Saraswati Mahiswara atau yang akrab disapa Saras, seorang gadis yang mempunyai masalah dengan tiap laki-laki yang menyatakan perasaan cinta dengan tulus. Pasalnya, setelah itu mereka akan menghilang tanpa kabar. Saras bertemu dengan Brian, sang senior yang punya kesan dingin dan kasar yang tidak mampu mengekspresikan perasaan sesungguhnya. Love in the first sight yang tadinya ia anggap klise, menyerangnya. Pesona Brian menenggelamkannya pada pandangan pertama. Saat itu, ia bertekad untuk lebih mengenal Brian. Dengan bantuan Radit, sahabatnya, dan juga Sekar, sang senior baik hati yang diam-diam menyimpan rahasia, membantu Saras untuk lebih mengenal Brian. Harapannya hanya satu, jika mereka benar-benar ditakdirkan bersama, Saras berharap Brian tidak menyatakan perasaan cintanya. Agar ia tidak menghilang seperti para laki-laki sebelumnya. Namun, siapa sangka nyatanya Brian tenggelam dalam perasaan kelam, yang menyangkut masa lalunya, sejak lama.
View More“Ayo semuanya lari! Enggak ada yang jalan ya! Lari semuanya lari!” teriak para senior, dengan pakaian serba hitam dilengkapi pita merah yang terikat di lengan mereka, sudah berdiri di ambang pintu gerbang kampus. Ini adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di kampus yang akan menjadi almamaterku kelak. Tentu saja sebagai mahasiswa baru yang sedang dalam masa orientasi. Kami menggunakan kemeja putih dengan bawahan hitam dan tak lupa dengan beragam aksesoris yang sudah ditentukan oleh panitia masa orientasi, yang sejujurnya membuatku risih. Aku berlari melewati para senior galak yang terus berteriak. Entah mereka benar-benar galak atau berusaha memunculkan kesan galak. Hanya mereka dan teman-temannya yang tahu.
Setelah berlari mengikuti rombongan mahasiswa baru, tanpa sadar aku sampai di sebuah danau. Danau tersebut terletak di tengah area kampus. Semua murid baru yang sedang dalam masa orientasi duduk di pelataran danau, termasuk aku. Pagi ini sangat cerah dengan awan putih bersih yang bergantung pada birunya langit. Sebuah mahakarya, pikirku. Hembusan angin pagi yang seolah bercengkrama dengan rumput dan daun-daun yang bergoyang. Sungguh permulaan yang baik untuk memulai masa orientasi.
“Surprise! lo nyangka ga kita bakal satu kelompok?” Radit mengagetkanku dengan tepukan pelannya di pundakku. Raditya Abimanyu, sesuai namanya yang merupakan arti dari matahari yang tak kenal takut, ia benar-benar bersinar dan merupakan manusia tidak kenal takut. Selama masa hidupnya, ia tidak pernah luput dari pusat perhatian. Disukai banyak wanita karena sifatnya yang periang dan humble. Ia juga tidak akan segan untuk mengemukakan pendapatnya walaupun akan dibenci sebagian orang. “Cukup lo aja Ras yang percaya sama gue. Gue ga peduli yang lain,” begitu katanya saat ku tanya apakah ia takut semua orang akan membencinya.
Aku dan Radit tumbuh besar bersama. Kami sudah seperti saudara kandung yang mengetahui kelemahan dan kelebihan masing-masing. Kelahiran kami hanya berjeda satu bulan dan orang tua kami juga bersahabat dekat. Raditya Abimanyu, satu-satunya sahabat dekatku, satu-satunya saudara yang kupunya, dan satu-satunya teman sebaya yang sangat aku percaya.
“Dit, ini baru hari pertama ya. Bisa-bisanya lo telat setengah jam. Gimana lo bisa lolos dari senior-senior galak di gerbang?” tanyaku. Radit yang aku serang dengan pertanyaan tiba-tiba cuma haha-hihi menunjukkan gigi taringnya yang mencuat menggemaskan.
