Saat Jovita terbunuh, rasanya seperti mimpi, sulit dipercaya. Dan saat Isamu juga terbunuh, mimpi buruk yang menjelma nyata. Rasanya seperti sebuah teror. Kematian begitu dekat, begitu nyata. Mengikuti dengan rapat, tepat di belakang punggung.
Kejadian yang menimpa Jovita sungguh tidak terbayangkan. Seolah hal itu belum cukup, mereka kembali di kejutkan dengan hal serupa. Mungkin yang kali ini sebuah peringatan. Bahwa segalanya belum berakhir. Bahwa mereka tidak akan dibiarkan tenang. Tidak, bahkan untuk sesaat.“Dalam waktu dua hari, dua orang terbunuh tepat di depanmu. Sebenarnya apa yang kamu lakukan?” Adien berkata ngeri.Adien secara terang-terangan menjauhi Tami. Seperti Tami dapat menularkan nasib buruk pada siapa pun atau lebih parah lagi, pembawa kematian. Berada di satu tempat yang sama saja sudah membuat tidak nyaman, apa lagi harus berada tepat di depannya seperti saat ini.Tami menatap nyalang ke arah AdiMalam semakin larut. Kegelapan yang berasal dari luar semakin melebarkan sayapnya yang kelam. Bulan enggan muncul meski hanya sesaat untuk menyapa. Terus bersembunyi dengan nyaman di balik awan kelabu. Mika sedang mengurung diri dalam kamarnya yang gulita. Sebelumnya ia bisa merasa tenang saat berada di tempat gelap. Ia bisa berpikir dengan tenang. Jika sudah seperti itu Mika merasa dirinya mirip Laisa Khalila, sepupunya yang pemberontak itu. Secara sadar, Laisa banyak memberi pengaruh untuk hidup Mika. Kemampuan memasak, mengurus TKP, sampai sedikit ilmu bela diri yang Mika pelajari, semua berasal dari Laisa. Laisa adalah wanita yang suka pamer. Ia selalu membanggakan kelebihan dan segala hal baru yang telah ia pelajari. Setelah berhenti mempelajari sesuatu Laisa akan menunjukkan apa saja yang telah ia kuasai kemudian menurunkan beberapa pada Mika. Laisa berkata kalau ilmu yang ia turunkan adalah bayaran dari surat kelulusan yang Mika buat untukn
Pukul setengah enam pagi, vila di pulau itu masih tenang. Masih sama sekali belum ada aktivitas yang terlihat. Beberapa menit kemudian, seseorang membuka pintu kamarnya dengan hati-hati. Kemudian melangkah menuruni tangga. Langkahnya perlahan dan tanpa suara. Ada kantong plastik hitam yang ia bawa. Tujuannya adalah pintu belakang. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku. Jepit rambut hitam yang telah dibengkokkan menyerupai kunci. Dengan sedikit usaha dan kesabaran, pintu akhirnya terbuka. Sebelum beranjak keluar, ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan segalanya aman dan hanya ada dirinya sendiri di sana. Hawa dingin yang segera menyergap begitu pekat. Ia mengusap-usap kedua lengannya untuk sedikit memberi rasa hangat. Suasana tenang, lenggang, dan sejuk. Tempat ini sebenarnya sempurna untuk berlibur. Tanpa kesibukan kota, polusi, dan asap kendaraan bermesin. Menikmati pemandangan yang permai dan air laut yang jernih. Sungguh sempurna jika saja situasinya
"Jadi, siapa yang mau menjelaskan apa yang sedang terjadi?" Mika bertanya pada Adien dan Tami. Begitu pintu dibuka, Adien merapat pada Mika dan Rania. Ia terlihat begitu ketakutan. Tami yang berdiri pada jarak lima langkah dari mereka merasa telah menjadi seorang antagonis yang menyedihkan. Antagonis yang bahkan tidak tahu telah melakukan kejahatan apa. "Aku ..." "Tami mengagetkanku. Dia muncul diam-diam dari belakang. Bukankah itu aneh?! Itu jelas-jelas aneh!" Adien menunjuk ke arah Tami namun menyembunyikan tubuhnya di belakang Mika. Di situasi seperti ini, siapa yang berbicara lebih dulu maka dialah yang memegang kendali. Sementara orang yang berbicara setelahnya, hanya akan dianggap mencari-cari alasan, melakukan pembenaran. Mika menatap Tami meminta penjelasan. Tami mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka kalau Mika akan mempercayai perkataan Adien mentah-mentah. Tami juga menatap ke arah Rania. Meski wan
Saat masalah telah selesai, semua kembali ke kamar masing-masing. Sebenarnya situasi saat ini benar-benar tidak menguntungkan. Dengan setiap orang sibuk saling menghindar dan berpikir dengan cara masing-masing mereka akan cenderung lebih pasif. Tapi tidak ada pilihan lain. Tidak ada yang yakin siapa yang benar-benar teman dan siapa yang sebenarnya musuh. Membagikan informasi secara membabi buta tidak akan menguntungkan. Saat tidak ada lagi suara yang terdengar dari lorong lantai dua, Mika meninggalkan kamarnya. Ada hal yang membuatnya penasaran dan semakin dipikirkan, semakin Mika tidak tenang. Tempat yang menjadi tujuan Mika adalah kamar paling ujung sebelah kanan. Pintu kamar masih tertutup seperti sebelumnya, tapi ketika Mika masuk seseorang telah berada di sana lebih dulu. "Lama sekali. Aku sudah menunggumu dari tadi." Rania Meisy. Wanita itu bersandar di dinding dengan tangan terlipat di depan dada. Ekspresinya terlihat mulai bosa
"Mika, Mika! Mika, buka pintunya!!" Tami menggedor-gedor di depan kamar Mika. Ia bersikap seperti orang kerasukan. Saat Mika muncul, ia terkejut karena melihat wanita itu keluar dari kamar paling ujung bersama Rania dan bukan berada di kamarnya. "Kenapa ...” Tami menunjuk Mika dan Rania bergantian. “Ah, lupakan!" Dari mana pun Mika keluar atau masuk itu hak Mika, Tami tahu ia tidak boleh ikut campur. "Lihat, apa yang kutemukan!" katanya beralih pada hal yang lebih penting. Mika, Rania, dan Adien yang juga keluar dari kamarnya mendekat untuk melihat dengan jelas benda yang ada di tangan Tami. "Kamera?" Mika seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Kamera? Kamera CCTV?!" seru Rania "Bagaimana mungkin ada kamera?" Adien menyahut. "Aku menemukan benda ini di kamarku," jelas Tami. Kamar Tami berada di ruangan pertama sebelah kanan. Ia mengajak semua orang ke kamarnya da
Mika tidak setuju karena secara tiba-tiba Rania membagikan informasi bahwa ia telah berhasil mengirim pesan keluar. Karena sekali lagi, Mika masih belum yakin siapa yang benar-benar teman dan siapa lawan. Membagi informasi secara membabi buta tidak akan menguntungkan. "Karena itu, orang yang paling enggak setuju kita bisa secepatnya keluar dari tempat ini pasti pelakunya." Rania berkata yakin. "Tapi aku tidak setuju caramu membuat keputusan tanpa bertanya dulu padaku." Mika tetap tidak puas. "Iya, iya, maaf. Enggak akan kuulangi lagi," janji Rania. Setelah selesai membahas situasi secara empat mata, Mika dan Rania kembali bergabung bersama yang lainnya. Di luar dugaan, ekspresi Tami dan Adien justru tidak terlihat tenang atau merasa senang. Tidak sama sekali. Mika dan Rania bertukar pandangan. "Pokoknya kalian jangan khawatir. Kita pasti bisa keluar dari tempat ini." Rania menekankan sekali lagi keyakinannya. "A
"Iya, aku yang membunuh Isamu." Tami mengakui perbuatannya. “Tapi aku sama sekali enggak bermaksud. Aku enggak sengaja,” katanya menambahkan. "Itu mengerikan." Adien berbisik pada Mika. Rania mendelik pada Adien. Ia tidak ingin wanita itu merusak momen dan membuat Tami berubah pikiran. "Enggak sengaja?" ulang Rania kembali fokus pada Tami. "Isamu terus menuduhku membunuh Jovita. Padahal sudah kubilang berulang kali kalau bukan aku. Kalau aku enggak tahu apa-apa." Ingatan Tami kembali ke saat ia berbicara dengan Isamu. ... Malam itu Isamu mengetuk pintu kamarnya. Hari sudah terlalu larut dan mata Tami bahkan sudah setengah terpejam. Dengan malas Tami beranjak dari ranjang. "Siapa?" Tami merapat di pintu dan bertanya. Setelah kasus yang menimpa Jovita, ia belajar untuk bersikap waspada. Semua orang pun melakukan hal yang sama. "Saya, Isamu." Suara dari balik pintu menyahut.
"Jadi, kalian berebut pisau dan Isamu tertusuk secara enggak sengaja?" Adien berkomentar. "Rasanya seperti dalam drama." "Kalau kamu enggak percaya, ayo kita lakukan reka ulang!" tantang Tami. Adien menggeleng dengan cepat. Tidak mungkin ia sebodoh itu setuju dan membahayakan dirinya sendiri. "Ada banyak hal yang patut dipertanyakan dalam ceritamu.” Mika ikut berkomentar. Cerita Tami tidak semuanya utuh. Mungkin benar semua sesuai dengan situasinya. Tapi masih ada bagian yang tidak dijelaskan dengan lengkap. Bukan karena terlewatkan secara tidak sengaja melainkan memang dihindari dan tidak ingin orang lain tahu. Tami menggeleng. "Aku sudah menceritakan semuanya. Sekarang kamu harus memenuhi janjimu untuk membantuku," tagih Tami. Ia berdiri di depan Rania. "Pertama, kamu ha-" "Kamu mau mengelak?!" Tami memotong kalimat Rania yang belum selesai. "Aku sudah membuang harga diriku dengan memoh