Share

3. The Debit Card

Mataku memiliki cekungan lebar yang kusam dan segera akan menghitam. Menjerang air lalu menyeduh kopi pahit, air hitam pekat itu semoga menghilangkan kantuk yang tak tertahan. Ampasnya untuk kompres mata pandaku pasti lumayan ampuh. Hari ini aku tidak punya waktu untuk melakukan perawatan di salon langganan, jadwalku penuh sampe sore nanti. Aku menguap untuk yang kesekian kali sampai mataku berair, ngantuknya hoam...

Mungkin malaikat terheran-heran, jin dan iblis ikut mengernyitkan dahi. Jonathan Wirautama berbagi ranjang denganku. Semalam itu adalah malam keduaku bersamanya, setelah setahun lalu di malam pertama, hal yang sama terjadi.

Setelah melempar tatapan aku tidak sudi menyentuhmu, dia tidur dalam damai di sebelahku. Sangking damainya hampir aku membuat nisan di atas kepalanya dengan kutipan Rhyme in Peace. Sementara aku cuma bisa berkedip-kedip mirip boneka Susan sambil menggerutu bahwa kehadirannya sangat mengganggu. Aku sampai takut bergerak karena takut menggeser selimut bagiannya, jadi sepanjang malam aku hanya terlentang saja sampai seluruh ototku mau putus sangking kakunya.

"Jojo, kamu sudah bangun? Mau minum apa, biar ku buatkan," air comberan mau?

Jonathan hanya menatapku datar, dia sudah rapi dengan setelan jas yang telah lama dia tinggalkan di apartemen ini.

Dulu, biasanya Jonathan hanya akan menjadikan apartemen ini sebagai tempat singgah, karena memang lebih dekat ke kantor pusat milik keluarganya. Entah dia bermalam di mana, yang jelas pagi-pagi sekali pria itu akan datang hanya untuk numpang mandi dan berganti baju. Meninggalkan baju kotornya begitu saja untuk ku cuci, itu termasuk boxer dan kancutnya juga loh. Mengingat itu aku menatap ke arah di mana kancut segitiganya terpasang pas di tubuhnya.

Kurang ajar nggak sih dia? Jadi ingat kesialanku karena kancut itu, aku mendapat omelan ibu mertua. Manusia tidak sopan lah karena melaundry underwear suaminya. Istri pemalas lah, isinya doyan bungkusnya nggak mau, dan bla bla bla. Setelah itu aku terpaksa mencuci kancutnya sendiri. Padahal seluruh jagad alam raya tahu, aku belum tahu wujud isinya kancut si Jonathan.

"Kopi." Sahut pria itu dengan muka merah. Dia kenapa sih, lama tak bertemu jadi aneh banget. 

Aku tersenyum mengangguk, bersyukur karena akhirnya dia memperlakukan aku seperti seharusnya istri. Tapi dalam hati aku masih tidak puas, bagaimana wajahnya yang terlihat segar dan fresh, tidurnya pasti nyenyak sekali semalam. Sementara aku harus tersiksa sendiri dengan tubuh kaku seperti menekin.

Kalau aku kenal Jesicca, aku ingin tanya dia beli sianida di mana, terus seberapa campurannya, biar baunya tidak terlalu pekat dan bisa langsung memberikan efek menghentikan pernafasan. 

"Swara Amaya..."

Dadaku bergemuruh, ada apa dengan pria itu hingga memanggil namaku dengan lengkap seperti seorang sipir mengabsen penghuni lapas. Intonasinya rendah tapi di telingaku terdengar mendayu, tatapannya ganas. Ketika mataku mengerling padanya, dia kemudian memijit sudut matanya. 

"Ke~kenapa Jo?" Ada apa dengan mata itu, setelah lama tak bertemu dia jadi suka sekali memperhatikan wajahku.

"Berapa lama kita tidak bertemu?" Matanya menatap dalam tapi dingin.

"Ehm, tiga bulan ya?" Aku tidak yakin, itu sudah lama sekali. 

"Selama itu kau pikir aku kemana?"

Mana aku tahu dodol! Aku tidak pernah mendapat kabar darimu, aku juga tidak ingin tau sih, apa peduliku. 

"Maafkan aku Jojo, seharusnya aku menghubungimu mencari tahu, tapi aku lupa tak menyimpan nomer pribadimu. Itu karena terlalu lama kamu tidak bisa dihubungi, ku pikir kamu lupa memberitahu nomor barumu." 

Aku menghapusnya enam bulan lalu, berkali-kali aku menelponmu tapi kamu terus-menerus mengabaikanku. Sungguh, Jonathan aku tidak peduli kamu kemana. Huh, ada apa dengan pertanyaanmu, ada apa denganmu tiga hari ini? Kapan kamu membuatku jadi wanita single happy sih. Bajingan tengik bau karbol ini!

Menghela nafas lelah, aku menunduk sedih, nada suaraku tentu menyalahkannya soal itu. Seharusnya sebagai suami yang baik dan bertanggung jawab, dia punya inisiatif menghubungi terlebih dulu. Atau sesekali dia menghubungiku apakah aku sudah makan, apakah uang belanjaku cukup? Apakah adik dan ibunya masih membuliku. Aku capek Jo, kapan kamu menceraikanku dan kamu bebas menikahi adik angkatmu yang mirip putri kodok itu.

Wajah Jonathan menggelap, dia seperti menghidu aromanya sendiri. Tapi gesturnya halus sampai aku yakin aku berhalusinasi melihatnya begitu. "Apa yang kau lakukan selama ini tanpa kehadiranku?" 

Kamu pikun ya, selama aku berubah status jadi istrimu, kau itu sudah mirip bang Toyib. Bahkan semua orang di lingkaranku memanggilku janda to be soon karena kealpaanmu selama ini. Aku dirawat di RS selama sepuluh hari karena kecelakaan di lokasi syuting 6 bulan lalu, mana pernah kamu tahu. Tidak taukah selain membuang waktuku bertahun-tahun ini kamu juga tak berguna sama sekali. Untuk makan saja aku harus mengandalkan tanganku sendiri. Aku berdecak, sebelum kembali mengumpat. Bang Toyib bajingan!

Alis pria itu mengkerut, dia berdehem dalam beberapa kali, seolah ada duri tersangkut di tenggorokannya.

Ku tarik bibirku ke sudut-sudut sebelum.menjawabnya. "Aku bekerja keras siang dan malam Jojo, demi agar aku bisa membahagiakanmu."

Memasang wajah baik hati nan tulus seperti Dewi Kwan Im, aku berusaha jadi istri baik yang ikhlas membantu suaminya bekerja demi agar dapur tetap mengebul. 

"Kalau uangku banyak, kamu tidak perlu lagi susah payah bekerja demi diriku sampai tak pulang-pulang seperti selama ini. Kamu juga tidak perlu malu karena tak mampu memberiku uang belanja, kamu hadir disini itu sudah cukup kok." 

Aku ingin tertawa mendengar nada tak berdaya dari bibirku. Abaikan wajah Jonathan yang berganti menjadi merah hijau. Dia berkacak pinggang, kemudian melonggarkan dasinya, salah tingkah. Dia tidak tercekik kan, hingga seperti orang kehabisan oksigen begitu. 

"Tidak bisakah kau berhenti mempertontonkan tubuhmu di depan banyak orang?"

Dia menatap tubuhku sekilas lalu kembali ke wajahku, yang hanya mengenakan piyama pendek tanpa lengan. Di bawah ketiak, bra-ku masih akan terlihat karena modelnya memang begitu. Ku rasakan kilat di mataku bersama dengan bibir ini yang tersenyum licik. Sedangkan bibirnya mengatup tanpa mood.

"Suamiku, kamu cemburu ya, kenapa kamu jadi posesif begini sih?" Aku bergerak merapat ke tubuhnya seperti perempuan jablay. Mengalungkan tanganku pada lengannya mirip perempuan kegatelan. Senyum jalang juga ku pertontonkan.

Jonathan memejamkan mata, aku menangkap gestur gugup dari dirinya. Dalam hati cekikikan, masak sih dia tidak tergoda sama sekali denganku. Kalau semalam dia tak sempat melihatku mengenakan gaun seksi, sekarang dia bebas memanjakan matanya, atau itunya sudah tumpul dan berkarat karena kelamaan dianggurin, hingga tak mampu menangkap sinyal-sinyal bergelora penuh godaan dari tubuhku. 

"Semalam kamu tidur lebih awal, aku bahkan belum menunjukkan piyama imut ini. Ini hadiah dari CEO Newback karena peluncuran produk barunya yang aku iklankan berhasil bulan lalu."

"CEO Newback?"

Ulangnya dengan wajah sedatar dada waria gang senggol. Jonathan menatap ekspresiku dengan alis sedikit naik. Mungkin dia teringat dengan skandal bulan lalu di mana namaku kembali viral karena dikabarkan jadi simpanan tua bangka itu. 

Setiap kali melihatku si tua itu akan terus mencari kesempatan untuk memepet seperti aksi angkot rebutan penumpang. Tapi aku menyukai piyama sutra ini, halus dan nyaman di kulit. Tidak menyukai orangnya bukan berarti tidak menyukai produk bagusnya.

