[21+] Dikhianati suaminya sendiri, Naila melarikan diri ke bar dan mabuk. Saat salah masuk kamar hotel, ia justru bertemu Galih, paman suaminya. Sejak malam itu, segalanya berubah. "Om Galih, kita nggak cocok," ucap Naila lirih. Galih hanya tersenyum, mengangkat dagu Naila dengan lembut. "Kamu dan Rama sudah berakhir, aku bukan Om kamu lagi. Lalu, di mana letak tidak cocoknya, Naila?"
Lihat lebih banyak[Baju tidur baruku kayaknya agak sempit. Mau ke sini buat cek, muat apa nggak?]
Nayla Jayantaka tengah duduk di ujung sofa rumahnya, jemarinya menyisir layar ponsel tanpa tujuan, hingga sebuah notifikasi dari ponsel Rama di sampingnya menarik perhatian.
Layarnya menyala. Dan nama itu terpampang jelas.
Jessie Citratama.
Naila mengenali nama itu, tentu saja. Itu adalah nama sekretaris suaminya, Rama. Hanya saja, isi pesannya membuat udara di sekelilingnya seolah tekanannya berubah.
Ketika Nayla membuka pesan itu, terlampir sebuah foto, seorang perempuan berambut panjang, mengenakan slip dress merah menyala dengan potongan leher V yang turun terlalu dalam dan belahan dada menjuntai.
Kulit wanita itu bersinar di bawah cahaya kuning keemasan, seolah baru mandi, dan senyumnya setengah menggoda, seakan tahu tengah ditonton seseorang yang seharusnya tidak melihatnya.
Genggaman Naila pada ponsel itu mengencang, jemarinya sampai memutih. Ia mengulir percakapan itu ke atas, mencari bukti lain, membaca riwayat pesan mereka. Semua tampak biasa saja.
Formal. Profesional. Tidak ada tanda-tanda genit atau gurauan intim sebelumnya.
Apa ini salah kirim? Ataukah…?
Pikiran itu belum sempat selesai ketika sepasang lengan melingkari pinggangnya dari belakang.
Rama.
Nafas pria itu terasa hangat di telinga Naila, dan tubuhnya yang tinggi serta kokoh menunduk, membelai dengan suara rendah yang biasa membuat Naila lemas.
"Sayang, aku udah mandi," bisik Rama pelan, lalu menggigit manja cuping telinga Naila. Suaranya rendah, serak, seperti biasa saat sedang menggoda. "Mau di sofa atau di ranjang?"
Suara itu manja dan penuh godaan, aroma sabun mandinya masih segar, berpadu dengan wangi tubuh khas Rama yang selama ini membuat Naila nyaman, aman, dan... miliknya.
Tapi malam ini, aroma itu justru menyesakkan.
Naila baru saja memasuki bulan ketiga dalam upayanya untuk hamil. Jadi, tidak heran jika ia dan Rama sering melakukan hubungan suami istri.
Belum sempat Naila menjawab, Rama dengan lincah mengangkat tubuhnya dan membaringkannya ke sofa empuk berbalut kain abu-abu. Tubuh tinggi Rama kini membayangi wajahnya.
“Karena kamu nggak jawab, aku pilih ya. Di sofa aja,” kata Rama dengan senyum yang biasanya memikat, tapi malam ini terasa seperti pertunjukan.
Wajah Naila memerah. Bukan karena malu semata, tapi karena konflik yang mulai bergejolak di dalam dadanya.
Naila masih tampak cantik, tetapi malam itu, pipinya yang merona, lembut seperti daging buah persik matang di bawah cahaya lampu temaram, membuatnya tampak seperti potret hangat dari buku puisi cinta yang lusuh.
Rama menunduk, hendak menciumnya.
Namun, Naila memalingkan wajahnya.
Gerakan itu membuat waktu seperti berhenti sejenak.
Rama menatap Naila, bingung. Dahi lelaki itu berkerut, dan sorot matanya berubah, dari hasrat menjadi cemas. "Sayang, kenapa?"
Naila menatap suaminya dalam diam.
Sekilas, Rama melihat keraguan di sorot mata Naila, itu membuat waktu seperti berhenti sejenak.
Rama merasa bingung. Dahinya berkerut, dan sorot matanya berubah, dari hasrat menjadi cemas.
Melihat ekspresi itu muncul di wajah sang suami, sesuatu yang tak pernah Naila lihat bahkan saat Rama menghadapi rapat dewan direksi. Tatapan itu melunak hatinya, tapi bayangan foto tadi terus menghantui pikirannya.
Pelan-pelan, Naila mengangkat ponsel lalu memperlihatkan foto dan pesan yang menyayat hatinya. “Jelaskan ini dulu.”
Rama memicingkan mata. Matanya menatap layar, lalu ekspresinya berubah drastis. Wajahnya mengeras, rahangnya mengencang. Ia meraih ponselnya, membuka kontak, dan langsung menelepon.
Sambungan cepat diangkat. Suara perempuan muda terdengar ragu di seberang. “Pak Rama, ada yang bisa saya bantu?”
“Jessie,” suara Rama berubah datar, bahkan dingin. “Saya nggak tahu kalau sekretaris saya sekarang juga buka jasa ‘hiburan malam’.”
Sunyi. Detik yang terasa panjang.
“Ma-Maaf, Pak! Pesan itu seharusnya saya kirim ke pacar saya. Saya salah kirim, sungguh!” ujar Jessie langsung setelah menyadari maksud ucapan Rama.
“Kalau kejadian kayak gini terulang lagi,” potong Rama, suaranya menukik tajam, “langsung kemasi barang dan keluar dari kantor saya.”
Telepon ditutup.
Rama menatap Naila. Kali ini tidak lagi dengan kemarahan, tapi dengan sorot yang lebih lembut, mungkin bahkan menyesal.
“Itu salah kirim, Sayang. Tapi kalau kamu masih marah, besok aku pecat dia. Malam ini udah larut. Jangan buang energi buat orang yang nggak penting. Kita udah seminggu nggak ketemu. Malam ini kamu harus balas rinduku.” Rama menarik wajah Naila, mencoba menciumnya.
Tapi Naila menghindar.
“Aku capek,” bisik Naila lirih. “Lanjut besok aja.”
Sekilas, ada bayangan kecewa melintas di wajah Rama. Tapi hanya sesaat.
“Ya udah,” ujar Rama akhirnya. “Kamu tidur duluan, aku ke ruang kerja. Masih ada laporan yang harus dicek.”
Naila mengangguk tanpa suara.
***
Malam merambat makin dalam. Hujan turun deras, menepuk-nepuk jendela seperti jari-jari waktu yang tak sabar. Petir sesekali menyambar, memecah langit Jakarta.
Naila terbangun. Matanya menatap ke arah sisi ranjang yang kosong. Ia meraba, dan hanya menemukan dingin yang diam.
Jam menunjukkan pukul 01.16.
Rama belum juga kembali.
Nayla bangkit, menyelimuti tubuhnya dengan jubah tipis, lalu berjalan menuju ruang kerja. Suara hujan menemani langkahnya yang pelan. Tapi saat pintu dibuka, kegelapan menyambut. Ruangan itu kosong. Sepi.
Tangan Naila mencengkeram kenop pintu. Ada sesuatu yang berat di dadanya. Sesuatu yang tak bisa ia namai, tapi terasa nyata.
Tiba-tiba, ponselnya yang ia letakkan di jubah bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Layar ponsel menyala terang, memantulkan kilat di jendela.
Naila tahu, instingnya tahu, membuka pesan itu bisa mengubah segalanya. Tapi jari-jarinya, tanpa sadar, menyentuh layar.
[Masih bangun? Karena suamimu nggak tidur di sampingmu?]
[Tadi aku takut karena petir dan mati lampu, dia datang buat nenangin aku.]
[Nggak penasaran suamimu di mana sekarang?]
Ponsel nyaris terjatuh dari tangannya. Matanya membelalak. Nafasnya tercekat.
Jantung Naila berdegup tak beraturan. Pesan-pesan itu, dengan nada sinis yang terasa begitu menyeringai, membuat tangannya bergetar saat menggenggam ponsel.
Beberapa menit kemudian, satu pesan lagi masuk.
Sebuah Alamat, lengkap dengan nomor kode masuk.
Naila menggigit bibir. Matanya masih terpaku pada layar, tapi pikirannya sudah berlari jauh.
Tanpa suara, Naila mengambil kunci mobil. Lalu pergi. Membelah malam yang basah dengan hati yang nyaris tak bisa ia dengarkan lagi.
Dunia seakan berhenti. Ponsel dalam genggaman Naila bergetar pelan, seolah makhluk kecil yang tak lelah mengusik ketenangan, tapi justru membuat jari-jarinya semakin kaku mencengkeram.Ujung kukunya menekan kulit hingga memutih. Sunyi merambat di dadanya, hanya suara napas berat yang terputus-putus, naik turun, seperti Naila sedang berusaha meraih udara di ruangan yang tiba-tiba terasa terlalu sempit untuk menampung dirinya.Dengan gerakan cepat namun gemetar, Naila mengetuk layar, mengambil tangkapan pesan itu, lalu langsung mengirimkannya pada Rama. Ia tidak menambahkan sepatah kata pun. Tak ada kebutuhan untuk menjelaskan, tak ada ruang untuk alasan.Setelah itu, tanpa ragu, Naila menekan satu tombol terakhir: blokir. Jessie lenyap dari daftar kontaknya, tapi tidak dari ingatannya.
Lorong menuju laboratorium berbau dingin, seolah dindingnya menyerap setiap langkah yang lewat. Aroma logam tua berpadu dengan lembap cat yang memudar, membuat napas sedikit berat.Di ujung lorong, pintu besi bercat putih gading berdiri tegak. Bahkan sebelum pintu itu terbuka, bau khas kimia sudah menyelinap masuk: alkohol menusuk, resin berbau getir, dan jejak logam samar yang membuat lidah seperti berkarat.Begitu pintu didorong, ruangan penuh cahaya lampu neon menyambut. Kilau kaca tabung reaksi memantulkan sinar, membuat meja-meja kerja tampak seperti permukaan danau yang pecah oleh riak kecil.Suara berdenting alat gelas bercampur dengan bisikan diskusi para peneliti, menciptakan musik latar yang hanya dimengerti mereka yang terbiasa hidup di dunia eksperimen.
Di luar, hujan mencakar bumi tanpa ampun. Butir-butirnya jatuh deras, berderai seperti rentetan benang perak yang dijatuhkan langit dengan murka. Trotoar basah berkilau di bawah lampu jalan, memantulkan cahaya temaram yang pecah di genangan air.Naila berdiri di sana, tubuhnya sedikit terbungkuk, jemari mungilnya mencengkeram erat kantong belanjaan hingga plastiknya berderit pelan.Udara dingin menusuk kulit, membuat napasnya berembus tipis-tipis. Perempuan itu melirik layar ponsel, jempolnya sempat melayang di atas ikon aplikasi taksi online.Satu tarikan napas lagi mungkin akan membuatnya menekan, kalau saja mobil hitam dengan bodi mengilap itu tidak berhenti tepat di depannya.Maybach. Jendela belakang perlahan turun, menyingkap wajah Galih Santosa y
Keesokan paginya, di sebuah kantor agen properti kecil di Tebet, tangan Naila sempat bergetar ketika pena menyentuh kertas. Garis tanda tangannya tak hanya sekadar formalitas—itu adalah kunci keputusan besar: sebuah apartemen mungil untuk satu tahun penuh. Satu tahun tanpa Rama.Uang sewa tiga bulan Naila serahkan. Beberapa lembar bukti pembayaran berpindah tangan, dan tatapannya jatuh pada angka-angka itu. Hatinya berdenyut campur aduk. Dompet perempuan itu kini menipis, hanya tersisa beberapa lembar lusuh, bahkan tak cukup untuk membeli tas kerja mahal baru. Namun di balik cemas itu, ada sensasi aneh yang menyelinap. Seperti beban besi yang akhirnya terguling dari bahunya.Unit apartemen mungil itu menyambut dengan kesunyian. Aroma cat dinding masih samar, bercampur dengan bau debu lembap yang lama terkurung. Lantai keramik memantulkan cahaya siang, licin tapi berlapis debu tipis. Naila membuka jendela; angin membawa masuk bau hujan yang masih segar. Dengan tangan kecilnya ia me
“Perceraian enggak bisa buru-buru,” ucap Naila pelan, seakan menenangkan dirinya sendiri lebih daripada Larasati yang duduk di seberang. Suaranya serak tapi tegas, seperti seseorang yang memaksa diri berdiri di atas tanah yang rapuh. “Sekarang aku fokus cari kerja dan tempat tinggal dulu. Sisanya nyusul.”Larasati, yang sejak awal menjadi saksi retakan rumah tangga Naila, menatap sahabatnya itu dengan mata cemas. Tatapan itu penuh tanya, penuh keraguan, tapi ada pula tekad untuk tidak menambah berat beban. Kedua tangannya yang menggenggam gelas tampak sedikit gemetar, tapi senyumnya berusaha menenangkan.“Kalau gitu, aku izin setengah hari ya,” katanya, nada suaranya setengah memohon, setengah bersikeras. “Aku temenin kamu cari apartemen.”Naila menggeleng lembut. Gerakan kecil itu tegas, meski ia berusaha menyampaikannya tanpa menyakiti. “Enggak usah repot. Aku bisa sendiri.”Larasati sempat terdiam, lalu akhirnya mengangguk dengan berat hati. Wajahnya tertunduk sebentar, sebelum ia
Sementara itu, di kantor yang hampir gelap, hanya cahaya monitor menerangi wajah Rama. Guratan lelah mengintai di balik rahang kerasnya. Jemarinya mengetik gugup:Bagaimana caranya mendapatkan kembali hati istri setelah berselingkuh?Balasan berdatangan cepat. Kebanyakan menyarankan cerai. Rambut di tengkuknya berdiri. Ia marah, panas, tak rela. Dengan kasar ia hapus postingan itu, seolah setiap kalimat adalah tamparan.Belum sempat mematikan laptop, ponselnya berdering. Nama yang muncul membuat perutnya mual: Jessie.***Rama duduk terpaku, mendengarkan suara isakan Jessie dari ujung telepon yang semakin menekan telinga.Kesal, Rama merogoh saku, menyalakan rokok. Asap tipis mengepul, melayang ke udara seperti doa yang ditolak. Tarikan panjang ia hembuskan kasar, seolah berharap semua kerumitan ikut lenyap bersama kepulan putih itu.“Kalau kamu nggak mau gugurkan, aku punya cara buat memastikan kamu nggak akan bisa lahiran,” ucapnya dingin. Suaranya tenang, tapi justru karena ketenan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen