"Pulang kkn kok cemberut sih kak. Kenapa? Tugasnya susah?" Ibu bertanya yang membuatku tersadarkan dari lamunan. Dengan mulut masih menguyah lauk, tak urung tangan mengaduk-ngaduk nasi sedari 5 menit yang lalu, aku menggeleng dengan senyum tipis."Bukan karena kkn Bu, Si kakak ribut lagi ini sama Kak Orick." mulutku yang semula tersenyum berubah menjadi garis tajam yang menukik ke atas. Leherku refleks berputar ke arah Erin. Dan tidak takutnya, adikku itu justru mengangkat dua alisnya seolah berkata--emang gue salah?"Ribut kenapa lagi kak?""Nggak, dia sok tahu." Aku kekeuh menggeleng dengan tampang datar. Kembali menyuap makan tapi mataku mengintai Erin agar tidak macam-macam."Aku tahu lah, orang Kak Orick sendiri yang ngechat nanyain keadaan kakak. Aku jawab aja lagi uring-uringan di kamar."MasyaAllah...Berubah lagi senyumku menjadi lebih manis, lebih lebar, dan lebih terpaksa. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi menyikapi kelakuan Erin. Jika hubungan ini tak ku-perbaiki dan tak
Tapi detik itu, saat aku mencoba untuk membenarkan posisi napas, tawa Orick malah membuncah dengan suara menyebalkan. Akhirnya, aku menelan bulat-bulat kesabaranku."Ngapain ketawa? Ada yang lucu?" dua mataku meruncing dengan sendirinya."Kamu.""Aku nggak ngelucu." Aku masih menjaga gestur tubuhku. Tegap dengan dua tangan terlipat di dada. Menunggu dia menyelesaikan tawanya, dan saat tangannya tergerakan ke atas kepalaku, lebih dulu ku-tepis sebelum rambutku diacak-acak."Kamu kalau lagi marah-marah lucu banget sih Nar." ada ya orang yang senang dimarahi. Lucu darimananya coba? Padahal wajahku sudah mirip singa begini.Dan isengnya Orick, dia kerap kali menertawakanku jika sedang marah-marah begini. Tidak seperti orang-orang yang jika marah itu dipeluk, dicium, boro-boro pret. Dia justru mengejekku dengan sifat watadosnya. Contohnya kala ini, dia berhasil menggoyang-goyangkan pipiku."Ya aku datang kesini tuh ingin menegaskan kalau aku dan Clara itu cuman temen. Dia ke rumahku tuh kar
Aku melihat bagaimana rembulan bersinar disaat langit menggumpal hitam. Seandainya ku-umpamakan adalah malam, Orick bukanlah bintang ataupun hamparan gelap itu.Jika aku pagi, maka dia adalah senja. Jika aku dingin, maka dia adalah panas. Jika aku angin, maka dia adalah cahaya. Jika aku musim, maka dia adalah waktu. Yakni jika aku malam, dia adalah siang. Kami tidak berjalan dalam detik yang serupa. Namun kami berjalan dalam arah yang saling berhubungan. Jika tanpa malam siang takkan hadir, begitu pula sebaliknya. Jika bukan aku yang bersamanya, maka aku tidak akan berdiri di tanah ini. Tidak akan ada skenario yang bahagia layaknya kehidupan yang abadi.Kalau bukan dia, mungkin aku takkan memiliki alasan untuk bertahan. Kalau bukan dia, mungkin takkan ku-lakukan sekelumit naskah memilukan ini. Kalau bukan Orick, mungkin tak kubangun afirmasi serta afeksi yang saling menyokong untuk aku hidup. Apa yang salah dari mencintai terlalu dalam? Siapa yang merasakan ini? Hanya aku, bukan orang
"Nanti, kalau kamu ambil S2 bakal sekalian kerja dulu nggak? Apa mau fokus lagi kelulusan?" topik berubah. Dia bertanya hal lain dengan sebelah tangan melilit di ujung rambutku.Atmosfer semakin hening. Jeda kendaraan semakin malam semakin lengang. Angin yang berhembus semakin dingin selayaknya arah jarum jam berlalu. Aku tidak tahu pasnya pukul berapa, tapi yakin ini sudah lewat tengah malam. Dalam keheningan ini, aku tersenyum tipis memandang langit tanpa bintang jauh di seberang."Opsi pertama sepertinya.""Wah keren, nanti aku kerja kamupun begitu. Kita nabung sama-sama ya buat biaya nikah?""Heh!" Aku refleks menyentil mulutnya. "Makin malem makin sompral itu mul---awh!" sialannya, dia membalas dengan menarik ujung rambutku."Kamu nggak mau nikah sama aku? Cukup tahu aja sih." suaranya yang berubah menjadi datar. Ceritanya merajuk, namun tangannya tetap gatal memainkan rambutku. Dasar bocah."Kamu sadar nggak kamu bilang apa?" ujarku sedikit bersungut. Sebal dengan dia yang mudah
Dahulu, sebelum aku memutuskan untuk membuka jati diriku, aku pernah rasakan sepinya dunia dan lelahnya menelan segala kerapuhan sendiri. Padahal ku-tahu jika manusia diciptakan menjadi makhluk yang tak sempurna agar terlaksananya kerja-sama dan saling bergandengan. Manusia mana yang bisa hidup sendiri? Hanya pikiranku kala itu yang bisa berdiri sejauh itu.Aku yang selalu memberi tekanan tersendiri untuk berdiri dengan kedua kakiku alih-alih menopang pada yang lain. Aku yang selalu menerapkan sistem, bahwa telinga membuka lebih baik ketimbang mulut bergerak. Aku yang selalu memantapkan diri untuk berlaku sempurna di hadapan banyak orang, tanpa kekurangan yang bisa keluar dari celahku. Aku yang selalu memperingati diri agar tidak berlaku lemah di hadapan yang lain. Hanya aku dan malam yang tahu bagaimana rumitnya menjalani kehidupan dengan bermacam-macam topeng.Baik-baik saja? Oh ya, tentu. Aku selalu mengumumkan pada semua orang bahwa hidupku baik-baik saja. Maka tidak aneh ketika b
Seperti jambret yang tugasnya melanglang barang berharga milik orang lain, Kamala benar-benar membuatku harus mengikuti kemana langkahnya pergi. Aku tidak akan menyebutkan nama kafenya, tapi yang jelas berada di pinggiran jalan. Tidak terlalu jauh dari kampus, cukup 15 menit kami mengendarai mobil tanpa kemacetan sebab ini masih pukul 3 belum turun ke angka 5 petang hari.Dia yang memaksaku untuk mengasingkan diri dari Orick. Dia yang bertekad untuk menenangkanku, pada akhirnya malah aku yang menyenangkannya dengan pesanan makanan bertumpuk di atas meja. Oknumnya sibuk bagai juri master chef yang mengicip ini dan itu. Sementara aku adalah peserta lomba yang memasang wajah lelah."Lo nggak dikasih makan ama bapak lo berapa tahun?""Bismillah dulu lo kalau ngomong!" Dia berdecak dengan mata monolid menyipit padaku. Hal spele begitu yang tadinya ingin kuseriusi, berakhir membuatku tergelak. Ah sial, repotnya memiliki jiwa receh.Sekarang, aku malah memberisiki lingkungan kafe yang sedang
Gadis tomboy yang kelakuannya humoris itu tidak disangka-sangka bisa jatuh hati pada seorang lelaki dingin macam Abi. Jika kuingat bagaimana gemasnya tingkah Kamala, dia banyak bergaul dengan kaum adam alih-alih hawa. Belum lagi sifat magerannya yang membuatku takjub, bagaimana bisa dia menjalin hubungan jarak jauh? Sedangkan dia bukan perempuan yang neko-neko."Nggak anjir, gue cuman nanya doang barusan! Elah, males amat galau-galauan!" justru dengan dia berkilah, aku semakin puas menertawainya."Kak, please deh. Ketimbang gue seneng punya cowok kayak Abi----""Cieeeeee, ulululu bucin banget sih La!" potongku. Dia terlihat menghela napasnya dalam-dalam, bahkan matanya yang jengah seperti ingin memarahiku. Tapi aku bertaruh, dia tidak akan seberani itu."Nyebelin banget sih kak, padahal gue lagi seneng karena keadaan rumah."Aku tertegun sebentar. Tawaku lagi-lagi melempem, dan bola mataku melebar kurang percaya. Aku tidak salah dengar, dia senang karena keadaan rumah?"Keadaan rumah?
Langit berubah mendung sejak kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Sekitar saat maghrib selesai, aku dan Kamala langsung sepakat berpisah sebab masih ada urusan yang harus kami urus. Bukan apa-apa, dia yang memiliki tugas, aku jua memiliki penyelesaian akhir alias skripsian yang harus ku-urus buru-buru.Datang ke pekarangan rumah, ketika aku memasukan mobil ke depan garasi, terpantau bapak seperti biasa nangkring di depan teras bagai satpam. Dengan koran yang menutupi wajahnya, secangkir kopi tergolek di sisi meja, lantas lampu teras dan taman sudah berjajar menyala. Pemandangan ini bisa disebut sebuah hal wajib. Makanya jika sekali-kali bapak tak nampak di sana, aku selalu merasa aneh.Suara pintu yang kubanting cukup mengalihkan atensinya hingga empat mata itu menoleh ke arahku. Bila bapak lelah memulai sebagai yang pertama, aku yang akan memberikannya senyum sebagai pembuka. Kadang kala jika kuingat bagaimana pandanganku dahulu terhadap keluarga, selalu membuatku sed