Hari ini terasa lebih lama dari hari-hari ospek sebelumnya. Apa karena ini adalah hari terakhir? Atau karena aku terlalu overthinking tentang Brian? Kalau dipikir-pikir, rasa gugupku mengalihkan semuanya. Aku jadi tidak bisa membedakan mana kenyataan dan tidak.
“Dit, gue bener-bener udah kasih surat cinta ke Brian, ‘kan?” Aku bertanya hal ini pada Radit untuk memastikan kenyataan.
“Udah, Ras. It’s done. Ini ke 30 kalinya lo nanya hal serupa. Everything's gonna be okay. Udah, ah! Jangan overthinking.” Radit merangkul pundakku dan memberikan tepukan pelan disana. Memastikan agar aku bisa dengan nyaman menerima kenyataan. Lagipula, sore ini aku akan menyantap ramen yang terkenal enak di depan kampus bersama Radit, Sekar, dan semoga saja Brian juga hadir. Hanya membayangkan dapat menyantap makanan lezat satu meja dengan Brian sudah membuat hatiku seolah melompat kesenangan.
“Sebelum makan ramen nanti, kayaknya mending ganti baju dulu deh, Dit,” sahutku setelah menyadari waktu semakin dekat dengan jam pulang kampus.
“That's right! Lagian gue juga enggak mau ketemu Sekar dengan penampilan penuh atribut ospek kayak gini. Ih, enggak banget!” gerutu Radit menyadari bahwa kami masih diselimuti berbagai atribut ospek yang tidak boleh kami lepas sebelum waktunya pulang. Tapi, tunggu dulu. Radit memang sangat memperhatikan penampilannya, tapi baru kali ini ia memiliki tujuan tertentu.
“Ehm, kayaknya ada yang lagi kasmaran nih,” godaku seraya mencolek pinggang Radit dengan jari telunjuk.
“Bukan gitu, Ras. Emang lo mau kelihatan banget kalau kita senior-junior? Apalagi kalau masih pakai atribut ospek. Emang lo enggak mau kelihatan kayak double-date sama Brian?” Radit memberondongiku dengan pertanyaan, yang aku tahu itu hanyalah alasannya agar ia tidak terlihat sedang kasmaran.
“Jangan denial, Dit. Gue kenal lo bukan sehari dua hari,” sahutku seraya mengacak-acak rambutnya pelan.
****
Waktu makan ramen pun tiba. Pada sore hari yang cerah ini, aku bertekad untuk mengingat setiap momen dan setiap tindakan yang akan aku lakukan. Ini momen bersejarah. Walaupun aku belum tahu pasti Brian akan datang atau tidak, namun tetap saja hal ini membuatku bersemangat. Radit dan aku berjanji untuk bertemu di depan kost-nya. Karena kost Radit adalah tempat terdekat dari restoran ramen yang akan kami tuju.
Aku mengenakan kaos warna orange pastel, celana jeans denim, dan kardigan dengan warna orange pastel juga. Rambut lurus sebahuku, aku ikat dengan gaya ponytail berhias kunciran pita berwarna merah. Kunciran pita yang diberikan Radit untuk ulang tahunku yang ke-17. “Pakainya kalau saat-saat penting aja ya, Ras? Anggap aja ini jimat keberuntungan. Supaya hal-hal penting di hidup lo bisa berjalan lancar,” begitu kata Radit dulu. Tentu saja dahulu aku tidak mempercayainya. Sampai pada akhirnya keberuntungan menimpaku di saat-saat penting ketika aku menggunakan kunciran pita tersebut. Lolos dan masuk universitas yang sama dengan Radit adalah salah satunya.
Tidak terasa aku sudah sampai di depan kost Radit. Ia menungguku di pintu pagar. Aku tak bisa menahan tawaku saat melihat outfit yang ia gunakan.
“Masih mau ngelak kalau lagi kasmaran? Liat dong outfit lo. Rapi amat padahal cuma makan ramen.” Radit yang mendengar godaanku tersenyum kecut.
“Lo juga, Ras. Ngapain coba pakai kunciran pita yang gue kasih?” balasnya tidak mau kalah.
“Hari ini kan hari yang penting, Dit. Siapa tau kalau gue pakai kunciran pita ini, Brian beneran datang. Who knows. Sekalian mau tes apakah benda yang gue anggap jimat keberuntungan ini masih berfungsi.” Aku menjulurkan lidahku untuk membalas Radit.
Radit menggunakan outfit serba denim. Hoodie berwarna hitam dipadukan dengan jaket denim serta celana jeans denim. Tidak lupa bucket hat andalannya. Radit merasa jika ia menggunakan bucket hat, ketampananannya bisa meningkat drastis. Walaupun menurutku tidak ada pengaruh apa-apa. Ia juga menggunakan sneakers putih yang selalu ia banggakan. Sepatu yang ia dapatkan susah payah dari war di internet. Aku tidak percaya ia menggunakan barang-barang kebanggaannya hanya untuk makan ramen.
“Jalan, yuk! Kita harus sampai duluan sebelum mereka. Hitung-hitung memunculkan kesan sebagai junior tepat waktu.” Radit menggandeng tanganku, menarikku untuk bergerak cepat.
****
Radit dan Saras sampai pada tujuan mereka. Restoran ramen yang terkenal enak di kalangan mahasiswa sedang ramai pengunjung. Padahal belum waktunya makan malam. Saras mengedarkan pandangannya untuk melihat interior restoran ramen tersebut. Tidak seperti restoran ramen pada umumnya, restoran ini lebih seperti kafe dengan banyak boardgame dan tempat mengerjakan tugas yang nyaman. Pantas saja restoran ini selalu ramai.
Radit mencari meja kosong untuk empat orang. Syukurlah mereka menemukannya. Setelah memesan es teh manis, mereka menunggu Sekar dan Brian datang. Di kejauhan, Saras melihat satu sosok yang familiar. “Dit, Teh Sekar datang tuh!” Saras menyenggol Radit dengan sikunya, heboh. Radit yang melihat Sekar dari jauh pun otomatis memperbaiki jaket dan sikap duduknya. Sekar melambaikan tangan dan menghampiri mereka.
“Teh Sekar mau pesan apa? Kami baru aja pesan es teh manis,” tawar Saras setelah Sekar duduk.
“Aku samain aja deh kayak kalian,” balas Sekar sembari menguncir rambut ikal panjangnya.
“Kang Brian enggak ikut, Teh?” Pertanyaan Radit yang to the point membuat Sekar menopang dagu.
“Hmm harusnya sih datang ya. Karena dia suka banget ramen disini,” ucapnya dan beralih menatap Saras. “Catat ya, dia suka banget Ramen Katsu. Oiya, dia juga sering banget pakai topping tambahan Bakso Gepeng. Menu yang jarang dipesan tapi menurut Brian enak.” Setelah menjelaskan, Sekar mengulurkan tangannya pada Saras. “Sekar,” ucapnya memperkenalkan diri. Saras menyambut hangat tangan tersebut dan mengucapkan namanya.
Setengah jam mereka menunggu Brian yang tak kunjung datang. Ditelepon pun tidak ada jawaban. Perut Saras dan Radit sudah meraung-raung meminta untuk diisi karena mereka melewatkan jam makan siang. Raungan perut mereka pun terdengar oleh Sekar yang langsung memanggil akang pelayan untuk memesan.
Radit memesan menu yang paling best seller di restoran ramen tersebut. Sekar memesan Ramen Seafood dan Saras memesan Ramen Katsu karena ia penasaran bagaimana rasa ramen kesukaan Brian. Akang pelayan mencatat pesanan mereka kemudian berlalu pergi. Tak lama, telepon seluler Sekar berbunyi. Tertulis nama Brian disana.
“Lo tunggu disana, Bri. Gue hubungi anak sekre dulu. Siapa tau di sekre ada alat kikir. Jangan kemana-mana.” Sekar mengakhiri panggilan teleponnya dan menghubungi salah satu juniornya, yang sudah bisa dipastikan, merupakan anak yang satu komunitas dengan Sekar dan Brian.
“Lo di sekre, ‘kan? Disana ada alat kikir enggak? Kalau ada, langsung kasih Brian ya di parkiran motor. Lari ya! Sebelum lo kena semprot Brian,” ucap Sekar pada lawan bicaranya. Sepertinya ada masalah darurat, tetapi Sekar dengan tenangnya mengatasi semuanya. Saras yang sebenarnya panik, bertanya mengenai kendala apa yang menimpa pangeran tampannya dengan nada yang tenang. Sekar membalasnya dengan tertawa.
“Brian lupa nomor sandi gembok rodanya. Satu jam dia ngutak-atik gembok, akhirnya kesal dan butuh alat kikir. Ini sudah gembok ketiga yang jadi korban,” jelasnya. Saras yang mendengar hal itu pun ikut tertawa dan menggelengkan kepalanya, lega. Tidak disangka seorang Brian yang seram dari luar, ternyata punya sisi cerobohnya sendiri. Ia mempelajari hal baru tentang Brian hari ini.
Bagaimana dengan makan ramen bersama Brian? Soal itu, Saras sudah tidak terlalu ambil pusing. Toh masih ada hari lain. Saras akan memastikannya.
Hallo! Jika kalian menyukai part ini, silahkan pertimbangkan untuk memberikan vote dan rating^^ Thank youuu!!!
Saras, Radit, dan Brian menikmati waktu mereka di pameran fotografi, memandangi beragam foto yang dipotret oleh anggota UKM Fotografi. Setiap foto memiliki makna yang berbeda. Brian mengajak Radit dan Saras berkeliling. Lelaki itu menjelaskan beberapa makna dari foto-foto yang ada di pameran tersebut. Salah satunya adalah foto yang Brian potret saat awal masa orientasi Saras dan Radit. Saras mengingat pemandangan yang ada di foto itu. Foto langit biru yang sempat ia puja sebagai mahakarya saat masa orientasi dulu. Langit yang terbelah menjadi dua kubu, langit biru dan awan putih yang enggan membaur, terpisah membentuk satu garis vertikal di langit pagi yang cerah. Langit yang menjadi saksi bisu bagaimana ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Brian. “Gue sangat terkesima pada pemandangan langit pagi saat masa orientasi angkatan lo beberapa bulan yang lalu, Ras. Karena, tepat di hari sebelumnya gue mengalami hari yang berat ditambah dengan kurang tidur. Langit pagi hari
“Kalian berdua, ikut gue,” titah sang senior tampan. Setelah bertukar pandang satu sama lain, Radit dan Saras mau tak mau mengikuti setiap langkah Brian dalam diam. Dua sahabat itu berkomunikasi dengan pandangan dan isyarat tubuh mereka. ‘Brian mau bawa kita kemana?’ tanya Radit dengan isyarat tubuhnya. ‘Nggak tahu. Udah ikut aja,’ balas Saras. Sepanjang perjalanan mereka mengikuti Brian, mereka melihat sekelilingnya. Koridor kosong dengan lampu yang dimatikan—gelap. Tidak ada tanda-tanda adanya pameran disana. Satu-satunya penerangan adalah cahaya dari pintu masuk utama. Itu pun sudah terlihat samar-samar. Saras mendekatkan dirinya pada Radit, ia tidak suka koridor gelap. Kegelapan ruangan apapun tidak masalah bagi gadis itu, namun tidak dengan koridor gelap. Baginya, koridor gelap siap menelannya dalam kegelapan, layaknya tersesat di dalam terowongan gelap tanpa cahaya dan tak berujung. Radit menggenggam tangan Saras, menenangkannya.
‘Saraswati Mahiswaraaaa…’ Radit meneriakkan nama Saras sesaat setelah teleponnya diangkat oleh gadis pemilik mata bulan setengah lingkaran itu. ‘Gue mau ke pameran fotografi nih. Lo ikut nggak?’ tanyanya. “Ikut dong. Gue lagi siap-siap nih.” ‘Loh lo dapet undangan pamerannya dari mana? Pameran itu, nggak bisa sembarang orang bisa hadir. Harus yang punya undangan khusus atau pakai jalur orang dalam, kayak gue.’ “Hah? Masa iya sih? Gue tahu tentang pameran itu dari Brian. Tadi siang, dia bilang kalau gue free malam ini, gue bisa datang ke pamerannya UKM Fotografi. Gue kira pamerannya buat umum.” Tangan Saras sibuk memilah-milah pakaian yang akan ia gunakan untuk menghadiri pameran fotografi sambil berbicara dengan Radit via telepon yang diloadspeaker. ‘Brian?’ sahut Radit penuh curiga. Ia masih belum percaya sepenuhnya dengan senior berwajah tampan itu. “Iya, Brian. Lo lupa? Dia ‘kan
Saras berada di kantin pagi-pagi sekali. Ia menyukai suasanya kantin kampusnya yang semi-outdoor, khususnya pada pagi hari. Udara sejuk dari pepohonan dekat kantin akan menyapanya dengan lembut. Ia merasa damai dalam pelukan udara pagi yang dengan hangat menyambutnya. Pak Nanang adalah satu-satunya orang yang bisa Saras ajak obrol di kantin saat pagi hari. Beliau akan membuatkan teh manis hangat kesukaan Saras agar gadis itu dapat menikmati paginya. “Biasa ya, Pak.” “Siap, Neng.” Begitulah bentuk kode antara Saras dan Pak Nanang bila ingin memesan sesuatu yang biasa ia pesan. Memang tidak ada yang spesial, tapi hal tersebut merupakan bentuk penjelasan bahwa mereka adalah orang yang saling mengenal. Pagi itu, Saras memutuskan untuk mengerjakan tugasnya yang kemarin baru saja mendapatkan persetujuan dari dosen untuk melanjutkan ke tahap final. Ia dapat lebih fokus jika mengerjakan tugas di kantin saat pagi hari, karena suasananya yang sejuk dan
Jika bisa mengumpamakan hubungan Nara dan Brian, mereka tidak terpisahkan seperti; bunga dan kupu-kupu, pensil dan kertas, laut dan bulan. Mereka mempunyai tujuan yang sama dan bertahun-tahun berpegang pada tujuan tersebut untuk mengingatkan mereka saat lelah. Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hari kelulusan SMA kami, menciptakan satu langkah lebih dekat untuk meraih mimpi bagi Nara dan Brian. Dunia yang mereka impikan perlahan terlihat. Aku bisa melihat bagaimana tekad mereka semakin kuat. Nara dan Brian adalah sepasang insan yang menginginkan dunia menjadi tempat yang layak untuk ditinggali. Namun, takdir berkata lain. Kami, yang saat itu akan menjalani awal semester 2 perkulihan, dihantam peristiwa paling menyakitkan bagi hidup kami. Bahkan, kami tidak tahu bagaimana caranya bangkit kembali setelahnya. Nara mengalami kecelakaan pesawat dan tidak terselamatkan. Saat itu, ia kembali ke Jepang setelah menghabiskan liburan semesternya di Indonesia. Aku dan Brian mengetahui
Kencan Nara dan Brian yang aku rencanakan saat itu adalah makan malam di kafe favorit mereka dengan live music, yang diadakan pada malam minggu. Walaupun Nara adalah anak konglomerat, ia tidak terlalu suka makan di tempat-temat mahal dan berkelas. Ia lebih memilih berada di kafe kecil yang mempunyai daya tarik sendiri, nyaman, dan sederhana. Aku dan Nara memutuskan untuk mengadakan malam pernyataan cinta di salah satu kafe bernuansa kayu favorit mereka, dengan live music. Kafe tersebut berada di dataran tinggi—merupakan tempat yang pas agar mereka juga dapat menikmati pemandangan kota yang berkerlap-kerlip seperti bintang saat malam hari sembari menikmati live music yang menemani mereka. Brian, yang juga menyukai bermusik, terkadang memainkan lagu-lagu yang kami sukai dengan gitarnya di atas panggung live music. Nara sangat menyukai Brian dengan gitar. Di matanya, hanya Brian yang terlihat keren dengan gitar. Saat hari-H, Nara dan Brian da