Share

Bab 3-Inginku

“Ibuu...” Panggil diriku kepada Ibu yang berada di sebelahku, sambil aku terus lanjut mencuci piring.

“Iya, apa?” Jawab Ibu yang sedang membereskan meja dapur.

“Hmmm Artis itu benar-benar harus tinggal disini?? Dia tidak bisa gitu... tinggal di hotel atau semacamnya??”

“Hei... kamu itu tidak dengar ya? Apa yang dibilang oleh pak manager tadi. Situasinya itu lagi kacau. Kalau dia datang ke tempat umum, seperti hotel... pasti langsung banyak informan yang akan memberitahukan keberadaannya. Sekarang itu dia sudah menjadi buronan para netizen, yang mencari berita. Ehh.. Lagipula dia tidak menginap disini dengan cuma-cuma kok. Kamu pasti kaget mendengar nominal yang Rio bayarkan pada Ibu untuk menjaga Artis itu.” Jelas Ibu kepadaku.

“Ihh Ibu... tapi kan Ibu tahu anakmu ini tidak nyaman disekitar orang asing. Ibu dan Ayah kan pulang larut malam. Jadi, pasti aku yang akan lebih sering bertemu dengannya di rumah. Aahh pasti akan canggung Bu... aku tidak suka pokoknya!” Ucapku protes kepada Ibu.

“Ah diam! Ini bukan urusanmu. Ibu tidak butuh pendapatmu. Ini itu rumah Ibu, bukan rumahmu. Hmmm lagipula anak itu sepertinya anak yang baik.” Ucap ibu kepadaku.

“Sepertinya 'Anak baik’?? Ihh Ibu, kita itu masih belum tahu apakah kasus itu benar atau tidak. Kalau benar, bagaimana coba? Dia itu... menyiksa seorang perempuan Bu... seorang perempuan.” Jelasku kepada Ibu dengan harapan Ibu memahamiku.

“Aaahh.. sudah! Kamu tidak perlu memikirkan hal itu. Jangan banyak bicara... Lebih baik kamu tidur sana!” Ucap Ibu sambil mendorong punggungku supaya aku pergi dari sana.

***

Pada pagi hari, seperti biasa aku bangun dari tidurku dengan diawali suara menguap yang cukup besar dan kemudian tidak langsung turun dari kasur, tapi masih tetap rebahan, bermalas-malasan di kasur sambil melihat layar ponsel.

“Erinn!! Jangan bilang kamu masih dikasur. Memangnya kamu tidak akan sekolah, hah?!” Ucap Ibu agak berteriak, namun tidak sekencang biasanya.

OMG! Sekolah?? Astaga... aku lupa hari ini sudah masuk sekolah.” Ucapku dengan wajah panik.

Aku langsung bangun dengan cepat dari kasur dan segera mandi seadanya. Lalu kemudian, langsung turun ke bawah, mengambil sebuah roti di meja makan, kemudian aku sisipkan di mulutku sambil aku memakai sepatu dengan terburu-buru.

“Ayah..Ibu.. aku berangkat!” Ucapku pamit dan langsung berlari keluar.

“Astaga gadis itu.... Kapan sel otaknya bisa mulai berfungsi dengan benar??” Celetuk Ibu sambil membereskan piring di meja makan.

Tanpa disadari, Barra yang sedang menikmati sarapan pertamanya di rumah Erin terlihat sedikit tersenyum karena melihat kelakuan Erin di pagi hari ini. Begitu rusuh dan heboh.

“Aaah maaf ya... kamu sepertinya harus belajar sabar. Kamu akan melihat peristiwa seperti ini, hampir tiap hari, Nak...” Ucap Ibu sambil membuat ekspresi kelelahan.

“Aah iya Bu, tidak apa-apa. Aku dapat maklum. Aku pun sepertinya sama seperti itu, ketika masa sekolah dulu.” Jawab Barra sambil tersenyum malu mengingat kelakuannya saat sekolah dulu.

“Aaah tidak mungkin.... tidak mungkin orang sepertimu berperilaku seperti gadis itu.” Jawab Ibu menimpali ucapan Barra.

“Ibu! Ayo kita berangkat... Hmm kamu tidak apa-apa kan ditinggal sendiri, Nak.” Panggil Ayah kepada Ibu sambil kemudian bertanya kepada Barra.

“Ah iya tentu. Silahkan... jika Ayah dan Ibu harus pergi bekerja.” Jawab Barra dengan sikap yang sopan.

“Barra... jika kamu takut, kunci saja pintu dan jendela....” Jelas Ibu kepada Barra.

“Iya, Baik Bu.. Tidak usah khawatir.” Jawab Barra berusaha meyakinkan ibu.

“Baiklah...kami pergi dulu ya, Nak. Dino dan Erin akan pulang sekolah nanti siang...” Ucap Ibu sambil berjalan keluar rumah.

“Baik, sampai jumpa... Hati-hati dijalan...” Ucap Barra sambil melambaikan tangan ke arah Ayah dan Ibu.

“Ahh anak itu sungguh sangat sopan. Senang melihatnya...” Ucap Ibu dengan wajah berseri sambil berjalan menyusul Ayah.

***

Sesampainya aku di Halte Bus sekolah. Aku langsung berlari dengan cepat menuju sekolah, berharap gerbang sekolah masih terbuka. Namun... seperti yang aku bayangkan, gerbang sekolah sudah ditutup.

