Share

Bab 5. Permintaan Maaf Santi

"Ini dari Fariz?" tanya Mas Farhan menunjukkan raut wajah heran. 

 

Semangkuk mie ayam dobel porsi menggunung di hadapan suamiku. Fariz tahu benar kesukaan kakaknya, mie ayam dua porsi, tanpa bakso, dan tidak pakai kuah, karena dulu dia yang selalu mendapt tugas keluar untuk beli ini itu, terutama mie ayam Pak Tombong. 

 

"Iya. Tidak hanya itu, dia membawa beras juga." Sontak, Mas Farhan menatapku dengan kedua alis bertaut menandakan tidak mengerti bercampur heran. 

 

"Kemarin gajian pertamanya, trus dari tempat kerja mendapat beras, dan sebagian di bawa ke sini, ini," jelasku sambil menyodorkan segelas air putih.

 

"Fariz ... Fariz ...." guman suamiku sambil menyuap mie ayam yang ditraktir adik bungsunya. Sekilas, tersirat senyum Mas Farhan. Mungkin perasaannya sama denganku tadi, terharu dan bahagia. 

 

Kami tidak mengharapkan balasan, apalagi materi. Cukup dengan perhatian dan kasih sayang, sudah membahagiakan. Seperti semangkuk mie ayam yang sedang dinikmati Mas Farhan. 

 

Sebenarnya, tadi Fariz sempat menyodorkan sejumlah uang kepadaku. Namun, hati ini tidak tega, apalagi ini gaji pertama buatnya. 

 

"Kamu simpan saja. Kalau dikasih Mbak, trus peganganmu apa?"

 

"Santai, Mbak. Aku kan tinggal di mess, dapat makan dua kali, tidak ada yang dibutuhkan lagi," ucap Fariz tadi.

 

"Masak kamu tidak ingin jajan atau makan bakso, beli sabun dan lainnya. Bawa saja, nanti kalau uangmu sudah luber-luber baru bagi ke Mbak," selorohku sambil tertawa.

 

"Aku kan dapat lemburan. Setiap sabtu akan dibagi, itu sudah cukup," terangnya, sambil menaruh uang di tanganku.  Treyuh hati ini, dengan perlakuan ini. Tidak aku pungkiri, kami membutuhkan uang, tetapi, untuk sekarang masih cukup. 

 

Aku mengambil uang itu, kemudian menaruh di sakunya sambil berkata, "Uangnya Mbak terima. Dan, ini uang saku untuk Fariz. Jaga diri di tempat kerja. Ingat pesan Mas Farhan, untuk selalu berbuat baik."

 

Dia menatapku dengan sorot mata seperti dulu, dia yang sedari SD di rumah ini memang sudah seperti anak pertama bagiku dan Mas Farhan. Aku mengangguk tidak bisa berucap lagi, dada ini terasa sesak. Terharu, bangga, dan bahagia.

 

"Dek, sudah!" Ucapan Mas Farhan menyentakkan aku dari lamunan.

 

Aku yakin, rasa mie ayamnya menjadi enak berlipat-lipat. Terbukti, mangkok itu sudah tandas tak berbekas.

*

 

Pagi ini, aku sendiri lagi. Anak-anak sekolah dan Mas Farhan juga sibuk di luar, ada jadwal pemasangan canopi--teras dari bahan alumunium.

 

Tring .... Tring ..... 

Bunyi tanda pesan w******p masuk, aku yang menyapu langsung menghampiri meja tempat ponsel kuletakkan. Dari Santi, adik kedua Mas Farhan. Santi dan Fariz hampir seumuran, hanya selisih satu tahun. Makanya, dulu Santi tidak ikut denganku, tetap di rumah menemani ibu mertua.

 

[Assalamualaikum]

[Mbak Fika punya f******k?]

 

Tumben Santi menanyakan f******k, apa mungkin akan menawarkan dagangannya? Dia yang lulusan tataboga, memang sedang mencari peruntungan dengan membuat kue. Karena belum ada tempat, dia berjualan online terutama dari f******k. Katanya lumayan, walaupun masih terbilang sepi.

 

[Waalaikumsalam]

[Ada. Kita kan berteman] Jawabanku langsung terkirim, dan langsung dibalas. Aku memang mempunyai akun f******k, tetapi tidak pernah membukanya.

 

Itu saja dibuatkan Lisa. "Masak jaman sekarang tidak punya F*, semua ibu teman-teman eksis di sana. Masak di posting, jalan-jalan juga di share, bahkan dandan cantik pun dipamerkan di beranda F*. Ibuk katrok," ucapnya saat itu.

 

Memang urusan media sosial, benar-benar aku gagap teknologi. Aku tidak mengerti F*, I*, ataupun Twiter. Hanya sesekali dengar percakapan Fikri dan Lisa saja.

 

Pegang ponsel hanya dipakai telpon dan SMS. Sekarang saja mulai ada kemajuan, berpindah ke w******p yang lebih murah dan bisa kirim foto. Kadang, Mas Farhan kirim pesan telat pulang bersamaan dengan foto selfi di lokasi kerja. Ini sangat membantuku untuk tidak kawatir.

 

[Aku ke rumah sekarang. Ditunggu, Mbak Fika]

 

Senyumku kembali terbit, 'Akhirnya aku ada temannya.' Iparku ini akan datang mengunjungiku.

 

Tepat setelah selesai bersih-beraih rumah Santi datang. Dengan tergopoh-gopoh dia masuk ke rumah, langsung cium tangan dan menarik tanganku untuk duduk bersama. Wajahnya sedikit memerah, mungkin karena kepanasan di jalan tadi. Jarak rumah memang tidak dekat, sekitar setengah jam jarak tempuhnya, ini bisa jadi karena panas di siang ini. 

 

"Mbak Fika .... Mbak tidak marah, kan? Aku malu. Maaf, ya, Mbak," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Aku mengernyitkan dahi tidak mengerti, meraba-raba apa maksudnya. Apalah ini berhubungan dengan Pakde Ji, dengan Dek Hana, atau ada masalah lain. Kalaupun iya, darimana dia tahu?

 

"Iya, San. Tapi, kenapa kamu harus minta maaf? Kamu tidak berbuat salah," tanyaku dengan pasang wajah tidak mengerti.

 

"Memang bukan salahku, Mbak. Tapi, sebagai keluarga, aku malu. Mbak Hana menulis status di F* seperti itu. Bagiku, Mbak Fika dan Mas Farhan sudah seperti orang tuaku. Aku takut, Mbak Fika marah karena ini," ucapnya kemudian memelukku erat, dia semakin tergugu menangis.

 

Memang, Santi dulu tidak tinggal di rumah ini, tetapi kami begitu dekat. Kadang di datang sekadar curhat masalah remaja. Sebenarnya dia ingin ikut dengan kami, namun karena ibu mertua mempunyai sakit jantung, dia harus menemani di rumah.

 

Santi menyeka sisa air matanya, masih ada isakan sesekali terdengar. Aku semakin tidak mengerti kenapa dia seperti ini. Status Hana di F*? Apa yang dia tulis?

 

Apapun yang ditulis bisa dipastikan tentangku dan bukan kabar baik, mengingat reaksi Santi yang seperti ini. Otakku memerintah untuk mengabaikan, daripada sakit hati. Namun, rasa penasaran mengalahkan dan ingin tahu sebenarnya ada apa.

 

"Sekarang, kamu minum dulu. Biarkan hatimu tenang." Aku menyodorkan segelas air putih, mungkin ini bisa menenangkan hatinya.

 

"Sekarang, kamu istirahat di kamar Lisa. Jangan pulang dulu, melihat matamu yang sembab bisa menjadi pertanyaan Ibu," ucapku seraya menepuk pundaknya.

 

Aku mengela napas menatap punggung adik iparku ini. Ada apa lagi sekarang?

 

Tangan ini meraih ponsel yang menggodaku untuk memuaskan rasa penasaran. Pelan, aku buka aplikasi f******k, akun atas nama Hana Sulityowati, status update terbaru.

 

Aku membaca berulang-ulang yang dia tulis. Dada ini semakin bergemuruh, dan membuncah setelah membaca komentar dan balasan darinya. Jemariku gemetar dan tak berdaya. Namun, keingintahuan lebih menggerakkan telunjukku untuk menelisik satu persatu tulisan yang terpampang di layar ponsel.

 

Benar yang terbersit di otak tadi.  Ini hanya membuat torehan lagi di hati. 

***

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status