Share

Bab 8. Bom Waktu

Author: Astika Buana
last update Last Updated: 2022-08-08 17:30:00

Hari ini, aku dan Santi memulai bisnis makanan. Pertama, kami memulai dari kue kering. Ini dengan pertimbangan bulan puasa dan lebaran yang sebentar lagi. Sekarang, waktu yang tepat mencari pelanggan.

'Sederek Kitchen', nama yang kami pilih. Perpaduan dua bahasa, sederek bahasa Jawa artinya saudara dan kitchen bahasa Inggis yang artinya dapur. Ada rasa tradisional tetapi ada sentuhan istilah kekinian.

Akupun sudah mantap, langsung menghubungi Mas Farhan dan mendapat jawaban, "Bagus. Semoga kalian berhasil."

Santi juga begitu bersemangat, dia langsung melancarkan aksinya. Dia membuat akun f******k, i*******m, tik-tok, dan tentunya marketplace. "Pokoknya, Mbak. Sederek Kitchen akan langsung dikenal banyak orang!" serunya dengan mata berbinar.

Akupun mengambil bagianku, memulai menentukan produk dan segera eksekusi hari ini. Santi membutuhkan untuk pengambilan foto sebagai promosi.

"Santi, kamu di rumah saja. Mbak akan ke pasar beli bahan. Kalau mau makan, di kulkas ada makanan yang bisa dihangatkan," pesanku sebelum pergi. 

Menggunakan becak langganan, aku menuncur ke pasar. Tujuanku ke toko bahan kue, pemiliknya bernama Nurul--teman pengajian yang sudah menjadi sahabat.

"Fika! Untung kamu ke sini. Aku ingin bicara," ucapnya membuatku mengernyitkan dahi. "Eh! Perlu apa?" tanyanya langsung menarikku masuk. 

Pembawaannya memang cerewet dan rame, makanya toko yang baru berdiri satu  tahun ini langsung laris. Dia begitu ramah terhadap pembeli yang mayoritas kaum hawa. Biasanya kalau kami bertemu, dia akan bercerita banyak dan aku bertugas mengamini dan tertawa saja.

"Aku butuh ini. Tidak banyak, kok," ucapku menyodorkan catatan belanja yang aku butuhkan. Dia membaca sejenak, kemudian memberikan ke pegawainya untuk disiapkan. 

"Pesananmu masih antri. Kita ke atas saja, yuk. Di sini ramai!" celetuknya, kemudian menarikku tanpa menunggu jawaban dariku. 

Ruko ini ada dua lantai, di bawah toko dan di atas gudang penyimpanan dan sebagian disetting menjadi kantor tempat Nurul merekap data. 

"Kopi, kan?" tebaknya langsung menyeduh kopi instan dengan menuang air panas dari dispenser.

Aku menyapu ruangan dengan pandangan, tumpukan berbagai bahan, box-box besar berisi bahan kemasan kecil dan rak yang memanjang tertata rapi. Bahan kue memang banyak macamnya, dari yang kemasan besar sampai kemasan kecil-kecil. Kalau tidak di atur akan susah mencari yang dibutuhkan. 

Sebenarnya, ada satu lagi sahabat kami, namanya Wiwin. Kalau bertiga sudah berkumpul, pasti lupa waktu karena mengobrol. Sayangnya, dia sekarang semakin sibuk setelah suaminya menjabat menjadi kepala dinas di kota sebelah.

"Rencanaku, akhir minggu ini berkunjung ke rumahmu. Ada yang perlu aku sampaikan," ucapnya seraya menyodorkan kopi yang mengeluarkan aroma yang kusukai. Sejenak, aku menyesap sedikit dan membuat badanku segar.

"Ada apa. Setahuku setiap kita bertemu, ada saja yang disampaikan," ucapku sambil tertawa, mengingat yang lalu-lalu.

Dia tidak menanggapi gurauanku, malah sibuk dengan ponsel. Kemudian, dengan memasang wajah serius, beringsut lebih mendekat, dia menyodorkan ponsel, dan menunjukkan layar yang terbuka.