“Iishh!!” keluhku sambil berusaha mengatur napas yang terengah-engah karena berlari.

“Aastaga.... bisa-bisanya kamu telat di hari pertama sekolah.” Ucap Ryan yang baru saja tiba, kepadaku.

Ryan adalah teman sekelasku. Kami berteman sejak kelas 2 SMA. Sejak pertama kali kami berkenalan karena sekelas, kami seketika langsung akrab dan menjadi teman baik. Ryan bisa dibilang termasuk anak yang popular di sekolah. Dia memiliki wajah yang cukup tampan, yang tampak dingin dan cuek namun sebenarnya humoris. Badannya berbentuk ideal dan cukup tinggi. Namun, Ryan bukanlah anak yang menikmati kepopulerannya. Dia tidak begitu suka menjadi pusat perhatian. Dia tidak suka bergaul dengan anak-anak populer. Di sekolah dia hanya berteman denganku dan beberapa anak laki-laki di klub sepak bola.

Jujur saja... sebenarnya aku masih mengharapkan status pertemanan antara aku dan Ryan dapat berubah. Ya.... aku suka dengan Ryan. Aku sebenarnya sudah menyukai Ryan bahkan sebelum dia kenal denganku, sebelum kita sekelas dan berteman. Aku menyukainya sejak saat pertama kali bertemu denggannya di masa orientasi siswa. Saat itu, aku sangat terkejut bisa melihat langsung orang setampan Ryan. Selain wajahnya yang tampan, dia anak yang cukup pintar di kelas. Selain itu, dia juga orang yang humoris. Ada saja lelucon yang langsung berhasil membuatku tertawa terbahak-bahak. Dia juga anak yang pemberani. Dia termasuk salah satu orang yang suka melerai jika ada teman-teman yang bertengkar dan membuat keributan. Dia tidak akan tinggal diam, ketika melihat orang melakukan kekerasan di hadapannya. Emm mungkin beberapa sikap itulah yang akhirnya membuatku jatuh cinta kepadanya. Namun, aku juga sudah tidak terlalu berharap. Aku sudah sangat senang bisa berteman dengannya seperti saat ini.

***

Dikelas, seperti biasa, aku bukanlah seseorang yang penting. Walaupun aku telat masuk ke kelas, tapi tidak ada satu pun orang yang menyadari ataupun penasaran dengan apa yang terjadi denganku. Aku hanya seperti figuran di kelas. Ada, namun tidak berdampak.

Hmmm… terkadang aku mau jadi seperti Ria. Gadis berkacamata yang berpenampilan rapi dengan rambut ikal yang dikuncir satu. Ria selalu menjadi nomor satu di kelas. Dia termasuk salah satu siswa yang cerdas disekolah. Para guru dan siswa di sekolah pasti mengenal Ria. Terkadang aku ingin menjadi seperti Ria, yang selalu menjadi perhatian teman dan guru. Ketika jam pelajaran selesai, pasti akan banyak teman yang berkumpul di mejanya untuk menanyakan materi yang susah. Hmmm keren saja gitu... bisa mengajarkan orang, bisa berguna bagi orang lain. Kehidupan Ria tampak begitu bersinar.

Lalu... terkadang aku juga mau jadi seperti Felix. Si Nomor 1 dari belakang. Anak yang terkenal paling bandel disekolah. Setiap hari ada aja yang dibuat oleh si pembuat onar ini. Felix selalu melakukan semua hal semau dia. Dia tidak peduli dengan apa yang orang lain katakan. Bermain sesukanya. Tertawa sesukanya. Berdebat sesukanya. Karena sifatnya yang seperti itu, tentu saja dia selalu jadi perhatian orang di sekitarnya. Semua Guru selalu memperhatikan setiap tingkahnya. Ketika satu pelajaran saja dia tidak terlihat, Guru pasti langsung panik dan mencari. Hmmm coba kalau aku. Sepertinya kalau aku tidak masuk, Guru dan teman-teman pasti pada  biasa-biasa saja. Mereka tidak akan terlalu khawatir dan berpikir macam-macam terhadapku. Hmmm kehidupan Felix begitu terlihat berwarna bagiku.

***

18.00

“Aku pulang..” Ucapku sambil melepas sepatuku.

“Hai kak!!” Sapa Dino sambil berlari ke arahku, lalu kemudian memakai sepatunya dengan terburu-buru.

“Eh mau kemana kamu??” Tanyaku kepada Dino heran.

“Iniii... aku mau pergi ke pusat kota dulu, kak. Aku ada janji dengan teman-temanku. Syukur... kakak udah pulang. Jadi, kak Barra tidak sendirian deh. Dahh... aku pergi dulu ya kak...” Jelas Dino kepadaku seraya berlari keluar rumah.

“Ehh jangan per….  iishh anak itu! Benar-benar...” Ucapku agak berteriak, berusaha untuk menghalangi Dino pergi. 

Astaga.... aku hampir lupa dengan Artis yang tinggal di rumahku ini.

Perasaan canggung mulai merasukiku. Aku pun bergegas masuk ke kamarku, berniat untuk tinggal di kamar sampai Dino ataupun Ibu dan Ayah pulang ke rumah. Sangat canggung rasanya berduaan dengan orang asing walaupun ini rumahku sendiri.

***

Disaat aku sedang asik menonton drama kesayanganku sambil rebahan di kamar. Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu kamarku.

Tok tok tok...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status