Share

BAB 4. Surat Cinta Saras

Aku terdiam sambil melipat tanganku di depan meja belajar, ditemani dengan secarik kertas kosong dan sebuah amplop merah muda yang sudah aku siapkan untuk surat cinta. Kata-kata apa yang harus aku gunakan? Memikirkan rangkaian kata-kata untuk surat cinta membuat kepalaku pusing. Ini lebih sulit dibandingkan dengan memikirkan konsep game terbaru yang akan aku dan Radit rancang di masa depan.

Halo, Kang Brian… Perkenalkan, aku Saras…

“Ewh, ayolah Saras, ini bukan surat untuk sahabat pena atau kencan buta. Pikirkan hal yang kira-kira bisa bikin Brian terkesan,” rutukku. Aku mengacak-acak rambutku, pusing. Kira-kira Brian suka hal berbau apa ya? Atau sesuatu yang dapat membuatnya terkesan. Hmm kutipan? tapi sepertinya Brian bukan tipe orang yang puitis.

Setelah usaha memutar otak yang tidak membuahkan hasil, aku menyerah dan memutuskan untuk menghubungi Radit. Siapa tahu saja ia tahu tentang hal-hal yang disukai Brian. Sesuatu yang membuat Brian tidak mecabik-cabik suratku dan berakhir di tempat sampah. Apakah harapan agar Brian menyimpan suratku adalah hal yang tidak dapat terpenuhi? Memikirkannya saja sudah membuatku lesu. Sudah bagus jika suratku nantinya tidak berakhir di tempat sampah dengan keadaan mengenaskan.

“Halo, Dit! Gue pusing banget sumpah. Lo bisa bayangin enggak udah berapa banyak kertas yang gue buang untuk menyempurnakan mahakarya surat cinta buat Brian?” seruku setelah tak lama Radit mengangkat teleponnya. Aku memandangi gumpalan-gumpalan kertas yang sudah tidak tahu berapa banyak, berserakan di lantai.

“Ya ampun, Ras. Santai aja kali. Lo kan pakarnya soal ini. Coba inget-inget udah berapa orang di sekolah kita yang pake jasa lo buat nulis surat cinta ke gebetan mereka.”

“Tapi, Dit, gue kan enggak suka sama gebetan mereka. Jadi gue bisa lancar nulisnya. Ini Brian, Dit! Laki-laki yang gue puja-puja dari awal ospek. Ditambah lagi gue enggak siap melihat surat gue tidak berbentuk di tempat sampah. Coba lo inget-inget deh, Dit. Ada enggak informasi tentang hal-hal yang bisa bikin Brian terkesan?”

“Satu-satunya informasi yang gue punya udah pernah gue kasih tahu di depan toilet, Ras. Enggak ada lagi. Gue belum dapet spill dari sumber terpercaya lagi. Oiya, gue lupa kasih tahu. Brian jarang senyum. Pokoknya yang bisa bikin dia senyum tulus patut diacungi jempol. Tuh, Ras. PR lo disitu. Gimana caranya lo harus bisa bikin Brian senyum kalau mau deket sama dia,” jelas Radit yang malah membuatku lebih tertekan.

“Pake insting lo coba, Ras. Biasanya insting cewek lebih tajam tau. Apalagi soal lawan jenis,” lanjutnya.

“Kalau insting gue kuat, pasti gue udah sadar kalau akan ditinggalin sama yang dulu-dulu kali, Dit. Mana gue tau kalau mereka akan ninggalin gue setelah nyatain perasaan cinta. Kalau lo enggak kasih tau polanya, kayaknya gue enggak akan tau deh,” keluhku pada Radit. Entah mengapa Radit selalu bisa lebih tahu tentang segala sesuatu yang terjadi kepadaku. Persoalan asmaraku, misalnya.

Namaku Saraswati Mahiswara, seorang gadis yang sangat mudah jatuh cinta. Aku merasa sepertinya semesta mengutukku untuk tidak dapat mendengar pernyataan cinta yang tulus dan dapat dilakukan berkali-kali. Setiap laki-laki yang mengungkapkan perasaannya seperti “aku suka kamu” atau “aku sayang kamu” akan menghilang tanpa kabar setelahnya. Kalau kata Radit, “lo di-ghosting, Ras. Kalau mereka beneran suka atau sayang lo, mereka enggak akan hilang gitu aja. Apalagi dengan jeda satu hari. Hari ini bilang suka, besoknya hilang kayak ninja.”

Apa yang dikatakan Radit ada benarnya. Karena hal tersebut terjadi berulang kali, secara tidak langsung membuatku takut untuk mendapat pernyataan cinta. Sebab aku harus mempersiapkan hatiku untuk kehilangan orang tersebut. Resiko yang harus ditanggung oleh orang-orang yang mudah jatuh cinta adalah harus siap untuk mudahnya patah hati.

