Vanda langsung memberikan sebuah amplop coklat, dan itu membuat Trisha membuka matanya lebar dengan senyuman yang memperlihatkan gigi.
“Dari penerbit?” tanyanya memastikan.
“Iya, dari siapa lagi?”
Trisha langsung memeluk amplop itu dengan ekspresi bahagia. Karena kebetulan dia sangat memerlukan uang untuk membayar uang sewa.
"Itu ... royalti terakhir dari penerbit," ucap sang editor.
Trisha yang mendengar kabar itu seketika berekspresi datar. “Terakhir? Kenapa? Penerbit nggak mau cetak lagi komik gue?” tanya Trisha yang masih tidak percaya dengan ucapan sahabatnya.
Wanita itu menggelengkan kepalanya. “Kepala editor tadi bilang kalau penerbit mau menerbitkan komik dari studio lain. Dan gue masih ada berita buruk buat lo. Mau dengar sekarang atau nanti?” tanya Vanda dengan nada berhati-hati.
“Masih ada berita buruk?” Wanita bertubuh sedikit gemuk itu kaget, dan melihat ke arah editornya.
Wanita itu mengangguk pelan dengan menggigit bibir bawahnya. Trisha menarik napas panjang dan menghembuskan dengan perlahan.
“Sekarang," pinta Trisha yang sudah siap mendengar kabar buruk dari editornya.
Vanda menganggukkan kepalanya, dia menatap lekat Trisha dengan senyum tipis. “Lo udah cek peringkat komik lo?”
Trisha mengangguk-anggukan kepala. “Peringkat delapan, kan?” tanyanya ragu.
Vanda sudah bisa menebak jawaban Trisha, karena dia yakin kalau hari ini wanita itu belum memeriksa kembali peringkat yang ada di platform.
“Kenapa diam? Gue salah? Jangan bilang …”
“Peringkat lo turun drastis. Komik lo ada di peringkat lima puluh, dan karena itu kepala editor marah. Dia menyuruh lo buat bikin komik baru dengan genre romansa,” jelas Vanda yang membuat Trisha melongo tidak percaya.
Membuat komik dengan genre romansa sangatlah sulit bagi Trisha yang selama hidupnya tidak pernah menjalin asmara. Ralat, dia pernah berpacaran sekali. Namun, berakhir menyedihkan.
“Komik baru? Gue nggak salah dengar, kan? Komik gue ada dua judul yang belum tamat, dan lo suruh gue buat bikin komik baru? Lo mau bikin kepala gue pecah?” tanya Trisha sembari memegang kepalanya.
“Bikin komik baru, dan dua komik lo itu harus hiatus.”
“Hah? Hiatus? Yang benar aja? Kalau—“
“Sha, dengerin gue! Apa lo nggak baca komentar di komik lo itu?” tanya Vanda yang membuat Trisha terdiam sejenak.
“Gue baca, pembaca banyak yang suka sama gambaran gue.”
Vanda menepuk keningnya sambil menghela nafas panjang. “Komentar buruknya nggak lo baca?”
“Harus banget dibaca?” tanya Trisha dengan ekspresi datar.
“Apa lo nggak dengar ucapan gue barusan? Perusahaan enggak akan tinggal diam di masa uji coba lo kali ini. Kalau karya selanjutnya gagal, selesai sudah, Sha. Lo akan dipecat dari studio ini. Perusahaan cuma kasih lo waktu dua minggu. Kalau dalam dua minggu lo enggak dapat prestasi, masa uji lo gagal,” jelas editor itu seraya memegang keningnya.
Trisha menghela nafas panjang. “Jadi maksud lo … gue dapet masa uji dua minggu untuk buat komik remaja?” tanya Trisha. Vanda menganggukkan kepalanya.
“Gue nggak akan membiarkan karier ini berakhir! Kebetulan gue tadi malem bikin outline.”
“Mana? Kasih lihat,” tanya Vanda.
Trisha mengambil ponselnya yang ada di saku celana, lalu memperlihatkan outline komik karyanya itu pada Vanda.
"Ini, kalau enggak salah ingat, lo pernah bilang kalau tokoh utama pria dan wanita itu selalu bersama, kan? Jadi gue udah buat mereka selalu bersama dari awal sampai akhir. Gimana? Keren, kan?” jelas Trisha dengan bersemangat.
Vanda mengambil alih ponsel Trisha. Saat dia membaca cuplikan awal komik itu, seketika raut wajah wanita itu berubah menjadi sangat datar saat membaca judul komiknya. ‘Ayo, saling membunuh!’
Vanda kembali memberikan ponsel pada Trisha dengan tersenyum paksa. “Saling membunuh, saling membunuh, lama-lama lo yang gue bunuh! Siapa yang mau baca kisah cinta yang mengerikan seperti ini? Setan? Pocong? Genderuwo?” tanya Vanda yang sudah sangat gemas dengan temannya itu.
Sang editor menghela nafas panjang sambil mengelus dadanya agar tetap sabar dan tidak emosi pada Trisha, lalu kembali melihat ke outline yang dibuat oleh sahabatnya.
“Terus, kenapa tokoh utama pria yang lo gambar selalu berotot?” tanyanya lagi yang membuat Trisha menyengir sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
“Maaf, gue enggak bisa menghilangkan imajinasi gue tentang otot pria. Lo nggak tau, kan? Otot itu wujud sempurna dari hormon. Lagian … otot pria sangat mudah digambar dan juga membuat wanita jadi tergila-gila,” jawabnya dengan terkekeh.
Vanda pun ikut terkekeh, lalu kembali memasang raut wajah datar. “Kirim ke gue, tapi gue enggak mau tau! Lo harus bikin kedua tokoh ini berpacaran! Oh, iya, satu lagi. Jangan buat alur ini ada adegan actionnya! Kenapa lo suka banget bikin cerita yang ada bertengkarnya? Karena ini genre romansa, jangan melenceng!” jelas Vanda yang membuat Trisha tertegun sejenak.
Trisha menautkan kedua alisnya dengan memajukan bibirnya ke depan. “Jadi gue nggak boleh bikin yang ada berantemnya atau ada bunuh-bunuhannya?” tanyanya yang membuat Vanda mengusap wajahnya kasar, lalu mencubit kedua pipi tembem sahabatnya dengan gemas.
Ia tidak peduli padanya yang merintih kesakitan dan memohon-mohon untuk melepaskan cubitannya itu, karena Vanda sudah benar-benar gemas pada temannya yang satu itu.
“Apa menghilangkan adegan berantem dan saling bunuh dari pikiran lo itu sulit? Kita ini lagi bersaing dengan studio lain. Dan gue harus membuktikan kalau gue adalah editor yang bisa membuat komik lo naik ke peringkat satu. Paham?” tanya Vanda seraya melepaskan cubitannya.
Trisha mengelus pipinya yang terasa sakit seraya menatap malas Vanda. Selalu saja pipinya menjadi korban. “Sakit, Vanda!”
“Gimana? Udah paham dengan maksud gue, kan?”
“Paham. Tapi … gue masih ada satu masalah yang sulit terpecahkan.”
“Apa? Katakan.”
“Gimana rasanya dikejar cowok? Karena gue sama sekali belum pernah dikejar cowok. Jangankan dikejar, dekat sama cowok aja nggak pernah. Lagian … siapa juga yang mau deket sama gue? Gue gemuk, gak cantik pula,” tutur Trisha dengan nada sedikit lirih dan memperhatikan tubuhnya yang gemuk itu.
Vanda yang mendengar perkataan Trisha terdiam sejenak sambil melihat Trisha. Dia tahu bahwa Trisha tidak mempunyai pengalaman romantis semasa dia sekolah dulu. Ia sendiri tidak percaya diri untuk dekat dengan lelaki mana pun karena mempunyai tubuh yang gemuk.
Terkadang ia iri pada wanita yang mempunyai tubuh ideal. Dia juga sudah melakukan berbagai macam cara untuk diet, tapi tetap saja gagal.
“Emm, tapi setidaknya lo pernah suka sama cowok, kan?” tanya Vanda dengan berhati-hati.
“Suka sama cowok? Pernah sekali, dan itu yang membuat gue nggak mau dekat dengan cowok mana pun. Gue juga udah lupa rasanya suka sama cowok,” jawab Trisha yang kemudian mengalihkan pandangannya.
Vanda menatap Trisha dengan tatapan tidak percaya. Apa yang selama ini ada di pikirannya itu cuma adegan bertengkar dan pembunuhan saja?
“Kalau kita suka sama cowok, jantung akan berdebar waktu dekat sama cowok itu.”
“Berdebar?”
Vanda menatap Trisha dengan tatapan tidak percaya. Apa yang selama ini ada di pikirannya itu cuma adegan bertengkar dan pembunuhan saja?“Kalau kita suka sama cowok, jantung akan berdebar waktu dekat sama cowok itu.”“Berdebar?”Vanda mengangguk. “Apa sejak dulu jantung lo nggak pernah berdebar kalau dekat sama cowok?"Trisha terlihat mengingat-ingat sembari menggigit bibir bawahnya. “Jantung berdebar … Oh! Gue inget, jantung gue selalu berdebar setiap gue lihat Ryo ada di televisi. Itu berarti gue … suka sama Ryo?” tanya Trisha dengan bersemangat.Lagi-lagi Vanda kembali menghela nafas sambil tersenyum paksa. Dia terlihat bingung bagaimana cara memberikan pengertian tentang rasa suka pada Trisha."Udah, jangan bahas itu. Lupakan saja! Gue ada referensi lain buat lo,” ucap sang editor yang membuatnya kembali menoleh.“Apa?”“Bentar.”Va
Belum juga ia membalas uluran tangan itu, dengan cepat sang lelaki menarik tangannya kembali.“Talinya,” ucapnya yang membuat Trisha mendadak canggung.“O-oh, talinya. Ini.” Trisha memberikan tali yang dia pegang pada sang lelaki dengan senyuman kikuk.Dia mengambil alih tali yang dipegang Trisha, lalu menggendong tubuh Shiro. “Apa lo harus gue gendong gini biar nggak lari lagi? Dasar merepotkan!” omelnya pada Shiro. Trisha menahan tawanya dengan merapatkan kedua bibirnya.“Ayo, pulang,” ujarnya pada Shiro. Namun, saat lelaki itu hendak melangkah, Shiro meronta meminta diturunkan dari gendongannya. Karena kekuatan Shiro lebih besar, lelaki itu kehilangan keseimbangan, dan tak sengaja sedikit mendorong tubuh Trisha.Bruk!Tubuh lelaki itu terjatuh tepat di atas badan Trisha yang sedikit lebar. Wanita yang tiba-tiba terjatuh itu pun hanya bisa merintih pelan karena kepalanya terkena batu pantai.
"Lo juga bisa gambar lelaki di cerita ini sangat tampan! Jadi … luka di siku lo …” ucapan Vanda terhenti dan melihat ke arah luka yang ada di siku Trisha. Bahkan gambar plester pada gambarnya itu sama persis dengan plester yang menempel di sikunya.Trisha tersenyum malu dengan menggigit bibir bawahnya, dan itu membuat Vanda semakin tersenyum lebar. “Jadi ini beneran kisah cinta yang nyata?” tanya Vanda yang hanya dijawab satu anggukan oleh Trisha.“Jadi, lelaki ini dan luka lo di siku …”“Semuanya nyata,” jawab Trisha dengan senyuman kikuk. “Se-selain itu … wajah aslinya jauh lebih tampan dibandingkan yang ada di gambar,” jelas Trisha dengan malu-malu.Vanda tersenyum lebar. Dia tak menyangka bahwa teman dekatnya itu akan mengalami hal ini, karena dia sangat tahu bahwa Trisha sering canggung saat bersama dengan orang lain. Vanda beranjak dari duduknya dan langsung merangkul Trisha.“Sha, sepertinya lo harus berusaha lebih mulai dari sekarang. Lo nggak b
“Ha? Orang itu tinggal di sini, kan? Bukan di Jepang ataupun China? Dia bukan tokoh beda dimensi, kan? Dan … dia belum mati, kan? Masih hidup? Bukan … Ryo, kan?” cecar Ran dengan rentetan pertanyaan.“Bukan, Ran. Dia benar-benar orang, dia masih hidup, dia bukan dari dimensi lain, dan tentu saja dia … bukan Ryo! Kenapa jadi bawa-bawa Ryo? Dia aktor, mana mungkin dia mau ketemu sama gue yang gemuk ini?”Ran menghela napas panjang menatap Trisha. “Kenapa sama cewek gemuk? Emang cewek gemuk bikin negara ini bangkrut? Enggak, kan?”“Pokoknya gue harus diet!”Ran terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya, karena kalimat seperti itu sudah ratusan kali diucapkan oleh Trisha.Mereka berdua pun saling berbincang membicarakan banyak hal. Mulai dari Trisha yang harus membuat komik genre romansa, bertemu dengan lelaki tampan yang kini menjadi tokoh utamanya, sampai pekerjaan Ran.Ia juga menceritakan masa sulitnya di kantor, bahkan Trisha terkejut saat me
Setelah memakan waktu dua jam, Trisha sudah ingat point penting informasi yang ada di data ini. Wanita itu meletakan ponsel di meja sambil menguap dan merenggangkan ototnya yang agak terasa kaku.“Namanya ribet banget. ya,” gumam Trisha saat kembali melihat biodata itu. Trisha mencoba untuk mengingat semuanya tanpa melihat ke layar ponsel. “Nama dia Severino, umur dua puluh empat. Dia alergi seafood, suka kopi, dia—“ Ucapan Trisha terhenti karena menguap dengan lebar sambil mengucek matanya.Dia melihat jam yang ada di layar ponsel. “Udah jam satu, waktunya tidur,” ucap wanita itu seraya bangkit dari duduknya, lalu melangkah menuju kamar untuk mengistirahatkan otaknya yang lelah.***Pagi pukul tujuh, Trisha membuka matanya perlahan karena mendengar ponselnya yang be
“Udah sampai?” tanya Trisha yang kembali melihat ke layar ponsel.“Lo masih mau lanjut main game? Kita udah—““Iya, iya, ini udah selesai, kok!” ucap Trisha menyela ucapan Vanda sambil memasukkan ponsel ke dalam tasnya.Vanda menarik napas panjang sambil tersenyum, lalu mengembuskan dengan perlahan. Mereka melepas sabuk pengaman dan keluar mobil bersamaan.Bola mata Trisha bergerak dari bawah sampai ke atas mengamati gedung besar yang ada di hadapannya. Dia tidak menyangka kalau tempat agensi aktor itu sebesar ini. Jantungnya mendadak berdegup kencang dan tak sabar bertemu dengan lelaki tampan yang pernah dia temui itu.Dia juga tidak menyangka kalau langkah kakinya akan menginjak ke dunia entertainment. Padahal, dia dulu sangat menentang untuk masuk ke dunia ini. Tapi, kini dia berubah pikiran. Dia merasa senang meskipun hanya menjadi asisten. Bukankah kalau dia diterima bisa bertemu dengan aktor tam
“Ayo masuk,” ucap wanita itu sembari masuk ke dalam ruangan, disusul oleh Vanda dan Trisha di belakang.Wanita itu mempersilakan mereka duduk dengan ramah. Trisha sangat kagum pada wanita yang ada di hadapannya itu. Dia terlihat sedikit lebih tua dari Vanda, tapi wajahnya terlihat sangat mulus. Badannya juga terjaga, sangat ideal.“Kamu Trisha?” tanya wanita itu melihat ke arah Trisha.Trisha tersenyum dan menganggukkan kepalanya canggung. Wanita itu juga ikut tersenyum dan langsung mengulurkan tangannya di hadapan Trisha“Selamat,” ucapnya yang membuat Trisha bingung dengan arti uluran tangan itu.Trisha menoleh ke Vanda seakan bertanya maksud wanita itu, sedangkan Vanda hanya menjawab dengan satu anggukan dan menyuruhnya untuk membalas uluran tangan itu. Trisha menggigit bibir bawahnya dengan membalas uluran tangan itu dengan ragu.“Saya Zhui Consina, kamu bisa panggil saya Kak Ina atau Kak Z
“Lo tuli? Gue udah usir lo, kenapa masih di sini?” tanya Sev pada Trisha. Lelaki itu melirik sekilas dengan lirikan mata tajamnya.Trisha masih bungkam dan takut salah dengan jawabannya, karena di situasi seperti ini, jawaban apa pun yang dia berikan akan tetap salah di mata Sev. Sedangkan, lelaki itu berdiri dari duduknya dengan tersenyum miring dan tertawa meremehkan. Zhui masih diam memperhatikan Sev.“Selain tuli, lo bisu?” tanya Sev yang membuat Trisha membuka matanya lebar.Kesabaran Trisha sudah menipis, dia tidak sanggup menghadapi lelaki menyebalkan itu. Trisha pun melangkahkan satu langkah untuk berdiri di samping Zhui, menatap Sev dengan tatapan malas.Trisha menghela napas panjang dengan menarik bibirnya membentuk senyuman paksa. “Gue tuli atau bisu, apa urusannya sama lo? Gue di sini mau kerja jadi asisten lo, bukan teman berantem!”“Lo … jadi gini sikap asisten sama majikannya, ha?!&rdq