“Lo tau kan, Ras. Enggak ada yang bisa tahan sama pesona gue. Gue dibiarin masuk aja tuh tadi. Untungnya di depan cuma ada senior cewek sih, jadi gue selamat,” celetuknya enteng. Aku menepuk jidatku. Bisa-bisanya aku lupa kalau anak ini punya pesona luar biasa. Mata besar double-eyelid dengan warna cokelat almond, kulit sawo matang, badan atletis dengan tinggi 175cm, dan gigi taring yang selalu muncul saat dia tersenyum. Aku harus mengakui bahwa Radit mempunyai banyak daya tarik.
Para senior sedang menjelaskan apa saja yang akan kami lakukan untuk masa orientasi selama 4 hari ke depan. Namun, pandanganku tertuju pada satu ciptaan Tuhan. Ciptaan yang paling sempurna dari segala yang sempurna.
“Oy! lihat apa sih, Ras?” senggol Radit yang tidak membiarkanku melihat sebuah kesempurnaan.
“Ya ampun, Ras. Gue tau lo cepet banget suka sama orang, tapi liat keadaan dong. Lagi ospek nih! sempet-sempetnya ya," protes Radit yang tentu saja tidak aku dengarkan.
“Dit, lo tau dia siapa enggak? feeling gue nih, dia bukan manusia deh. Mana ada manusia se-sempurna itu,” pujaku sambil menatap sang ciptaan Tuhan dengan mata yang enggan untuk berkedip.
“Oke, cukup sampai disitu young lady atau gue bakal mual seharian gara-gara denger kalimat pujian lo," ujar Radit sambil mengusak rambutku.
Aku masih bertanya-tanya. Bagaimana bisa Tuhan menciptakan pahatan sempurna tanpa celah? Senior tampan dengan kulit sawo matang eksotis, tubuh atletis dengan tinggi yang menjulang, pemilik mata hitam legam yang siap membuat siapapun bertekuk lutut, rambut sebahu yang diikat ke belakang dengan menyisakan beberapa helai rambut di depan, rahang tegas bak pahatan patung era yunani, pemilik aroma citrus dan vanilla yang lembut tak terlupakan. Siapa yang bisa menolak pesonanya? Aku berani taruhan, bahkan Radit sekalipun tidak akan mampu menentang sang senior tampan.
Sang senior tampan, yang berdasarkan analasisku adalah anak dokumentasi, memainkan kameranya dengan sebatang rokok menyala yang diapit oleh jari tangan sebelah kiri. Menggunakan oversize-hoodie hitam, pita merah di lengan sebelah kanan, celana jeans hitam, dan sepatu vans old skool classic yang mencuri perhatianku. Pasalnya, aku sangat menyukai sepatu vans, terutama tipe old skool. Bahkan, aku mempunyai satu rak khusus untuk tipe old skool saja. Oke, aku menemukan hal yang sama-sama kami sukai.
Aku menatap sekeliling, tidak ada satupun senior yang merokok kecuali dia. Salah satu senior laki-laki, yang sepertinya merupakan juniornya, perlahan mendekati dan membisikkan sesuatu padanya. Aku tidak tahu persis apa yang ia bisikkan. Tapi, sang senior tampan tampak kesal dan dengan cepat mengayunkan tangannya dengan cepat sebagai isyarat menyuruh sang junior pergi dari hadapannya. Sang junior pun dengan cepat menjauh dari orang yang sudah jelas tidak ingin dunianya diganggu.
Sang senior tampan mengarahkan kameranya ke arah langit dan aku secara otomatis mengikuti kemana lensanya bergerak. Langit biru yang aku puja sebagai mahakarya pagi ini benar-benar menciptakan mahakarya lain dengan awan putih yang bernaung dengan indah. Sang awan putih seolah membentuk prajurit untuk merebut posisi langit biru yang menyelimuti bumi. Benar-benar terbagi dua kubu pagi itu. Langit sebelah kiri adalah tim langit biru dan sebelah kanan adalah tim awan putih. Hmm, sepertinya sang senior tampan menyukai hal unik. Karena aku beberapa kali memergokinya mengambil gambar dua kubu yang seolah sedang berseteru di langit.
