Alisya Halim percaya bahwa cinta adalah segalanya. Ia menolak lamaran dari pria baik yang tak ia kenal, demi seorang kekasih berseragam yang penuh rayuan manis dan janji setia. Seorang pria yang ia yakini sebagai jodohnya. Ia mencintai suaminya sepenuh hati, mendukung kariernya sebagai polisi, dan menjaga rumah tangga mereka meski dihantam ucapan-ucapan tajam dari mertuanya. Alisya bertahan, karena ia yakin cinta bisa menyembuhkan segalanya. Tapi hari yang ia harap menjadi kejutan manis, justru menguak luka paling pahit. Sebuah pengkhianatan yang membuatnya mempertanyakan segalanya—dirinya, pilihannya, dan cintanya. Di balik seragam yang dulu ia banggakan, tersimpan neraka yang tak pernah ia bayangkan. Saat luka tak lagi bisa ditutupi dan air mata tak lagi cukup meredakan pedihnya kenyataan, Alisya berdiri di ambang pilihan: tetap bertahan demi cinta yang melukai, atau melepaskan demi menyelamatkan dirinya sendiri. Dan di tengah reruntuhan itu, mungkinkah seseorang yang dulu ia tolak… masih menunggunya, diam-diam?
View More“Aah.. mas Dhimas pelan-pelan, ah ah…” suara Susi mengema pelan.
Dhimas senyum jail, sembari menghentakkan lebih kuat, “Bukankah ini yang kamu suka sayang hum?”
“Aaah… uhm— ya! Tapi aku takut ketahuan mbak Alisya…” bisiknya.
**
Alisya Halim menurunkan map tebal yang sejak pagi ia bawa dari ruang administrasi. Hari ini ia berkutat dengan laporan data mahasiswa yang menumpuk, revisi dokumen, dan permintaan tanda tangan mendadak dari dosen senior. Pundaknya pegal, jari-jarinya lelah, tapi ia tetap tersenyum pada setiap orang yang lewat di mejanya.
“Semangat Alisya, sebentar lagi beres.” Alisya berusaha menyemangatkan dirinya.
Saat jarum jam menunjukkan pukul setengah lima sore, ia memutuskan keluar sebentar untuk menghirup udara segar untuk sesaat. Ruang kerjanya di lantai dua dan kampus sudah mulai sepi, hanya tersisa suara printer dan mesin fotokopi di ujung lorong yang terus bergema.
Begitu keluar gedung, semilir angin sore tiba-tiba menyapu rambut panjangnya yang tergerai. Ia melangkah ke taman kampus, tempat favoritnya untuk melepas lelah. Taman itu cukup sepi sore ini, hanya ada beberapa mahasiswa yang duduk berkelompok sambil tertawa kecil bercanda gurau.
Langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok yang asing tapi entah kenapa terasa menarik.
Seorang pria berseragam polisi duduk di bangku taman, satu kaki disilangkan di atas kaki lainnya. Di tangannya, segelas kopi kertas masih mengepulkan asap. Sinar matahari sore menyapu wajahnya, memantulkan kilau lencana di dada kiri seragam.
Alisya bukan tipe yang mudah terpesona, tapi ada sesuatu di tatapan pria itu—tajam, penuh percaya diri, namun seolah-olah hanya tertuju padanya.
Tatapan itu membuatnya lupa bernapas sesaat.
Pria itu menyadari keberadaannya, bibirnya terangkat membentuk senyum tipis. “Sendirian aja, Mbak?” suaranya berat tapi hangat, seperti orang yang sudah lama dikenalnya.
Alisya sedikit terkejut, tapi berusaha tenang. “Eh… iya. Nunggu teman,” jawabnya singkat.
Pria itu menaruh gelas kopinya di bangku. “Kerja di sini?” tanyanya sambil melirik map yang Alisya bawa.
“Staf administrasi,” jawabnya sambil mengangguk.
“Pantesan rapi banget,” ujarnya, tatapannya turun sebentar ke tangan Alisya yang memegang map, lalu kembali menatap wajahnya. “Boleh kenalan mbak??”
Alisya hanya mengangguk pelan.
“Dhimas.” Ia mengulurkan tangan. Jemarinya hangat, genggamannya mantap, seperti tak mau melepas.
“Alisya.”
"Nama yang cantik, cantik seperti orangnya."
Alisya senyum tipis. "Namanya juga perempuan, pasti cantik. Kalau ganteng mah laki-laki."
