Share

Bab 5. Permintaan Maaf Santi

Penulis: Astika Buana
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-27 16:17:03

"Ini dari Fariz?" tanya Mas Farhan menunjukkan raut wajah heran. 

 

Semangkuk mie ayam dobel porsi menggunung di hadapan suamiku. Fariz tahu benar kesukaan kakaknya, mie ayam dua porsi, tanpa bakso, dan tidak pakai kuah, karena dulu dia yang selalu mendapt tugas keluar untuk beli ini itu, terutama mie ayam Pak Tombong. 

 

"Iya. Tidak hanya itu, dia membawa beras juga." Sontak, Mas Farhan menatapku dengan kedua alis bertaut menandakan tidak mengerti bercampur heran. 

 

"Kemarin gajian pertamanya, trus dari tempat kerja mendapat beras, dan sebagian di bawa ke sini, ini," jelasku sambil menyodorkan segelas air putih.

 

"Fariz ... Fariz ...." guman suamiku sambil menyuap mie ayam yang ditraktir adik bungsunya. Sekilas, tersirat senyum Mas Farhan. Mungkin perasaannya sama denganku tadi, terharu dan bahagia. 

 

Kami tidak mengharapkan balasan, apalagi materi. Cukup dengan perhatian dan kasih sayang, sudah membahagiakan. Seperti semangkuk mie ayam yang sedang dinikmati Mas Farhan. 

 

Sebenarnya, tadi Fariz sempat menyodorkan sejumlah uang kepadaku. Namun, hati ini tidak tega, apalagi ini gaji pertama buatnya. 

 

"Kamu simpan saja. Kalau dikasih Mbak, trus peganganmu apa?"

 

"Santai, Mbak. Aku kan tinggal di mess, dapat makan dua kali, tidak ada yang dibutuhkan lagi," ucap Fariz tadi.

 

"Masak kamu tidak ingin jajan atau makan bakso, beli sabun dan lainnya. Bawa saja, nanti kalau uangmu sudah luber-luber baru bagi ke Mbak," selorohku sambil tertawa.

 

"Aku kan dapat lemburan. Setiap sabtu akan dibagi, itu sudah cukup," terangnya, sambil menaruh uang di tanganku.  Treyuh hati ini, dengan perlakuan ini. Tidak aku pungkiri, kami membutuhkan uang, tetapi, untuk sekarang masih cukup. 

 

Aku mengambil uang itu, kemudian menaruh di sakunya sambil berkata, "Uangnya Mbak terima. Dan, ini uang saku untuk Fariz. Jaga diri di tempat kerja. Ingat pesan Mas Farhan, untuk selalu berbuat baik."

 

Dia menatapku dengan sorot mata seperti dulu, dia yang sedari SD di rumah ini memang sudah seperti anak pertama bagiku dan Mas Farhan. Aku mengangguk tidak bisa berucap lagi, dada ini terasa sesak. Terharu, bangga, dan bahagia.

 

"Dek, sudah!" Ucapan Mas Farhan menyentakkan aku dari lamunan.

 

Aku yakin, rasa mie ayamnya menjadi enak berlipat-lipat. Terbukti, mangkok itu sudah tandas tak berbekas.

*

 

Pagi ini, aku sendiri lagi. Anak-anak sekolah dan Mas Farhan juga sibuk di luar, ada jadwal pemasangan canopi--teras dari bahan alumunium.

 

Tring .... Tring ..... 

Bunyi tanda pesan w******p masuk, aku yang menyapu langsung menghampiri meja tempat ponsel kuletakkan. Dari Santi, adik kedua Mas Farhan. Santi dan Fariz hampir seumuran, hanya selisih satu tahun. Makanya, dulu Santi tidak ikut denganku, tetap di rumah menemani ibu mertua.

 

[Assalamualaikum]

[Mbak Fika punya f******k?]

 

Tumben Santi menanyakan f******k, apa mungkin akan menawarkan dagangannya? Dia yang lulusan tataboga, memang sedang mencari peruntungan dengan membuat kue. Karena belum ada tempat, dia berjualan online terutama dari f******k. Katanya lumayan, walaupun masih terbilang sepi.

 

[Waalaikumsalam]

[Ada. Kita kan berteman] Jawabanku langsung terkirim, dan langsung dibalas. Aku memang mempunyai akun f******k, tetapi tidak pernah membukanya.

 

Itu saja dibuatkan Lisa. "Masak jaman sekarang tidak punya F*, semua ibu teman-teman eksis di sana. Masak di posting, jalan-jalan juga di share, bahkan dandan cantik pun dipamerkan di beranda F*. Ibuk katrok," ucapnya saat itu.

 

Memang urusan media sosial, benar-benar aku gagap teknologi. Aku tidak mengerti F*, I*, ataupun Twiter. Hanya sesekali dengar percakapan Fikri dan Lisa saja.

 

Pegang ponsel hanya dipakai telpon dan SMS. Sekarang saja mulai ada kemajuan, berpindah ke w******p yang lebih murah dan bisa kirim foto. Kadang, Mas Farhan kirim pesan telat pulang bersamaan dengan foto selfi di lokasi kerja. Ini sangat membantuku untuk tidak kawatir.

 

[Aku ke rumah sekarang. Ditunggu, Mbak Fika]

 

Senyumku kembali terbit, 'Akhirnya aku ada temannya.' Iparku ini akan datang mengunjungiku.

 

Tepat setelah selesai bersih-beraih rumah Santi datang. Dengan tergopoh-gopoh dia masuk ke rumah, langsung cium tangan dan menarik tanganku untuk duduk bersama. Wajahnya sedikit memerah, mungkin karena kepanasan di jalan tadi. Jarak rumah memang tidak dekat, sekitar setengah jam jarak tempuhnya, ini bisa jadi karena panas di siang ini. 

 

"Mbak Fika .... Mbak tidak marah, kan? Aku malu. Maaf, ya, Mbak," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Aku mengernyitkan dahi tidak mengerti, meraba-raba apa maksudnya. Apalah ini berhubungan dengan Pakde Ji, dengan Dek Hana, atau ada masalah lain. Kalaupun iya, darimana dia tahu?

 

"Iya, San. Tapi, kenapa kamu harus minta maaf? Kamu tidak berbuat salah," tanyaku dengan pasang wajah tidak mengerti.

 

"Memang bukan salahku, Mbak. Tapi, sebagai keluarga, aku malu. Mbak Hana menulis status di F* seperti itu. Bagiku, Mbak Fika dan Mas Farhan sudah seperti orang tuaku. Aku takut, Mbak Fika marah karena ini," ucapnya kemudian memelukku erat, dia semakin tergugu menangis.

 

Memang, Santi dulu tidak tinggal di rumah ini, tetapi kami begitu dekat. Kadang di datang sekadar curhat masalah remaja. Sebenarnya dia ingin ikut dengan kami, namun karena ibu mertua mempunyai sakit jantung, dia harus menemani di rumah.

 

Santi menyeka sisa air matanya, masih ada isakan sesekali terdengar. Aku semakin tidak mengerti kenapa dia seperti ini. Status Hana di F*? Apa yang dia tulis?

 

Apapun yang ditulis bisa dipastikan tentangku dan bukan kabar baik, mengingat reaksi Santi yang seperti ini. Otakku memerintah untuk mengabaikan, daripada sakit hati. Namun, rasa penasaran mengalahkan dan ingin tahu sebenarnya ada apa.

 

"Sekarang, kamu minum dulu. Biarkan hatimu tenang." Aku menyodorkan segelas air putih, mungkin ini bisa menenangkan hatinya.

 

"Sekarang, kamu istirahat di kamar Lisa. Jangan pulang dulu, melihat matamu yang sembab bisa menjadi pertanyaan Ibu," ucapku seraya menepuk pundaknya.

 

Aku mengela napas menatap punggung adik iparku ini. Ada apa lagi sekarang?

 

Tangan ini meraih ponsel yang menggodaku untuk memuaskan rasa penasaran. Pelan, aku buka aplikasi f******k, akun atas nama Hana Sulityowati, status update terbaru.