“Kalau gue bisa dapetin nama senior itu, lo bisa kasih gue apa, Ras?” celetuk Radit membuyarkan lamunanku. Raditya Abimanyu, si pengorek data. Dia bisa mendapatkan apa saja tentang sesuatu atau seseorang dengan cepat melalui koneksinya yang tidak terhitung banyaknya.
“Dit, ayolah. Sama sahabat sendiri kok perhitungan.”
“Saraswati Mahiswara, di dunia ini ga ada yang gratis ya.”
“Sushi di depan kampus? Terkenal enak tuh. Lo bisa makan sepuasnya deh enggak akan gue cegah, gimana?” tawarku yang tak perlu waktu lama langsung disetujui oleh sang penawar kesepakatan.
“Deal!”
Saras, Radit, dan Brian menikmati waktu mereka di pameran fotografi, memandangi beragam foto yang dipotret oleh anggota UKM Fotografi. Setiap foto memiliki makna yang berbeda. Brian mengajak Radit dan Saras berkeliling. Lelaki itu menjelaskan beberapa makna dari foto-foto yang ada di pameran tersebut. Salah satunya adalah foto yang Brian potret saat awal masa orientasi Saras dan Radit. Saras mengingat pemandangan yang ada di foto itu. Foto langit biru yang sempat ia puja sebagai mahakarya saat masa orientasi dulu. Langit yang terbelah menjadi dua kubu, langit biru dan awan putih yang enggan membaur, terpisah membentuk satu garis vertikal di langit pagi yang cerah. Langit yang menjadi saksi bisu bagaimana ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Brian. “Gue sangat terkesima pada pemandangan langit pagi saat masa orientasi angkatan lo beberapa bulan yang lalu, Ras. Karena, tepat di hari sebelumnya gue mengalami hari yang berat ditambah dengan kurang tidur. Langit pagi hari
“Kalian berdua, ikut gue,” titah sang senior tampan. Setelah bertukar pandang satu sama lain, Radit dan Saras mau tak mau mengikuti setiap langkah Brian dalam diam. Dua sahabat itu berkomunikasi dengan pandangan dan isyarat tubuh mereka. ‘Brian mau bawa kita kemana?’ tanya Radit dengan isyarat tubuhnya. ‘Nggak tahu. Udah ikut aja,’ balas Saras. Sepanjang perjalanan mereka mengikuti Brian, mereka melihat sekelilingnya. Koridor kosong dengan lampu yang dimatikan—gelap. Tidak ada tanda-tanda adanya pameran disana. Satu-satunya penerangan adalah cahaya dari pintu masuk utama. Itu pun sudah terlihat samar-samar. Saras mendekatkan dirinya pada Radit, ia tidak suka koridor gelap. Kegelapan ruangan apapun tidak masalah bagi gadis itu, namun tidak dengan koridor gelap. Baginya, koridor gelap siap menelannya dalam kegelapan, layaknya tersesat di dalam terowongan gelap tanpa cahaya dan tak berujung. Radit menggenggam tangan Saras, menenangkannya.
