Share

Bab 6. Status F* Dek Hana

----------

Memang salah kalau aku mempunyai standart hidup lebih? Rumah, mobil, dan kehidupan yang layak? Toh, aku usahakan sendiri. Tidak mengambil hak orang lain. 

 

Aku sudah mandiri sejak ayahku meninggal. Tidak ada pertolongan ataupun yang bersedia menanggung. 

 

Mandiri itu berdiri di atas kaki sendiri, ya, bukan malak sodara sendiri.

---

 

Itu status f******k yang ditulis oleh Dek Hana

 

Pada paragraf awal, tidak ada yang salah dengan keinginannya. Cita-cita untuk maju dan mengusahakannya. Aku pun senang kalau mempunyai adik ataupun ipar yang mempunyai kehidupan lebih baik. Kalau yang ditulis hanya paragraf awal, dengan senang hati aku akan berkata, "Aamiin".

 

Namun, tulisan berikutnya apalagi terakhir membuatku mengernyitkan dahi. 

 

Dek Hana menyebutkan mandiri sejak ayah mertua meninggal, aku tidak bisa menyebut memenuhi apapun yang diminta saat dulu. Namun, dia tidak pernah kelaparan, ataupun putus sekolah saat tinggal bersama kami. 

 

Dia memang sedari SMA menyukai bisnis, kami pun menyokongnya ketika membutuhkan modal. Keuntungannya, murni dipakai untuk keperluan dia pribadi, kami tidak pernah mempertanyakan apalagi meminta bagian. 

 

Memang, Dek Hana mempunyai standart hidup tinggi. Baju, sepatu, bahkan tas pun harus bermerk, dari hasil bisnisnya itu dia membelinya.

 

Saudara siapa yang dimaksud? Memang dia tidak menuliskan nama, tetapi, mengingat masalah diantara kami, jelas-jelas ini tertuju kepada kami. 

 

Kata malak, membuat hati ini teriris. Itu sama saja menuduh kami mengambil paksa apa yang dia punya. Kakakmu ini hanya pinjam, Dek. Itu pun, seribu kali kami berpikir saat akan mengirim pesan w******p.

 

Banyak yang menaruh komentar setelahnya, ada yang bilang aamiin, tetapi ada juga yang mempertanyaan.

 

"Bukankan kamu ikut Mas Farhan, ya. Aku pernah ke rumahmu, mereka baik. Setahuku sekolah dan kuliah ditanggung kakak kamu." Sepertinya komentar ini dari teman sekolah Dek Hana dulu.

 

Aku mengarahkan jariku pada balasan dari Dek Hana. "Wajarlah, mereka memberiku makan. Pembantu saja dikasih makan dan gaji. Anggap saja uang sekolah upahku karena mengerjakan pekerjaan rumah."

 

"Kamu dijadikan pembantu?" Komentar dari akun lainnya. 

 

"Iya. Aku harus mencuci, seterika baju, dan bantu masak. Itu kan pekerjaan pembantu."

 

Ini dari orang lain lagi. "Memang siapa malak kamu? Ih, tidak tahu malu. Bisanya jadi benalu."

 

"Biasalah, orang yang merasa berjasa," balas Dek Hana.

 

Jemariku berhenti membuka komentar lebih lanjut,  ini hanya menambah luka saja. Semakin dibicarakan tidak akan menjadi baik, karena semua bersikukuh dengan kebenaran yang sudah diyakini. Kebenaran tidak bisa dipaksakan, aku hanya bisa iklas dan mendoakan semua menjadi baik. 

 

Huuuft!

Aku menarik napas dalam-dalam, mengurai sesak di dada, kemudian menyusut sisa air mata di pipi. Meneteskan air mata membuatku lega, seakan resah ikut hilang saat aku menghapusnya. 

 

Kutegakkan badanku dan merentangkan tangan, menambah ruang udara dan energi untuk mengusir pikiran negatif Aku tetapkan untuk menghilangkan dan tidak ingin mencari tahu, fokus dengan apa yang aku lakukan.  

 

Aku harus segera keluar kamar, terlalu lama nanti Santi merasa aku marah besar. Bisa saja dia tidak enak hati, merasa sikap Dek Hana merupakan tanggung jawabnya juga.

 

Kulongokkan kepala ke dalam kamar Lisa, tidak ada adik iparku itu di sana. Selimut terlipat rapi, bahkan spreipun tidak kusut. Kemana dia?

 

"Santi? Kamu kenapa setrika?" teriakku mendapati dia di kamar belakang. Dengan tumpukan baju yang sudah rapi di setrika. Dia menoleh dengan cepat, mungkin terkejut karena teriakanku. 

 

Tanpa menghentikan kegiatannya dia berujar, "Tidak apa-apa, Mbak. Kalau menganggur, aku malah pegel."

 

"Biar Mbak saja yang kerjakan. Kamu duduk di depan saja atau---."

 

"Mbak Fika, tenang saja. Aku bukan Mbak Hana yang menyebut setrika baju itu pekerjaan pembantu. Ini pekerjaan rumah yang dikerjaan anggota keluarga."

 

"Udah, itu terakhir, ya. Mbak mau bicara dengan kamu. Tentang bisnis," perintahku sambil menunjukkan senyum, menyampaikan tanda kalau aku tidak marah kepadanya.

 

Dia menatapku sesaat, kemudian membalas senyuman seperti biasa. "Ini sudah selesai kok," ucapnya kemudian mencabut kabel setrika dan merapikan kembali. 

 

"Aku tunggu di depan, ya," ucapku sambil berlalu. Langkah ini menjadi lebih ringan, ada terbersit ide setelah bertemu Santi dan menilik f******k tadi.

 

"Ini, kopinya. Aku tahu, Mbak Fika belum ngopi, kan?" tebak Santi sambil menaruh segelas kopi yang masih mengepul. Menguar aroma yang menenangkan pikiran ini.

 

"Kamu seperti ahli nujun. Sok tahu."

 

"Ya, tahu lah, Mbak. Di meja tidak ada gelas kopi, di belakang juga belum ada gelas kotor."

 

Aku tertawa kecil mendengar penjelasannya, menepuk bangku sampingku untuk dia duduk.  Sama dengan Fariz, pembawaan Santi juga manja kepadaku. Mungkin karena saat menikah dengan Mas Farhan, dia masih kecil.

 

"Kamu pinter, ya," ucapku sambil mengacak rambutnya setelah kami duduk sebangku. Aku beringsut ke arahnya, sehingga kami berhadapan.

 

"Iya, lah. Memang Mbak Hana yang tidak mengerti, padahal sekolahnya tinggi," celetuknya dengan nada kesal yang mematik.

 

"Sudah, lupakan saja. Ini mungkin salah Mbak karena ingin pinjam uang di saat yang tidak tepat," ucapku sambil menepuk bahunya.

 

"Tidak bisa begitu, dong. Harusnya tanpa Mas Farhan atau Mbak Fika ngomong, Mbak Hana mengerti dan membantu tanpa disuruh! Harusnya dia bisa menilai mana yang mendesak atau tidak!" terang adik iparku ini kemudian mengambil jeda untuk bernapas, mengurai rasa kesal. "Kalau aku sudah mampu, pasti tanpa Mbak Fika minta aku sudah maju, tapi ... aku belum bisa."

 

"Jangan diperpanjang lagi, ya. Lebih baik Mbak Hana didoakan supaya keinginannya terkabul dan keluarga kita tetap rukun. Jangan sampai, ini terdengar ibu," ucapku sambil mengangguk, memaksanya mengikuti yang kuucapkan.

 

"Sekali lagi, maap, Mbak Fika."

 

"Sekarang kita tutup masalah ini. Kita fokus dengan apa yang harus kita lakukan. Mbak punya ide untuk bisnis. Kalau kamu mau bergabung, boleh."

 

Mata yang sempat terpercik amarah, sekarang membulat. Mata Santi adik iparku ini membulat dan berbinar, seperti sudah berkata 'iya'.

 

Meletakkan sakit hati, lebih baik daripada memelihara rasa yang hanya merugikan saja. Pasrah dan iklas yang bisa aku lakukan, mencari mana yang benar atau salah, hanya membuat keadaan semakin runyam.

 

'Kebenaran tergantung dari sudut mana dan waktu kapan kita menilai sesuatu. Hanya kebenaran Tuhan yang mutlak.'

***

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status