Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi

Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi

last updateLast Updated : 2025-08-28
By:  skusumahendangUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
10Chapters
9views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Alisya Halim percaya bahwa cinta adalah segalanya. Ia menolak lamaran dari pria baik yang tak ia kenal, demi seorang kekasih berseragam yang penuh rayuan manis dan janji setia. Seorang pria yang ia yakini sebagai jodohnya. Ia mencintai suaminya sepenuh hati, mendukung kariernya sebagai polisi, dan menjaga rumah tangga mereka meski dihantam ucapan-ucapan tajam dari mertuanya. Alisya bertahan, karena ia yakin cinta bisa menyembuhkan segalanya. Tapi hari yang ia harap menjadi kejutan manis, justru menguak luka paling pahit. Sebuah pengkhianatan yang membuatnya mempertanyakan segalanya—dirinya, pilihannya, dan cintanya. Di balik seragam yang dulu ia banggakan, tersimpan neraka yang tak pernah ia bayangkan. Saat luka tak lagi bisa ditutupi dan air mata tak lagi cukup meredakan pedihnya kenyataan, Alisya berdiri di ambang pilihan: tetap bertahan demi cinta yang melukai, atau melepaskan demi menyelamatkan dirinya sendiri. Dan di tengah reruntuhan itu, mungkinkah seseorang yang dulu ia tolak… masih menunggunya, diam-diam?

View More

Chapter 1

Bab 1 – Tatapan yang Mengikat

Alisya Halim menurunkan map tebal yang sejak pagi ia bawa dari ruang administrasi. Hari ini ia berkutat dengan laporan data mahasiswa yang menumpuk, revisi dokumen, dan permintaan tanda tangan mendadak dari dosen senior. Pundaknya pegal, jari-jarinya lelah, tapi ia tetap tersenyum pada setiap orang yang lewat di mejanya.

“Semangat Alisya, sebentar lagi beres.” Alisya berusaha menyemangatkan dirinya.

Saat jarum jam menunjukkan pukul setengah lima sore, ia memutuskan keluar sebentar untuk menghirup udara segar untuk sesaat. Ruang kerjanya di lantai dua dan kampus sudah mulai sepi, hanya tersisa suara printer dan mesin fotokopi di ujung lorong yang terus bergema.

Begitu keluar gedung, semilir angin sore tiba-tiba menyapu rambut panjangnya yang tergerai. Ia melangkah ke taman kampus, tempat favoritnya untuk melepas lelah. Taman itu cukup sepi sore ini, hanya ada beberapa mahasiswa yang duduk berkelompok sambil tertawa kecil bercanda gurau.

Langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok yang asing tapi entah kenapa terasa menarik.

Seorang pria berseragam polisi duduk di bangku taman, satu kaki disilangkan di atas kaki lainnya. Di tangannya, segelas kopi kertas masih mengepulkan asap. Sinar matahari sore menyapu wajahnya, memantulkan kilau lencana di dada kiri seragam.

Alisya bukan tipe yang mudah terpesona, tapi ada sesuatu di tatapan pria itu—tajam, penuh percaya diri, namun seolah-olah hanya tertuju padanya.

Tatapan itu membuatnya lupa bernapas sesaat.

Pria itu menyadari keberadaannya, bibirnya terangkat membentuk senyum tipis. “Sendirian aja, Mbak?” suaranya berat tapi hangat, seperti orang yang sudah lama dikenalnya.

Alisya sedikit terkejut, tapi berusaha tenang. “Eh… iya. Nunggu teman,” jawabnya singkat.

Pria itu menaruh gelas kopinya di bangku. “Kerja di sini?” tanyanya sambil melirik map yang Alisya bawa.

“Staf administrasi,” jawabnya sambil mengangguk.

“Pantesan rapi banget,” ujarnya, tatapannya turun sebentar ke tangan Alisya yang memegang map, lalu kembali menatap wajahnya. “Boleh kenalan mbak??”

Alisya hanya mengangguk pelan.

“Dhimas.” Ia mengulurkan tangan. Jemarinya hangat, genggamannya mantap, seperti tak mau melepas.

“Alisya.”

"Nama yang cantik, cantik seperti orangnya."

Alisya senyum tipis. "Namanya juga perempuan, pasti cantik. Kalau ganteng mah laki-laki."

Dhimas kemudian tertawa pelan.

Obrolan mereka terus mengalir. Dhimas bercerita ia sering mendapat tugas mengawal acara kampus, kadang mengatur lalu lintas saat wisuda. Nada bicaranya tenang, namun di baliknya ada aura percaya diri yang membuatnya terdengar berwibawa.

Sesekali, ia melontarkan humor tipis yang membuat Alisya tersenyum.

Namun, di tengah percakapan itu, ponsel Dhimas bergetar di saku kanannya. Gerakannya cepat—terlalu cepat—saat ia merogoh dan menekan tombol matikan. Ia bahkan tak sempat melirik layar.

Alisya mencondongkan tubuh sedikit. “Kenapa nggak diangkat?” tanyanya penasaran.

Dhimas menggeleng, senyumnya tipis tapi matanya tak berkedip. “Tidak terlalu penting. Lagian aku juga lagi ngobrol denganmu.”

