"Sebaiknya Mbak, nginap dirumah saudara Mbak saja dulu malam ini. Atau mau dirumah saya juga tak apa-apa. Tapi, ya begitulah keadaan rumah kami." ujar Pak RT. "Tak usah, Pak. Gapapa, nanti saya minta teman kesini."tolakku halus."Insya Allah, warga akan saya minta untuk berjaga-jaga di sekitar sini. Nanti kita lihat rekaman CCTV yang terpasang di depan gerbang perumahan. Semoga saja orang itu segera bisa kita tangkap."Pak RT yang berusia sekitar empat puluh tahunan itu memang begitu peduli pada warganya. Karena itu, aku cukup betah tinggal disini. Meski, kalau untuk sesama tetangga jarang ada interaksi karena rata-rata para pekerja semua yang sibuk diluar dan pulang hanya untuk beristirahat saja.Aku mengirim foto rumahku yang kacanya sudah jebol itu ke grup rempong.[Kenapa itu, Al?] balas Anggi cepat. [Ada yang melempar ini kerumah, Nggi.] Aku mengirim foto tulisan dibatu tadi.[Ya ampun, Alina. Pelakunya sudah tertangkap?][Belum.][Ya ampun, kamu nginap di rumahku saja malam in
Keesokan harinya aku diantar Lea dan Ubay pulang ke rumah."Apa ga sebaiknya kamu tinggal di rumahku aja sampai benar-benar aman, Al." ujar Lea setelah sampai dirumahku."Tak usah, Le. Aku disini saja. InsyaAllah gapapa, kok.""Nanti, kalau ada apa-apa jangan lupa langsung kabari, ya.""InsyaAllah, pasti kalian yang aku kabari terlebih dahulu.Tak lama Ubay datang bersama Pak RT yang tadi sudah aku kenalin padanya."Kami sudah melihat rekaman cctv, wajah dua pengendara itu tak begitu jelas terlihat karena tertutup helm. Nomor polisi kendaraannya juga tidak jelas. Sepertinya sengaja agar tak bisa dilacak.""Tak apa, Pak. Semoga saja ini hanya ulah orang iseng." sahutku.Setelah aku mengucapkan terima kasih, Pak RT pun pulang. "Sebentar lagi ada orang bayaranku yang akan menjaga kamu 24 jam. Jadi, kamu ga perlu khawatir." tutur Ubay."Maksudnya?""Aku udah nyewa dua orang body guard untuk menjaga kamu. Sementara! sampai aku yang akan jadi bodyguard kamu." "Cieee ...!""Lea apaan, sih!
Karena kejadian seperti itu, rencana pernikahan dimajukan. Bahkan tanpa menunggu Mamanya Lea yang masih di luar negeri, yang sedang ikut Papanya mengurus bisnis mereka."Tunggu Mama aja dulu, Bay."Ubay menatapku, lekat."Mas, maksudnya." aku meralat sambil menyunggingkan senyum tanda perdamaian."Jangan! aku khawatir akan keselamatan kamu.""Iya, Al. Nurut aja kan enak, bentar lagi kawin!" cetus Lea.Aku mencubit pinggang Lea. Sahabatku itu kabur menghindar. Akhirnya lewat sambungan telepon, kedua orangtua Ubay mengijinkan. Walau terdengar agak keberatan. Mungkin karena terkesan buru-buru. Tapi, Ubay bersikeras agar tetap menikah dalam waktu lima hari ini.Malam ini setelah pulang dari rumah Lea aku merebahkan diri di ranjang. Rasanya seperti mimpi. Dalam waktu dekat aku mengalami dua peristiwa besar dalam hidupku. Perceraian dan kembali menikah untuk kedua kalinya. Sungguh ironis, disaat aku sedang berusaha melupakan sakit karena dibohongin suami. Kini aku harus merasakan hidup den
"Mbak mau minum apa?""Ga usah repot-repot, Mbak. Saya ga lama kok.""Gapapa, Mbak. Saya buatkan teh, ya."Tanpa menunggu jawabanku, perempuan seksi itu berlalu."Mama tak suka sama dia. Gunawan, ah. Mama ingin mati saja." nada suara Mama terdengar berat."Mama, ga boleh begitu. Gimana pun mas Gunawan adalah anak Mama.""Entahlah, Sayang. Mungkin jika tidak ada kamu Mama tidak semangat lagi melanjutkan hidup ini."Aku terdiam. Sepertinya ini bukan saat yang tepat untuk mengatakan kepada Mama bahwa aku akan segera menikah. Keadaan Mama sedang tak baik-baik saja."Tinggallah di sini lagi, Nak. Mama khawatir perempuan tadi mengganggu suamimu. Gunawan, itu bod*h, Mama capek mengingatkan dia."Entah apa yang terjadi yang jelas ada sesuatu antara Mas Gunawan dengan Fatma. "Tapi, Ma ..." "Mama sudah mengalihkan semua aset Mama atas namamu. Kau simpan baik-baik, ya.""Tapi, Ma ... Ya Allah ... Kenapa harus pada Alina,Ma. Kan ada Mas Igun." aku menjawab cemas. Gimana ini?Mama menggeleng cep
