Share

Bab 7. Berusaha Bangkit

Author: Astika Buana
last update Last Updated: 2022-07-27 16:22:25

"Beneran, Mbak? Aku mau!" teriak Santi dengan mata berbinar.

 

Santi ini lulusan tata boga, aku pun suka memasak dan pernah mempunyai warung yang ramai, kami bisa bekerja sama dalam hal bisnis makanan. Nasib kami sama, aku yang gagal dalam bisnis online, begitu juga dia. 

 

Harapanku, kami bisa menyatukan keunggulan dan menghilangkan kelemahan. Dengan antusias Santi mengambil alat tulis di kamar Lisa, dan langsung bersiap merumuskan rencana kami.

 

"Yang order tidak ada, Mbak. Orang sekitar sini keadaannya sama dengan kita. Penghasilan berkurang dan akhirnya ikutan jualan. Dan, akhirnya penjual lebih banyak daripada pembeli," keluh iparku ini dan aku mengangguk menyetujuinya. Sama kasusnya.

 

"Masalahnya berarti pasar. Pembeli di sekitar kita berkurang, bahkan nyaris tidak ada," ucapku sambil mengetuk jari di meja. Kebiasaanku kalau sedang memeras otak.

.

.

.

 "Kalau begitu kita harus memperluas jangkauan pasar. Tapi, bagaimana caranya?" gumamku sambil menatap Santi.

 

"Jualan lewat marketplace, Kak! Kenapa aku tidak kepikiran, ya?" teriaknya tiba-tiba. Tangannya menepuk kening, dan terbit senyumannya yang lebar.

 

"Marketplace?"

 

"Iya. Marketplace itu platform yang mempertemukan antara penjual dan pembeli di internet. Itu lo, Mbak. Shopie yang ada iklannya di tivi!"

 

"Kita bisa jualan dia sana? Dikirim ke seluruh Indonesia? Ongkos kirimnya bagaimana?" tanyaku memberondong. Benar kata Lisa anakku, aku memang buta tehnologi.

 

Kami langsung disibukkan dengan mencari tahu tentang marketplace, ternyata banyak, tidak sebatas Shopie. Aku mendowload applikasi dan belajar banyak dari Shanti.  Sebagai anak muda, dia lebih lincah tentang hal ini, beda denganku yang melihatnya saja kening sudah berkerut. 

 

Banyak fasilitas untuk mempermudah jualan di sana. Jaminan pasti mendapatkan uang dan keamanan juga bagi pembeli. Promo atau program penawaran banyak diselenggarakan juga, mempermudah kamk sebagai pengguna. Ada fasilitas gratis ongkos kirim, dan perusahaan pengiriman juga disediakan.

 

"Oke, Santi. Mbak Fika setuju deh, kita jualan lewat marketplace. Produknya biar Mbak yang atur. Tapi, yang pegang penjualan kamu, ya. Pusing dengan pencet ini dan itu. Maklum lah, faktor U!" terangku sambil tertawa. 

 

"Beres!" serunya disela tawa, kemudian mengacungkan jempol.

Kamipun mulai menentukan apa yang dijual, pastinya makanan. Mencari makanan yang tahan lama, karena terbentur jarak dan waktu pengiriman. 

 

Akhirnya, kami memilih jualan segala lauk pauk kering dan kue kering. Ada berapa alasan selain tahan lama. Dengan menyasar tidak hanya pada ibu rumah tangga, tetapi lajang yang hidup sendiri dan super sibuk. Sesuatu yang praktis, unik, dan banyak orang suka.

***

 

"Capek, Mas? Apa perlu disiapkan air hangat untuk mandi?" sambutku setelah cium tangan dan merapikan sepatu suamiku ini di rak.

 

"Tidak usah. Aku mau mandi, sholat, dan langsung istirahat."

 

"Sudah makan?"

 

"Sudah. Tadi disiapkan makanan oleh tuan rumah. Jadinya makan sekalian dengan anak-anak," jelas Mas Farhan kemudian langsung ke kamar mandi.

 

Memasang canopi ternyata sampai malam, Lisa dan Fariz saja sudah tidur duluan. Tadi sore, Mas Farhan sempat kirim kabar kalau baru setengah jalan dan dipastikan pulang telat.

 

Setelah memastikan semua pintu terkunci, aku langsung masuk kamar, menyiapkan pakaian dan menggelar sajadah untuk suamiku. Menunggui laki-laki teman hidupku ini. Menatap dia menggunakan baju koko dan berpeci, sungguh membuat hati ini adem.

 

"Capek banget, ya? Apa bisa kita ngobrol sebentar?" pintaku sambil merapikan sajadah setelah dia selesai.

 

Mas Farhan yang sudah berbaring di ranjang menepuk tempat sebelahnya dan menyiapkan lengannya untukku. "Kenapa, kangen sama Mas?" tanyanya sambil melempar senyum yang dulu membuatku sesak napas. 

 

"Kasihan istriku, dari siang tidak ada teman ngobrol," bisiknya sambil mengecup pucuk kepalaku, setelah berbaring di sampingnya.

 

"Ada. Tadi siang---"

 

"Siapa? Kok tadi tidak bilang?" sela Mas Farhan sambil menarik tubuhnya untuk leluasa melihat wajahku. 

 

Aku tahu kenapa dia bersikap seperti itu. Karena sudah dipesan berkali-kali, aku tidak boleh menerima apalagi memasukkan tamu terutama laki-laki ke dalam rumah, kalau aku sedang sendirian. Kalaupun terpaksa ada tamu, aku harus mengabarinya. Tadi, aku lupa.

 

"Santi, Mas. Tadi siang dia datang," jawabku sambil tersenyum melihat raut wajah yang sudah menegang itu.

 

"Oh, Santi. Aku kira siapa. Ada apa dia ke sini? Tumben siang-siang mau keluar, biasanya dia takut panas," ucapnya kemudian merapat kembali.

 

Aku menceritakan semua rencana yang aku bicarakan dengan adiknya itu. Menjelaskan apa yang akan kami buat, pemasaran, penggunaan marketplace, termasuk bagaimana pembagian kerja.

 

Sengaja, aku tidak memberitahukan tentang kasus di F* tadi. Suamiku masih lelah, dan kemungkinan kalau diberitahu tentang kabar tidak enak, bisa menyulut emosi. Lebih baik aku diamkan saja.

 

"Santi yang pegang pemasaran dan pembukuan. Dia tahu kok itung-itungannya. Menentukan harga dari bahan dan operasional. Di sekolah, katanya diajari. Nanti, tetap aku awasi. Kadang praktek dengan teori tidak sama," jelasku kemudian mendongakkan wajah, menilik tanggapan Mas Farhan.

 

"Boleh, Mas?" tanyaku dengan mengerjapkan mata demi kata iya. Suamiku ini susah-susah gampang, kadang boleh, tetapi tidak jarang dia melarangku ini itu. 

 

"Hmmm .... Boleh tidak, ya?" ucapnya kemudian diam sejenak seperti memikirkan sesuatu.

 

"Boleh----"

 

"Terima kasih, Mas!" sambarku langsung. Spontan aku eratkan pelukan dan mengirimkan hadiah ciuman. Gembira rasanya sebentar lagi aku memiliki kesibukan.

 

"Eh, jangan senang dulu," selanya, mengurungkan niatku menghujankan hadiah kedua. Aku menatapnya sambil menautkan kedua alis, menunjukkan ketidakrelaan kalau Mas Farhan merenggut kegembiraanku ini. 

 

"Ini bisnis serius, kan? Untuk jangka panjang dan ingin berkembang?" tanyanya dan langsung aku jawab anggukan, tanpa melepas tatapan padanya. 

 

"Walaupun kerjasama dengan adik sendiri, harus ada perjanjian di awal secara tertulis. Terutama pembagian hasil usaha. Ini seperti pembagian saham, ada prosentasenya."

 

"Halah, Mas. Ini cuma bisnis keluarga, kok."

 

"Justru itu istriku," sahutnya sambil memencet hidungku, "jangan sampai karena bisnis malah jadi enak gak enakan. Apalagi berakhir putus persaudaraan."

 

"Oh, jadi harus dibicarakan sebelum bisnis jalan, ya." 

Sekarang aku mengerti, kenapa kadang-kadang perusahaan setelah berkembang pesat malah pecah, dan akhirnya mati perlahan. Mungkin ini dikarenakan masalah pembagian hasil. 

 

Memang uang itu bisa menjadi madu, tetapi, mampu juga berubah menjadi racun yang mematikan. 

 

Aku sudah tidak sabar lagi menunggu hari esok, menentukan langkah selanjutnya setelah mendapat ijin dari suami.

 

"Memang kalian sudah punya modal?" Pertanyaan Mas Farhan yang sekejap meluruhkan mimpiku. Bagaimana bisa jalan, kalau tidak ada uang untuk memulainya. 

 

"Modalnya niat, semangat, dan dengkul. Serta doa," jawabku sekenanya sambil meringis.

 

"Alhamdulillah, Mas hari ini ada pelunasan dan tambahan deposit. Kamu bisa gunakan sebagian," ucapnya, membuat jantungku terlempar karena gembira yang sangat.

 

Spontan, aku meluluskan kiriman hadiah kedua, ketiga, dan seterusnya. 

Berakhir, lampu padam seketika tertinggal sinar temaram dari lampu depan. Ulah siapa lagi kalau bukan Mas Farhan. Tangannya yang panjang, menjangkau saklar di atas kepala, meleluasakan mengambil alih kendali untuk serangan balasan.

 

"Katanya ingin langsung istirahat," bisikku mengambil jeda.

 

"Setelahnya," jawabnya dan melanjutkan niat yang sudah tersulut karena ulahku.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Sumpah dia orgnya tolol bgt
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 71. Balasan yang Kami Harapkan

    “Kita ke rumah sakit sekarang. Maaf, Pak. Di depan tidak usah belok ya, Pak. Langsung ke rumah sakit kota!” ucapku kepada pengemudi taxi online. Santi semakin menunjukkan raut wajah kebingungan. Sembari memegang lenganku dia bertanya kembali. “Siapa yang sakit, Mbak? Ibu?” Aku tersenyum melihat reaksinya yang berlebihan. Memang ibu mertuaku beberapa hari ini kurang sehat, tapi ini bukan kabar tentang beliau. Ini tentang kehadiran anggota baru di keluarga ini. “Bukan, San. Mas Farhan kirim pesan, Dek Hana sudah akan melahirkan,” jawabku sambil menepuk punggung tangannya. Seketika senyuman terbit di wajahnya. “Alhamdulillah. Cowok atau cewek?” “Akan melahirkan. Jadi belum. Makanya kita harus ke rumah sakit memberi dukungan kepadanya. Mas Farhan dan Ibu sudah menunggui di sana.” Lumayan berat ketika melahirkan tidak didampingi suami. Rendra, suami Dek Hana masih terikat kontrak di perusahaan pelayaran. Hanya kami-kamilah yang mendampingi dia menyambut kelahiran buah hati mereka. De

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 70. Jangan Berucap Kata Hanya

    Benar dengan apa yang pernah aku dengar. Di saat kita mulai berhasil, semuanya akan mendekat termasuk instansi pemerintahan terkait. Bisnis yang aku rintis mulai berkembang pesat. Kesibukanku semakin bertambah. Tidak hanya berkutat di dapur, tetapi juga menghadiri undangan untuk berbagi pengalaman. Tawaran bantuan mulai berdatangan, dari sumbangan sampai kredit dengan bunga yang bisa dibicarakan. Namun aku perlu hati-hati, karena di dalam kemudahan bisa jadi tersembunyi pengaruh yang mengendurkan semangat. Aku memang masih berpikiran kolot yang berpegang pada pepatah, easy come easy go. Apa yang datang dengan mudah, bisa jadi gampang menghilang. Sudah banyak yang terjadi di sekitar kita. Santi sudah mempunyai anak buah yang menjalankan pemasaran, begitu juga di bagian produksi. Praktisnya, di saat aku tidak ada di tempat, Santilah yang mewakiliku. Pendapatan yang adik iparku dapat dari bisnis ini dengan pembagian prosentase, jadi semakin banyak kerjaan, semakin lumayan yang dia dapa

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 69. Lega Rasanya

    "Dek, kenapa senyum-senyum sendiri? Mas tidak diajak seneng-seneng?" seru Mas Farhan yang tiba-tiba duduk di sebelahku. Mungkin dia ada di dekatku sedari tadi, karena larut dengan lamunanku, aku tidak menyadari kedatangannya."Siapa yang seneng-seneng? Aku cuma duduk istirahat saja.""Gitu, ya. Sama suaminya. Giliran pusing ada yang dipikirkan, Mas ikut diomelin. Kesel! Ya udah, deh! Mas sendirian aja!" seru Mas Farhan menirukan gayaku kalau marah-marah.Logat gaya bicaranya mirip, sih. Namun, wajahnya tetap dengan senyum tersungging, malah sekarang berakhir terkekeh. Kelihatan sekali dia meledekku.Aku melototkan mata, menunjukkan rasa kesal pada leluconnya yang tidak lucu. Pura-pura, sih. Sebenarnya aku malu juga, suamiku ini sering menjadi pelampiasan saat aku kesal. "Jangan marah, lagi. Nanti cepet tua!" ucap Mas Farhan sembari merangkul pundakku. "Harusnya seneng, dong. Aku cepet tua. Jadi Mas bisa kawin lagi!""Mulai, dah. Mulai," ucap Mas Farhan.Kemudian memiringkan badanku

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 68. Balas Dendam

    Ada ungkapan, sebuah hubungan seperti menerbangkan layang-layang. Bagaimana caranya untuk tetap terbang di langit biru. Sesaat, kita harus menegangkan tali dan terkadang dikendorkan. Atau, tatkala kita tidak mampu, tali bisa dipindahkan dengan diikatkan di dahan yang kuat. Kita pun harus siap dengan datangnya angin kencang yang datang, jangan sampai layangan terbawa angin apalagi putus karenanya.Begitu juga hubungan keluarga, pasang surut sudah biasa, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Memang, tidak dipungkiri aku sering tersulut kalau menghadapi kejadian yang tidak masuk di otak. Tak jarang, aku membutuhkan ruang dan waktu untuk menenangkan diri dan menyembuhkan hati dengan pemakluman. Beruntungnya, aku memiliki Mas Farhan yang bisa diajak berdiskusi dan mampu mendinginkan panas yang sering terpercik.Tadi malam, aku juga sudah bicara dengan Dek Arif dan mama perihal pinjaman uang itu. Aku tidak bisa melakukan langsung tadi malam. Dana harus dipindahkan ke rekening yang ada m

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 67. Kepepet

    "E ... anu, Mas. Dek Arif--.""Kenapa dia?" sahut Mas Farhan memotong ucapanku. Aku tersenyum melihat reaksinya. Dia ini memang kakak sejati, apapun yang menyangkut adik-adiknya langsung ditanggapi serius. Seperti kepada Dek Arif ini, walaupun status adik ipar bagi Mas Farhan."Dek Arif ingin pinjam uang. Katanya banyak kebutuhan," jawabku, kemudian menunggu jawaban Mas Farhan yang berdiam sesaat. Pandangannya tertuju kepada telivisi, tetapi aku tahu dia memikirkan apa yang aku sampaikan."Kalau ada uangnya, kasih saja, Dek," ucap Mas Farhan setelah menoleh ke arahku. Aku mengernyitkan dahi, seperti tidak menerima yang dia katanya. Masak tanggapannya, kasih saja. Seperti tidak ada pendapat lain. Aku seperti dikesampingkan, harusnya dia bicara banyak seperti dia menanggapi Dek Hana. Kalau seperti ini, sama saja dia membiarkan aku menyelesaikan sendiri.Pikiranku mulai berkecamuk, rasa tidak puas lebih mendominasi. Ada rasa kesal mulai terpercik. "Kalau dia kirim pesan pinjam uang ter

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 66. Janji Rendra

    "Anak-anak ini harus dicereweti terus. Mereka memang sudah besar, tetapi kita tidak boleh bosan mengingatkan terus," ucap Mas Farhan.Adik-adik beserta ibu mertua, sudah pulang. Dia memang memposisikan diri sebagai orang tua, sampai menyebut adiknya anak-anak. Perlakuannya juga tidak berbeda dengan orang tua terhadap anaknya. Kami selesai salat berjamaah. Fikri dan Lisa langsung masuk ke kamar masing-masing, dan sekarang tertinggal kami berdua. Duduk santai sembari menikmati tontonan televisi."Rendra jadi berangkat?" tanyaku, karena tadi tidak mengikuti akhir pembicaraan. Siapa tahu setelah diberi wejangan, dia menyurutkan niat."Tetap berangkat. Wong semua persyaratan, ijin, dan jadwal sudah dirilis. Ya, harus berangkat," jawab Mas Farhan sembari berdecak. Seperti menyayangkan keputusan mereka itu. "Tapi, Rendra janji. Ini kali terakhir dia berangkat. Dia akan fokus kepada pertumbuhan anaknya.""Trus Dek Hana, boleh?" tanyaku tidak sabar. Aku memiringkan tubuhku menghadap Mas Farha

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 65. Ada saja

    "Karena itu Mas. Walaupun berat meninggalkan Dek Hana, saya harus berangkat berlayar. Apalagi setelah dedek bayi lahir memerlukan biaya yang tidak sedikit. Pada kesempatan kali ini, e ... saya minta bantuan Mas Farhan sekeluarga untuk menemani Dek Hana saat lahiran nanti," ucap Rendra menunjukkan tatapan memohon kepada Mas Farhan.Suamiku tersenyum, dengan tatapan teduh mulai bicara kembali. "Tanpa kamu mintapun, kami sekeluarga siap mendampingi Dek Hana, Ren. Namun, perlu kamu ingat nanti setelah anakmu lahir. Seorang anak tidak cukup diberi sandang, pangan, dan papan, tetapi dia butuh kasih sayang dan sosok seorang ayah. Didikan dari orang tua, tidak sekadar dijejali dengan materi. Ok, lah. Kalau kamu sekarang berangkat berlayar. Tetapi, Mas memberi pendapat, mulailah berpikir untuk bekerja dari rumah. Mendampingi keluargamu. Pengalaman kamu ke luar negeri bisa kamu aplikasikan di sini.""Iya, Mas. Saya juga sudah berpikir ke sana.""Tapi, Mas. Kalau Mas Rendra cari kerja di sini, u

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 64. Permohonan Rendra

    Waktu terus berjalan, lantai dua di rumah produksi sudah terbangun. Bahkan Mas Farhan sudah berkantor di sana. Fariz pun mempunyai ruangan di lantai dua, mengerjakan yang dia cita-citakan. Sedangkan, aku dan Santi semakin sibuk di lantai satu.[Mbak Fika. Hari ini di rumah? Aku dan Rendra ingin mampir] Pesan whatsapp dari Dek Hana. Alhamdulillah, kandungan dia tidak ada masalah. Hubungan mereka sudah tidak terdengar riak lagi. Walaupun, kami jarang bertemu, tetapi Santi selalu menceritakan kabar mereka. Apalagi, ibu mertua mondar-mandir ke rumah Dek Hana, memastikan calon cucunya baik-baik saja.[Datang saja, Dek. Mas Farhan juga ada, kebetulan tidak ada rencana pergi] Balasan pesan whatsappku kepada Dek Hana.Tepat setelah menyelesaikan pekerjaan, mereka berdua datang. Eh, bertiga bersama ibu mertua. Kami berkumpul di ruang tamu. Aku dan Santi menyiapkan makanan kecil dan minum teh hangat. Aku merasa, kedatangannya ini pasti mempunyai niat selain hanya sekadar berkunjung. Karena, in

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 63. Dikejar Orderan

    Keesokan harinya, ponselku tidak berhenti berbunyi tanda panggilan atau pesan whatsapp yang masuk. Semuanya senada. Memberi selamat atas keberhasilan bisnisku.Tidak ketinggalan Mama, dia sudah menelponku tadi pagi. Banyak sekali wejangan yang aku terima. Intinya, supaya aku tidak cepat puas apalagi besar kepala."Ini baru anak Mama. Berani tampil ke depan. Mama juga sudah share artikel tentang kamu. Dan, sampai sekarang Mama kebanjiran kata selamat." Yang membuatku menitikkan air mata, saat Mama menyinggung orangtuaku. "Fika, kalau Bapak dan Ibumu masih hidup, pasti dia sangat bangga. Mempunyai putri yang berbuat lebih dan membantu orang lain. Mama sangat senang, diberi kesempatan menjadi ibu kamu, Fik."Berita tersebar ini karena berita di internet sudah muncul. Artikel tayang di situs pemerintahan daerah, dan media yang meliput pada hari kemarin. Bahkan, di media online terlihat angka puluhan pada tanda bagikan. Fariz tergopoh mendatangiku dengan wajah yang mewakili kata puas."M

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status