai benar-benar aman, Al." ujar Lea setelah sampai dirumahku."Tak usah, Le. Aku disini saja. InsyaAllah gapapa, kok.""Nanti, kalau ada apa-apa jangan lupa langsung kabari, ya.""InsyaAllah, pasti kalian yang aku kabari terlebih dahulu.Tak lama Ubay datang bersama Pak RT yang tadi sudah aku kenalin padanya."Kami sudah melihat rekaman cctv, wajah dua pengendara itu tak begitu jelas terlihat karena tertutup helm. Nomor polisi kendaraannya juga tidak jelas. Sepertinya sengaja agar tak bisa dilacak.""Tak apa, Pak. Semoga saja ini hanya ulah orang iseng." sahutku.Setelah aku mengucapkan terima kasih, Pak RT pun pulang. "Sebentar lagi ada orang bayaranku yang akan menjaga kamu 24 jam. Jadi, kamu ga perlu khawatir." tutur Ubay."Maksudnya?""Aku udah nyewa dua orang body guard untuk menjaga kamu. Sementara! sampai aku yang akan jadi bodyguard kamu." "Cieee ...!""Lea apaan, sih!
Karena kejadian seperti itu, rencana pernikahan dimajukan. Bahkan tanpa menunggu Mamanya Lea yang masih di luar negeri, yang sedang ikut Papanya mengurus bisnis mereka."Tunggu Mama aja dulu, Bay."Ubay menatapku, lekat."Mas, maksudnya." aku meralat sambil menyunggingkan senyum tanda perdamaian."Jangan! aku khawatir akan keselamatan kamu.""Iya, Al. Nurut aja kan enak, bentar lagi kawin!" cetus Lea.Aku mencubit pinggang Lea. Sahabatku itu kabur menghindar. Akhirnya lewat sambungan telepon, kedua orangtua Ubay mengijinkan. Walau terdengar agak keberatan. Mungkin karena terkesan buru-buru. Tapi, Ubay bersikeras agar tetap menikah dalam waktu lima hari ini.Malam ini setelah pulang dari rumah Lea aku merebahkan diri di ranjang. Rasanya seperti mimpi. Dalam waktu dekat aku mengalami dua peristiwa besar dalam hidupku. Perceraian dan kembali menikah untuk kedua kalinya. Sungguh ironis, disaat aku sedang berusaha melupakan sakit karena dibohongin suami. Kini aku harus merasakan hidup den
"Mbak mau minum apa?""Ga usah repot-repot, Mbak. Saya ga lama kok.""Gapapa, Mbak. Saya buatkan teh, ya."Tanpa menunggu jawabanku, perempuan seksi itu berlalu."Mama tak suka sama dia. Gunawan, ah. Mama ingin mati saja." nada suara Mama terdengar berat."Mama, ga boleh begitu. Gimana pun mas Gunawan adalah anak Mama.""Entahlah, Sayang. Mungkin jika tidak ada kamu Mama tidak semangat lagi melanjutkan hidup ini."Aku terdiam. Sepertinya ini bukan saat yang tepat untuk mengatakan kepada Mama bahwa aku akan segera menikah. Keadaan Mama sedang tak baik-baik saja."Tinggallah di sini lagi, Nak. Mama khawatir perempuan tadi mengganggu suamimu. Gunawan, itu bod*h, Mama capek mengingatkan dia."Entah apa yang terjadi yang jelas ada sesuatu antara Mas Gunawan dengan Fatma. "Tapi, Ma ..." "Mama sudah mengalihkan semua aset Mama atas namamu. Kau simpan baik-baik, ya.""Tapi, Ma ... Ya Allah ... Kenapa harus pada Alina,Ma. Kan ada Mas Igun." aku menjawab cemas. Gimana ini?Mama menggeleng cep
"Heh! Kamu sini!" Tante Irma menatap garang pada Fatma yang mulai ketakutan. Perempuan itu menghampiri Tante Irma ragu-ragu. "Kamu mau ke mana? Ingat ya Fatma kamu itu hanya pembantu di rumah ini! Jika kamu macam-macam, saya akan bilang kepada bibimu biar kamu dipulangkan lagi ke kampung." ancam Tante Irma. "Ja-jangan, Bu. Saya masih mau bekerja." "Kalau mau bekerja, kamu kerja yang benar! Dari awal saya sudah peringatkan, jangan pakai baju kekurangan bahan seperti ini. Apa kamu tidak malu, walaupun kamu pakai baju tapi tubuhmu tercetak dengan jelas." "Malu, Bu." Lirihnya. "Sekarang ganti baju kamu!" Fatma berbalik arah dengan wajah masih menunduk. "Tunggu!" cegahku. Aku memeriksa kantong celana Fatma dimana obat tadi dia simpan. "Ada apa, Al?" Tante mendekatiku, heran. Fatma berusaha menepis tanganku. Namun, aku bersikukuh memeriksa celana perempuan itu. "Ini! Ini apa?" seruku sambil mengacungkan sebuah bungkusan dengan plastik kecil berisi bubuk warna putih. "I-itu obat
Setelah minum obat, Mas Gunawan duduk tertunduk. "Kamu sungguh kelewatan, Gunawan!" Desisnya.Mas Gunawan hanya diam. Tak lama Fatma yang sudah diusir Tante Irma keluar dari kamarnya."Jangan coba-coba kamu mendekati ponakan saya lagi." Bentak Tante Irma sebelum Fatma melangkah keluar. Dengan membawa kopernya perempuan itu pergi."Tante, Sebenarnya kedatangan Alina kesini mau mengabarkan sekaligus minta do'a restunya." ujarku memulai kata. Hari makin tinggi. Aku tak mau berlama-lama lagi disini."Kabar apa, Sayang?"Aku menghela napas dalam-dalam. Kini mereka berdua menatap ke arahku."InsyaAllah, lima hari lagi Alina akan menikah dengan Mas Baihaqi.""Ya Allah ..." Tante Irma merebahkan tubuhnya lagi ke sofa."Dek, kamu ga jangan begitu. Tega sekali kamu, Mama dalam masa penyembuhan. Jika dia tau kita sudah bercerai dan kamu akan menikah, pasti darah tinggi Mama akan kumat lagi." "Gunawan! Apa kamu tak punya malu?"Mas Gunawan terdiam dan kembali menunduk."Alina, Tante tak punya h
"Ajarin apa?"Mas Ubay menunduk malu. Wajahnya memerah."Kalau aku ceritakan kamu jangan ketawa apalagi cerita-cerita pada, Lea." ujarnya pelan. Rasa penasaran yang membuncah membuatku sanggup berjanji didepannya. "Aku masih perjaka." Kalimat itu terlontar dari bibir laki-laki yang sudah menjadi suamiku itu.Mataku membulat sempurna."Jangan bohong! Kamu udah nikah kan sebelumnya? Lalu kalian ngapain aja dikamar berdua? Main ular tangga?" Antara ingin tahu dan ingin tertawa mendengar pengakuan Mas Ubay."Janji kamu bisa dipegang kan?" Aku mengangguk cepat. Apa laki-laki yang menikahiku ini punya kelainan? Atau jangan-jangan dia impoten? Oh tidak! Semoga saja bukan."Sejak menikah dengan Aina, kami tidur terpisah. Awalnya Aina bilang belum siap jika nanti dia hamil.""Hah? Kan kalian bisa pakai pengaman.""Entahlah, dia tak mau. Katanya nanti saja kalau dia sudah siap. Aku mengalah, tak mau egois dengan memaksa dia. Namun, akhirnya aku tahu jika Aina sedang mengikuti audisi untuk seb
Dua minggu setelah kami menikah, aku mulai di ajak Mas Ubay untuk ikut dalam rapat. Begitu canggung rasanya, tapi menurut Mas Ubay aku harus terbiasa. Karena dia berharap aku bisa menjalankan bisnis berdua dengannya."Kalian ini kayak perangko tau ga! Kemana-mana selalu berdua." "Ciee ... yang ngiri ...!" ledek Mas Ubay."Gw ga ngiri, gw nganan doang." "Hahaha, sabar Bestie. Gimana hubungan kamu dengan Pak pengacara?" Tanyaku sambil merangkul Lea yang tengah cemberut."Tau ga, Al. Minggu ini aku mau dikenalin pada orang tuanya. Aku deg-degan banget sumpah.""Emang lu, bisa deg-degan juga, Lele!"potong Mas Ubay cepat."Bisa lah! Lu kira gw batu, apa!""Jangan sewot, Le. Entar cepat tua.Mas Ubay makin semangat memanas-manasi Lea."Lu yang bikin gw cepat tua, nyebelin. Aturan gw ga restuin elu nikah sama teman gw. Kasian Alina dapat suami kayak kanebo kering.""Eh, sembarangan! Tanya Alina aja, aku kanebo kering apa waslap basah." Tawa Lea terdengar lantang. Hingga bahunya terguncang
Aku sampai di rumah Mama setelah sebelumnya menunggu Mas Ubay pulang dari kantor. Mendengarku menangis, lelaki itu langsung membatalkan semua agendanya hari ini. Dan meluncur bersamaku ke rumah duka.Aku terisak, melihat jasad yang sudah dimandikan itu terbujur kaku di tengah rumah dan siap untuk di kebumikan. Bayangan Mama yang begitu perhatian padaku bahkan lebih menyayangiku dari pada anaknya sendiri melintasi begitu saja. Membuat air mataku kian deras mengalir."Maafin Mbak Tety, kalau ada salah ya, Al," ujar Tante Irma sambil memelukku. "Mama orang baik, Tante. Sangat baik, Mama sudah seperti Mama kandungku sendiri. Mama tak punya salah, InsyaAllah," sahutku dengan suara bergetar menahan tangis."Sejak dia tau kamu dan Gunawan bercerai, Mbak Tety mulai jarang mau makan. Setiap hari melamun. Sempat Tante bawa ke rumah sakit, karena khawatir. Tapi, belum ada perkembangan. Dokter bilang, mbak Tety ga boleh banyak pikiran.""Apalagi, setelah kamu menikah, keadaannya makin parah. Da