"Kamu sudah baca ini?" Aku melihat sekilas. Duh! Ternyata status F* Dek Hana. Temanku ini juga tahu. Pastilah, postingannya berstatus publik, jadi siapa saja bisa tahu dan komen.

Aku menatap wajah sahabatku yang terlihat menunggu reaksi. Seketika kuterbitkan senyuman sambil mengangguk, resah dan sakit hati ini sudah lewat. Usahaku membutakan hati dan menulikan segala sesuatu tentang ini, ternyata berhasil. 

"Kamu kok diam saja? Kalau aku jadi kamu, pasti aku datangi dia. Aku robek-robek mulutnya dan kupotong jarinya yang mampu menulis seperti ini!" serunya berapi-api, matanya menyiratkan kekesalan. Tangannya pun  terkepal keras menekan meja. Kemudian dia mencondongkan badannya sambil berdesis, "Atau, kau butuh bantuanku? Aku siap mencucinya sampai tak bersisa."

Aku tertawa mendengar tawaran gila, kusesap lagi kopi untuk mengalihkan kegilaan ini. Nurul itu memang orang yang unik.

"Kenapa kamu diam? Harusnya kamu balas di komentar, beberkan semuanya supaya jelas dan orang tidak salah paham terhadap kamu," seru Nurul masih bernada kesal.

"Kalau ditanggapi dengan kepala panas, malah runyam. Itu sama saja bertarung. Menang jadi arang dan kalah jadi abu, sama-sama rugi. Hanya sebagai tontonan orang saja. Aku tidak mau seperti itu."

Dia kembali ke tempat duduknya semula, bersendekap sambil mengawasiku. Seperti memikirkn sesuatu, matanya dipicingkan dan berkata, "Kalian dulu, tanpa dimintapun menanggung kehidupan mereka. Yang seharusnya bisa bersenang-senang dan hidup berlebih bersama keluarga kecil, kalian memilih menahan keinginan. Harusnya sekarang mereka yang sudah mampu juga demikian, dong!"

"Nurul, apa yang bisa aka lakukan? Biarlah waktu yang akan menjawab. Sekarang aku hanya bisa berdoa supaya keluarga kami menjadi rukun selalu."

"Fika ... Fika. Kamu itu begitu sabar! Lama-lama kalian bisa diinjak-injak. Aku sudah membatin dari dulu. Memang keadaan kalian mengharuskan seperti itu. Namun, melihat begitu kerasnya kerja kalian, membuat aku dan suami miris. Apalagi balasan mereka seperti itu," ucap sahabatku ini masih bersikukuh.

"Berbuat baik kepada siapapun pasti ada balasannya. Dia sudah mengatur balasannya dari siapa, bagaimana, dan kapan. Itu pasti yang terbaik dan tertepat. Tugas kita hanya menjalani perintah-Nya untuk menyebar kebaikan," ucapku kemudian berhenti menyesap kopi yang sudah hampir tandas. 

"Aku sekarang fokus dengan usaha baruku. Jualan makanan lewat marketplace. Doakan, ya!" ucapku kemudian bersiap beranjak. Kalau tidak diputus obrolan ini, bisa tidam pulang-pulang.

"Jadi, tadi belanja untuk itu! Kalau begitu, itu semua gratis, dah!" teriaknya dengan mata berbinar, kekesalan yang terpercik tadi sudah lenyap.

"Maaf, ya. Kali ini, aku tidak menerima gratisan. Ini hari pertama dan modal pertama, jadi harus bayar!" ucapku sambil menangkup tangannya. 

"Ok! Ok! Aku terima alasanmu kali ini. Tapi, lain kali kamu tidak boleh menolak, ya!" ucapnya kemudian mengajakku menuruni tangga. Pesananku pasti sudah siap, aku harus segera pulang.

Dia mengantarku sampai naik becak, membawa belanjaan dan menata di samping dudukku. "Apa tidak apa-apa kalau kamu merahasiakan ini dari suamimu?" ucap lirih Nurul setelah bertanya apakah Mas Farhan tahu.  

Sepanjang jalan, aku melewatkan pemandangan yang biasanya aku kagumi. Pikiranku berkecamuk dengan pertanyaan Nurul sebelum aku pergi tadi. 

Benar yang diucap, dia dan suaminya saja tahu tentang status di F* itu, berarti bisa jadi semua orang di sekeliling ini membaca atau bahkan meletakkan komentar gunjingan. Tetangga, teman, orang yang lewat depan rumah, atau orang yang bertemu denganku di pasar tadi. Bisa jadi, Pak tukang becakpun tahu.

Ini seperti bom waktu yang bisa meledak tiba-tiba. Aku harus bagaimana?

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Iya lha lu lama2 makin diinjak2 klo diem aj
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 71. Balasan yang Kami Harapkan

    “Kita ke rumah sakit sekarang. Maaf, Pak. Di depan tidak usah belok ya, Pak. Langsung ke rumah sakit kota!” ucapku kepada pengemudi taxi online. Santi semakin menunjukkan raut wajah kebingungan. Sembari memegang lenganku dia bertanya kembali. “Siapa yang sakit, Mbak? Ibu?” Aku tersenyum melihat reaksinya yang berlebihan. Memang ibu mertuaku beberapa hari ini kurang sehat, tapi ini bukan kabar tentang beliau. Ini tentang kehadiran anggota baru di keluarga ini. “Bukan, San. Mas Farhan kirim pesan, Dek Hana sudah akan melahirkan,” jawabku sambil menepuk punggung tangannya. Seketika senyuman terbit di wajahnya. “Alhamdulillah. Cowok atau cewek?” “Akan melahirkan. Jadi belum. Makanya kita harus ke rumah sakit memberi dukungan kepadanya. Mas Farhan dan Ibu sudah menunggui di sana.” Lumayan berat ketika melahirkan tidak didampingi suami. Rendra, suami Dek Hana masih terikat kontrak di perusahaan pelayaran. Hanya kami-kamilah yang mendampingi dia menyambut kelahiran buah hati mereka. De

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 70. Jangan Berucap Kata Hanya

    Benar dengan apa yang pernah aku dengar. Di saat kita mulai berhasil, semuanya akan mendekat termasuk instansi pemerintahan terkait. Bisnis yang aku rintis mulai berkembang pesat. Kesibukanku semakin bertambah. Tidak hanya berkutat di dapur, tetapi juga menghadiri undangan untuk berbagi pengalaman. Tawaran bantuan mulai berdatangan, dari sumbangan sampai kredit dengan bunga yang bisa dibicarakan. Namun aku perlu hati-hati, karena di dalam kemudahan bisa jadi tersembunyi pengaruh yang mengendurkan semangat. Aku memang masih berpikiran kolot yang berpegang pada pepatah, easy come easy go. Apa yang datang dengan mudah, bisa jadi gampang menghilang. Sudah banyak yang terjadi di sekitar kita. Santi sudah mempunyai anak buah yang menjalankan pemasaran, begitu juga di bagian produksi. Praktisnya, di saat aku tidak ada di tempat, Santilah yang mewakiliku. Pendapatan yang adik iparku dapat dari bisnis ini dengan pembagian prosentase, jadi semakin banyak kerjaan, semakin lumayan yang dia dapa

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 69. Lega Rasanya

    "Dek, kenapa senyum-senyum sendiri? Mas tidak diajak seneng-seneng?" seru Mas Farhan yang tiba-tiba duduk di sebelahku. Mungkin dia ada di dekatku sedari tadi, karena larut dengan lamunanku, aku tidak menyadari kedatangannya."Siapa yang seneng-seneng? Aku cuma duduk istirahat saja.""Gitu, ya. Sama suaminya. Giliran pusing ada yang dipikirkan, Mas ikut diomelin. Kesel! Ya udah, deh! Mas sendirian aja!" seru Mas Farhan menirukan gayaku kalau marah-marah.Logat gaya bicaranya mirip, sih. Namun, wajahnya tetap dengan senyum tersungging, malah sekarang berakhir terkekeh. Kelihatan sekali dia meledekku.Aku melototkan mata, menunjukkan rasa kesal pada leluconnya yang tidak lucu. Pura-pura, sih. Sebenarnya aku malu juga, suamiku ini sering menjadi pelampiasan saat aku kesal. "Jangan marah, lagi. Nanti cepet tua!" ucap Mas Farhan sembari merangkul pundakku. "Harusnya seneng, dong. Aku cepet tua. Jadi Mas bisa kawin lagi!""Mulai, dah. Mulai," ucap Mas Farhan.Kemudian memiringkan badanku

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 68. Balas Dendam

    Ada ungkapan, sebuah hubungan seperti menerbangkan layang-layang. Bagaimana caranya untuk tetap terbang di langit biru. Sesaat, kita harus menegangkan tali dan terkadang dikendorkan. Atau, tatkala kita tidak mampu, tali bisa dipindahkan dengan diikatkan di dahan yang kuat. Kita pun harus siap dengan datangnya angin kencang yang datang, jangan sampai layangan terbawa angin apalagi putus karenanya.Begitu juga hubungan keluarga, pasang surut sudah biasa, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Memang, tidak dipungkiri aku sering tersulut kalau menghadapi kejadian yang tidak masuk di otak. Tak jarang, aku membutuhkan ruang dan waktu untuk menenangkan diri dan menyembuhkan hati dengan pemakluman. Beruntungnya, aku memiliki Mas Farhan yang bisa diajak berdiskusi dan mampu mendinginkan panas yang sering terpercik.Tadi malam, aku juga sudah bicara dengan Dek Arif dan mama perihal pinjaman uang itu. Aku tidak bisa melakukan langsung tadi malam. Dana harus dipindahkan ke rekening yang ada m

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 67. Kepepet

    "E ... anu, Mas. Dek Arif--.""Kenapa dia?" sahut Mas Farhan memotong ucapanku. Aku tersenyum melihat reaksinya. Dia ini memang kakak sejati, apapun yang menyangkut adik-adiknya langsung ditanggapi serius. Seperti kepada Dek Arif ini, walaupun status adik ipar bagi Mas Farhan."Dek Arif ingin pinjam uang. Katanya banyak kebutuhan," jawabku, kemudian menunggu jawaban Mas Farhan yang berdiam sesaat. Pandangannya tertuju kepada telivisi, tetapi aku tahu dia memikirkan apa yang aku sampaikan."Kalau ada uangnya, kasih saja, Dek," ucap Mas Farhan setelah menoleh ke arahku. Aku mengernyitkan dahi, seperti tidak menerima yang dia katanya. Masak tanggapannya, kasih saja. Seperti tidak ada pendapat lain. Aku seperti dikesampingkan, harusnya dia bicara banyak seperti dia menanggapi Dek Hana. Kalau seperti ini, sama saja dia membiarkan aku menyelesaikan sendiri.Pikiranku mulai berkecamuk, rasa tidak puas lebih mendominasi. Ada rasa kesal mulai terpercik. "Kalau dia kirim pesan pinjam uang ter

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 66. Janji Rendra

    "Anak-anak ini harus dicereweti terus. Mereka memang sudah besar, tetapi kita tidak boleh bosan mengingatkan terus," ucap Mas Farhan.Adik-adik beserta ibu mertua, sudah pulang. Dia memang memposisikan diri sebagai orang tua, sampai menyebut adiknya anak-anak. Perlakuannya juga tidak berbeda dengan orang tua terhadap anaknya. Kami selesai salat berjamaah. Fikri dan Lisa langsung masuk ke kamar masing-masing, dan sekarang tertinggal kami berdua. Duduk santai sembari menikmati tontonan televisi."Rendra jadi berangkat?" tanyaku, karena tadi tidak mengikuti akhir pembicaraan. Siapa tahu setelah diberi wejangan, dia menyurutkan niat."Tetap berangkat. Wong semua persyaratan, ijin, dan jadwal sudah dirilis. Ya, harus berangkat," jawab Mas Farhan sembari berdecak. Seperti menyayangkan keputusan mereka itu. "Tapi, Rendra janji. Ini kali terakhir dia berangkat. Dia akan fokus kepada pertumbuhan anaknya.""Trus Dek Hana, boleh?" tanyaku tidak sabar. Aku memiringkan tubuhku menghadap Mas Farha

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 65. Ada saja

    "Karena itu Mas. Walaupun berat meninggalkan Dek Hana, saya harus berangkat berlayar. Apalagi setelah dedek bayi lahir memerlukan biaya yang tidak sedikit. Pada kesempatan kali ini, e ... saya minta bantuan Mas Farhan sekeluarga untuk menemani Dek Hana saat lahiran nanti," ucap Rendra menunjukkan tatapan memohon kepada Mas Farhan.Suamiku tersenyum, dengan tatapan teduh mulai bicara kembali. "Tanpa kamu mintapun, kami sekeluarga siap mendampingi Dek Hana, Ren. Namun, perlu kamu ingat nanti setelah anakmu lahir. Seorang anak tidak cukup diberi sandang, pangan, dan papan, tetapi dia butuh kasih sayang dan sosok seorang ayah. Didikan dari orang tua, tidak sekadar dijejali dengan materi. Ok, lah. Kalau kamu sekarang berangkat berlayar. Tetapi, Mas memberi pendapat, mulailah berpikir untuk bekerja dari rumah. Mendampingi keluargamu. Pengalaman kamu ke luar negeri bisa kamu aplikasikan di sini.""Iya, Mas. Saya juga sudah berpikir ke sana.""Tapi, Mas. Kalau Mas Rendra cari kerja di sini, u

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 64. Permohonan Rendra

    Waktu terus berjalan, lantai dua di rumah produksi sudah terbangun. Bahkan Mas Farhan sudah berkantor di sana. Fariz pun mempunyai ruangan di lantai dua, mengerjakan yang dia cita-citakan. Sedangkan, aku dan Santi semakin sibuk di lantai satu.[Mbak Fika. Hari ini di rumah? Aku dan Rendra ingin mampir] Pesan whatsapp dari Dek Hana. Alhamdulillah, kandungan dia tidak ada masalah. Hubungan mereka sudah tidak terdengar riak lagi. Walaupun, kami jarang bertemu, tetapi Santi selalu menceritakan kabar mereka. Apalagi, ibu mertua mondar-mandir ke rumah Dek Hana, memastikan calon cucunya baik-baik saja.[Datang saja, Dek. Mas Farhan juga ada, kebetulan tidak ada rencana pergi] Balasan pesan whatsappku kepada Dek Hana.Tepat setelah menyelesaikan pekerjaan, mereka berdua datang. Eh, bertiga bersama ibu mertua. Kami berkumpul di ruang tamu. Aku dan Santi menyiapkan makanan kecil dan minum teh hangat. Aku merasa, kedatangannya ini pasti mempunyai niat selain hanya sekadar berkunjung. Karena, in

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 63. Dikejar Orderan

    Keesokan harinya, ponselku tidak berhenti berbunyi tanda panggilan atau pesan whatsapp yang masuk. Semuanya senada. Memberi selamat atas keberhasilan bisnisku.Tidak ketinggalan Mama, dia sudah menelponku tadi pagi. Banyak sekali wejangan yang aku terima. Intinya, supaya aku tidak cepat puas apalagi besar kepala."Ini baru anak Mama. Berani tampil ke depan. Mama juga sudah share artikel tentang kamu. Dan, sampai sekarang Mama kebanjiran kata selamat." Yang membuatku menitikkan air mata, saat Mama menyinggung orangtuaku. "Fika, kalau Bapak dan Ibumu masih hidup, pasti dia sangat bangga. Mempunyai putri yang berbuat lebih dan membantu orang lain. Mama sangat senang, diberi kesempatan menjadi ibu kamu, Fik."Berita tersebar ini karena berita di internet sudah muncul. Artikel tayang di situs pemerintahan daerah, dan media yang meliput pada hari kemarin. Bahkan, di media online terlihat angka puluhan pada tanda bagikan. Fariz tergopoh mendatangiku dengan wajah yang mewakili kata puas."M

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status