LOGINGeral tidak tidur selama dua malam penuh. Setiap menitnya ia habiskan untuk mencari jejak Yunda. Semua cara sudah ia lakukan, semua koneksi sudah ia gerakkan, namun tetap tak ada hasil. Hanya meninggalkan sunyi dan luka yang kian menganga.Namun, Geral tidak menyerah. Dia akhirnya meminta bantuan seorang detektif swasta.“Temukan dia. Berapa pun biayanya,” ucapnya tanpa ragu.Beberapa hari kemudian, detektif itu kembali menemuinya, membawa secercah informasi yang cukup untuk membuat denyut nadi Geral melompat.“Yunda dan keluarganya sudah meninggalkan negara ini. Ada indikasi kuat mereka berada di Pattaya.”Geral sontak mengernyit, tapi dengan cepat ekspresinya berubah serius.“Anda yakin?”Lelaki itu mengangguk, “Tapi saya tidak bisa menjamin dia akan menetap lama di sana. Jika Anda ingin menemuinya, sebaiknya segera berangkat sebelum kita kembali kehilangan jejak.”Tanpa berpikir panjang, Geral langsung memesan penerbangan hari itu juga. Di ujung dunia mana pun akan ia sambangi demi
“Yunda!”Tubuh Yunda sontak menegang ketika mendengar namanya diserukan. Saat ia menoleh, tampak Wira berlarian menghampirinya.“Apa ini? Kau mau ke mana?” cecar lelaki itu. Matanya menyapu tajam barisan koper yang menunggu dimasukkan ke bagasi sebuah mobil travel.Yunda tidak segera menjawab. Dia menatap ibu dan adik-adiknya bergantian sebelum meminta waktu untuk berbicara sebentar dengan Wira. Setelah itu, ia mengikuti Wira masuk ke mobilnya.Begitu pintu tertutup, Wira langsung menghujani dengan pertanyaan.“Apa yang terjadi, Yunda? Surat pengunduran dirimu belum selesai diproses, kenapa kau tidak datang ke kantor? Dan barang-barang itu… kau mau pergi ke mana?”Beberapa detik hanya diisi keheningan. Yunda meremas jemarinya sebelum berbisik.“Aku harus pergi, Wira.”“Pergi ke mana?”“Ke mana pun, asalkan Geral tidak bisa menemukanku.”Wira menggeleng keras, “Yunda, jangan begini. Kau tahu Geral tidak akan bisa hidup tanpamu. Aku pun tidak ingin kau pergi. Kita bisa cari jalan keluar
Seperti biasa, kedatangan Geral disambut beberapa staf di pintu lobi. Satu-satunya yang berbeda pagi itu hanyalah ketiadaan sosok Yunda di antara mereka, sang sekretaris. Geral menahan diri untuk tidak mengerutkan dahi.Yunda memang belum resmi keluar dari perusahaan, tapi jarak di antara mereka sudah terasa begitu jauh.“Hari ini, Bapak ada rapat dengan jajaran direksi, lalu setelah itu ada pertemuan dengan pihak manajemen La Viera Boutique. Siang nanti Bapak dijadwalkan makan siang dengan calon investor dari Singapura di Elysion Palace. Dan sorenya, Bapak ada tinjauan proyek renovasi di lantai delapan,” ujar seorang staf wanita yang untuk sementara menggantikan posisi Yunda.Geral hanya mengangguk tanpa ekspresi. Begitu sampai di lantai eksekutif, matanya langsung tertuju ke meja resepsionis di depan ruangannya.Kosong.“Apa Yunda belum datang?” tanyanya datar.“Sepertinya belum, Pak,” jawab staf itu hati-hati.Geral melirik jam di pergelangan tangannya. Yunda seharusnya sudah berad
Langit berwarna jingga pucat ketika taksi yang ditumpangi Yunda dari stasiun berhenti di depan rumah ibunya. Begitu menjejak tanah, langkahnya terasa goyah. Tidak pernah terbayangkan olehnya bahwa ia akan pulang dalam keadaan sehancur ini.Sambil menyeret koper, ia melintasi halaman rumah yang sunyi. Begitu sampai di depan pintu, aroma masakan segera menyapa penciumannya.“Ibu, aku datang…” ucapnya lirih.Tak berselang lama, ibunya muncul dari balik gorden krem yang menjadi pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah.“Yunda? Tumben kamu pulang tidak mengabari dulu, Nak,” sambut sang ibu keheranan meski senyum penuh kehangatan tetap menghias wajahnya.Melihat wajahnya ibunya, pertahanan Yunda seketika runtuh. Dia berlari kecil, langsung menghambur ke pelukan yang selalu menjadi tempatnya pulang.“Ibu…” rintihnya.Sang ibu sontak memeluk erat tubuh Yunda yang gemetar.“Astaga, Yunda… ada apa, Nak?”Tapi Yunda hanya menangis. Tangisnya pecah seperti anak kecil. Untuk pertama kalinya set
Yunda menarik napas panjang, menahan debaran jantungnya yang tak beraturan. Jemarinya meremas amplop dalam dekapan, seolah mencari keberanian yang hampir luruh. Setelah beberapa detik terdiam, ia akhirnya menerjang segala keraguan yang membelenggu.Diketuknya pintu kayu mahoni yang menjulang tinggi di hadapannya. Tak lama, pintu itu terbuka, menampilkan seorang lelaki berseragam hitam dengan tubuh tinggi tegap.“Apakah saya boleh menemui Tuan Komisaris?” tanyanya sopan.“Silakan, beliau sudah menunggu Anda.”Yunda melangkah masuk, mengikuti lelaki itu menyusuri ruangan yang dikelilingi rak-rak buku tinggi hingga akhirnya berhenti di depan meja besar. Di balik meja, duduk seorang lelaki paruh baya yang tengah membaca sebuah buku.Begitu menyadari kehadirannya, lelaki itu mengangkat pandangan, menatap Yunda di balik kacamatanya sambil tersenyum tipis. Dengan agak kesusahan, ia bangkit dan mempersilakan Yunda duduk di sofa.Lelaki berseragam tadi membantu sang komisaris berjalan ke sofa,
“Terima kasih sudah menemaniku.”Rosa memecah keheningan yang menyelimuti mobil sejak tadi.“Aku tidak akan memaksamu untuk hal lain setelah ini,” tambahnya pelan.Geral hanya mengangguk tanpa menoleh. Pandangannya terpaku pada jalan.Detik demi detik berlalu. Udara dalam kabin kian terasa berat bagi Rosa. Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang ibu selain mendengar detak jantung bayinya dan tahu bahwa janin di dalam kandungannya tumbuh dengan baik. Namun, kenyataan bahwa ia akan segera berpisah dengan Geral—ayah dari bayinya, lelaki yang ia cintai—terus menyayat hatinya.“Soal perceraian kita,” ujarnya lirih, “kau saja yang urus semuanya di pengadilan. Aku akan mengutus pengacaraku. Sekarang, aku hanya ingin fokus dengan kehamilanku.”Lagi-lagi, Geral hanya mengangguk.“Aku juga sudah mengemas barang-barangku,” lanjut Rosa. “Besok, aku berencana kembali ke apartemen.”Geral menoleh sejenak sebelum kembali fokus pada kemudi, “Soal itu, biar aku yang putuskan. Aku akan bicara d