Alisya menelan ludah, merasa pipinya menghangat. Ucapan itu terlalu manis untuk ditolak. Namun, ada bisikan kecil di hatinya yang bertanya 'siapa yang menelpon sampai ia buru-buru mematikannya?'

Bisikan itu, sayangnya, terkubur oleh tatapan Dhimas yang membuatnya ingin bertahan lebih lama di bangku taman itu.

Angin sore membawa aroma bunga kamboja dari sudut taman. Beberapa helai daun flamboyan berjatuhan, ada yang menempel di bahu Alisya. Refleks, Dhimas berdiri dan mengambilnya.

“Kalau ada lomba senyum tercantik di kampus ini, aku yakin kamu menang,” ucapnya sambil tersenyum kecil.

Alisya tertawa pelan, mencoba menutupi gugupnya. “Baru ketemu udah muji. Semua perempuan kamu gombalin gitu, ya?”

Dhimas mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. “Enggak. Hanya yang bikin aku penasaran.”

Tatapan mata mereka bertemu lagi. Ada ketenangan aneh yang Dhimas pancarkan, membuat Alisya merasa diperhatikan, seperti hanya dia satu-satunya yang ada di taman itu.

Di sela obrolan, Dhimas mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak biasa untuk ukuran orang yang baru kenal.

“Kamu tinggal di mana?”

“Sudah lama kerja di sini?”

“Punya pacar?”

Pertanyaan terakhir membuat Alisya tersedak udara. “Kok nanyanya langsung ke situ?”

Dhimas menyandarkan tubuh ke sandaran bangku, satu kakinya terentang santai. “Biar aku tahu, peluangku besar atau nggak.”

Alisya menggeleng sambil tertawa kecil. “Kamu percaya diri banget, ya.”

“Percaya diri itu perlu. Apalagi kalau yang aku lihat, orangnya sepadan buat diperjuangkan.”

Ucapan itu seperti anak panah yang tepat menancap di hati Alisya. Jarang ada pria yang berbicara lugas begitu, apalagi dengan tatapan mata yang seperti menyimpan janji.

Mereka berbincang cukup lama. Tentang pekerjaan Alisya di bagian administrasi yang membosankan tapi stabil. Tentang kesibukan Dhimas sebagai polisi yang katanya sering membuatnya susah punya waktu untuk bersantai. Tentang hal-hal remeh seperti makanan favorit, lagu kesukaan, sampai film terakhir yang mereka tonton.

Di tengah percakapan itu, ponsel Dhimas kembali bergetar lagi. Ia melirik sekilas layar, lalu cepat-cepat membaliknya menghadap ke bawah di bangku.

“Kamu nggak angkat lagi?” tanya Alisya, mencoba terdengar santai.

Dhimas tersenyum, tapi senyum itu kali ini singkat saja. “Bukan siapa-siapa. Kalau penting, dia pasti hubungi lagi. Aku nggak mau ngobrol sama kamu setengah-setengah.”

Kalimat itu lagi-lagi menenangkan Alisya. Namun, di kepalanya, benih rasa penasaran mulai tumbuh.

Langit sore mulai berwarna jingga. Cahaya matahari yang menurun membuat seragam Dhimas tampak semakin kontras. Alisya memperhatikan detailnya — nametag di dada, badge kecil di pundak, dan lipatan rapi di lengan bajunya.

“Kamu sering ke sini?” tanya Alisya.

“Kalau lagi tugas jaga acara, iya. Tapi kalau besok-besok kamu mau, aku bisa sering-sering nongkrong di sini.”

“Kenapa?”

“Supaya bisa ketemu kamu.”

Obrolan itu membuat waktu terasa berjalan lebih cepat. Mahasiswa yang tadi duduk berkelompok mulai meninggalkan taman. Suara azan magrib terdengar sayup dari masjid kampus.

“Sudah sore, aku pulang dulu,” kata Alisya sambil berdiri.

Dhimas ikut bangkit. “Kamu bawa motor?”

“Nggak, naik ojek.”

Dhimas menggeleng pelan. “Sekali ini aja, biar aku antar. Calon pacar masa naik ojek.”

Alisya memiringkan kepala. “Calon pacar?”

“Ya, kan kita baru kenal. Tapi aku yakin, besok-besok aku bisa bikin kamu setuju jadi pacar aku.”

Alisya tersenyum, setengah tak percaya pada keberanian pria ini. “Kamu nggak takut aku malah ilfeel?”

“Kalau sama kamu? Enggak. Soalnya dari tadi kamu nggak berhenti tersenyum.”

Sebelum Alisya bisa membalas, Dhimas sudah berjalan menuju parkiran. Langkahnya tenang, tapi ada aura kepemilikan yang terasa jelas. Tanpa sadar, Alisya mengikutinya.

Di dekat motor dinasnya, Dhimas menoleh. “Yuk, aku antar sampai depan rumah. Aku janji nggak akan ngebut.”

Alisya ragu sebentar, tapi lalu mengangguk. Entah kenapa, ia merasa aman bersama pria ini.

Yang ia tidak tahu… pertemuan sore itu akan menjadi awal dari cerita panjang dari kisahnya.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
10 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status