Aku masih wanita paling realistis di industri hiburan dibandingkan wanita-wanita lain. Aku sangat menyukai uang, tapi masih ogah diajakin 'ngamar' para sutradara, produser, maupun sponsor. Di dunia hiburan hal seperti itu sangat biasa. Makin sering kau memeluk paha orang berduit makin banyak tawaran pekerjaan yang masuk padamu, dan semakin melejit pula karirmu. 

Aku juga melakukan skandal yang sama meskipun itu semua cuma sebatas skandal tak terbukti. Seperti yang ku katakan di awal, aku menebar berbagai rumor itu karena ingin diceraikan. Aku sudah tak tahan selalu jadi mantu tak dihargai dan istri tak diharapkan. Sangking mengenaskannya rumah tanggaku macam sinetron, aku sampai hafal lagunya Rossa, ku menangis...

Ngomong-ngomong soal pekerjaan, tentu saja aku bersih. Aku mendapatkan berbagai peran karena rajin casting. Aku juga tidak terlalu pilih-pilih baik protagonis maupun antagonis, selama itu mengasah kemampuanku dan utamanya menghasilkan rupiah, akan ku ambil. Tidak jarang aku terlibat persaingan dengan artis lain yang sama-sama mengincar sebuah peran. Tidak jarang juga pertengkaran demi pertengkaran ku lakukan, lumayan kan sebagai bahan skandal. Selain itu semakin sering kamu menang dari lawanmu semakin banyak orang yang akan berpikir dua kali untuk menjatuhkanmu. Tapi latar belakangku tidak bisa mereka anggap remeh, jadi mereka akan berpikir dua kali untuk tidak membuat masalah denganku. 

"Jangan sembarangan mengambil pekerjaan mulai dari sekarang, berhenti berulah." Selorohnya. 

Aku mengendik tak peduli pada peringatannya. Kalau kamu memberiku uang belanja yang digitnya berlimpah akan ku pertimbangkan. 

Tanpa ku duga tanpa ku kira, dia mengeluarkan dompetnya dan mengambil kartu kredit berlogo bank Asia yang ada di Indonesia.

"Gunakan sesukamu," ujarnya singkat. 

Belum sempat menerka berapa limitnya, belum juga pulih aku dari keheranan tentang tumben dia memberiku nafkah, aku masih dikejutkan dengan tindakan Jonathan selanjutnya. 

Dia menyesap kopiku dengan cara yang membuatku ikut haus. Aku seolah bisa melihat air kopi melewati mulutnya menuju pangkal tenggorokan, lalu jakunnya yang bergerak dramatis menambah kesan seksi, astaga... Aku mengerjap, itu tadi apa?

Aku shock, tampangku sekarang pasti sudah mirip kuda nil sangking lebarnya aku menganga. Dia meminum kopi dari gelas yang sama denganku? Aku tersipu, apa itu bisa di sebut ciuman? Ah pemikiran abege norak, kenapa aku jadi ikut berotak norak ya, akibat hal kecil begitu.

Karena terlalu banyak melamun, jadi lupa kalau bang toyib-ku minta dibuatkan kopi. 

"Pahit" katanya tanpa mimik berarti. Tanganku masih bergelandot manja. Lupa sepenuhnya kalau sebelumnya dia alergi padaku. 

"Memang, aku diet!"

Cantik seksi begini kamu tak bisa melihatku, apalagi kalau aku gendut. 

"Ngapain?" Katanya, tidak ada riak sama sekali pada nadanya. Intonasinya juga biasa-biasa saja. 

"Biar body langsingku terjaga lah. apalagi" aku cemberut, dasar.

"Kamu gendut" katanya sebelum menyesap kopi pahit itu lagi. 

Sontak aku melepas tangannya, mengukur lingkar perutku dengan kedua lenganku sendiri. Mataku meneliti diriku dari atas ke bawah. Aku berpikir, masa sih kaloriku bertambah drastis sampai kelihatan gendut. Jadi aku spontan berbalik memunggunginya, lalu mengambil timbangan digital di bawah meja makan. Harus menungging karena kemarin aku meletakkannya menggunakan kaki. Hasilnya butuh kekuatan ektra untuk meraih timbangan itu. 

Suara batuk Jonathan membuatku sadar posisiku yang pasti terlihat aneh. Rok di atas lutut kalau ku buat nungging pasti bakal memperlihatkan isi bokongku kan? Aku cekikikan lagi dalam hati, meski bibirku harus menahan agar tidak tersenyum lebar. 

"Jangan liat aku, Jo!" Aku berpura-pura murka, menempatkan diriku sebagai korban matanya yang cabul. 

"Jaga etiketmu, Cuwa!" Dia menggeram rendah, yang ku balas dengan tawa dari bawah meja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status