Dhimas kemudian tertawa pelan.
Obrolan mereka terus mengalir. Dhimas bercerita ia sering mendapat tugas mengawal acara kampus, kadang mengatur lalu lintas saat wisuda. Nada bicaranya tenang, namun di baliknya ada aura percaya diri yang membuatnya terdengar berwibawa.
Sesekali, ia melontarkan humor tipis yang membuat Alisya tersenyum.
Namun, di tengah percakapan itu, ponsel Dhimas bergetar di saku kanannya. Gerakannya cepat—terlalu cepat—saat ia merogoh dan menekan tombol matikan. Ia bahkan tak sempat melirik layar.
Alisya mencondongkan tubuh sedikit. “Kenapa nggak diangkat?” tanyanya penasaran.
Dhimas menggeleng, senyumnya tipis tapi matanya tak berkedip. “Tidak terlalu penting. Lagian aku juga lagi ngobrol denganmu.”
Alisya menelan ludah, merasa pipinya menghangat. Ucapan itu terlalu manis untuk ditolak. Namun, ada bisikan kecil di hatinya yang bertanya 'siapa yang menelpon sampai ia buru-buru mematikannya?'
Bisikan itu, sayangnya, terkubur oleh tatapan Dhimas yang membuatnya ingin bertahan lebih lama di bangku taman itu.
Angin sore membawa aroma bunga kamboja dari sudut taman. Beberapa helai daun flamboyan berjatuhan, ada yang menempel di bahu Alisya. Refleks, Dhimas berdiri dan mengambilnya.
“Kalau ada lomba senyum tercantik di kampus ini, aku yakin kamu menang,” ucapnya sambil tersenyum kecil.
Alisya tertawa pelan, mencoba menutupi gugupnya. “Baru ketemu udah muji. Semua perempuan kamu gombalin gitu, ya?”
Dhimas mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. “Enggak. Hanya yang bikin aku penasaran.”
Tatapan mata mereka bertemu lagi. Ada ketenangan aneh yang Dhimas pancarkan, membuat Alisya merasa diperhatikan, seperti hanya dia satu-satunya yang ada di taman itu.
Di sela obrolan, Dhimas mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak biasa untuk ukuran orang yang baru kenal.
“Kamu tinggal di mana?”
“Sudah lama kerja di sini?” “Punya pacar?”Pertanyaan terakhir membuat Alisya tersedak udara. “Kok nanyanya langsung ke situ?”
Dhimas menyandarkan tubuh ke sandaran bangku, satu kakinya terentang santai. “Biar aku tahu, peluangku besar atau nggak.”
Alisya menggeleng sambil tertawa kecil. “Kamu percaya diri banget, ya.”
“Percaya diri itu perlu. Apalagi kalau yang aku lihat, orangnya sepadan buat diperjuangkan.”
Ucapan itu seperti anak panah yang tepat menancap di hati Alisya. Jarang ada pria yang berbicara lugas begitu, apalagi dengan tatapan mata yang seperti menyimpan janji.
Mereka berbincang cukup lama. Tentang pekerjaan Alisya di bagian administrasi yang membosankan tapi stabil. Tentang kesibukan Dhimas sebagai polisi yang katanya sering membuatnya susah punya waktu untuk bersantai. Tentang hal-hal remeh seperti makanan favorit, lagu kesukaan, sampai film terakhir yang mereka tonton.
Di tengah percakapan itu, ponsel Dhimas kembali bergetar lagi. Ia melirik sekilas layar, lalu cepat-cepat membaliknya menghadap ke bawah di bangku.
“Kamu nggak angkat lagi?” tanya Alisya, mencoba terdengar santai.
Dhimas tersenyum, tapi senyum itu kali ini singkat saja. “Bukan siapa-siapa. Kalau penting, dia pasti hubungi lagi. Aku nggak mau ngobrol sama kamu setengah-setengah.”
Kalimat itu lagi-lagi menenangkan Alisya. Namun, di kepalanya, benih rasa penasaran mulai tumbuh.
Langit sore mulai berwarna jingga. Cahaya matahari yang menurun membuat seragam Dhimas tampak semakin kontras. Alisya memperhatikan detailnya — nametag di dada, badge kecil di pundak, dan lipatan rapi di lengan bajunya.
“Kamu sering ke sini?” tanya Alisya.