“Yaudah deh, Dit. Gue nyoba nyari info dari sosial medianya. Siapa tahu aja ada clue yang bisa gue pake,” kataku menyerah seraya menutup telepon. Seseorang seperti Brian kira-kira menyukai hal apa ya? Jari tanganku sudah sibuk mengetik nama Febrian Bayu Aji pada kolom pencarian sosial media.

Let’s see. Di twitter-nya ada banyak retweet tentang bola, khas laki-laki pada umumnya. Tapi masa gue ngomongin bola sih di surat cinta. Enggak... enggak... coba cari lagi,” aku menggeleng membayangkan isi surat cintaku yang berisi segala macam tentang tim sepak bola kesukaan Brian dan kembali sibuk menggali informasi sebanyak mungkin dari sosial medianya. Beralih dari satu sosial media ke sosial media yang lain. Melihat satu per satu foto baru hingga foto lamanya. Sosial media memang super hebat. Kita bisa memperoleh segala informasi dari orang tertentu hanya dengan satu kali scroll sosial media mereka. Seperti menguliti. Mengetahui perasaan, apa yang mereka sukai dan tidak, kegiatan mereka, apakah mereka menikmati hidup atau tidak, kehidupan masa lalu mereka, semuanya. Sosial media seperti ‘cermin’ bagi mereka yang memilikinya.

Begitu juga dengan Brian. Namun, ‘cermin’ Brian tidak selengkap ‘cermin’ lainnya. Aku hanya dapat melihat hal yang ia sukai, walaupun itu memang tujuanku, tapi akan lebih baik kalau aku dapat tahu perasaannya akan suatu hal. Kira-kira Brian akan sedih karena apa ya? kira-kira Brian akan tersenyum karena apa? Pertanyaan demi pertanyaan tentang hal-hal yang mempengaruhi perasaannya memenuhi kepalaku. Aku ingin lebih mengenalnya. Bukan hanya sekedar tahu hal-hal yang terlihat, namun aku ingin mengetahui tentang hal-hal yang tidak terlihat juga. Baru kali ini menulis surat cinta terasa begitu rumit.

Aku menemukan satu foto yang menarik perhatianku. Brian yang aku tahu sangat dingin dan raja tega, juga tidak pernah tersenyum, di foto ini ia tersenyum gembira. “Loh foto ini kan saat konser Coldplay tahun lalu.” Aku mengetahuinya karena aku datang ke konser tersebut bersama Radit. Kami bolos dari bimbel sepulang sekolah dan pergi menonton konser, jelas saja tanpa izin dari orang tua, yang membuat kami akhirnya diawasi selama dua minggu.

“Ah! Coldplay! Kenapa enggak kepikiran?! Tinggal tulis lirik Coldplay yang mewakili perasaan saat ini dan voila surat cintaku jadi.” Aku menepuk tanganku senang. Genius. Kepercayaan diriku naik seratus kali lipat dari sebelumnya. Dengan begini, Brian tidak akan membuang surat cintaku kan?

****

Dear, Brian

My heart is yours

It's you that I hold on to

Yeah, that's what I do

And I saw sparks

Sing it out

Aku membaca ulang kembali isi surat cintaku sebelum akhirnya memasukkannya ke dalam amplop berwarna merah muda dengan stiker bunga tulip putih. Akhirnya hari ini tiba. Hari dimana para mahasiswa baru menyerahkan surat cinta dan coklat kepada senior yang mereka pilih. Sekaligus hari ini merupakan hari penutupan masa orientasi sebelum kami, mahasiswa baru, resmi menghadiri perkuliahan formal. Aku mengambil tas dan memasukkan barang-barangku yang harus dibawa hari ini, tanpa terkecuali, surat cinta dan coklat.

Sejujurnya hari ini benar-benar membuatku gelisah. Bayangan tentang bagaimana reaksi Brian saat menerima suratku bertengger di pikiranku sejak semalam. Entah dari mana kepercayaan diriku muncul dan memutuskan untuk menulis lirik lagu Coldplay yang berjudul Sparks. Perjalanan ke kampus sungguh berbeda hari ini. Cuaca pagi yang cerah dan udara pagi yang segar, seolah mendukung dan menenangkanku. Aku menggunakan earphone dan mulai memutar musik. Salah satu lirik dari Everglow yang dibawakan oleh Coldplay menyadarkanku, meyakinkanku, dan secara tidak langsung memberiku kekuatan. Aku tidak ingin menyesal melewatkan kesempatan ini. Karena mungkin bisa saja ini adalah kesempatanku untuk lebih mengenalnya. Mengenal bagaimana Febrian Bayu Aji yang sesungguhnya. Aku ingin melihat sisi lain dirinya.

So if you love someone, you should let them know.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status