‘Saraswati Mahiswaraaaa…’ Radit meneriakkan nama Saras sesaat setelah teleponnya diangkat oleh gadis pemilik mata bulan setengah lingkaran itu. ‘Gue mau ke pameran fotografi nih. Lo ikut nggak?’ tanyanya. “Ikut dong. Gue lagi siap-siap nih.” ‘Loh lo dapet undangan pamerannya dari mana? Pameran itu, nggak bisa sembarang orang bisa hadir. Harus yang punya undangan khusus atau pakai jalur orang dalam, kayak gue.’ “Hah? Masa iya sih? Gue tahu tentang pameran itu dari Brian. Tadi siang, dia bilang kalau gue free malam ini, gue bisa datang ke pamerannya UKM Fotografi. Gue kira pamerannya buat umum.” Tangan Saras sibuk memilah-milah pakaian yang akan ia gunakan untuk menghadiri pameran fotografi sambil berbicara dengan Radit via telepon yang diloadspeaker. ‘Brian?’ sahut Radit penuh curiga. Ia masih belum percaya sepenuhnya dengan senior berwajah tampan itu. “Iya, Brian. Lo lupa? Dia ‘kan
Saras berada di kantin pagi-pagi sekali. Ia menyukai suasanya kantin kampusnya yang semi-outdoor, khususnya pada pagi hari. Udara sejuk dari pepohonan dekat kantin akan menyapanya dengan lembut. Ia merasa damai dalam pelukan udara pagi yang dengan hangat menyambutnya. Pak Nanang adalah satu-satunya orang yang bisa Saras ajak obrol di kantin saat pagi hari. Beliau akan membuatkan teh manis hangat kesukaan Saras agar gadis itu dapat menikmati paginya. “Biasa ya, Pak.” “Siap, Neng.” Begitulah bentuk kode antara Saras dan Pak Nanang bila ingin memesan sesuatu yang biasa ia pesan. Memang tidak ada yang spesial, tapi hal tersebut merupakan bentuk penjelasan bahwa mereka adalah orang yang saling mengenal. Pagi itu, Saras memutuskan untuk mengerjakan tugasnya yang kemarin baru saja mendapatkan persetujuan dari dosen untuk melanjutkan ke tahap final. Ia dapat lebih fokus jika mengerjakan tugas di kantin saat pagi hari, karena suasananya yang sejuk dan
Jika bisa mengumpamakan hubungan Nara dan Brian, mereka tidak terpisahkan seperti; bunga dan kupu-kupu, pensil dan kertas, laut dan bulan. Mereka mempunyai tujuan yang sama dan bertahun-tahun berpegang pada tujuan tersebut untuk mengingatkan mereka saat lelah. Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hari kelulusan SMA kami, menciptakan satu langkah lebih dekat untuk meraih mimpi bagi Nara dan Brian. Dunia yang mereka impikan perlahan terlihat. Aku bisa melihat bagaimana tekad mereka semakin kuat. Nara dan Brian adalah sepasang insan yang menginginkan dunia menjadi tempat yang layak untuk ditinggali. Namun, takdir berkata lain. Kami, yang saat itu akan menjalani awal semester 2 perkulihan, dihantam peristiwa paling menyakitkan bagi hidup kami. Bahkan, kami tidak tahu bagaimana caranya bangkit kembali setelahnya. Nara mengalami kecelakaan pesawat dan tidak terselamatkan. Saat itu, ia kembali ke Jepang setelah menghabiskan liburan semesternya di Indonesia. Aku dan Brian mengetahui
Kencan Nara dan Brian yang aku rencanakan saat itu adalah makan malam di kafe favorit mereka dengan live music, yang diadakan pada malam minggu. Walaupun Nara adalah anak konglomerat, ia tidak terlalu suka makan di tempat-temat mahal dan berkelas. Ia lebih memilih berada di kafe kecil yang mempunyai daya tarik sendiri, nyaman, dan sederhana. Aku dan Nara memutuskan untuk mengadakan malam pernyataan cinta di salah satu kafe bernuansa kayu favorit mereka, dengan live music. Kafe tersebut berada di dataran tinggi—merupakan tempat yang pas agar mereka juga dapat menikmati pemandangan kota yang berkerlap-kerlip seperti bintang saat malam hari sembari menikmati live music yang menemani mereka. Brian, yang juga menyukai bermusik, terkadang memainkan lagu-lagu yang kami sukai dengan gitarnya di atas panggung live music. Nara sangat menyukai Brian dengan gitar. Di matanya, hanya Brian yang terlihat keren dengan gitar. Saat hari-H, Nara dan Brian da
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments