Share

Bab 8. Bom Waktu

Hari ini, aku dan Santi memulai bisnis makanan. Pertama, kami memulai dari kue kering. Ini dengan pertimbangan bulan puasa dan lebaran yang sebentar lagi. Sekarang, waktu yang tepat mencari pelanggan.

'Sederek Kitchen', nama yang kami pilih. Perpaduan dua bahasa, sederek bahasa Jawa artinya saudara dan kitchen bahasa Inggis yang artinya dapur. Ada rasa tradisional tetapi ada sentuhan istilah kekinian.

Akupun sudah mantap, langsung menghubungi Mas Farhan dan mendapat jawaban, "Bagus. Semoga kalian berhasil."

Santi juga begitu bersemangat, dia langsung melancarkan aksinya. Dia membuat akun f******k, i*******m, tik-tok, dan tentunya marketplace. "Pokoknya, Mbak. Sederek Kitchen akan langsung dikenal banyak orang!" serunya dengan mata berbinar.

Akupun mengambil bagianku, memulai menentukan produk dan segera eksekusi hari ini. Santi membutuhkan untuk pengambilan foto sebagai promosi.

"Santi, kamu di rumah saja. Mbak akan ke pasar beli bahan. Kalau mau makan, di kulkas ada makanan yang bisa dihangatkan," pesanku sebelum pergi. 

Menggunakan becak langganan, aku menuncur ke pasar. Tujuanku ke toko bahan kue, pemiliknya bernama Nurul--teman pengajian yang sudah menjadi sahabat.

"Fika! Untung kamu ke sini. Aku ingin bicara," ucapnya membuatku mengernyitkan dahi. "Eh! Perlu apa?" tanyanya langsung menarikku masuk. 

Pembawaannya memang cerewet dan rame, makanya toko yang baru berdiri satu  tahun ini langsung laris. Dia begitu ramah terhadap pembeli yang mayoritas kaum hawa. Biasanya kalau kami bertemu, dia akan bercerita banyak dan aku bertugas mengamini dan tertawa saja.

"Aku butuh ini. Tidak banyak, kok," ucapku menyodorkan catatan belanja yang aku butuhkan. Dia membaca sejenak, kemudian memberikan ke pegawainya untuk disiapkan. 

"Pesananmu masih antri. Kita ke atas saja, yuk. Di sini ramai!" celetuknya, kemudian menarikku tanpa menunggu jawaban dariku. 

Ruko ini ada dua lantai, di bawah toko dan di atas gudang penyimpanan dan sebagian disetting menjadi kantor tempat Nurul merekap data. 

"Kopi, kan?" tebaknya langsung menyeduh kopi instan dengan menuang air panas dari dispenser.

Aku menyapu ruangan dengan pandangan, tumpukan berbagai bahan, box-box besar berisi bahan kemasan kecil dan rak yang memanjang tertata rapi. Bahan kue memang banyak macamnya, dari yang kemasan besar sampai kemasan kecil-kecil. Kalau tidak di atur akan susah mencari yang dibutuhkan. 

Sebenarnya, ada satu lagi sahabat kami, namanya Wiwin. Kalau bertiga sudah berkumpul, pasti lupa waktu karena mengobrol. Sayangnya, dia sekarang semakin sibuk setelah suaminya menjabat menjadi kepala dinas di kota sebelah.

"Rencanaku, akhir minggu ini berkunjung ke rumahmu. Ada yang perlu aku sampaikan," ucapnya seraya menyodorkan kopi yang mengeluarkan aroma yang kusukai. Sejenak, aku menyesap sedikit dan membuat badanku segar.

"Ada apa. Setahuku setiap kita bertemu, ada saja yang disampaikan," ucapku sambil tertawa, mengingat yang lalu-lalu.

Dia tidak menanggapi gurauanku, malah sibuk dengan ponsel. Kemudian, dengan memasang wajah serius, beringsut lebih mendekat, dia menyodorkan ponsel, dan menunjukkan layar yang terbuka.

"Kamu sudah baca ini?" Aku melihat sekilas. Duh! Ternyata status F* Dek Hana. Temanku ini juga tahu. Pastilah, postingannya berstatus publik, jadi siapa saja bisa tahu dan komen.

Aku menatap wajah sahabatku yang terlihat menunggu reaksi. Seketika kuterbitkan senyuman sambil mengangguk, resah dan sakit hati ini sudah lewat. Usahaku membutakan hati dan menulikan segala sesuatu tentang ini, ternyata berhasil. 

"Kamu kok diam saja? Kalau aku jadi kamu, pasti aku datangi dia. Aku robek-robek mulutnya dan kupotong jarinya yang mampu menulis seperti ini!" serunya berapi-api, matanya menyiratkan kekesalan. Tangannya pun  terkepal keras menekan meja. Kemudian dia mencondongkan badannya sambil berdesis, "Atau, kau butuh bantuanku? Aku siap mencucinya sampai tak bersisa."

Aku tertawa mendengar tawaran gila, kusesap lagi kopi untuk mengalihkan kegilaan ini. Nurul itu memang orang yang unik.

"Kenapa kamu diam? Harusnya kamu balas di komentar, beberkan semuanya supaya jelas dan orang tidak salah paham terhadap kamu," seru Nurul masih bernada kesal.

"Kalau ditanggapi dengan kepala panas, malah runyam. Itu sama saja bertarung. Menang jadi arang dan kalah jadi abu, sama-sama rugi. Hanya sebagai tontonan orang saja. Aku tidak mau seperti itu."

Dia kembali ke tempat duduknya semula, bersendekap sambil mengawasiku. Seperti memikirkn sesuatu, matanya dipicingkan dan berkata, "Kalian dulu, tanpa dimintapun menanggung kehidupan mereka. Yang seharusnya bisa bersenang-senang dan hidup berlebih bersama keluarga kecil, kalian memilih menahan keinginan. Harusnya sekarang mereka yang sudah mampu juga demikian, dong!"

"Nurul, apa yang bisa aka lakukan? Biarlah waktu yang akan menjawab. Sekarang aku hanya bisa berdoa supaya keluarga kami menjadi rukun selalu."

"Fika ... Fika. Kamu itu begitu sabar! Lama-lama kalian bisa diinjak-injak. Aku sudah membatin dari dulu. Memang keadaan kalian mengharuskan seperti itu. Namun, melihat begitu kerasnya kerja kalian, membuat aku dan suami miris. Apalagi balasan mereka seperti itu," ucap sahabatku ini masih bersikukuh.

"Berbuat baik kepada siapapun pasti ada balasannya. Dia sudah mengatur balasannya dari siapa, bagaimana, dan kapan. Itu pasti yang terbaik dan tertepat. Tugas kita hanya menjalani perintah-Nya untuk menyebar kebaikan," ucapku kemudian berhenti menyesap kopi yang sudah hampir tandas. 

"Aku sekarang fokus dengan usaha baruku. Jualan makanan lewat marketplace. Doakan, ya!" ucapku kemudian bersiap beranjak. Kalau tidak diputus obrolan ini, bisa tidam pulang-pulang.

"Jadi, tadi belanja untuk itu! Kalau begitu, itu semua gratis, dah!" teriaknya dengan mata berbinar, kekesalan yang terpercik tadi sudah lenyap.

"Maaf, ya. Kali ini, aku tidak menerima gratisan. Ini hari pertama dan modal pertama, jadi harus bayar!" ucapku sambil menangkup tangannya. 

"Ok! Ok! Aku terima alasanmu kali ini. Tapi, lain kali kamu tidak boleh menolak, ya!" ucapnya kemudian mengajakku menuruni tangga. Pesananku pasti sudah siap, aku harus segera pulang.

Dia mengantarku sampai naik becak, membawa belanjaan dan menata di samping dudukku. "Apa tidak apa-apa kalau kamu merahasiakan ini dari suamimu?" ucap lirih Nurul setelah bertanya apakah Mas Farhan tahu.  

Sepanjang jalan, aku melewatkan pemandangan yang biasanya aku kagumi. Pikiranku berkecamuk dengan pertanyaan Nurul sebelum aku pergi tadi. 

Benar yang diucap, dia dan suaminya saja tahu tentang status di F* itu, berarti bisa jadi semua orang di sekeliling ini membaca atau bahkan meletakkan komentar gunjingan. Tetangga, teman, orang yang lewat depan rumah, atau orang yang bertemu denganku di pasar tadi. Bisa jadi, Pak tukang becakpun tahu.

Ini seperti bom waktu yang bisa meledak tiba-tiba. Aku harus bagaimana?

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Iya lha lu lama2 makin diinjak2 klo diem aj
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status