 

Aku membaca berulang-ulang yang dia tulis. Dada ini semakin bergemuruh, dan membuncah setelah membaca komentar dan balasan darinya. Jemariku gemetar dan tak berdaya. Namun, keingintahuan lebih menggerakkan telunjukku untuk menelisik satu persatu tulisan yang terpampang di layar ponsel.

 

Benar yang terbersit di otak tadi.  Ini hanya membuat torehan lagi di hati. 

***

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 71. Balasan yang Kami Harapkan

    “Kita ke rumah sakit sekarang. Maaf, Pak. Di depan tidak usah belok ya, Pak. Langsung ke rumah sakit kota!” ucapku kepada pengemudi taxi online. Santi semakin menunjukkan raut wajah kebingungan. Sembari memegang lenganku dia bertanya kembali. “Siapa yang sakit, Mbak? Ibu?” Aku tersenyum melihat reaksinya yang berlebihan. Memang ibu mertuaku beberapa hari ini kurang sehat, tapi ini bukan kabar tentang beliau. Ini tentang kehadiran anggota baru di keluarga ini. “Bukan, San. Mas Farhan kirim pesan, Dek Hana sudah akan melahirkan,” jawabku sambil menepuk punggung tangannya. Seketika senyuman terbit di wajahnya. “Alhamdulillah. Cowok atau cewek?” “Akan melahirkan. Jadi belum. Makanya kita harus ke rumah sakit memberi dukungan kepadanya. Mas Farhan dan Ibu sudah menunggui di sana.” Lumayan berat ketika melahirkan tidak didampingi suami. Rendra, suami Dek Hana masih terikat kontrak di perusahaan pelayaran. Hanya kami-kamilah yang mendampingi dia menyambut kelahiran buah hati mereka. De

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 70. Jangan Berucap Kata Hanya

    Benar dengan apa yang pernah aku dengar. Di saat kita mulai berhasil, semuanya akan mendekat termasuk instansi pemerintahan terkait. Bisnis yang aku rintis mulai berkembang pesat. Kesibukanku semakin bertambah. Tidak hanya berkutat di dapur, tetapi juga menghadiri undangan untuk berbagi pengalaman. Tawaran bantuan mulai berdatangan, dari sumbangan sampai kredit dengan bunga yang bisa dibicarakan. Namun aku perlu hati-hati, karena di dalam kemudahan bisa jadi tersembunyi pengaruh yang mengendurkan semangat. Aku memang masih berpikiran kolot yang berpegang pada pepatah, easy come easy go. Apa yang datang dengan mudah, bisa jadi gampang menghilang. Sudah banyak yang terjadi di sekitar kita. Santi sudah mempunyai anak buah yang menjalankan pemasaran, begitu juga di bagian produksi. Praktisnya, di saat aku tidak ada di tempat, Santilah yang mewakiliku. Pendapatan yang adik iparku dapat dari bisnis ini dengan pembagian prosentase, jadi semakin banyak kerjaan, semakin lumayan yang dia dapa

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 69. Lega Rasanya

    "Dek, kenapa senyum-senyum sendiri? Mas tidak diajak seneng-seneng?" seru Mas Farhan yang tiba-tiba duduk di sebelahku. Mungkin dia ada di dekatku sedari tadi, karena larut dengan lamunanku, aku tidak menyadari kedatangannya."Siapa yang seneng-seneng? Aku cuma duduk istirahat saja.""Gitu, ya. Sama suaminya. Giliran pusing ada yang dipikirkan, Mas ikut diomelin. Kesel! Ya udah, deh! Mas sendirian aja!" seru Mas Farhan menirukan gayaku kalau marah-marah.Logat gaya bicaranya mirip, sih. Namun, wajahnya tetap dengan senyum tersungging, malah sekarang berakhir terkekeh. Kelihatan sekali dia meledekku.Aku melototkan mata, menunjukkan rasa kesal pada leluconnya yang tidak lucu. Pura-pura, sih. Sebenarnya aku malu juga, suamiku ini sering menjadi pelampiasan saat aku kesal. "Jangan marah, lagi. Nanti cepet tua!" ucap Mas Farhan sembari merangkul pundakku. "Harusnya seneng, dong. Aku cepet tua. Jadi Mas bisa kawin lagi!""Mulai, dah. Mulai," ucap Mas Farhan.Kemudian memiringkan badanku

