Saat Charlotte mabuk karena patah hati, Daniel Harris, seorang duda tampan datang. Siapa sangka, momen itu akan membawa Charlotte pada pernikahannya dengan sang duda? Lantas, bagaimana kisah Charlotte selanjutnya? Belum lagi, ada banyak rahasia yang disimpan diam-diam oleh keduanya....
View MoreDi sebuah apartemen yang mewah namun kini kacau balau, pecahan vas bunga, gelas, dan barang-barang antik tersebar di lantai. Suasana di ruangan itu terasa tegang, seperti angin badai yang baru saja berlalu. Di tengah kekacauan itu, seorang wanita muda dengan rambut panjang terurai dan mengenakan pakaian kasual berdiri mematung, tatapannya penuh emosi. Di depannya, seorang pria tampan dengan postur tinggi tegap berdiri dengan wajah dingin, seperti dinding batu yang tak bisa ditembus.
"Tanpa alasan, kau mengakhiri ini semua? Kenapa?" suara wanita itu pecah, menggema di antara dinding apartemen. Matanya berkilat dengan campuran rasa sakit dan amarah.
Pria itu menarik napas panjang, mencoba menghindari tatapan wanita itu. Suaranya terdengar tenang, namun dingin seperti es yang mencair perlahan. "Karena pernikahan kita adalah satu kesalahan besar. Aku sangat menyesalinya," jawabnya, setiap kata bagai belati yang menancap di hati wanita itu.
Wanita itu mengepalkan kedua tangannya dengan gemetar. Rasa sakit yang menyesakkan dada kini berubah menjadi pertanyaan yang memaksanya berbicara. "Apakah kau memiliki wanita lain?" tanyanya dengan suara serak, matanya yang berkaca-kaca mengungkapkan luka yang mendalam.
Daniel mengalihkan pandangannya, enggan menatap langsung ke mata istrinya. "Charlotte," katanya dengan nada datar, "surat perceraian sudah kusiapkan. Uang dan apartemen ini menjadi milikmu. Yang aku inginkan hanyalah berpisah denganmu." Setelah itu, dia berbalik, melangkah perlahan menuju pintu, seolah ingin mengakhiri semuanya dengan satu langkah keluar.
Charlotte menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir tumpah. "Daniel Harris," panggilnya dengan nada yang lebih kuat, "Beritahu aku alasan untuk bercerai. Uangmu dan apartemen ini aku tidak butuh."
Daniel menghentikan langkahnya sejenak di ambang pintu, punggungnya tegap, tetapi ia tidak berbalik. Hanya ada keheningan singkat sebelum dia berkata dengan suara yang nyaris tidak terdengar, "Aku sudah membuat keputusan." Tanpa basa-basi, dia membuka pintu dan pergi begitu saja, meninggalkan Charlotte yang berdiri terpaku, ditemani keheningan dan pecahan kenangan mereka di lantai.
Charlotte menggigit bibirnya, air mata yang tadi ia tahan akhirnya jatuh membasahi pipinya. Tangannya mengepal di sisi tubuh, suaranya terdengar serak namun penuh dengan kemarahan dan luka yang mendalam.
"Daniel Harris, aku bersumpah selamanya tidak akan memaafkan-mu," ucapnya dengan nada tegas.
Daniel, yang kini berdiri di luar pintu, terdiam sejenak. Ia bersandar pada dinding lorong apartemen, tangannya mengusap wajahnya yang terlihat lelah. Dalam keheningan, matanya yang berkaca-kaca menyiratkan emosi yang sulit ia ungkapkan. Ia memejamkan mata, menghela napas panjang.
"Maaf," gumamnya pelan, hampir seperti berbisik kepada dirinya sendiri. "Kita ditakdirkan tidak bisa bersama. Apa alasannya, suatu saat kau akan mengetahuinya." Batinnya bergejolak, namun ia tetap melangkah pergi, meninggalkan segala kenangannya.
1 Tahun yang lalu, sebelum pertemuan Daniel dan Charlotte.
Di atas bukit yang gelap dan dingin, seorang wanita berdiri dengan matanya berbinar penuh harapan. Angin malam bertiup kencang, membuat rambut panjangnya berkibar. Di hadapannya berdiri seorang pria, dengan tatapan yang sulit ditebak.
"Daniel, aku mengandung anakmu," kata wanita itu dengan suara lembut, penuh kebahagiaan yang terpancar dari senyumnya. Ia meraih tangan pria itu, menggenggamnya dengan lembut. "Akhirnya kita bisa memiliki keturunan setelah kita menikah selama setahun."
Daniel memandangnya dengan senyuman kecil, tetapi bukan senyuman kebahagiaan. Senyuman itu dingin, penuh arti yang tak bisa ditebak. "Mengandung anakku?" tanyanya dengan nada sinis, membuat wanita itu sedikit terkejut. Sebelum ia sempat merespons, tangan Daniel bergerak cepat. Pisau yang sejak tadi disembunyikan di balik jaketnya kini menghujam perut wanita itu.
"Aahh!" jerit wanita itu, tubuhnya terhuyung ke belakang, memegangi perutnya yang kini mengucurkan darah segar. Rasa sakit luar biasa melumpuhkan tubuhnya, membuatnya tak percaya pada apa yang baru saja terjadi.
"Ke-kenapa?" tanyanya dengan suara lemah, matanya menatap pria yang dicintainya dengan ketidakpercayaan. Namun Daniel tidak menjawab, hanya menatapnya dengan tatapan dingin yang membuat tubuhnya terasa semakin lemah.
Pisau itu kembali menghujam perutnya, bukan sekali, tapi dua kali lagi. Setiap tusukan membawa rasa sakit yang tak tertahankan, membuat wanita itu terjatuh berlutut. Darah membasahi tanah di bawahnya, menciptakan genangan merah di bawah kaki mereka.
Daniel menghela napas pelan, lalu, tanpa ragu, ia menendang tubuh wanita itu. Wanita itu terjatuh ke jurang dengan jeritan terakhir yang melengking, tubuhnya melayang bebas sebelum akhirnya terhempas ke aliran sungai yang deras di bawah. Suara tubuhnya menghantam air menggema di antara tebing-tebing, sebelum tenggelam sepenuhnya dalam derasnya arus malam.
Daniel berdiri di tepi bukit, menatap ke bawah dengan ekspresi datar. Angin kencang menggoyangkan dedaunan di sekitarnya, membawa aroma darah yang masih menempel di pisau di tangannya. Tanpa kata, ia berbalik, melangkah menjauh dari tempat itu, meninggalkan malam yang menjadi saksi bisu kekejaman yang baru saja terjadi.
"Aku adalah Daniel Harris, Mana mungkin akan mempertahankan wanita sepertimu," batinnya.
2 Bulan Kemudian
Di sebuah jalan yang sepi, seorang gadis berambut panjang berjalan dengan santai sambil membawa galon kosong di tangannya. Langkahnya terlihat malas, dan wajahnya penuh dengan ekspresi jengkel. Suaranya terdengar pelan, namun cukup jelas untuk mencerminkan isi hatinya.
"Sudah nikah cerai berulang kali, tapi saat disuruh angkat galon, selalu saja tidak kuat. Papa itu selalu cari alasan. Pantas saja nenek suka memukulnya," gumam gadis itu dengan nada kesal.
Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika ia menoleh ke arah sebuah kafe yang berada di sisi jalan. Matanya menangkap sosok yang sangat familiar di balik kaca. Seorang pemuda tampan sedang duduk di sana, tersenyum dengan begitu manis, membuat hatinya berdegup kencang. Namun, senyumnya memudar saat melihat siapa yang duduk bersamanya.
"Calvin?" gumamnya, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tatapannya tertuju pada pemuda itu yang kini memegang tangan seorang gadis lain. Gadis yang duduk bersamanya terlihat cantik, dengan senyum yang lembut dan penuh pesona. Ia bahkan melihat Calvin dengan santai mencium tangan gadis itu, seperti menunjukkan kasih sayang tanpa rasa bersalah.
"Kurang ajar," gumamnya lagi, kini dengan nada yang lebih rendah namun penuh kemarahan. "Dia berani berselingkuh di belakangku." Tubuhnya membeku di tempat, dadanya terasa sesak seperti tertimpa beban berat. Perasaan campur aduk memenuhi benaknya—kemarahan, kecewa, dan rasa sakit bercampur menjadi satu.
Dengan langkah penuh amarah, gadis itu memasuki kafe tanpa mempedulikan tatapan para pengunjung. Tangan kanannya menggenggam galon kosong erat-erat, sementara matanya tertuju pada Calvin yang masih duduk bersama gadis lain. Ia tidak memberi waktu untuk penjelasan atau pembelaan.
Brak!
Galon kosong itu menghantam kepala Calvin dengan keras, membuat pria itu terhuyung ke belakang. Suara benturan keras disertai jeritan Calvin langsung membuat semua pengunjung menoleh, terkejut dengan kejadian tak terduga itu.
"Aah!" jerit Calvin sambil memegangi kepalanya yang terasa nyeri. Wajahnya menunjukkan rasa sakit bercampur kaget. Ia memandang ke arah gadis yang berdiri di hadapannya dengan galon di tangan, wajahnya penuh kemarahan. Matanya terbelalak ketika akhirnya mengenali siapa gadis itu.
"Lollipop?" tanyanya dengan suara gemetar, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
"Aku adalah Charlotte Wilson," katanya tegas, suaranya menggema di ruangan yang kini hening. "Dan hari ini aku akan menghajarmu habis-habisan!" lanjutnya dengan nada penuh kemarahan.
Para pengunjung saling berbisik, Di pojokan kafe, seorang pria misterius yang sejak tadi duduk sambil menyeruput kopinya mengamati Charlotte dengan tatapan tertarik. Ia tidak berkata apa-apa, hanya mengamati dengan senyum kecil di wajahnya, seolah menemukan sesuatu yang menarik dari gadis itu.
Cuaca dingin dengan terpaan angin kencang menyapu tepian laut.Langit mulai menggelap, seakan ikut menjadi saksi bisu pertemuan dua insan yang telah lama terpisah. Angin menggoyangkan helaian rambut Charlotte yang terlepas dari ikatannya, sementara matanya masih tak percaya melihat Daniel berdiri di hadapannya.Mereka saling diam beberapa saat, membiarkan rindu dan luka masa lalu berbicara dalam tatapan.Daniel akhirnya memecah keheningan."Lama tidak bertemu... bagaimana dengan kabarmu?" tanyanya, suaranya berat namun lembut.Charlotte menelan ludah, suaranya terdengar tenang, tapi jelas ada dinding yang ia bangun di antara mereka."Aku baik-baik saja... Kenapa kau bisa ada di Jepang? Apakah ada urusan bisnis?"Daniel mengangguk singkat, meski jelas ia menyimpan sesuatu di balik jawabannya."Iya. Aku ada urusan penting."Charlotte tersenyum tipis, senyum yang lebih menyerupai penolakan."Baiklah kalau begitu, aku p
Malam hari.Apartemen.Lampu ruangan hanya menyala redup, menebar cahaya hangat ke seluruh sudut ruangan yang luas namun terasa sepi. Di salah satu sisi, Daniel duduk sendirian di sofa kulit hitam, ditemani sebotol wine yang hampir habis dan sebatang rokok yang mengepul di antara jari-jarinya. Asapnya berputar di udara, seolah menjadi bagian dari pikirannya yang kusut.Ia menatap kosong ke arah jendela, tempat bayangan kota malam terlihat kabur."Charlotte, lima tahun berlalu... kenapa kau masih tidak pulang?" batinnya lirih, suara hatinya lebih keras dari gumaman bibirnya. "Keluargamu ada di sini... apa kau berencana menghindar dariku seumur hidupmu?"Ia menarik napas dalam-dalam, menyesap wine perlahan, membiarkan rasa getirnya mengalir bersama kenangan."Aku ingin memulai hubungan baru denganmu... Aku tahu, masa lalu adalah kesalahanku juga. Tapi pengorbananmu, darahmu—semuanya membuatku sadar... aku telah membuat kesalahan besar." Ma
