Share

ISTRI BAYANGAN TUAN CEO
ISTRI BAYANGAN TUAN CEO
Penulis: Ova Bakri

MENIKAH DENGAN SEPUPU

Lantunan sholawat masih berkumandang di ruangan luas ini. Aku diapit oleh Mama dan Mbak Viona menuju sebuah meja di bawah pelaminan. Kursi futura dibalut kain berwarna gading dan dihias dengan aneka bunga. Kemudian, aku duduk di samping Bang Habib, calon mempelai laki-laki.

Aku menatap Bang Habib lewat ekor mata. Masih merasa sungkan jika harus menatap langsung manik berwarna coklat madu itu. Sebentar lagi status kami akan berubah, dari saudara sepupu menjadi pasangan suami istri.

Di hadapanku, Papa duduk dengan gagahnya. Tangan yang sudah mulai keriput itu terulur dan disambut oleh Bang Habib. Mereka mengikuti instruksi dari penghulu.

"Saya terima nikah dan kawinnya Kanaya Arfah dengan ...."

Ucapan Bang Habib terhenti saat Bang Ridwan menepuk pundaknya cukup kencang. Sekali lagi dia salah menyebut nama mempelai wanita.

"Rara, Bib. Bukan Naya," bisik Bang Ridwan, tapi dapat aku dengar dengan jelas.

Bang Habib mengusap wajah kasar, setelah menyadari situasi yang terjadi saat ini. Naya. Satu nama yang tetap melekat di hati dan pikiran laki-laki bergelar calon suamiku itu.

"Minum dulu, Nak! Setelah ini ulangi ijab Kabulnya. Kasihan penghulu yang dari tadi menunggu," ucap Bude sambil memberikan gelas berisi air mineral pada Bang Habib.

Dia meneguk air tersebut hingga habis tak bersisa. Setelah lebih tenang, Bang Habib kembali menjabat tangan Papa. Tatapan matanya lurus ke depan, tanpa menoleh sedikit pun padaku.

Dengan suara bergetar, dia kembali mengucapkan ijab kabul untuk yang kedua kalinya. Tentu saja dengan mempelai wanita yang berbeda.

"Saya terima nikah dan kawinnya Rara Audy Sanjaya binti Johan Sanjaya, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Akhirnya kalimat itu lolos juga, setelah beberapa kali salah menyebutkan namaku sebagai mempelai wanita.

Ucapan hamdalah berdengung bak lebah di telinga. Entah seperti apa pernikahan ini nantinya? Aku dan Bang Habib tidak saling cinta. Lebih tepatnya, dia yang tidak mencintaiku.

Aku menyeka bulir bening yang merebak di pelupuk mata, mengusir sensasi nyeri saat tanganku menggantung di udara. Bang Habib bersikap acuh tak acuh, padahal banyak pasang mata melihat kami saat ini.

"Habib! Rara mau mencium tangan kamu." Bude Hani sekaligus ibu mertuaku mengingatkan kembali anak keduanya itu.

Setengah terpaksa Bang Habib menyambut ukuran tanganku dan membiarkan tim fotografer mengabadikan momen ini beberapa kali petikan.

"Cium kening istrimu, Nak!" Perintah Bude

Hani membuat aku tersentak dan gugup seketika.

Jantungku berdetak tak karuan, napasku pun tercekat di tenggorokan. Bibir tebal berwarna tidak terlalu merah itu mendarat di dahiku beberapa jenak. Tim fotografer mengabadikan momen ini disertai tepuk tangan keluarga besar kami.

Acara hanya berlangsung singkat tanpa pesta mewah sebuah pernikahan pada umumnya. Syarat yang diajukan oleh Bang Habib setelah menerima perjodohan ini. Namun, tetap saja kami melakukan sungkem pada orang tua dari dua keluarga.

"Abang harap kamu tidak terlalu banyak berharap, Ra. Jika kamu setuju kita menikah tanpa adanya pesta, maka Abang akan segera melamar kamu di hadapan keluarga," ucapnya tiga minggu yang lalu. Aku hanya mengangguk, mengiyakan tanpa membantah.

Di sinilah kami sekarang. Duduk di atas pelaminan dengan konsep minimalis modern bertabur bunga berwarna pastel. Namun, hanya dihadiri oleh keluarga besar kami dan kerabat dekat Kak Naya saja.

Kebaya berwarna silver dengan banyak payet bertabur swarovski membalut tubuh langsingku. Perhelatan telah usai dan disambung dengan makan malam bersama keluarga di ruang tengah berukuran luas. Cukup menampung sekitar lima puluh orang.

Tamu-tamu yang tidak seberapa jumlahnya itu meninggalkan rumah Bude Hani. Hanya meninggalkan keluarga inti di rumah ini. Aku sudah merasa lelah, walaupun tidak ada pesta pernikahan. Mama mengajakku ke kamar pengantin, lebih tepatnya kamar Bang Habib dan Mbak Naya ....

"Jadilah istri yang baik untuk suamimu, Nduk. Jangan kecewakan Mama dan Papa." Nasihat Mama saat kami menuju kamar pengantin.

"Turuti perkataan suami kamu, selagi tidak menentang syariat." Kembali Mama memberi nasihat berdiri di ambang pintu.

"Nggih, Ma. InsyaAllah Ra nggak akan mengecewakan Mama dan Papa," imbuhku tulus.

Namaku Rara Audy Sanjaya, berusia dua puluh empat tahun. Psikolog muda yang cukup ternama di Kota Surabaya. Habib Alhasby adalah keponakan Mama, sepupu dekatku. Seorang CEO perusahaan kontruksi.

"Mama keluar dulu. Mulai malam ini lakukan peran kamu sebagai seorang istri."

Aku tidak menyahut, hanya memberi senyum serta anggukan saja sampai akhirnya Mama menghilang dari balik pintu. Kamar bertaburkan bunga mawar dan dekorasi romantis. Terkesan intim, menurutku. Namun, entah mengapa aku merasa tidak nyaman berada di sini.

Pikiranku berkelana saat Mbak Naya menitipkan suami dan kedua anaknya padaku. Berkali-kali aku menolak keinginan Mbak Naya, tapi dia tetap gigih membujuk hingga akhrinya aku terbujuk.

Mbak Naya menderita kanker serviks stadium akhir. Kanker menjalar hingga menyerang hampir semua organ vital perempuan bermata bulat itu. Tidak ada satu pun dokter yang sanggup untuk memberikan harapan untuk kesembuhannya. Hingga, hari itu datang. Di mana keluarga kami berkabung karena kehilangan perempuan nan selalu ceria itu.

Sejak Mbak Naya menjodohkan kami, Bang Habib menjaga jarak denganku. Padahal, biasanya kami cukup dekat layaknya saudara. Sampai akhrinya Mbak Naya meninggal tiga bulan yang lalu, dia justru menyalahkan diri ini.

Kanaya Arfah. Perempuan cantik bermata bulat dan berbulu mata lentik itu pasti merasa beruntung karena menjadi satu-satunya perempuan yang bertahta di hati Bang Habib. Sementara itu, aku hanya menjadi istri bayangan CEO dingin itu.

Lamunanku terhempas saat daun pintu yang terbuat dari kayu oven berkualitas itu terbuka dari luar. Bang Habib bergeming di ambang pintu, tapi tatapan matanya tajam seolah-olah dapat membelah diriku.

"Apa kamu puas, Ra?"

"A--apa maksud Abang? Ra nggak ngerti," sahutku dengan suara bergetar.

Bang Habib melangkahkan kaki, lalu berhenti dua langkah di depanku. "Dengarkan Abang, Ra! Permukaan ini hanya formalitas dan untuk memenuhi wasiat terakhir Naya. Sampai kapanpun, Naya nggak akan pernah terganti. Termasuk oleh kami sekali pun.

Oh, ya. Simpan barang-barang kamu di sana, tapi jangan pernah mengganggu barang-barang Naya. Apalagi sampai kamu membuangnya." Dia terdiam setelah melontarkan kalimat panjang yang menusuk perasaanku.

Aku memejamkan mata, tidak berani menatap mata elang yang menyorotiku. Tetapi, apakah aku salah berharap dalam pernikahan ini? Menjadi istri sesungguhnya dan pasti tanpa bayang-bayang Mbak Naya di dalam pernikahan kami.

Aku tidak ingin Bang Habib melupakan Mbak Naya, tapi aku hanya berharap ada sedikit ruang di hatinya untuk namaku.

Aku hendak menjawab, tapi ketukan pintu dari luar membuat nyaliku menciut. Suara Mama Hani terdengar, seiring daun pintu yang terbuka lebar. Di belakang Mama, Mbak Viona beserta suaminya berdiri di ambang pintu.

Mama Hani tersenyum lembut dan melangkah mendekatiku yang masih bergeming. Bukan karena apa aku seperti ini, tangan Bang Habib melingkar erat di belakang pinggangku dan telapak tangannya menyentuh perut datar ini.

Jantungku berdetak lebih cepat satu kecupan ringan dia daratkan di pipiku yang mungkin sudah merona.

Bolehkah aku merasa senang? Walaupun aku tahu semua ini hanya sandiwara saja.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Samsuri Muhammad
wah asyik bacanya
goodnovel comment avatar
Samsuri Muhammad
klo mnurut sy harus d pertahankan it
goodnovel comment avatar
Fithriah Arrahman
Rara bagaikan kepompong... di balik balutan selimut.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status