Share

Bab 4-Si Pengganggu Yang Menggetarkan Hati

20.00

“Permisi... Erin?? Erin...” Ucap orang itu, yang pastinya adalah Barra.

“Duhh.. ada apa siiih.... Gangguuu banget deh...” Keluh diriku dalam hati, karena merasa terganggu disaat aku sedang asik menonton drama kesayangan. 

“Hmm.. sepertinya dia sedang tidur.” Ucap Barra pada dirinya sendiri.

“Eh iya.. ada apa?” Jawabku sambil memunculkan wajahku di sela pintu.

“Aah begini... apakah disini ada sebuah swalayan atau semacamnya. Aku harus membeli sesuatu di sana.” Jelas Barra.

“Kalau swalayan, letaknya lumayan jauh dari sini. Hmm memangnya kamu mau kamu beli apa??” Tanyaku penasaran.

Pemuda itu pun memperlihatkan layar ponselnya kepadaku. Disitu tampak sebuah foto makanan, yang sepertinya adalah jenis cokelat yang harganya cukup mahal. Cokelat jenis ini memang sepertinya hanya dapat dibeli di swalayan.

“Hmmm kamu harus banget untuk membeli ini, saat ini juga?? Soalnya sekarang kan sudah cukup malam dan tempatnya cukup jauh.” Ucapku heran.

“Em. Pokoknya aku harus membeli ini, saat ini juga.” Ucap Barra dengan nada serius.

“Oohh okay, kalau begitu... nanti kamu ke tempat itu, bisa menggunakan bus atau taksi, kalau kamu naik bus, kamu bis....” Ucapku berusaha menjelaskan.

“Ah tidak usah dijelaskan... aku tidak akan paham. Aku bukan orang yang cepat menghapal arah jalan. Lebih baik kamu ikut saja denganku.” Perintah Barra dengan ekspresi datar.

“Hah? Ikut denganmu?? Dihh!! Mengapa aku harus mengantarmu?? Tidak ah... aku sedang malas untuk keluar rumah.” Ucap Erin dengan memperlihatkan sikap malasnya.

Pemuda itu langsung menatapnya dengan agak sinis, sambil memperllihatkan kembali layar ponselnya kepadaku. Disitu terlihat pesan dari Ibuku yang mengatakan bahwa, “Barra... jika kamu butuh apa-apa, langsung minta tolong saja ke Erin ya... Kalau anak itu tidak mau menolongmu, perlihatkan saja pesan ini. Anak itu pasti langsung mengerti (emot senyum).”

“Isshh... Huh! Beraninya ngadu sama ibu...” Ucapku dengan nada mengejek.

“Dihh.... tidak kok. Aku hanya melakukan apa yang ibu suruh saja.” jawab Barra, menolak ejekanku.

“Huh... padahal belum 24 jam kamu disini, tapi entah mengapa teraaaaasaa saaaaaangat lama. Sampai-sampai aku ingin kau cepat pergi dari sini.” Celetuk Erin.

“Yah. Aku sepertinya memang orang yang cepat beradaptasi. Cepat sana... cari pakaian yang layak. Aku tunggu kau di luar.” Ucap Barra merespon ucapan Erin seraya turun ke lantai bawah.

“Yang layak!? Hah! Apa maksudnya... jelas-jelas pakaianku layak seperti ini kok. Dihhh sok artis. Eh tapi dia kan memang Artis yah..” Ucapku menggerutu sambil memeriksa pakaian yang aku kenakan.

***

Aku akhirnya pergi untuk mengantar Barra dengan berat hati. Aku terus berusaha memperlihatkan ekspresi dan sikap malas dan tidak tulus. Berharap Barra dapat paham. Tapi sepertinya dia begitu ingin untuk membeli cokelat itu.

Huh.. cokelat sialan!

***

Akhirnya kami tiba di Swalayan. Pengunjung di Swalayan yang kami datangi ini, tidak begitu banyak. Mungkin karena letaknya yang di pinggir kota.

Hmmm tapi baguslah... Kalau ramai, bisa bahaya. Disampingku ini Artis yang sedang jadi bahan obrolan. Kalau satuuuu saja penggemarnya mengenali orang ini. Em! Bisa-bisa Swalayan ini langsung jadi populer seketika.

“Aaah ini dia..” Ucap Barra dengan wajah berseri-seri sambil memegang sekotak cokelat yang begitu didambakannya.

“Huh! Segitu senangnya ya kamu dengan cokelat ini. Mmm bisa-bisanya aku jauh-jauh ke sini hanya karena untuk membeli sekotak cokelat. Waaaw sungguh sangat penting!” Gerutuku.

“Hmmm kalo begitu, karena kamu sudah mau mengantarku ke sini. Bagaimana kalau kita mencari tempat makan di sekitar sini. Aku akan bilang pada Ibu kalau kita akan makan malam di luar” Ucap Barra seperti berusaha membujukku.

“Waah serius nih!? Nah gitu dong.. Kan jadi tidak sia-sia amat kita jauh-jauh ke tempat ini.” Ucapku yang seketika menjadi begitu bersemangat.

***

Kami akhirnya pergi ke sebuah rumah makan. Ketika disana, aku dan Barra pun akhirnya mulai sedikit berbincang.

“Hmm kamu begitu sangat menyukai cokelat itu ya??” Ucapku penasaran.

“Ya, sangaat. Hmm ada apa?? Kamu pasti berpikir aku aneh, bukan?” Ucap Barra kepadaku.

“Em. Aneh..” Jawabku singkat.

“Hmm mungkin bagi orang lain ini hanya sebuah cokelat. Makanan yang memiliki rasa manis dan dapat meningkatkan mood seketika. Tapi, bagiku lebih dari itu. Hmmm... hari ini adalah hari kematian Ayah dan Ibuku. Hari dimana Ibu membelikan cokelat ini kepadaku, sebagai hadiah Hari Kasih Sayang. Dengan melihat kotak cokelat ini, ingatanku pada senyuman ibu, yang begitu cantik dan hangat, seketika akan muncul. Manisnya senyum ibu melebihi rasa manis cokelat ini. Aaaah.... maaf, aku jadi mengubah suasana menjadi tidak nyaman seperti ini.” Ucap Barra, yang matanya terlihat berlinang.

“Aah iya tidak apa... tidak perlu minta maaf. Lagipula itu bukan sesuatu yang salah. Aku yang seharusnya minta maaf, karena membuatmu menceritakan hal itu.” Ucapku yang mendadak jadi sungkan.

Tidak kusangka sebatang cokelat itu mempunyai arti yang begitu mendalam bagi Barra. Ya.. betul memang jika ada orang yang bilang ‘yang sepele bagimu, bisa berarti segalanya bagi orang lain dan sebalikanya. Hal ini mulai menyadarkanku betapa pentingnya menghargai perasaan orang lain. Tidak terburu-buru untuk menghakimi.

***

Setelah selesai makan, aku dan Barra langsung pergi mencari taksi untuk pulang. 

"Hmm ngomong-ngomong, sepertinya kau sangat tidak menyukai kehadiranku di rumah ya? Aku sempat mendengar pembicaraanmu dengan Ibu di dapur waktu itu.” Ucap Barra kepadaku.

“Heh! Tapi percayalah....aku juga tidak berharap untuk tinggal disini lama-lama! Di tempat yang bahkan untuk ke tempat seperti Swalayan saja harus pergi sejauh ini. Jadiii...  jangan membuat diriku menjadi tidak enak. Disini bukan hanya kamu yang tidak suka tapi aku juga." Ucap Barra yang tiba-tiba mengubah nada suaranya yang tadinya lembut menjadi begitu dingin, seperti sosok yang berbeda. 

"Heh! Kok kamu jadi seperti menyalahkanku. Mengapa kalau aku tidak suka? Salahku jika tidak nyaman satu atap dengan orang asing? Lagian ini semua juga ulahmu, tidak ada hubungannya sama sekali dengan aku dan keluargaku. Kaaamu yang membuat masalah. Huh... lagian bisa-bisanya melakukan hal seperti itu kepada seorang perempuan." Ucapku yang akhirnya menjadi agak emosi.

"Huh! Perkataanmu itu.... seperti orang yang tahu akan segalanya. Seperti orang yang lebih tahu apa yang sebenarnya terjadi daripada sang pelakunya. Padahal.... kamu mengenalku, yang sekarang dianggap tersangka ini saja tidak, bukan?" Ucap Barra yang tampaknya agak marah dan kecewa dengan perkataan Erin.

Entah mengapa, seketika aku menjadi merasa sangat bersalah dan menyesali perkataanku tadi. Jujur.... aku sebenarnya tidak ada maksud sama sekali untuk menyakiti hati Barra. Aku hanya mengungkapkan rasa kesalnya saja. Hmmm... sepertinya Barra memang benar-benar bukan pelakunya. Hmmm pasti sangat berat, jika memang bukan dia pelaku sesungguhnya. Kasus ini pasti membuatnya begitu terpuruk. Seketika wajahnya yang tadinya terlihat marah kepadaku, sekarang menjadi begitu terlihat muram dan tatapan matanya menjadi kosong. 

Tapi.... disaat-saat seperti ini. Aku menyadari sesuatu. Ada sesuatu yang lebih membuatku terkejut. Semakin lama aku memandang wajahnya. Semakin aku kaget dan tersadar. Erin, Si bodoh ini baru sadar. Aku baru sadar kalau.... Barra setaaaaaampaan ini. Sungguh sangat mempesona. Menarik hatiku dengan begitu sopan. Wajahnya benar-benar tanpa cela. Aku akhirnya tahu, alasan mengapa begitu banyak orang mengaguminya. Wajahnya begitu sangat indah. Setiap sudut mukanya mampu membuatmu tersenyum tanpa alasan. Kulitnya terlihat begitu halus dan lembut, seperti tak berpori. Getaran maskulin namun cantik terpancar dari wajahnya. Apapun tipe pria idamanmu, pria ini pasti akan mampu membuat dirinya menjadi idamanmu. Dia bukan sesuatu yang pantas untuk ditolak.

"Woahhh daebak!" Celetukku tanpa sadar karena begitu mengagumi wajah Barra.

"Hmm sepertinya kamu benar-benar menganggap kasus itu bukan hal serius dan menganggap aku hanya mencari sensasi dari kasus itu, ya?"

"Eh tidak... ini bukan tentang kasus itu. Hmmm aku.. sedang memikirkan hal lain.." Ucapku dengan agak terbata-bata.

Erin menjawab Barra dengan secepat mungkin supaya Barra tidak berpikir macam-macam. Namun hal itu sepertinya malah membuat Barra semakin curiga dan heran dengan sikapku.

"Eh ayo turun.. kita sudah sampai." Ucapku sambil menyuruh Barra untuk berdiri, karena kita sudah sampai.

***

"Eehh kalian sudah pulang?" Ucap Ibu sambil menatap Barra dengan lembut.

"Hmm Erin... cepat kamu ganti baju. Lalu segera kembali kesini, bantu ibu membereskan pakaian-pakaian ini." Ucap Ibu yang sedang menyetrika setumpuk besar pakaian.

"Hah? Akuuu??" Tanya Erin terkejut mendengar perintah Ibu.

Ibu menjawab Erin dengan muka tersenyum manis. Namun, dengan tatapannya yang begitu tajam hingga dapat terasa langsung ke dalam hati Erin.

"Iyaaa... baik bu." Jawab Erin cepat dengan senyum ketakutan.

"Heuh! Segitu takutnya kau dengan Ibumu." Bisik Barra kepadaku tiba-tiba.

"Heh! Kamu itu belum tahu saja, kalau Ibu marah. Omelannya itu bisa membuat pori-pori di wajahmu langsung terbuka lebar. Walau hanya berupa omongan, tapi itu mampu menampar wajahmu dengan begitu sangat keras…" Jelasku agak berbisik pada Barra, sambil memperlihatkan gaya dan ekspresi yang mendalami.

Barra akhirnya menjadi sedikit tertawa karena mendengar ucapan Erin. Belum selesai Erin berbicara, dia tiba-tiba berjalan pergi ke kamarnya, seperti tidak begitu peduli dengan Erin yang masih dengan seriusnya mendeskripsikan omelan Ibunya. 

"Dihh... orang belum selesai ngomong juga. Main pergi-pergi saja." Gerutuku saat tersadar Barra sudah tidak berada di sampingku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status