“Kalau lagi tugas jaga acara, iya. Tapi kalau besok-besok kamu mau, aku bisa sering-sering nongkrong di sini.”
“Kenapa?”
“Supaya bisa ketemu kamu.”
Obrolan itu membuat waktu terasa berjalan lebih cepat. Mahasiswa yang tadi duduk berkelompok mulai meninggalkan taman. Suara azan magrib terdengar sayup dari masjid kampus.
“Sudah sore, aku pulang dulu,” kata Alisya sambil berdiri.
Dhimas ikut bangkit. “Kamu bawa motor?”
“Nggak, naik ojek.”
Dhimas menggeleng pelan. “Sekali ini aja, biar aku antar. Calon pacar masa naik ojek.”
Alisya memiringkan kepala. “Calon pacar?”
“Ya, kan kita baru kenal. Tapi aku yakin, besok-besok aku bisa bikin kamu setuju jadi pacar aku.”
Alisya tersenyum, setengah tak percaya pada keberanian pria ini. “Kamu nggak takut aku malah ilfeel?”
“Kalau sama kamu? Enggak. Soalnya dari tadi kamu nggak berhenti tersenyum.”
Sebelum Alisya bisa membalas, Dhimas sudah berjalan menuju parkiran. Langkahnya tenang, tapi ada aura kepemilikan yang terasa jelas. Tanpa sadar, Alisya mengikutinya.
Di dekat motor dinasnya, Dhimas menoleh. “Yuk, aku antar sampai depan rumah. Aku janji nggak akan ngebut.”
Alisya ragu sebentar, tapi lalu mengangguk. Entah kenapa, ia merasa aman bersama pria ini.
Yang ia tidak tahu… pertemuan sore itu akan menjadi awal dari cerita panjang dari kisahnya.
POV DhimasSiang itu, setelah memastikan ibunya naik kereta dengan selamat, Dhimas tidak langsung menuju kantor. Ia menarik napas panjang, menyalakan motor, lalu tersenyum kecil. Hari ini akan jadi milikku dan Susi.Bukan rahasia lagi, sejak awal ia sudah tertarik pada anak dari sahabat mamanya itu. Bukan karena kebaikan hati atau sikapnya, tapi karena tubuh Susi yang montok, wajah manis yang selalu dihiasi make-up tipis, dan sikap manja yang sulit diabaikan.Begitu sampai di rumah, Dhimas langsung menjatuhkan tubuh ke sofa, lalu mengirim pesan singkat ke atasannya: Pak, izin nggak masuk. Lagi drop, kepala pusing banget.Tak lama, Susi keluar dari kamarnya, masih dengan kaus ketat berwarna biru muda dan celana pendek. Rambutnya diikat tinggi, membuat wajahnya semakin segar.“Mas Dhimas, kok udah pulang? Bukannya tadi bilang mau langsung ke kantor?” tanyanya sambil berjalan mendekat, suaranya terdengar lembut namun penuh nada manja.Dhimas menghela napas panjang, sengaja terdengar lema
Pov : DhimasPagi itu, aroma sayur asem dan gorengan hangat memenuhi ruang makan. Dhimas duduk dengan santai di kursi ujung meja, seragam polisinya sudah rapi, siap berangkat tugas setelah sarapan. Sementara ibunya duduk di samping kanan, wajahnya terlihat sedikit cemas namun tetap tegas. Susi, dengan gaun rumah berwarna pastel yang melekat manis pada tubuhnya, mondar-mandir membawa piring tambahan ke meja.“Mas Dhimas, tambah tempe goreng?” tanya Susi dengan suara lembut, senyum tipis tersungging di bibirnya.Dhimas melirik sekilas. “Boleh,” jawabnya singkat, namun pandangannya sempat menahan detik lebih lama pada wajah Susi. Ada sesuatu yang berbeda dari tatapan matanya pagi ini, lebih hidup, lebih berani.Ibunya berdeham, menarik perhatian. “Mas…,” panggilnya, lalu meletakkan sendok di atas piring. “Hari ini ibu harus pulang ke kampung dulu. Adikmu yang bungsu sakit. Ibu ng
Pagi itu, Alisya mengenakan blazer khaki dan kemeja putih rapi. Di ruang pertemuan kampus Jakarta, ia duduk bersama para staf yang menyambutnya dengan hangat. Berkas-berkas kerja sama ditumpuk rapi di meja. Meskipun dadanya sempat ciut, Alisya berusaha menampilkan wajah profesional.“Terima kasih sudah datang jauh-jauh ke sini, Bu Alisya,” ujar seorang dosen senior. “Kami percaya kerja sama ini akan berjalan lancar dengan bantuan Anda.”Alisya tersenyum sopan. “Sama-sama, Pak. Saya juga akan berusaha maksimal.”Pertemuan itu berlangsung lebih dari dua jam. Begitu selesai, Alisya menghela napas panjang. Ada rasa lega, tapi juga lelah. Saat menatap ponselnya, Alisya menghela nafas panjang. Sebuah pesan voice note dari Susi sejak malam belum ia play.Alisya mengumpulkan keberaniannya lagi, “Oke Alisya… jangan khawatir, paling Susi hanya nanya barang-barang yang dia butuhkan atau hal sepele lainnya… uhhh oke aku akan play sekarang.” Lirih Alisya kemudian menekan gambar play.“Aahh... mas,
Koper beroda kecil berderit mengikuti langkah Alisya begitu ia melangkah keluar dari gerbang stasiun Gambir. Lampu-lampu kota Jakarta menyilaukan matanya, lalu lintas padat membuatnya sejenak terdiam. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debar jantung yang masih belum reda sejak meninggalkan rumah tadi pagi.“Jakarta…” bisiknya, seakan meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia benar-benar ada di sini.Sebuah taksi berhenti di hadapannya. Sopir membuka kaca jendela. “Mau ke mana, Mbak?”“Hotel Bintang Utama, Pak,” jawab Alisya pelan sambil memasukkan kopernya ke bagasi.Sepanjang perjalanan, Alisya hanya diam. Matanya menatap keluar jendela, melihat gedung-gedung tinggi menjulang, papan reklame berkelap-kelip, dan orang-orang berjalan cepat di trotoar. Semuanya terasa asing, berbeda jauh dengan kota kecil tempat ia biasa tinggal.Pikirannya melayang ke rumah—ke Dhimas, ke ibu mertua, dan terutama ke pesan Susi yang masuk terakhir sebelum kereta berangkat. “Aku di sini bakal neme
Pagi itu rumah masih sunyi ketika Alisya menarik koper kecilnya keluar kamar. Jantungnya berdetak kencang, seakan setiap langkah menuju pintu membawa beban yang semakin berat. Tangannya menggenggam gagang koper erat-erat, sementara matanya melirik ke arah ruang tamu, tempat ibu mertua sudah duduk sejak subuh, dengan wajah masam dan tatapan yang sulit ditebak.“Sya, jadi kamu tetap berangkat ke Jakarta?” suara ibu mertua terdengar tajam.Alisya berhenti sejenak, lalu menoleh. “Iya, Bu. Saya harus berangkat hari ini, tiket sudah dibelikan pihak kampus.”Ibu mertua menghela napas panjang, seolah setiap hembusan adalah bentuk protes. “Hmmm… kalau istri orang lain, pasti mikir seribu kali sebelum ninggalin suaminya. Tapi kamu? Baru juga nikah, udah sibuk kerja ke luar kota.”Alisya menunduk, mencoba menahan gejolak di dadanya. “Saya sudah bicara dengan Mas Dhimas, Bu. Beliau sudah izinkan…”“Ya, kamu sudah bilang kemarin, tapi tetap saja Dhimas itu terlalu nurut sama kamu! Nanti kalau ada
Pagi itu udara kampus masih terasa sejuk. Langit biru terang membentang, dihiasi awan tipis yang bergerak pelan. Alisya melangkah masuk ke gedung administrasi dengan langkah mantap, meski dalam hati ada kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia baru saja mendapat izin dari Dhimas untuk pergi ke Jakarta, dan kini saatnya menyampaikan keputusan itu kepada rektor.Di depan ruang rektor, ia sempat berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sambil merapikan kerah bajunya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut, tapi karena kesadaran bahwa keberangkatan ini akan mengubah ritme hidupnya untuk sementara waktu.Ia mengetuk pintu. “Masuk,” suara berat rektor terdengar dari dalam.Alisya membuka pintu pelan. Rektor, pria paruh baya dengan kacamata bulat, menoleh sambil tersenyum kecil. “Silakan duduk, Alisya. Jadi bagaimana keputusanmu?”Alisya duduk, merapatkan tangannya di pangkuan. “Pak, saya sudah berbicara dengan suami saya. Beliau setuju k
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments