Home / Young Adult / Into You / BAB 5. Penyerahan

Share

BAB 5. Penyerahan

last update Last Updated: 2021-07-23 19:18:47

“Gimana mood lo hari ini, Bri?” Sekar menghampiri Brian dan menyodorkan minuman botol yang baru saja ia beli di kantin. “Nih, seperti biasa less sugar.”

Brian yang sedang membersihkan lensa kameranya pun memberi jeda dan menerima minuman pemberian Sekar. “Lo kenapa sih mau tau mood gue banget? Berisik!” sahutnya. Sekar yang mendengar itu pun mendengus kesal. Pasalnya, gara-gara mood Brian yang sering hancur tiba-tiba dapat langsung membuat suasana tegang secara drastis. Para panitia masa orientasi, yang bertanggung jawab agar acara berlangsung dengan lancar, kesulitan untuk mencairkan suasana.

“Ya makanya, mood lo tuh dikendaliin. Jangan ngerugiin orang,” sahut Sekar dengan sedikit menggertakkan giginya. Tahan, Kar, tahan. Jangan sampai mood Brian hancur gara-gara debat sama lo. Sekar memberi peringatan pada dirinya sendiri, lalu menarik nafas dalam dan menghembuskannya.

“Daripada lo disini ngurusin urusan orang, mending lo bantuin penanggung jawab acara deh. Antisipasi aja kalau tiba-tiba mood gue hancur lagi.” Brian menepuk pundak Sekar, memberinya kerlingan jahil dan berlalu pergi.

“Beberapa hari yang lalu ada mahasiswa baru yang kepo sama lo, Bri. Dia nanya langsung ke gue semua hal tentang lo.” Brian menghentikan langkahnya ketika mendengar perkataan Sekar, membalikkan badannya, dan kembali duduk. Ia mulai membuka botol minuman yang diberikan Sekar.

“Siapa?” sahutnya dingin sembari mulai meneguk minumannya.

Raditya Abimanyu. Lo bakal langsung tau dia yang mana karena dia yang paling tampan diantara mahasiswa baru fakultas kita. Badannya juga atletis. Terus senyumnya manis banget,” jelas Sekar yang otomatis tersenyum berbunga-bunga sembari menjelaskan ciri-ciri fisik dari seorang Raditya Abimanyu.

“Oke, Sekar. Gue enggak peduli ciri-ciri fisiknya dia, yang perlu gue tau kenapa dia kepo sama gue? Mau nantangin? Gue sih enggak keberatan,” sahut Brian enteng. Sekar memutar bola matanya jengkel.  Brian sangat percaya diri jika menyangkut tantangan aktivitas fisik karena ia percaya bahwa ia tidak akan kalah. Sekar sudah sering mendengar Brian memamerkan kepercayaan dirinya. Namun, ia tetap masih belum terbiasa.

“Gue punya feeling dia enggak mau nantangin lo sih, Bri. Cuma kepo aja. Kayaknya dia ngumpulin informasi tentang lo bukan buat diri sendiri. Ya lo tau lah maksud gue apa.”

“Terus lo cerita apa tentang gue?”

“Rumor. Gosip-gosip dan fakta lo yang udah jadi rahasia umum. Hitung-hitung sebagai prolog perkenalan. Biar seenggaknya dia bisa waspada sedikit kalau suatu saat berurusan sama lo.”

Brian terdiam.

“Kira-kira dia mau ngasih informasi tentang gue ke siapa ya?” sahut Brian sangat pelan.

“Hah? Lo ngomong apa, Bri?”

“Enggak, enggak ada. Udah ya gue mau ke sekre BEM dulu.” Brian berlalu pergi membawa berbagai pemikiran tentang kemungkinan-kemungkinan dari pertanyaan ‘mengapa seorang mahasiswa baru bernama Raditya Abimanyu mengumpulkan informasi tentangnya?’. Radar kewaspadaannya menyala. Pasalnya, sudah lama tidak ada yang bertanya hal-hal seputar dirinya. Apalagi langsung bertanya pada orang yang termasuk dalam lingkar pertemanannya. Ia harus mengetahui jawabannya hari ini.

****

“Radit!!!” panggilku seraya mendaratkan lengan kananku pada pundak Radit.

“Hey, what’s up, young lady! Seneng amat nih kayaknya.”

“Gue punya feeling bagus buat hari ini, Dit. Enggak ada jaminan surat gue bakal selamat sih, tapi semoga aja beneran dibaca sama Brian atau seengganya diintip dikit lah. Oiya, lo kasih surat cinta ke siapa akhirnya?” tanyaku penasaran. Semoga pilihannya kali ini tidak random. Pasalnya, Radit akan memilih sesuatu atau seseorang secara acak jika ia dalam keadaan terdesak.

“Tenang aja, Ras. Kali ini pilihan gue enggak random kok,” sahutnya seperti bisa membaca pikiranku.

“Jadi, siapakah wanita beruntung itu?”

“Lebay deh. Gue mau kasih ke senior yang namanya Sekar. Hitung-hitung ucapan terima kasih gue karena dia sudah kasih banyak informasi tentang mas crush lo,” ucapnya seraya mengerling jahil.

“Akhirnya, setelah dua jenjang pendidikan, seorang Raditya Abimanyu tidak lagi memberikan surat cintanya pada orang-orang random,” godaku. Tentu saja aku harus menggoda Radit mengenai pencapaiannya sekarang. Pasalnya, sejak masa orientasi SMP dan SMA, Radit tidak pernah benar-benar jelas memutuskan akan mengirimkan surat cintanya kepada siapa. Ia pasti akan dengan malas menunjuk seorang senior secara random dan menuliskan isi surat cinta seadanya. Baru kali ini aku melihat Radit benar-benar memutuskan Sang Penerima. Walaupun katanya sebagai tanda terima kasih saja, tetapi tetap ini sebuah kemajuan.

Radit menjentikkan jarinya pada dahiku, “Sstt! Bisa enggak sih jangan heboh??” ucapnya dengan jari telunjuk di depan bibirnya. Mengisyaratkanku untuk menurunkan kadar kesenanganku.

Please, lo harus kenalin gue sama Teh Sekar. Gue penasaran banget. Siapa sih yang bisa bikin Radit beneran nulis surat cinta?”

“Ras, isi surat cinta gue cuma ucapan terima kasih. Stop lebay deh.”

Tanpa terasa kami sudah sampai di lapangan basket yang terletak di depan gedung fakultas, tempat dimana semua mahasiswa baru berkumpul untuk senam pagi dan juga games. Pagi itu, segala sesuatu yang terjadi terasa begitu cepat. Entah karena aku tidak fokus atau aku benar-benar menikmati hari terakhir masa orientasi ini. Yang jelas, pikiranku tak bisa berpaling dari Brian. Aku benar-benar jatuh hati padanya dan aku pun juga sudah memberikan peringatan pada hatiku sendiri, bahwa aku akan benar-benar sakit jika patah hati mengunjungiku.

Bagiku, duniamu akan sangat berbeda ketika kamu menyukai seseorang. Segala hal sepele yang dilakukannya akan berdampak kepadamu. Terutama pada perasaanmu. Rasa suka, sedih, senang, gundah, semua bergantung pada dirinya. Imajinasimu tentangnya ataupun bagaimana cara dia meresponmu dapat benar-benar mempengaruhimu. Seolah dia adalah planet dan dirimu adalah satelitnya. Atau dia adalah matahari dan dirimu adalah salah satu planet yang mengitarinya. Kamu membutuhkannya dan dia adalah pusat duniamu. Alasan mengapa kamu ada.

Hari ini, dari awal senam pagi hingga waktu penyerahan surat cinta makin dekat, aku belum melihat Brian. Jika ternyata Brian tidak masuk hari ini, entah hal itu akan menguntungkan untukku atau malah menjadi sebuah kerugian. Karena, kalau tidak hari ini aku menyerahkan surat cintaku, aku tidak menjamin akan punya keberanian lagi di lain hari.

“Berhubung lo mau tau yang namanya Sekar, itu orangnya,” ucap Radit membuyarkan lamunanku. Diantara banyaknya orang di kantin saat jam makan siang, Radit menunjuk satu orang. Wanita dengan kulit hitam manis, rambut hitam ikal yang panjang, dan mempunyai senyum manis dengan baris gigi yang rapi. Ia terlihat satu meja dengan sosok yang aku kenal, Febrian Bayu Aji. Entah mengapa aku menghela nafas lega. Untunglah Brian hanya bolos saat pagi hari.

“Oh, Ras. Gue enggak sadar kalau Sekar sama Brian ternyata temenan. Kalau lo butuh informasi tentang Brian lagi, bilang gue. Karena gue sudah menemukan sumber informasi terpercaya hahaha,” celetuk Radit yang otomatis membuat jitakanku mendarat mulus di kepalanya.

****

Para mahasiswa baru berkumpul di pelataran danau setelah makan siang. Agenda selanjutnya adalah menyerahkan surat cinta beserta cokelat kepada salah satu senior pilihan yang tentu saja bebas kami pilih. Jantungku berdetak cepat layaknya orang-orang yang habis berlari. Tiba-tiba saja aku panik. Seluruh kepercayaan diriku yang sudah aku kumpulkan saat malam hari perlahan sirna.

“Dit, asli gue takut banget. Nih, coba pegang tangan gue. Dingin banget, Dit!” seruku panik yang mengundang gelak tawa Radit.

“Hahahaha ya ampun, Ras. Santai aja. Inhale, exhale. Tenang aja, surat lo ga akan berakhir mengenaskan di tempat sampah kok. Percaya sama gue,” ucap Radit dengan percaya diri.

“Kok lo bisa PD bilang gitu, Dit?”

Radit mengangkat bahunya, “feeling? Udah, percaya aja sama gue. Surat lo ga akan berakhir tragis. Gue mau kasih surat gue dulu ke Sekar, habis itu gue bantu do’a buat lo, Ras,” serunya jahil dan berlalu pergi setelah menepuk punggungku.

Aku mengamati sekeliling, mempelajari situasi. Apakah ada yang memberikan surat cinta pada Brian selain diriku. Hanya sebagai antisipasi saja kalau-kalau aku melihat surat mereka dicabik-cabik olehnya. Lima menit berlalu, sepuluh menit berlalu. Tidak ada yang memberikan surat cinta pada Brian. Hal ini membuatku makin panik. Haruskah aku memberikannya? atau mundur saja? Beberapa mahasiswi baru yang memegang surat mereka tampak ragu untuk memberikannya pada Brian, beberapa dari mereka memutuskan untuk menyerah.

“Ras, ayolah. Udah gapapa kasih aja. Surat gue udah diterima Sekar, dia ngajakin kita makan ramen yang ada di depan kampus setelah selesai ospek,” celetuk Radit yang ternyata sudah selesai menjalankan tugasnya dan membawa kabar yang cukup membuatku kaget.

“Sebentar, kalau ada Sekar berarti kemungkinan ada Brian dong, Dit?”

Bingo! Makanya, Saras, kasih surat lo sekarang biar seenggaknya nanti lo bisa ngobrol sama Brian. Cepetan!” Radit mendorongku ke arah dimana Brian berada. Sang calon penerima surat sedang sibuk mengabadikan momen dengan kameranya. Aku, dengan perlahan, menghampiri. Tak sadar beberapa pasang mata juga mengikuti langkahku.

Percaya atau tidak tanganku super duper dingin, lidahku kelu, dan tanpa sadar langkah demi langkah yang ku pijak membawaku lebih dekat padanya. Brian menghentikan kegiatannya saat melihatku. Aku berdiri menatapnya dengan menggenggam surat cinta beserta cokelat di kedua tanganku. Tatapannya seakan dapat mempengaruhi semua indera yang ada pada tubuhku, aku terpaku. Tidak lama kemudian, ia beralih kembali dengan kameranya. Mengacuhkanku yang berdiri terdiam. Saras, kemana kepercayaan diri lo yang sudah susah payah lo kumpulin buat hari ini? Aku merutuki diriku sendiri, tentu saja dalam hati.

Sudah saatnya aku sadar. Kembali ke kenyataan. Aku menggeleng dan menarik nafas yang dalam untuk mengumpulkan kembali kepercayaan diri dan keberanianku, melangkah maju menghampiri Brian. Tanganku terulur menyerahkan surat cintaku. Brian kembali melihatku, kali ini dengan tatapan yang susah untuk dijelaskan.

Sorry, gue bukan tukang pos,” ucapnya dingin. Memecah kesadaranku. Suratku, ditolak.

“Eeyy, Bri. Terima aja lah. Lo doang yang enggak dapet surat cinta, lho. Enggak ada yang berani. Tuh liat,” kata seorang senior wanita berambut ikal panjang dan berkulit hitam manis merangkulnya dari samping. Brian mengedarkan pandangannya. Melihat para mahasiswi baru membawa surat cinta mereka, tetapi tidak berani mendekati dirinya.

“Sekar, lo bisa enggak sih enggak usah deket-deket gue? Risih tau. Lagian, mau terima surat atau enggak 'kan urusan gue. Bukan lo,” ucap Brian melepas rangkulan sang senior yang aku tahu bernama Sekar.

“Bri, lo appreciate dong. Dia doang lho yang berani ada di hadapan lo sekarang.”

