It was five years ago when Andrew's friends died. Two of them were his teammates in volleyball and one of them was his boyfriend. All of them were said to be killed by his best friend, Allen. The tragedy almost caused him to take his own life. But just like the rainbow that appears after a rain, Andrew was able to get back on his feet and tried to live as normal as possible. It was then when he met Karl, a handsome and a tall looking man with a cold demeanor. For Karl, Andrew was his sun no matter what his past is. Andrew was the person who changed him, a person he had promised he wouldn't leave. But there will always be darkness after the sun shines. For they thought they could finally be happy, a person from the dark past came back. Will Andrew be able to find happiness? or will the past pull Andrew back to how he was? For updates follow me on my Facebook page: @lawlietwrites
View MoreBab 1
Menjemput Ibu Mertua"Lama banget sih kamu dateng ngejemput, Ibu udah nunggu satu jam di sini!" Itu adalah kata pertama yang keluar dari bibir ibu mertua, saat aku menjemputnya di terminal. "Maafkan aku, Bu. Jalanan macet tadi," ujarku hendak menyalaminya. Namun bukannya berhasil, tanganku segera ditepis kasar olehnya."Nggak usah banyak alesan. Siang hari gini biasanya jalanan sedikit lengang, kamu pikir Ibu nggak tahu apa! Yang macet itu pagi dan sore hari, saat orang-orang pergi dan pulang kantor!!" ketusnya dengan pandangan tajam. Sabar…."Iya, Bu. Ayo kita pulang," ajakku pada Ibu. Beliau berjalan lebih dahulu sambil menunjuk ke arah belakang. "Tuh, bawain barang-barang Ibu!"Satu dus besar, satu tas besar ditambah tas lain yang entah apa isinya, segera kuangkat meskipun kesulitan membawanya, dikarenakan tubuhku yang mungil ini. Entah apa yang ibu bawa namun beliau tidak berinisiatif untuk meringankan pekerjaanku. Minimal bawa tas yang paling kecil, kek. Ugh, aku malah ngarep."Di mana mobilnya? Katanya kalian udah beli mobil, ya?" Sambil tersenyum paksa aku menyimpan barang-barang ibu di belakang mobil bak terbuka. Orang-orang biasa menyebutnya kol buntung."Iya Bu, ini mobilnya. Ayo kita pergi," ajakku. Namun bukannya senang, wanita itu malah melotot dan hampir saja melayangkan tangannya ke bahuku. Aku meringis melihat kelakuan ibu mertua. Beliau memang tidak pernah bersikap baik padaku. Dua tahun pernikahan kami selalu diwarnai dengan omelan-omelan yang keluar dari bibir merahnya itu. "Ya ampun Dina, beneran kamu beli mobil ini?" tanya ibu seperti tidak percaya. Aku mengangguk sambil membuka pintu agar ibu bisa masuk. "Kok bisa-bisanya kamu beli mobil macam begini. Ibu kira semacam Avanza, Innova, Xpander, atau setidaknya paling butut itu ya, kijang. Tapi ini, malam-maluin aja kamu!!" "Memangnya kenapa harus malu, Bu? Toh ini dibeli dengan lunas. Nggak nyicil. Lagi pula kami membeli mobil ini untuk usaha, bukan untuk pamer atau sebagainya." Mobil ini memang biasa dipakai untuk belanja sayur-sayuran kalau dini hari. Cukup meringan makan ongkos dan waktu. Namun sepertinya bukan itu yang ada dalam pikiran Ibu."Udah, nggak usah banyak bicara. Ayo pergi, Ibu nggak kuat terus-terusan berdiri di cuaca terik begini. Nanti kulit Ibu kebakar lagi."Aku diam saja sambil menyalakan mobil dan melaju membelah jalanan.Aku Sandrina, 22 tahun, menikah dengan Mas Akbar yang usianya sudah 28 tahun. Dulu kami tinggal di desa bersama dengan ibu, namun hanya kuat 3 bulan, sebelum akhirnya aku mengajak Mas Akbar untuk merantau ke kota besar. Hidup di kontrakan dengan pekerjaan serabutan sudah kami lakoni. Kami bahkan tidak pernah berkeluh kesah atau putus asa. Kami tetap berjuang bersama agar dapur bisa ngebul. Maklum di kota yang notabene tak kenal siapa-siapa, membuat kami harus mandiri dan nggak gengsi.Saat itulah kuputuskan untuk berdagang sayuran, mengingat Mas Akbar juga kerja menjadi kuli panggul di pasar, sambil memasukkan beberapa lamaran ke perusahaan besar. Kami hidup dari menjual sayuran yang ternyata untungnya berkali-kali lipat. Beruntung setelah kerja nggak jelas, Mas Akbar diterima kerja di perusahaan besar. Meskipun sampai sekarang masih menjadi karyawan biasa yang gajinya di bawah 5 juta, aku tetap bersyukur. Sekarang sudah 8 bulan dia bekerja.Sayuran adalah alternatif pertama yang dicari oleh ibu-ibu yang pasti membutuhkannya untuk sehari-hari. Dari usaha itu juga akan mampu membeli rumah dan juga mobil ini meskipun bekas. Dan setelah 2 tahun kami berumah tangga, Ibu baru kali ini datang ke rumahku. Dulu pernah satu kali datang waktu kami masih tinggal di kontrakan, namun baru beberapa jam tinggal, ibu memutuskan untuk pergi lagi ke rumah anak pertamanya, yang masih satu kota denganku."Rumah jelek, sempit, mirip kandang ayam. Cuihhh!!" Aku masih ingat perkataan Ibu waktu itu. Ibu bahkan meludah dan kena ke kakiku.Astaghfirullah … saat itu aku hanya bisa beristigfar menyaksikan hinaan ibu di depan mataku yang memanas karena sakit hati. Wajar saja waktu itu ibu nggak betah. Ruangan tiga kali tujuh itu ditinggali olehku dan suami. Lalu datanglah ibu, makin nambah sesak."Nggak turun di kompleks besar gitu? Kok berhenti di sini? Bukannya kalian beli rumah jadi?!""Ayo turun, Bu. Di sini memang rumah kami." Kuabaikan perkataannya. Memangnya rumahku di kawasan pasar penduduk. Yang mungkin tak sebesar perkiraan ibu."Yang mana rumahmu? Ibu udah nggak kuat, panas. Ugh, kota besar, panasnya minta ampun." Dia turun dari mobil sambil mencebik. Ibu lalu berdiri di halaman rumah orang. Sementara aku mematikan mesin dan menurunkan barang-barang Ibu, lalu berjalan begitu saja meninggalkan wanita itu yang memasang wajah masam."Yang ini rumah kami, Bu. Selamat datang di rumah." Ya, meski nggak sebagus rumah orang atau rumahnya Mbak Mika, tapi di sinilah kami hidup tenang," ujarku sambil membuka pintu utama. Wanita itu pun masuk dan memindai sekeliling."Rumah jelek, kecil, nggak sesuai ekspektasi. Akbar bilang kalian membeli rumah yang cukup nyaman untuk kalian tinggali berdua. Rupanya cuma rumah seperti ini. Rumah petak. Ini nggak seluas rumah ibu di desa!""Alhamdulillah aja, Bu." Kutinggalkan wanita itu dan pergi ke dapur. Makin lama perkataan ibu makin pedas saja seperti boncabe level 500. Sementara Ibu mondar-mandir ke setiap ruangan untuk memeriksa perabotan atau apalah, aku memilih menyiapkan air minum untuknya.Dulu kami memang membeli rumah ini secara kontan. Itu pun dalam kondisi rumah yang sedikit memprihatinkan. Memang tidak bagus dan tidak juga besar. Hanya ada dua kamar, ruang tengah dan ruang tamu, dapur dan dua kamar mandi. Tapi ada sisa tanah di halaman belakang dan samping. Yang bisa dibangun lagi jika ada rejekinya. Tapi setidaknya kami nyaman tinggal di rumah sendiri, daripada harus ngontrak rumah yang biaya perbulannya di atas tujuh ratus ribu. Toh di tempat ini juga usahaku berjalan. Di samping rumah aku membuat warung untuk menjual aneka sayuran. Biasanya aku berjualan pukul lima subuh sampai pukul sembilan pagi, sudah habis. Antusias warga dalam membutuhkan sayur-mayur yang segar, membuatku jarang membuka warung sampai siang atau sore."Minum dulu, Bu. Biar segar badannya. Nanti aku akan menyiapkan makan siang untuk ibu.""Teh manis apa teh pahit?" tanya ibu dengan ketus."Teh agak manis, seperti biasa." Dia mengambil gelas itu dan menyeruputnya sedikit. Beberapa detik kemudian, wanita itu menyemburkannya hingga membasahi meja dan bajunya."Ahhh, panas!!!""Bu, ibu nggak apa-apa?" tanyaku khawatir. Lekas kuambil tisu dan berniat untuk mengelap bajunya, namun lagi-lagi tanganku di tepisnya kasar."Itu hangat, Bu. Nggak panas," ujarku dengan perasaan bersalah. Aku takut lidah ibu terbakar. Namun aku merasa tidak berbuat kesalahan di sini. Mana mungkin aku berbuat zalim kepada mertuaku sendiri."Ya ampun, Dina!! Kamu mau membunuh ibu, ya? Udah mah teh manis panas, pahit lagi!! Dasar nggak becus melayani mertua!! Mantu nggak berguna!!" sentak Ibu sambil menghantamkan gelas itu di atas meja. Aku memejamkan mata sekilas. Sedangkan tangan mengusap keningku yang terasa berat."Bu, nggak usah ngomong gitu bisa nggak, sih?!""Mau ngebela apalagi kamu, hah?! Dasar kurang aj*r kamu, ya!! Gobl*k!!" tunjuknya di depan hidungku."Biasanya Ibu suka teh manis panas, bukan?" Ya, aku tahu kebiasaan itu ketika kami masih tinggal satu rumah di desa. Ibu biasa menyeruputnya panas-panas. Entahlah di sini dia hendak mencari gara-gara, atau bukan. Aku tidak tahu. Yang jelas baru beberapa menit saja bertamu, sudah berhasil membuatmu moodku rusak."Itu kan di desa. Beda! Di sana iklimnya itu dingin, makanya ibu harus minum air panas biar nggak masuk angin. Sedangkan di sini, cuaca panas panas begini masa' disuguhin air panas. Gimana sih? Apa nggak ada kulkas atau apa kek, buat dinginin minuman?!" Ibu melotot dengan suara tinggi. Aku yakin jika ada tetangga yang dengar, bisa berabe jadinya. Apalagi di lingkungan ini hampir semuanya tukang gosip."Itu hangat, Bu. Ya Allah …." Hatiku nyeri sekali dituduh yang macam-macam oleh ibu. Padahal kupikir beliau sudah berubah saat menghubungi ponsel Mas Akbar dan mengabarkan akan berkunjung. Rupanya pikiranku yang salah. Sikap ibu sama saja."Diem kamu! Nggak usah ngeles diri terus!! Lagian ya, rumah kamu sama rumahnya si Mika itu beda. Di sana semuanya lengkap bahkan Ibu tidak usah repot-repot kepanasan dan berkeringat. Minum apa aja udah tersedia di kulkas. Mau dingin, biasa, nggak masalah. Lah kamu ….!" Wanita itu mulai mengeluarkan kipas dari dalam tasnya, kemudian mengipasi wajahnya yang memerah, entah karena kepanasan atau karena memang karena marah padaku.Sementara aku memilih kembali ke dapur sambil membawa gelas dengan perasaan dongkol.Kuharap Ibu tidak lama-lama tinggal di sini jika hanya akan membuatku stress."Dina!! Dina!!" Suara Ibu mertua yang cempreng terdengar di telingaku. Aku yang tengah mengisi gelas ibu dengan air hangat segera berlari ke tengah rumah.The ball was tossed in the air. The man stared at the ball as it rolled itself in the air. He then stretched his arms to grab the ball that was about to fall on him.“Mr. Andrew Sy.”He grabbed the ball as he heard a woman’s voice outside his room. He slowly sat up from the bed and stared at the door. From there, he could see the woman’s head on the other side through a rectangular glass attached to the door.“You have a visitor,” the woman muttered.He stood up from the bed and walked to the door. The door opened and a woman wearing a police uniform entered the room. He then stretched his arms forward, placing his hands together as if it was a normal thing for him to do.“He’s loyal,” the woman commented as she clutched Andrew’s wrists in the handcuffs.
Present…On the bench, beside the river overlooking a bridge, there was a man with a blonde hair sitting on it. The place was familiar to Karl, as this was the place where Sam died. Hindi nya nais magtungo sa lugar na ito dahil ayaw niyang maalala ang masakit na kinahantungan ni Sam. Pero wala siyang magagawa kung hindi ang magtungo dito at makipagkita sa puno’t dulo ng lahat.Karl slowly approached the man, thinking about a hundred ways to make him feel the same pain he incurred to Andrew, to Andrew’s friends, and their vice-captain.He felt like his vision was getting blurry with every step he took. But as he got nearer to him, he saw a man gazing at the river with eyes as if he was in pain as much as he did, or even worse than that.The man noticed him and stared at Karl anxiously. “Ka
Nag-aagaw na ang dilim at liwanag sa langit ng lumabas si Allen sa school. Papauwi na sana ito ng may marinig siyang pagtawag sa pangalan niya.“Mr. Allen Sanchez?”Napatigil si Allen sa paglalakad at agad na napalingon. Sakto naman ang paglapit sakanya ng isang lalaki. Naka white shirt ito at jeans na natatakpan ng isang mahabang brown coat. Mukha itong nasa in early thirties sa unang impression ni Allen sakanya.“Yes po?” pagtatanong ni Allen dito.Agad naman syang pinakitaan ng ID ng lalaki. Napatingin naman si Allen dito at nalamang isa syang detective.“I’m Detective Kevin Tan and I would like to ask you a few questions,” panimula ng lalaki.“A-About what?” Pagtatakang tanong ni Allen.“Let’s g
"Nakita mo iyon, Emman? Na hit ko sya, na hit ko!!!!!" masayang sigaw ni Lev tsaka na tumakbo papunta kay Emman at binuhat ito na tila si Emman ang pinaka magaang nabuhat nya sa buong buhay nya.Kahit na hindi malaki ang kanyang pangangatawan ay nakaka-angat naman ito sa tangkad. Si Lev ang pinakamatangkad sakanilang team at sa tangkad nito ay kaya nyang makablock ng bola na parang isang malaking pader. At hindi ito maganda para kay Emman na ngayon ay lulang-lula sa posisyon nya."Hey! Ibaba mo ko!!" pagbulalas ni Emman habang pilit na pumipiglas mula kay Lev. Marahil ay wala na syang natitirang lakas kaya mukhang hindi bothered si Lev sa pagpupumiglas niya."WAAAAAAHHHHHHHHH!!!!" masayang sigaw pa ni Lev habang inikot ikot nito si Emman sa ere.Sumuko na lamang si Emman at napangisi. Ilang linggo na silang nagpapractice ni Lev at maraming times na din na parang gusto nya ng suku
"You’ll be alright. Just pay a visit then leave," Emman assured as he hugged Andrew na yumakap din naman sakanya pabalik.It was Andrew’s mother's death anniversary. Never itong bumisita sa lahat ng death anniversaries ng ina nya but Emman encouraged him to do so. "She was still your mother no matter what she did," Emman had once told him.Three years ng magkasintahan ang dalawa. Kilalang kilala na ni Emman si Andrew pati na din ang nakaraan nito. Emman knows everything about what happened to Andrew’s mother and even what his father did. Kahit yung mga panahon na nawala sa sarili si Andrew ay inamin din nya kay Emman. Andrew told him everything. Wala itong nilihim sakanya at maluwang itong tinanggap lahat ni Emman. Alam nito kung gaano kahirap kay Andrew na harapin ang ama nito or even visit his late mom whom he hated for leaving them. But for Emman, it is better than having no parents at all. And also, he thought, Andrew can never mov
Siguro ay nadala lamang si Emman or marahil ay sa unang pagkakataon ay may pumansin sakanya kaya nya nasabi ang bagay na iyon kay Andrew. Ang totoo ay hindi nya lubos maisip at di pa rin ito makapaniwala sa sinabi nya. Ang alam nya lang ay nahihiya syang humarap muli o magpakita kay Andrew na sya namang tila nagkaroon ng maraming lakas ng loob. Mula ng araw na iyon ay palaging hinihintay ni Andew si Emman pagkatapos ng practice. Naging busy na din kasi sa school si Allen kaya hindi na nya nasusundo si Andrew. Nagtataka na nga ang kanilang mga teammates kung kailan at sa kung paanong paraan naging close ang dalawa. Although hindi naman lingid sa kaalaman nila na kayang makipag-kaibigan ni Andrew sa lahat pero hindi sila makapaniwala na kahit si Emman ay kaya nitong paamuin. Well, hindi naman sila nag-iisa dahil kahit si Emman ay nagtataka din sakanyang sarili kung bakit sya sumasama dito. Noong unang hinintay sya ni Andrew ay sinabihan lamang sya nito ng,
Comments