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 68. Balas Dendam

    Ada ungkapan, sebuah hubungan seperti menerbangkan layang-layang. Bagaimana caranya untuk tetap terbang di langit biru. Sesaat, kita harus menegangkan tali dan terkadang dikendorkan. Atau, tatkala kita tidak mampu, tali bisa dipindahkan dengan diikatkan di dahan yang kuat. Kita pun harus siap dengan datangnya angin kencang yang datang, jangan sampai layangan terbawa angin apalagi putus karenanya.Begitu juga hubungan keluarga, pasang surut sudah biasa, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Memang, tidak dipungkiri aku sering tersulut kalau menghadapi kejadian yang tidak masuk di otak. Tak jarang, aku membutuhkan ruang dan waktu untuk menenangkan diri dan menyembuhkan hati dengan pemakluman. Beruntungnya, aku memiliki Mas Farhan yang bisa diajak berdiskusi dan mampu mendinginkan panas yang sering terpercik.Tadi malam, aku juga sudah bicara dengan Dek Arif dan mama perihal pinjaman uang itu. Aku tidak bisa melakukan langsung tadi malam. Dana harus dipindahkan ke rekening yang ada m

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 67. Kepepet

    "E ... anu, Mas. Dek Arif--.""Kenapa dia?" sahut Mas Farhan memotong ucapanku. Aku tersenyum melihat reaksinya. Dia ini memang kakak sejati, apapun yang menyangkut adik-adiknya langsung ditanggapi serius. Seperti kepada Dek Arif ini, walaupun status adik ipar bagi Mas Farhan."Dek Arif ingin pinjam uang. Katanya banyak kebutuhan," jawabku, kemudian menunggu jawaban Mas Farhan yang berdiam sesaat. Pandangannya tertuju kepada telivisi, tetapi aku tahu dia memikirkan apa yang aku sampaikan."Kalau ada uangnya, kasih saja, Dek," ucap Mas Farhan setelah menoleh ke arahku. Aku mengernyitkan dahi, seperti tidak menerima yang dia katanya. Masak tanggapannya, kasih saja. Seperti tidak ada pendapat lain. Aku seperti dikesampingkan, harusnya dia bicara banyak seperti dia menanggapi Dek Hana. Kalau seperti ini, sama saja dia membiarkan aku menyelesaikan sendiri.Pikiranku mulai berkecamuk, rasa tidak puas lebih mendominasi. Ada rasa kesal mulai terpercik. "Kalau dia kirim pesan pinjam uang ter

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 66. Janji Rendra

    "Anak-anak ini harus dicereweti terus. Mereka memang sudah besar, tetapi kita tidak boleh bosan mengingatkan terus," ucap Mas Farhan.Adik-adik beserta ibu mertua, sudah pulang. Dia memang memposisikan diri sebagai orang tua, sampai menyebut adiknya anak-anak. Perlakuannya juga tidak berbeda dengan orang tua terhadap anaknya. Kami selesai salat berjamaah. Fikri dan Lisa langsung masuk ke kamar masing-masing, dan sekarang tertinggal kami berdua. Duduk santai sembari menikmati tontonan televisi."Rendra jadi berangkat?" tanyaku, karena tadi tidak mengikuti akhir pembicaraan. Siapa tahu setelah diberi wejangan, dia menyurutkan niat."Tetap berangkat. Wong semua persyaratan, ijin, dan jadwal sudah dirilis. Ya, harus berangkat," jawab Mas Farhan sembari berdecak. Seperti menyayangkan keputusan mereka itu. "Tapi, Rendra janji. Ini kali terakhir dia berangkat. Dia akan fokus kepada pertumbuhan anaknya.""Trus Dek Hana, boleh?" tanyaku tidak sabar. Aku memiringkan tubuhku menghadap Mas Farha

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status