Brian mengambil paksa suratku, melayangkannya di udara untuk menunjukkannya pada Sekar. “Nih. udah puas, 'kan? Pergi sana.” Sekar tersenyum jahil.

“Tenang aja, Brian cuma dingin di luar kok,” bisik Sekar seraya menepuk pundakku, lalu melenggang pergi.

Brian menatapku yang tidak bergeming setelah menyerahkan surat cinta.

“Gue udah terima surat lo. Lo ngapain masih disini?” ucapnya dingin. Tak lama tangannya melambai mengisyaratkanku untuk menghilang dari pandangannya. Tapi, aku harus memastikan bahwa suratku tidak berakhir mengenaskan.

“Kang, tolong banget suratnya dibaca ya? Sekilas juga gapapa,” ucapku memelas. Brian menghela nafasnya, geram. Ia melipat suratku lalu memasukkannya ke dalam saku kemeja flanelnya.

“Udah, kan? Sekarang pergi sebelum gue berubah pikiran,” ucapnya sambil menepuk saku kemeja tempat surat cintaku kini bersarang. “Cokelatnya lo makan aja. Gue enggak suka manis.”

Aku membalikkan badanku, berjalan menjauhinya dengan harapan ia benar-benar membaca suratku. Perlahan suhu tubuhku kembali normal, tidak sedingin sebelumnya. Kalau ditanya mengapa surat cinta itu berarti untukku, aku tidak dapat memberikan jawaban pasti. Namun, aku berharap surat itu bisa menjadi permulaan untuk dapat mengenal Brian lebih jauh. Mengetahui sisinya yang lain.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
alanasyifa11
yah kenapa ceritanya udah abiiiiis,penasaran sama lanjutannya (T-T ) kakak ada sosmed ga? aku pingin follow biar bisa keep up ama cerita2nya kak
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Into You   BAB 25. Undangan Virtual Radit

    Saras, Radit, dan Brian menikmati waktu mereka di pameran fotografi, memandangi beragam foto yang dipotret oleh anggota UKM Fotografi. Setiap foto memiliki makna yang berbeda. Brian mengajak Radit dan Saras berkeliling. Lelaki itu menjelaskan beberapa makna dari foto-foto yang ada di pameran tersebut. Salah satunya adalah foto yang Brian potret saat awal masa orientasi Saras dan Radit. Saras mengingat pemandangan yang ada di foto itu. Foto langit biru yang sempat ia puja sebagai mahakarya saat masa orientasi dulu. Langit yang terbelah menjadi dua kubu, langit biru dan awan putih yang enggan membaur, terpisah membentuk satu garis vertikal di langit pagi yang cerah. Langit yang menjadi saksi bisu bagaimana ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Brian. “Gue sangat terkesima pada pemandangan langit pagi saat masa orientasi angkatan lo beberapa bulan yang lalu, Ras. Karena, tepat di hari sebelumnya gue mengalami hari yang berat ditambah dengan kurang tidur. Langit pagi hari

  • Into You   BAB 24. Di Balik Pameran Fotografi

    “Kalian berdua, ikut gue,” titah sang senior tampan. Setelah bertukar pandang satu sama lain, Radit dan Saras mau tak mau mengikuti setiap langkah Brian dalam diam. Dua sahabat itu berkomunikasi dengan pandangan dan isyarat tubuh mereka. ‘Brian mau bawa kita kemana?’ tanya Radit dengan isyarat tubuhnya. ‘Nggak tahu. Udah ikut aja,’ balas Saras. Sepanjang perjalanan mereka mengikuti Brian, mereka melihat sekelilingnya. Koridor kosong dengan lampu yang dimatikan—gelap. Tidak ada tanda-tanda adanya pameran disana. Satu-satunya penerangan adalah cahaya dari pintu masuk utama. Itu pun sudah terlihat samar-samar. Saras mendekatkan dirinya pada Radit, ia tidak suka koridor gelap. Kegelapan ruangan apapun tidak masalah bagi gadis itu, namun tidak dengan koridor gelap. Baginya, koridor gelap siap menelannya dalam kegelapan, layaknya tersesat di dalam terowongan gelap tanpa cahaya dan tak berujung. Radit menggenggam tangan Saras, menenangkannya.

  • Into You   BAB 23. Undangan Pameran Fotografi

    ‘Saraswati Mahiswaraaaa…’ Radit meneriakkan nama Saras sesaat setelah teleponnya diangkat oleh gadis pemilik mata bulan setengah lingkaran itu. ‘Gue mau ke pameran fotografi nih. Lo ikut nggak?’ tanyanya. “Ikut dong. Gue lagi siap-siap nih.” ‘Loh lo dapet undangan pamerannya dari mana? Pameran itu, nggak bisa sembarang orang bisa hadir. Harus yang punya undangan khusus atau pakai jalur orang dalam, kayak gue.’ “Hah? Masa iya sih? Gue tahu tentang pameran itu dari Brian. Tadi siang, dia bilang kalau gue free malam ini, gue bisa datang ke pamerannya UKM Fotografi. Gue kira pamerannya buat umum.” Tangan Saras sibuk memilah-milah pakaian yang akan ia gunakan untuk menghadiri pameran fotografi sambil berbicara dengan Radit via telepon yang diloadspeaker. ‘Brian?’ sahut Radit penuh curiga. Ia masih belum percaya sepenuhnya dengan senior berwajah tampan itu. “Iya, Brian. Lo lupa? Dia ‘kan

  • Into You   BAB 22. Tanpa Makna

    Saras berada di kantin pagi-pagi sekali. Ia menyukai suasanya kantin kampusnya yang semi-outdoor, khususnya pada pagi hari. Udara sejuk dari pepohonan dekat kantin akan menyapanya dengan lembut. Ia merasa damai dalam pelukan udara pagi yang dengan hangat menyambutnya. Pak Nanang adalah satu-satunya orang yang bisa Saras ajak obrol di kantin saat pagi hari. Beliau akan membuatkan teh manis hangat kesukaan Saras agar gadis itu dapat menikmati paginya. “Biasa ya, Pak.” “Siap, Neng.” Begitulah bentuk kode antara Saras dan Pak Nanang bila ingin memesan sesuatu yang biasa ia pesan. Memang tidak ada yang spesial, tapi hal tersebut merupakan bentuk penjelasan bahwa mereka adalah orang yang saling mengenal. Pagi itu, Saras memutuskan untuk mengerjakan tugasnya yang kemarin baru saja mendapatkan persetujuan dari dosen untuk melanjutkan ke tahap final. Ia dapat lebih fokus jika mengerjakan tugas di kantin saat pagi hari, karena suasananya yang sejuk dan

  • Into You   BAB 21. Kemarahan Radit

    Jika bisa mengumpamakan hubungan Nara dan Brian, mereka tidak terpisahkan seperti; bunga dan kupu-kupu, pensil dan kertas, laut dan bulan. Mereka mempunyai tujuan yang sama dan bertahun-tahun berpegang pada tujuan tersebut untuk mengingatkan mereka saat lelah. Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hari kelulusan SMA kami, menciptakan satu langkah lebih dekat untuk meraih mimpi bagi Nara dan Brian. Dunia yang mereka impikan perlahan terlihat. Aku bisa melihat bagaimana tekad mereka semakin kuat. Nara dan Brian adalah sepasang insan yang menginginkan dunia menjadi tempat yang layak untuk ditinggali. Namun, takdir berkata lain. Kami, yang saat itu akan menjalani awal semester 2 perkulihan, dihantam peristiwa paling menyakitkan bagi hidup kami. Bahkan, kami tidak tahu bagaimana caranya bangkit kembali setelahnya. Nara mengalami kecelakaan pesawat dan tidak terselamatkan. Saat itu, ia kembali ke Jepang setelah menghabiskan liburan semesternya di Indonesia. Aku dan Brian mengetahui

  • Into You   BAB 20. (Sekar POV): Kisah Brian & Nara

    Kencan Nara dan Brian yang aku rencanakan saat itu adalah makan malam di kafe favorit mereka dengan live music, yang diadakan pada malam minggu. Walaupun Nara adalah anak konglomerat, ia tidak terlalu suka makan di tempat-temat mahal dan berkelas. Ia lebih memilih berada di kafe kecil yang mempunyai daya tarik sendiri, nyaman, dan sederhana. Aku dan Nara memutuskan untuk mengadakan malam pernyataan cinta di salah satu kafe bernuansa kayu favorit mereka, dengan live music. Kafe tersebut berada di dataran tinggi—merupakan tempat yang pas agar mereka juga dapat menikmati pemandangan kota yang berkerlap-kerlip seperti bintang saat malam hari sembari menikmati live music yang menemani mereka. Brian, yang juga menyukai bermusik, terkadang memainkan lagu-lagu yang kami sukai dengan gitarnya di atas panggung live music. Nara sangat menyukai Brian dengan gitar. Di matanya, hanya Brian yang terlihat keren dengan gitar. Saat hari-H, Nara dan Brian da

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status