Share

Bab 7. Berusaha Bangkit

"Beneran, Mbak? Aku mau!" teriak Santi dengan mata berbinar.

 

Santi ini lulusan tata boga, aku pun suka memasak dan pernah mempunyai warung yang ramai, kami bisa bekerja sama dalam hal bisnis makanan. Nasib kami sama, aku yang gagal dalam bisnis online, begitu juga dia. 

 

Harapanku, kami bisa menyatukan keunggulan dan menghilangkan kelemahan. Dengan antusias Santi mengambil alat tulis di kamar Lisa, dan langsung bersiap merumuskan rencana kami.

 

"Yang order tidak ada, Mbak. Orang sekitar sini keadaannya sama dengan kita. Penghasilan berkurang dan akhirnya ikutan jualan. Dan, akhirnya penjual lebih banyak daripada pembeli," keluh iparku ini dan aku mengangguk menyetujuinya. Sama kasusnya.

 

"Masalahnya berarti pasar. Pembeli di sekitar kita berkurang, bahkan nyaris tidak ada," ucapku sambil mengetuk jari di meja. Kebiasaanku kalau sedang memeras otak.

.

.

.

 "Kalau begitu kita harus memperluas jangkauan pasar. Tapi, bagaimana caranya?" gumamku sambil menatap Santi.

 

"Jualan lewat marketplace, Kak! Kenapa aku tidak kepikiran, ya?" teriaknya tiba-tiba. Tangannya menepuk kening, dan terbit senyumannya yang lebar.

 

"Marketplace?"

 

"Iya. Marketplace itu platform yang mempertemukan antara penjual dan pembeli di internet. Itu lo, Mbak. Shopie yang ada iklannya di tivi!"

 

"Kita bisa jualan dia sana? Dikirim ke seluruh Indonesia? Ongkos kirimnya bagaimana?" tanyaku memberondong. Benar kata Lisa anakku, aku memang buta tehnologi.

 

Kami langsung disibukkan dengan mencari tahu tentang marketplace, ternyata banyak, tidak sebatas Shopie. Aku mendowload applikasi dan belajar banyak dari Shanti.  Sebagai anak muda, dia lebih lincah tentang hal ini, beda denganku yang melihatnya saja kening sudah berkerut. 

 

Banyak fasilitas untuk mempermudah jualan di sana. Jaminan pasti mendapatkan uang dan keamanan juga bagi pembeli. Promo atau program penawaran banyak diselenggarakan juga, mempermudah kamk sebagai pengguna. Ada fasilitas gratis ongkos kirim, dan perusahaan pengiriman juga disediakan.

 

"Oke, Santi. Mbak Fika setuju deh, kita jualan lewat marketplace. Produknya biar Mbak yang atur. Tapi, yang pegang penjualan kamu, ya. Pusing dengan pencet ini dan itu. Maklum lah, faktor U!" terangku sambil tertawa. 

 

"Beres!" serunya disela tawa, kemudian mengacungkan jempol.

Kamipun mulai menentukan apa yang dijual, pastinya makanan. Mencari makanan yang tahan lama, karena terbentur jarak dan waktu pengiriman. 

 

Akhirnya, kami memilih jualan segala lauk pauk kering dan kue kering. Ada berapa alasan selain tahan lama. Dengan menyasar tidak hanya pada ibu rumah tangga, tetapi lajang yang hidup sendiri dan super sibuk. Sesuatu yang praktis, unik, dan banyak orang suka.

***

 

"Capek, Mas? Apa perlu disiapkan air hangat untuk mandi?" sambutku setelah cium tangan dan merapikan sepatu suamiku ini di rak.

 

"Tidak usah. Aku mau mandi, sholat, dan langsung istirahat."

 

"Sudah makan?"

 

"Sudah. Tadi disiapkan makanan oleh tuan rumah. Jadinya makan sekalian dengan anak-anak," jelas Mas Farhan kemudian langsung ke kamar mandi.

 

Memasang canopi ternyata sampai malam, Lisa dan Fariz saja sudah tidur duluan. Tadi sore, Mas Farhan sempat kirim kabar kalau baru setengah jalan dan dipastikan pulang telat.

 

Setelah memastikan semua pintu terkunci, aku langsung masuk kamar, menyiapkan pakaian dan menggelar sajadah untuk suamiku. Menunggui laki-laki teman hidupku ini. Menatap dia menggunakan baju koko dan berpeci, sungguh membuat hati ini adem.

 

"Capek banget, ya? Apa bisa kita ngobrol sebentar?" pintaku sambil merapikan sajadah setelah dia selesai.

 

Mas Farhan yang sudah berbaring di ranjang menepuk tempat sebelahnya dan menyiapkan lengannya untukku. "Kenapa, kangen sama Mas?" tanyanya sambil melempar senyum yang dulu membuatku sesak napas. 

 

"Kasihan istriku, dari siang tidak ada teman ngobrol," bisiknya sambil mengecup pucuk kepalaku, setelah berbaring di sampingnya.

 

"Ada. Tadi siang---"

 

"Siapa? Kok tadi tidak bilang?" sela Mas Farhan sambil menarik tubuhnya untuk leluasa melihat wajahku. 

 

Aku tahu kenapa dia bersikap seperti itu. Karena sudah dipesan berkali-kali, aku tidak boleh menerima apalagi memasukkan tamu terutama laki-laki ke dalam rumah, kalau aku sedang sendirian. Kalaupun terpaksa ada tamu, aku harus mengabarinya. Tadi, aku lupa.

 

"Santi, Mas. Tadi siang dia datang," jawabku sambil tersenyum melihat raut wajah yang sudah menegang itu.

 

"Oh, Santi. Aku kira siapa. Ada apa dia ke sini? Tumben siang-siang mau keluar, biasanya dia takut panas," ucapnya kemudian merapat kembali.

 

Aku menceritakan semua rencana yang aku bicarakan dengan adiknya itu. Menjelaskan apa yang akan kami buat, pemasaran, penggunaan marketplace, termasuk bagaimana pembagian kerja.

 

Sengaja, aku tidak memberitahukan tentang kasus di F* tadi. Suamiku masih lelah, dan kemungkinan kalau diberitahu tentang kabar tidak enak, bisa menyulut emosi. Lebih baik aku diamkan saja.

 

"Santi yang pegang pemasaran dan pembukuan. Dia tahu kok itung-itungannya. Menentukan harga dari bahan dan operasional. Di sekolah, katanya diajari. Nanti, tetap aku awasi. Kadang praktek dengan teori tidak sama," jelasku kemudian mendongakkan wajah, menilik tanggapan Mas Farhan.

 

"Boleh, Mas?" tanyaku dengan mengerjapkan mata demi kata iya. Suamiku ini susah-susah gampang, kadang boleh, tetapi tidak jarang dia melarangku ini itu. 

 

"Hmmm .... Boleh tidak, ya?" ucapnya kemudian diam sejenak seperti memikirkan sesuatu.

 

"Boleh----"

 

"Terima kasih, Mas!" sambarku langsung. Spontan aku eratkan pelukan dan mengirimkan hadiah ciuman. Gembira rasanya sebentar lagi aku memiliki kesibukan.

 

"Eh, jangan senang dulu," selanya, mengurungkan niatku menghujankan hadiah kedua. Aku menatapnya sambil menautkan kedua alis, menunjukkan ketidakrelaan kalau Mas Farhan merenggut kegembiraanku ini. 

 

"Ini bisnis serius, kan? Untuk jangka panjang dan ingin berkembang?" tanyanya dan langsung aku jawab anggukan, tanpa melepas tatapan padanya. 

 

"Walaupun kerjasama dengan adik sendiri, harus ada perjanjian di awal secara tertulis. Terutama pembagian hasil usaha. Ini seperti pembagian saham, ada prosentasenya."

 

"Halah, Mas. Ini cuma bisnis keluarga, kok."

 

"Justru itu istriku," sahutnya sambil memencet hidungku, "jangan sampai karena bisnis malah jadi enak gak enakan. Apalagi berakhir putus persaudaraan."

 

"Oh, jadi harus dibicarakan sebelum bisnis jalan, ya." 

Sekarang aku mengerti, kenapa kadang-kadang perusahaan setelah berkembang pesat malah pecah, dan akhirnya mati perlahan. Mungkin ini dikarenakan masalah pembagian hasil. 

 

Memang uang itu bisa menjadi madu, tetapi, mampu juga berubah menjadi racun yang mematikan. 

 

Aku sudah tidak sabar lagi menunggu hari esok, menentukan langkah selanjutnya setelah mendapat ijin dari suami.

 

"Memang kalian sudah punya modal?" Pertanyaan Mas Farhan yang sekejap meluruhkan mimpiku. Bagaimana bisa jalan, kalau tidak ada uang untuk memulainya. 

 

"Modalnya niat, semangat, dan dengkul. Serta doa," jawabku sekenanya sambil meringis.

 

"Alhamdulillah, Mas hari ini ada pelunasan dan tambahan deposit. Kamu bisa gunakan sebagian," ucapnya, membuat jantungku terlempar karena gembira yang sangat.

 

Spontan, aku meluluskan kiriman hadiah kedua, ketiga, dan seterusnya. 

Berakhir, lampu padam seketika tertinggal sinar temaram dari lampu depan. Ulah siapa lagi kalau bukan Mas Farhan. Tangannya yang panjang, menjangkau saklar di atas kepala, meleluasakan mengambil alih kendali untuk serangan balasan.

 

"Katanya ingin langsung istirahat," bisikku mengambil jeda.

 

"Setelahnya," jawabnya dan melanjutkan niat yang sudah tersulut karena ulahku.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Sumpah dia orgnya tolol bgt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status