"Heh! Kamu sini!" Tante Irma menatap garang pada Fatma yang mulai ketakutan. Perempuan itu menghampiri Tante Irma ragu-ragu. "Kamu mau ke mana? Ingat ya Fatma kamu itu hanya pembantu di rumah ini! Jika kamu macam-macam, saya akan bilang kepada bibimu biar kamu dipulangkan lagi ke kampung." ancam Tante Irma. "Ja-jangan, Bu. Saya masih mau bekerja." "Kalau mau bekerja, kamu kerja yang benar! Dari awal saya sudah peringatkan, jangan pakai baju kekurangan bahan seperti ini. Apa kamu tidak malu, walaupun kamu pakai baju tapi tubuhmu tercetak dengan jelas." "Malu, Bu." Lirihnya. "Sekarang ganti baju kamu!" Fatma berbalik arah dengan wajah masih menunduk. "Tunggu!" cegahku. Aku memeriksa kantong celana Fatma dimana obat tadi dia simpan. "Ada apa, Al?" Tante mendekatiku, heran. Fatma berusaha menepis tanganku. Namun, aku bersikukuh memeriksa celana perempuan itu. "Ini! Ini apa?" seruku sambil mengacungkan sebuah bungkusan dengan plastik kecil berisi bubuk warna putih. "I-itu obat
Setelah minum obat, Mas Gunawan duduk tertunduk. "Kamu sungguh kelewatan, Gunawan!" Desisnya.Mas Gunawan hanya diam. Tak lama Fatma yang sudah diusir Tante Irma keluar dari kamarnya."Jangan coba-coba kamu mendekati ponakan saya lagi." Bentak Tante Irma sebelum Fatma melangkah keluar. Dengan membawa kopernya perempuan itu pergi."Tante, Sebenarnya kedatangan Alina kesini mau mengabarkan sekaligus minta do'a restunya." ujarku memulai kata. Hari makin tinggi. Aku tak mau berlama-lama lagi disini."Kabar apa, Sayang?"Aku menghela napas dalam-dalam. Kini mereka berdua menatap ke arahku."InsyaAllah, lima hari lagi Alina akan menikah dengan Mas Baihaqi.""Ya Allah ..." Tante Irma merebahkan tubuhnya lagi ke sofa."Dek, kamu ga jangan begitu. Tega sekali kamu, Mama dalam masa penyembuhan. Jika dia tau kita sudah bercerai dan kamu akan menikah, pasti darah tinggi Mama akan kumat lagi." "Gunawan! Apa kamu tak punya malu?"Mas Gunawan terdiam dan kembali menunduk."Alina, Tante tak punya h
"Ajarin apa?"Mas Ubay menunduk malu. Wajahnya memerah."Kalau aku ceritakan kamu jangan ketawa apalagi cerita-cerita pada, Lea." ujarnya pelan. Rasa penasaran yang membuncah membuatku sanggup berjanji didepannya. "Aku masih perjaka." Kalimat itu terlontar dari bibir laki-laki yang sudah menjadi suamiku itu.Mataku membulat sempurna."Jangan bohong! Kamu udah nikah kan sebelumnya? Lalu kalian ngapain aja dikamar berdua? Main ular tangga?" Antara ingin tahu dan ingin tertawa mendengar pengakuan Mas Ubay."Janji kamu bisa dipegang kan?" Aku mengangguk cepat. Apa laki-laki yang menikahiku ini punya kelainan? Atau jangan-jangan dia impoten? Oh tidak! Semoga saja bukan."Sejak menikah dengan Aina, kami tidur terpisah. Awalnya Aina bilang belum siap jika nanti dia hamil.""Hah? Kan kalian bisa pakai pengaman.""Entahlah, dia tak mau. Katanya nanti saja kalau dia sudah siap. Aku mengalah, tak mau egois dengan memaksa dia. Namun, akhirnya aku tahu jika Aina sedang mengikuti audisi untuk seb
Dua minggu setelah kami menikah, aku mulai di ajak Mas Ubay untuk ikut dalam rapat. Begitu canggung rasanya, tapi menurut Mas Ubay aku harus terbiasa. Karena dia berharap aku bisa menjalankan bisnis berdua dengannya."Kalian ini kayak perangko tau ga! Kemana-mana selalu berdua." "Ciee ... yang ngiri ...!" ledek Mas Ubay."Gw ga ngiri, gw nganan doang." "Hahaha, sabar Bestie. Gimana hubungan kamu dengan Pak pengacara?" Tanyaku sambil merangkul Lea yang tengah cemberut."Tau ga, Al. Minggu ini aku mau dikenalin pada orang tuanya. Aku deg-degan banget sumpah.""Emang lu, bisa deg-degan juga, Lele!"potong Mas Ubay cepat."Bisa lah! Lu kira gw batu, apa!""Jangan sewot, Le. Entar cepat tua.Mas Ubay makin semangat memanas-manasi Lea."Lu yang bikin gw cepat tua, nyebelin. Aturan gw ga restuin elu nikah sama teman gw. Kasian Alina dapat suami kayak kanebo kering.""Eh, sembarangan! Tanya Alina aja, aku kanebo kering apa waslap basah." Tawa Lea terdengar lantang. Hingga bahunya terguncang