Rumah Sakit. Malam Hari.Suara sepatu para tenaga medis bergema di lorong rumah sakit, membawa Charlotte yang bersimbah darah ke ruang UGD. Para dokter dan perawat bergerak cepat. Detak jantung Charlotte melemah. Wajahnya pucat, dan luka tembak di bagian perut kirinya terus mengucurkan darah. Sementara itu, di luar ruangan...Daniel berdiri kaku di depan pintu UGD. Matanya memerah, wajahnya pucat pasi, dan kedua tangannya mencengkeram erat liontin kalungnya—tempat cincin pernikahan Charlotte tergantung. Cincin itu berayun pelan, seolah mengikuti detak cemas hatinya.“Bos... Jangan khawatir, nyonya pasti bisa melewatinya,” ucap Levis, mencoba menenangkan. Ia berdiri di samping Daniel, namun suara tenangnya tak mampu menyentuh hati pria itu yang tengah diliputi penyesalan.Daniel menggeleng pelan, suaranya serak. “Kalau Charlotte sampai meninggal... aku lah pembunuhnya.”Ia menarik napas panjang, seakan berusaha menahan
"Aku... kembali... untuk menebus... hutangku padamu..." suara Charlotte mulai melemah, nafasnya terputus-putus. Wajahnya pucat, matanya mulai buram. "Ibumu... meninggal... karena aku... bukan... papaku..." lanjutnya sebelum akhirnya kepalanya terkulai, tak sadarkan diri dalam pelukan Elvis."Lolipop... Lolipop!" jerit Elvis panik, mengguncang tubuh putrinya yang sudah lemas. "Bangun, Lolipop! Jangan tinggalkan Papa…!"Daniel berdiri membeku, air matanya mengalir tanpa mampu ia cegah. Ia menatap sosok wanita yang pernah ia cintai, kini bersimbah darah di pelukan pria yang dulu ia anggap musuh.Dengan suara serak, ia bertanya, "Beritahu aku… apa maksud Charlotte tadi?"Elvis menatap Daniel dengan wajah kusut penuh penyesalan. Ia menggeleng pelan, suaranya berat saat menjawab, "Kalau aku tahu begini jadinya… seharusnya aku lebih berhati-hati...""Apakah ada sesuatu yang aku tidak tahu?" tanya Daniel, suaranya bergetar antara amarah, kebingungan, dan kesedihan yang menggerogoti pikirannya
Beberapa saat kemudian, anak buah Elvis berjatuhan tak berdaya. Suara tembakan menggema di udara, meninggalkan jejak darah dan erangan sakit yang memekakkan telinga. Beberapa di antara mereka tewas seketika, sementara yang lain tergeletak dengan luka parah, menggeliat menahan rasa sakit yang luar biasa.Elvis berdiri di tengah kekacauan itu, tubuhnya gemetar melihat kondisi anak buahnya yang begitu mengenaskan. Matanya memerah, bukan karena rasa takut, melainkan karena perasaan bersalah yang mendalam. Ia tidak pernah ingin pertumpahan darah ini terjadi. Nafasnya memburu, tubuhnya tegang menahan emosi.Dengan langkah berat, Elvis maju ke depan. Tangannya terangkat ke udara sebagai tanda menyerah."Daniel, bunuh saja aku... mereka tidak tahu apa-apa sama sekali," ucap Elvis lirih, suaranya parau oleh emosi. Ia berdiri di antara tubuh-tubuh yang terkapar, menjadi tameng hidup bagi mereka yang tersisa.Daniel melangkah maju perlahan, wajahnya dingin dan tanpa ekspresi. Pistolnya terarah t
Tidak lama kemudian, sejumlah mobil mendekati markas Elvis. Suara deru mesin dan debu yang mengepul di jalan tanah membuat suasana di sekitar mendadak tegang. Kehadiran mereka tidak luput dari perhatian Charlotte, yang tengah duduk menunggu di warung sepi di tepi jalan yang tidak begitu jauh dari markas ayahnya.Dahi Charlotte berkerut saat melihat iring-iringan kendaraan itu. Matanya menatap tajam ke arah mobil-mobil yang melaju cepat."Apakah itu Daniel?" gumam Charlotte dengan suara gemetar. Ia bangkit dari kursi usangnya dan berdiri sambil memandangi mobil-mobil yang semakin mendekat ke markas.Beberapa detik kemudian, mobil-mobil itu berhenti mendadak di depan gerbang. Daniel turun lebih dulu, disusul seluruh anak buahnya. Mereka semua keluar dari kendaraan dengan sigap, menggenggam senjata api di tangan masing-masing. Tatapan mereka penuh tekad, seakan tak akan mundur meski maut menanti di depan.Sementara itu, di dalam markas, Elvis, sang pemimpin
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments