Jalinan kasih Utari dan Bhama selama 7 tahun kandas saat Bhama harus menikahi wanita yang mengaku hamil anaknya. Tanpa kata putus Bhama menikahi wanita itu. Utari sakit hati, tapi dia tidak bisa apa-apa. Seminggu setelah pernikahan itu, Bhama malah mengakhiri hidupnya sendiri dengan melompat dari jembatan. Berbekal perasaanya, Utari mencari informasi sejelas-jelasnya tentang pernikahan Bhama yang tiba-tiba. Ditemani Damar yang juga teman masa kecil mereka. Perlahan terbongkar, bukan Bhama yang menghamili wanita itu, tapi anak kepala desa bernama Anggara yang melakukannya. Bhama hanya dijebak. Bhama merasa stress dan depresi, dia sangat mencintai Utari tapi masalah itu malah memisahkan mereka dan menyakiti Utari. Hal yang menghantui Bhama setiap saat, hingga akhirnya Bhama kehilangan kendali dan mengakhiri hidupnya. Damar yang tulus menemani Utari dalam mengungkap fakta membuat Utari luluh, apalagi dulu Damar sengaja pergi mengalah karena tahu Bhama dan Utari saling mencintai. Kini, Utari menerima perasaan Damar dan mengikhlaskan segalanya tentang Bhama.
Lihat lebih banyak"Ada yang Bunu* diri!"
"Ada yang lompat di jembatan!" "Ada yang jatuh!" Suara teriakan segerombolan remaja laki-laki itu menggema, mengguncang udara sore yang mulai gelap, suasana yang harusnya tenang kini menjadi gaduh. Warga yang mendengar langsung bergabung berlarian ke arah jembatan. Beberapa memekik ngeri, yang lain hanya terpaku dengan wajah tegang. Dari bawah jembatan, suara air sungai mengalir deras bertemu bebatuan menambah suasana mencekam. Teriakan warga cukup mengusik Utari yang sedang termenung di terasnya, hatinya patah setelah ditinggal kekasihnya menikah. Namun kegemparan ini mengalihkan perhatiannya. "Ada yang lompat di jembatan!" Bu Ratna dan Pak Jamal --orang tua Utari, keluar dari rumah, menyambut teriakan warga yang menyebarkan kabar yang sangat tabu dengan wajah yang terkejut dan tidak percaya. Mereka bertiga saling menatap dan bertanya lewat pandangan mata. "Bener enggak itu? Masa sih?" tanya Bu Ratna tidak percaya hal semengerikan itu terjadi di kampungnya. Pak Jamal memanggil seorang dari remaja yang ikut berbondong ke arah jembatan. "Siapa yang bunu* diri?" "Mas Bhama katanya, Pak!" jawab anak itu. "Bhama?" ulang Pak Jamal kelu. Bu Ratna dan Pak Jamal langsung menatap Utari dengan cemas. Sementara Utari menegang, tubuhnya kaku. Nama yang disebut-sebut warga itu membakar telinganya, setengah mati dia berharap indra pendengarnya itu salah. "Bhama ...," bisik Utari pelan, hampir tak terdengar. Napasnya memburu, tanpa berpikir panjang Utari berlari mengkuti para warga menuju jembatan di perbatasan kampung. "Tari jangan!" cegah Bu Ratna dan Pak Jamal, tapi percuma. Utari berlari seiring dunia yang mendadak bisu ditengah ketakutannya. Ketika dia sampai di sana, kerumunan warga sudah memenuhi tepi jalan. Mata mereka tertuju ke dasar sungai dengan pandangan ngeri, di mana tubuh seorang pria terbujur di antara bebatuan, tak lagi bergerak. "Wah iya, Bhama!" "Ya Alloh, kenapa Bhama?" "Penganten baru, harusnya lagi anget-angetnya, kenapa malah nyari mati begini?" “Jangan dekati! Itu sudah urusan polisi!” teriak seseorang yang mencoba mengatur kerumunan. Tapi suara itu tenggelam dalam kekacauan. Utari berdiri di pinggir jembatan, cukup dekat untuk melihat semuanya. Matanya membelalak, dadanya sesak, seolah ada tangan besar yang mencengkeramnya kuat-kuat. Itu Bhama, tubuh yang dulu dia peluk dengan penuh cinta. Kini tergeletak kaku di antara bebatuan sungai. Air mata tidak langsung keluar. Utari terlalu syok untuk menangis. Kepalanya seperti dipenuhi kabut, kenangan dan kenyataan saling bertabrakan. Dunia seperti berhenti berputar. Ingatan Utari kembali pada malam itu, Bhama berdiri di depan Utari. Bhama memutuskannya tanpa alasan. "Kenapa? Jawab!" pinta Utari memohon, suaranya terisak. Lelaki yang selalu membuatnya nyaman kini berubah, wajahnya muram mengucapkan perpisahan. "Kita nggak jodoh, Tari. Maaf, kamu layak dapat lelaki yang lebih baik, tidak sepertiku, lelaki miskin, dan bapakku yang gila. Kamu layak mendapat lelaki dari keluarga terhormat," jawah Bhama lesu. "Kita udah bahas ini! Aku nggak pernah keberatan, aku cinta kamu apa adanya, kamu duniaku, Bhama!" tegas Utari penuh air mata. "Maaf," jawab Bhama teguh pada perpisahan. Utari buntu, pertanyaan menjejali benak dan kepalanya, marah, dan mendadak Utari merasa tidak berharga. Utari melepas kalung yang menggantungkan sebuah cincin sederhana untuk masa depan mereka dan melemparkannya ke arah Bhama. Bhama bergeming meski kalung itu menabrak wajahnya cukup keras. Utari pergi begitu saja meninggalkan Bhama yang diam, tanpa ekspresi. Perlahan, kabar rencana pernikahan Bhama dengan Vina yang sudah hamil 5 bulan menyebar, Utari mulai mengerti alasan dia dicampakan. "Dia mengkhianatiku. Dia memilih perempuan itu? Dia berselingkuh hingga perempuan itu hamil, jahatnya kamu, Bhama!" Utari tersadar ketika seorang wanita merangsek dari belakang dan sedikit menabrak tubuhnya. Utari menengok. Hanum berdiri dengan tampilan sama terkejut dengannya, wajahnya pucat, tubuhnya gemetaran, wajahnya penuh air mata. Dia adalah adik Bhama. "Mas Bhama?" gumam Hanum dengan bibir bergetar tidak percaya. Tubuhnya terhuyung-huyung dan warga langsung memegangi tubuh Hanum, menuntunnya menjauh. Utari menatap Hanum menjauh dirangkul warga. Gadis itu menangis histeris setelah dipapah jauh dari tepi jembatan. Suara tangisnya mengudara, menambah sedih dari hal tragis yang menjadi tragedi kelam tempat itu. Utari hanya bisa memandang ke arah sungai. Napasnya tersengal-sengal, dadanya terbakar oleh rasa yang tidak bisa dia jelaskan. Bu Mirah, ibu Bhama, berteriak histeris di belakang kerumunan. “Bhama! Anakku!" Wanita itu terjatuh, tubuhnya ditahan oleh beberapa tetangga. Wajahnya memerah karena menangis terlalu keras, tangannya memukul-mukul udara seolah ingin menangkap sesuatu yang hilang. Utari tidak bergerak mendekati Bu Mirah. Bukan karena tidak peduli, tapi karena kakinya tidak mampu melangkah. Dia teringat seminggu yang lalu, saat dia datang ke rumah itu untuk meminta penjelasan dari Bhama. Bu Mirah hanya memandangnya dengan dingin. Kata-katanya masih terngiang di telinga. “Jangan ganggu Bhama lagi. Dia sudah memilih jalan hidupnya!” Utari mengepalkan tangan, menahan perih di dadanya. Dari dasar sungai, beberapa Polisi dan Petugas Medis mulai mengangkat tubuh Bhama. Tandu darurat itu penuh dengan darah, membuat Utari mual. Tapi dia tidak bisa mengalihkan pandangan. Ingatannya melayang ke saat-saat indah bersama Bhama, tawa mereka di bawah pohon rindang, janji-janji yang pernah mereka buat, dan cinta yang dulu begitu kuat dan indah. “Kenapa?” Utari berbisik, air mata mulai mengalir deras di pipinya. Namun, bukan hanya kesedihan yang dia rasakan. Ada kemarahan. Ada luka yang menganga yang dijejali dengan pertanyaan yang mungkin kini tidak akan ada yang menjawabnya. Mengikuti hatinya, Utari menyeret kakinya mendekat ke arah ambulance. Menghalau kerumunan orang di depannya agar bisa sedekat mungkin. "Bhama!" gumam Utari memanggil, meski suara itu tidak bisa keluar. Tepat saat itu, tangan Bhama terjatuh dan menggantung begitu saja dari tandu. Utari melihatnya, sebuah tangan kekar yang selalu penuh semangat dan kerja keras, kini tidak berdaya dengan lumuran darah. Utari menyadari, Bhama mengenakan kalung yang dijadikan gelang. Sebuah benda berkilau tergantung di tangan itu. Cincin sederhana. Cincin yang Utari kembalikan saat Bhama mencampakannya. Dada Utari sesak, napasnya semakin sulit, kenyataan di depannya telah menghancurkan dunia Utari. Apalagi, menyadari benda itu ada di nadi Bhama. Nadi yang harus dipaksa berhenti sebelum waktunya. Di ujung kesadarannya, Utari melihat sosok perempuan dengan perut yang mulai membuncit. Dia menangis menghampiri jenazah. Utari ingin berlari, mendorong perempuan itu menjauh, tapi tubuhnya kehilangan kekuatan, pandanganya semakin gelap, dan perlahan suara riuh orang-orang menghilang. "Tari ...!" Dukung cerita ini, yuk! Jangan lupa like, subcribe, komen dan follow. Terimakasih."Ta-tari?" Saka gugup, dia menatap jemari, sadar rokoknya habis terbakar udara, baranya hampir mengenai kulit, Saka membuangnya di bawah tatapan penuh intimidasi Utari. Tangannya sedikit kaku saat meraih gelas yang jatuh, dibiarkannya genangan kopi di meja begitu saja. "Ada apa?" Suara Saka terdengar dipaksakan, mencoba menyembunyikan kegugupan. Utari mendekat, langkahnya tegas, tatapannya tajam menusuk, "Jelaskan, Saka!" Saka meraih beberapa lembar tisu dan mengelap genangan kopi dengan gerakan asal. "Apanya?" Utari menarik tangan Saka, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya, Saka tidak bisa mengelak lagi. "Kamu pasti tahu maksudku, harusnya aku bertanya saat Bhama tiba-tiba memutuskanku, kalau saja ... kalau saja, aku tahu apa yang sebenarnya terjadi, pasti Bhama ... pasti Bhama tidak akan begini." Saka menarik tangannya dari Utari. Pandangannya jatuh ke lantai. Kepergian Bhama yang tragis masih meninggalkan luka yang cukup dalam untuk orang-orang terdekatnya, termasuk S
"Saat sampai di jembatan, saya melihat Bhama sudah berdiri di atas besi pembatas. Dan dia ...." Pak Lis membuang napasnya dengan berat.Pak Jamal yang mendengarkan pun terbawa suasana tegang."Saya melihat dengan mata kepala sendiri, detik-detik dia melompat ...," ucap Pak Lis, kepalanya tertunduk, terlihat bagaimana dia menyayangkan perbuatan keponakannya.Keduanya saling diam, Mereka sama-sama tahu karakter Bhama sebelum ini. Badannya kekar karena bekerja keras, kulitnya sedikit kecoklatan karena sering terkena matahari, garis wajahnya tegas layaknya pria sejati. Dia punya senyum yang khas, jika dia bicara terlihat berkharisma membuat siapa saja betah bercakap dengannya.Namun, hatinya lembut dan penuh kasih sayang pada ibu dan Hanum, dia juga ikhlas memikul tanggung jawab yang saat itu belum menjadi miliknya dengan lapang dada. Bhama selalu ceria dan tidak mengeluh.Semua orang terkejut, dengan langkah terakhir yang diambil Bhama."Jadi ... itu murni keinginan Bhama? Bukan ada kece
Melisa dan Utari berusaha mengejar, sayangnya mobil hitam itu melaju kencang seolah dia tahu sesuatu tengah mengancamnya."Udah, Tar ...," ucap Melisa ngos-ngosan. "Kita pulang aja!"Utari pun kesulitan mengatur napas, dia mengangguk mengiyakan ajakan Melisa. Keduanya berjalan kaki, jarak area pemakaman dengan rumah Utari tidaklah jauh, tidak sampai 15 menit dengan berjalan kaki.Keduanya berjalan perlahan, Melisa tampak gelisah, "Tar ... aku mau ngomong sesuatu, tapi--""Apa? Ngomong aja!" sambar Utari menanggapi, dia menatap Melisa dengan yakin."Ehm, ini cuma desas-desus, obrolan orang tua, Tar, bukan fakta," lanjut Melisa."Katakan, Mel! Aku butuh banyak informasi, banyak pertanyaan di kepalaku yang entah dimana jawabannya," ungkap Utari mencoba meyakinkan Melisa yang bertele-tele."Soal jembatan di kampung kita itu, kata orang tua jembatan keramat. Memang dulu ada beberapa kasus orang yang meninggal di sana, konon ... dijadikan ... tumbal," ucap Melisa ragu.Utari menatap sepupun
"Tari ... bangun, Nak!" Bu Ratna mengusap wajah Utari perlahan.Kepala Utari berdenyut nyeri seiring kesadarannya yang kembali. Utari menyipitkan mata dan menyapu pandangan. Dia di kamarnya. Dengan keras Utari mencoba mengingat kejadian sebelum dia kehilangan kesadaran. Tragedi."Bhama, Bu?" ucap Utari mengadu, suaranya parau.Bu Ratna memeluk putrinya dengan sedih, kembali dia usap air mata di wajah Utari dengan gemetaran."Ikhlaskan, Nak! Ikhlaskan!" Bu Ratna mencoba menguatkan putrinya, meski dirinya pun tidak yakin bisa.Kabar tragis itu meledak dan menjadi buah bibir, banyak video amatir beredar di sosial media. Kejadian tragis, yang sangat disayangkan semua orang.Keesokan paginya, langit kelabu seolah turut berkabung, menyelimuti suasana pemakaman Bhama. Angin dingin menusuk, membawa aroma bunga layu bercampur tanah basah.Warga desa membeludag, berkerumun di sekitar pusara yang masih terbuka. Di tepi liang lahat, Bu Mirah menangis tersedu, tubuhnya disangga oleh Hanum yang waj
"Ada yang Bunu* diri!""Ada yang lompat di jembatan!""Ada yang jatuh!"Suara teriakan segerombolan remaja laki-laki itu menggema, mengguncang udara sore yang mulai gelap, suasana yang harusnya tenang kini menjadi gaduh. Warga yang mendengar langsung bergabung berlarian ke arah jembatan.Beberapa memekik ngeri, yang lain hanya terpaku dengan wajah tegang. Dari bawah jembatan, suara air sungai mengalir deras bertemu bebatuan menambah suasana mencekam.Teriakan warga cukup mengusik Utari yang sedang termenung di terasnya, hatinya patah setelah ditinggal kekasihnya menikah. Namun kegemparan ini mengalihkan perhatiannya."Ada yang lompat di jembatan!"Bu Ratna dan Pak Jamal --orang tua Utari, keluar dari rumah, menyambut teriakan warga yang menyebarkan kabar yang sangat tabu dengan wajah yang terkejut dan tidak percaya. Mereka bertiga saling menatap dan bertanya lewat pandangan mata."Bener enggak itu? Masa sih?" tanya Bu Ratna tidak percaya hal semengerikan itu terjadi di kampungnya.Pak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen